Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Just a kid

Purnomo's picture

 Persiapan mengajar Sekolah Minggu di gereja ini dipimpin oleh Guru Sekolah Minggu (selanjutnya disingkat GSM) senior yang telah mendapat pembekalan dari pendeta. Cerita bertema “Jangan Kamu Kuatir” dipusatkan kepada kekuatiran anak akan prestasinya di sekolah. Saya usul agar macam kekuatirannya ditambah. Tetapi GSM itu menolak.

 
Apa sih yang dikuatirkan seorang anak kecuali tidak naik kelas?” komentarnya. Saya tidak bisa memberikan argumen saya. Saya baru setahun bekerja di Jakarta sehingga belum tahu betul apakah kekuatiran anak kota metropolitan sama seperti kekuatiran masa kanak-kanak saya di kota kecil.
 
Pernah saya ditelepon anak SM saya,” GSM senior itu bercerita. “Penting sekali. Ada yang sakit dan perlu didoakan. Saya segera ke rumahnya. Ternyata, anjing kesayangannya yang sakit. Ya saya doakan, karena anjing itu sangat penting baginya. Itulah dunia anak-anak.”
 
Gadis ini memang cerdas beradu argumen. Segera otak saya menyusun sanggahan untuk membalasnya. Tetapi diskusi sudah beralih topik. Sekitar 80 GSM yang hadir ribut memperdebatkan apakah boleh GSM mendoakan seekor anjing.
 
Ketika saya menyampaikan Firman itu pada hari Minggu di kelas 5 SD, saya memperluas area kekuatiran ini. Dalam penutupan Cerita saya berkata, “Tidak setiap orang tua mengetahui kekuatiran yang kita sembunyikan. Sebagai anak, kita juga tidak berani mengatakan kekuatiran itu karena takut ditertawakan orang. Sekarang kita akan mengatakan kekuatiran kita kepada seseorang yang tidak akan menertawakannya, yaitu Yesus. Saya akan membagikan kertas dan amplop. Tulis apa yang paling kamu kuatirkan saat ini, kemudian masukkan ke dalam amplop, dan dilem. Malam ini saya akan membawa apa yang kamu tulis lewat doa kepada Tuhan Yesus. Tentunya kamu juga malam ini harus membawa rahasia ini dalam doa pribadimu. Karena itu tulislah dengan jujur.”
 
Di rumah saya membuka amplop-amplop itu. Isi amplop pertama membuat saya bingung. “Saya kuatir ada buaya besar dekat rumah saya,” begitu yang tertulis. Anak ini tinggal di kawasan Cinere. Sebagai salesman saya sudah berkeliling Jakarta sehingga tahu tidak ada sungai besar di daerah itu. Buku data anak saya buka. Anak ini lahir di Solo. Jangan-jangan dulu anak ini sering ditakut-takuti agar tidak berenang di Bengawan Solo. Tetapi mengapa ketakutan ini masih lekat pada saat sekarang ia tinggal di daerah perbukitan Cinere?
 
Surat kedua bercerita, “Saya les piano. Saya kuatir tidak naik tingkat.” Kalau tidak senang piano mengapa tidak les keyboard saja? Tetapi piano adalah instrumen musik yang paling bergengsi. Karena itu ortu ingin anaknya mahir main piano agar dapat dipamerkan kepada kenalannya. Ortunya melambung, anaknya limbung. Begitu saya berkomentar sendiri.
 
Tetapi surat-surat berikutnya membuat saya tidak bisa lagi berkomentar.
Saya kuatir waktu pulang sekolah naik bis kota diculik orang jahat.”
Saya kuatir bulan ini Ibu tidak bisa bayar rekening listrik.”
Saya kuatir Ayah tidak mau pulang ke rumah lagi. Kasihan Ibu.”
Saya kuatir Ayah kecelakaan waktu kerja.”
Dari sekitar 30 surat, hanya 2 lembar saja yang berkata “Saya kuatir tidak naik kelas.”
 
Ingin rasanya saya membawa surat-surat itu kepada rekan GSM yang kemarin memimpin acara persiapan mengajar agar ia tahu di Jakarta ini ada anak-anak yang terpaksa menelan “menu duka” manusia dewasa. Tetapi apakah ia akan percaya surat ini datang dari anak-anak yang sehari-hari berwajah hepi-yayaya? Jangan-jangan malah ia menuduh saya telah mengarahkan anak-anak itu sebelum menulis. Lagi pula saya telah berjanji kepada mereka apa yang mereka tulis akan menjadi rahasia saya saja. Itu 20 tahun yang lalu.
o—
Untuk memperbaiki nasib, ayah saya membawa keluarganya pindah ke Jakarta. Tetapi di kota ini yang terjadi jauh daripada yang diharapkannya. Kami tinggal di sebuah gubuk di daerah Pademangan yang saat itu masih berupa daerah tambak. Saya bersekolah di daerah Bungur Besar, dan entah berapa bulan menunggak uang sekolah. Apakah saya punya kekuatiran? Nothing at all. Saya tidak kuatir suatu hari tidak ada makanan di rumah, karena sudah biasa kelaparan. Saya tidak kuatir dikeluarkan dari sekolah, karena saya sudah bisa baca, tulis dan berhitung. Bukankah ilmu itu sudah cukup untuk bekerja?
 
Saya juga tidak kuatir ketika tidak ada oplet jurusan Tanjung Priok – Senen mau mengangkut saya gara-gara saya selalu membayar kurang. Saya beralih naik kereta listrik. Malah gratis, karena bisa petak umpet dengan kondekturnya. Dari rumah berjalan menuju setasiun kecil Rajawali untuk naik kereta jurusan Senen. Di setasiun Kemayoran saya turun, lalu berjalan ke sekolah.
 
Suatu hari kereta yang saya naiki berhenti di tengah jalan. Sebentar kemudian beberapa orang menggotong masuk seorang perempuan muda. Ia dibaringkan di lantai gerbong, tepat di depan tempat duduk saya. Hidungnya hilang, tinggal lubang kecil dengan sedikit darah kental menggumpal. Kata orang ia terserempet kereta dan telah meninggal. Saya memperhatikan wajahnya. Ia tidak menyeringai kesakitan. Wajahnya tenang, seolah-olah sedang tertidur nyenyak. Kematian itu tidak menyakitkan, begitu saya berpikir. (Jangan-jangan anak-anak yang melakukan bunuh diri akhir-akhir ini punya pemikiran yang sama.)
 
Ketika saya menunggu kereta di setasiun Kemayoran, ada sebuah lokomotip di situ. Saya mendekati. Roda besinya lebih tinggi dari kepala saya. Seumpama saya meletakkan leher saya di rel kereta api dan kemudian roda besar ini memotongnya dengan laju yang cepat, apa ya saya masih sempat merasa sakit? Lalu setelah itu, jiwa saya melayang ke mana?
 
Jiwa? Saya baru kelas 3 SD, just a kid, tetapi saya sudah berpikir tentang jiwa. Suatu malam ketika saya akan tidur, saya berpikir begini. Saya bisa menggerakkan jari saya, karena otot yang memerintahkan. Otot diperintah oleh otak. Apa yang memerintah otak? Saya. Siapakah saya? “Saya” adalah sesuatu yang terkurung dalam tubuh ini. Dan “saya” akan terlepas dari tubuh ini ketika tubuh ini rusak atau hancur. Tetapi kemanakah “saya” akan melayang pergi? Ke sorga, ke neraka, atau berkelana di bumi dan nanti bisa dipanggil masuk ke jailangkung seperti yang dulu sering saya mainkan dengan teman-teman di kota kelahiran saya setiap malam Jum’at? Lalu, sebelum tubuh saya lahir, di manakah “saya” ini?
 
Kesadaran saya akan adanya sesuatu yang mengatur jiwa-jiwa mulai muncul ketika pikiran saya mempertanyakan mengapa saya lahir di keluarga ini, bukan di keluarga lain. Pasti ada yang mengaturnya. Apa atau siapakah pengatur itu? Sebuah buku komik yang pernah saya curi baca di sebuah toko buku di Pasar Baru mengatakan itu adalah Tuhan. Tuhan itu ada dalam gereja. Makanya saya sering ke gedung di sebelah sekolah saya yang bertuliskan “Gereja Kristen Indonesia Gunung Sahari.” Sayang, gereja itu selalu tutup sehingga saya tidak bisa masuk untuk mencari yang namanya “Tuhan.” Sebagai gantinya saya mencari buah kenari yang berjatuhan di halamannya untuk saya makan isinya. Tetapi sejak itu saya menyimpan kegalauan karena tidak tahu siapakah “saya” ini dan ada di mana sebelum dan sesudah hidup di dunia ini. Bertanya kepada ortu? Saya tidak berani.
o—
Dua kisah di atas terjadi jauh di masa lalu, mungkin begitu komentar Anda. Anak-anak sekarang tidak begitu kok. Benarkah? Dua tahun yang lalu saya ditugasi Sekolah Minggu mengawal anak-anak SD kelas 6 dan SMP kelas 1 dalam acara ritrit semalam. Salah satu mata acaranya adalah pendidikan sex. Seorang dokter Kristen mengisi acara ini.
 
Ketika ia menceritakan perubahan-perubahan pisik seorang remaja, saya melihat peserta adem-adem saja. Lalu, pembicara menayangkan banyak slide yang menggambarkan kerusakan pisik akibat penyakit AIDS. Ini foto-foto close up yang pasti tidak akan membuat orang berpikir tentang pornografi karena kengerianlah yang memenuhi benak pemirsanya. Memang pesan tersembunyi dalam mata acara ini adalah “jangan melakukan sex bebas karena akibatnya sangat mengerikan”. Ini sebuah lompatan jauh, karena biasanya pesannya sekedar “jangan panik mengalami perubahan pisik kala beranjak remaja.” Sekolah Minggu kami memang sudah menyadari kemajuan teknologi informasi yang membuat anak-anak “matang” sebelum waktunya.
 
Lalu acara tanya jawab. Mereka bertanya menstruasi itu normalnya mulai umur berapa, mimpi basah itu dosa apa tidak, dan lain sebagainya yang bobotnya enteng-enteng saja. Selesai? O belum, karena mereka juga mengajukan pertanyaan yang bisa bikin ortunya kena kram jantung bila saat itu ikut hadir di ruangan itu.
 
Mengapa waktu menikah, orang tidak malu telanjang di depan pasangannya?” tanya seorang peserta puteri. Pembicara menjawab dan mereka bisa mengerti. Lalu, “Mengapa orang bisa jadi homo,” seorang bertanya sambil melirik teman lakinya yang rada feminin. Suasana mulai hidup. Antusias mereka muncul.
 
Pertanyaan berikutnya lebih seru dan membuat suasana riuh. “Kalau homo laki kawin sama homo laki ya bisa. Tetapi kalau lesbi kawin sama lesbi, apanya yang dikawinkan?” Seorang peserta putera mengomentari rekan puterinya ini, “Memang kamu sudah tahu gimana caranya gay kawin? Pasti hapemu nyimpan gambar porno.”
 
Sepanjang umur saya dalam persekolahmingguan, baru kali ini saya mendengar pertanyaan jenis ini keluar dari mulut seorang anak. Saya mendadak merasa bodoh karena menyadari masih banyak pertanyaan yang belum terucap oleh anak-anak asuh saya.
 
Saya kagum kepada dokter ini yang serius menanggapi pertanyaan mereka, seakan-akan berhadapan dengan pasien dewasa usia. Dengan bahasa yang sederhana ia menjelaskan tentang homo filia, perasaan menyayangi sesama jenis, “apa” yang dikawinkan sepasang lesbi, penyebab seseorang menjadi lesbi dan bagaimana mencegahnya.
o—
Obyek” kerja pelayanan seorang GSM adalah anak. “Apa sih susahnya jadi GSM? Yang diurusi ‘kan hanya anak-anak,” begitulah komentar yang sering saya dengar. Konsep berpikir demikian bisa mendorong GSM dan juga Gereja tidak serius dalam menangani Sekolah Minggu. “Just a kid” akan membuat orang bersikap take it easy, yang bisa berakhir pada easy going, menggampangkan. Cuma anak, tau apa seh? Ga usah serius-serius lah nyiapin Cerita. Salah dikit mereka juga ga tau.
 
Tahukah Anda bahwa kata benda “kid” yang berarti “anak” kemudian juga dipakai sebagai kata kerja? To kid = berlaku seperti anak-anak, tidak serius, bercanda. Tetapi kata kerja ini dalam bahasa pergaulan sehari-hari hanya muncul di sebuah kalimat saja, “just kidding,” hanya bercanda. Berprinsip “just a kid” akan menyeret kita kepada “just kidding” sehingga dunia persekolahmingguan bisa berubah menjadi panggung lawak dengan GSM sebagai para pelawaknya.
 
Bagaimana? Makin ngeri jadi guru SM? Are you going to say good-bye, my dear?
o—
Saya paling tidak suka menjadi pembicara setelah jam makan siang. Sebagian besar peserta seminar pasti lebih menikmati rasa kantuknya. Dan ini terjadi lagi ketika saya mendapat giliran membawakan modul “Menentukan Strategi Defensif atau Ofensif” di depan sekitar 40 manajer pemasaran perusahaan tempat saya bekerja yang selama 3 hari harus menelan 10 modul pelatihan manajemen.
 
Suasana masih gaduh walau saya sudah berdiri di depan. Saya mengambil tempat duduk. Saya tekan sebuah tut di laptop. Sebuah intro lagu mengalun dan saya menyanyi, Everybody's looking for that something, one thing that makes it all.”Beberapa peserta menyambung dengan kalimat berikutnya,You'll find it in the strangest places, places you never knew it could be.”
 
Saya tekan tut lain di laptop dan menyalakan proyektor sehingga di dinding tertayang lagu “Flying without wing”-nya Westlife dengan notasi angka yang saat itu sedang populer. Asyik! Semua ikut nyanyi. Bos bule saya di belakang cengar-cengir aja. Ga tau lah apa yang ada in his mind. Abis, baru kali ini ada acara nyanyi dalam seminar manajemen. Selesai nyanyi, langsung saya menembak.
 
Mengapa lagu-lagu Westlife dalam irama sweet langsung meroket meninggalkan lagu-lagu penyanyi lain yang jauh lebih dinamis? Dan ledakan ini sangat tinggi di kawasan Asia Tenggara. Apakah karena syair-syairnya berbicara tentang nilai-nilai spiritual yang selama ini telah disingkirkan oleh penyanyi-penyanyi sebelumnya, tetapi sebetulnya dirindukan oleh banyak orang? Seperti dalam I have a dream, atau Angel’s wings?”
 
Setelah reda diskusi bebas, pertanyaan kunci saya lontarkan. “Jika Anda manajer Westlife, strategi defensif atau ofensif yang Anda jalankan? And, please explain the reasons in detail !”
 
Kemudian, kasus kedua saya buka dengan bercerita tentang kelompok musik Spice Girls yang pernah berjaya sebelum Westlife. Mereka langsung ingat karena salah satu cewek itu menjadi istri seorang atlit tingkat dunia. Saya sebut satu persatu nama anggotanya, dan siapa yang hamil sehingga menghalangi music tour mereka. Bahkan nama anggotanya yang lompat ke majalah Playboy. “Bapak pasti baru punya sephia ABG, sampai tahu Spice Girls komplitplit,” seorang peserta nyeletuk. Ah, sirik ‘kali kau ini, jawab saya.
 
Hehehe, dia tak tahu dua ilustrasi itu baru saja saya ceritakan kepada anak-anak SM saya yang SMP, yang ABG. Dengan cara penyajian yang sama, tetapi dengan sasaran yang lain. Dalam mengasuh kelas praremaja saya lebih suka mengganti ilustrasi pembuka Firman dengan menyajikan fenomena-fenomena yang sedang muncul. Tentunya tidak termasuk di dalamnya “fenomena” yang saat itu disiarkan beberapa tivi pada tengah malam. Why? Karena saya tahu mereka bukan sekedar seorang anak yang hidup dalam dunia bermain saja. Tetapi mereka juga punya kepekaan tinggi menyerap apa yang terjadi dalam rumahnya, di sekolahnya, di sekelilingnya, bahkan ide-ide yang disajikan televisi, yang kemudian bisa menimbulkan kegalauan jiwa atau mencoba sesuatu yang bisa membahayakan tubuh atau jiwa bahkan roh mereka.
 
Ini membuat saya bersungguh-sungguh mempersiapkan Firman untuk mereka agar bila mereka mendahului saya meninggalkan dunia ini, saya bisa dengan yakin berkata “mereka sekarang telah berbahagia hidup bersama Bapa surgawi” tidak seperti ketika saya menghadapi gadis kecil dalam peti mati dulu. Dan untuk menyelami dunia mereka saya harus sering-sering membaca majalah-majalah remaja dan menjelajahi internet. Bahkan menghafal beberapa lagu-lagu pop kesukaan mereka, yang belum tentu saya senangi. Dan saya sudah merasakan susahnya menghafal sebuah lagu India yang sedang populer, Kuchh Kuchh Hota Hai.
 
Ketrampilan ini yang terus terasah dari Minggu ke Minggu akhirnya melambari teknik saya dalam menyajikan makalah dalam seminar-seminar yang diadakan di perusahaan tempat saya bekerja. Dan gara-gara SM, saya jadi one of the outstanding speakers in the company, karena bisa membuat pendengar mengerti makalah sulit.
 
Ternyata ada untungnya juga lho jadi guru Sekolah Minggu.
Berani mencoba?
Kenapa takut?
 
(selesai bagian ke-3 / firstly posted on 21.12.2008)
 
 
Bersukaduka bersama Sekolah Minggu
bag-7: Biarlah Allah bekerja
 
Dikirimkan oleh Anak El-Shadday pada Mgu, 2008-12-21 14:08
keponakan saya sejak umur 3 bulan sudah ikut sama ibu saya.. jadi dia terpisah dengan bapak ibunya.. sekarang dia sudah kelas 1 SD
setelah bulan lalu bapaknya di PHK keponakan saya ini punya rumus doa yang baru, yang dengan bersumpah ibu saya mengatakan tidak mengajarinya, tiap habis sembahyang maghrib dia berdoa "ya Tuhan berikan bapakku pekerjaan lagi agar kami bisa beli mobil"...
di keluarga kami, hanya keluarga kakakku yang masih naik motor, lainnya sudah bisa membeli mobil.. mungkin benar mereka bukan "just a kid"...
but the one who endure to the end, he shall be saved.....

 

ely's picture

Anak-anak = Masa Depan

Jadi GSM adalah tanggung jawab yang besar. Terimakasih ceritanya pak Pur, Jadi nambah pengetahuan nih, Banyak orang dewasa seringkali menganggap anak kecil 'enteng' sehingga tanpa disadari telah menjadi contoh tidak layak bagi anak-anak yang akhirnya sangat berdampak kepada pertumbuhan anak. Beberapa waktu lalu sebuah pelayanan sekolah mengadakan KKR di kota kami, di sana saya benar-benar mengerti, anak-anak bukanlah sesuatu yang dapat di anggap enteng. Karena diri mereka adalah masa depan, sehingga sudah selayaknya mereka mendapat bekal yang benar-benar bermanfaat bagi pertumbuhan mereka.
__________________

Lakukan segala sesuatu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia ...

kusuma's picture

just a kid

Hari ini aku buka punya-mu 'just a kid',  terperangah keseriusanku melayani siswa2 sekolah yang ada sekarang, masih di bawah standart. Aku mau minta 'hikmat Tuhan' untuk langkah  selanjutnya. Rabu, 14 Januari'09. SMK Nusaputra minta natalan untuk 70 orang, mau tak bawa ke lt.4. Permintaan2 mendesak, hari ini surat baru masuk, harus dilayani oleh tim yang selau siap, tim pelayanan siswa. MImpi?