Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Jangan Panggil Saya Guru

ABC Tirai Bambu's picture

JANGAN PANGGIL SAYA GURU

Saudara-saudaraku, janganlah banyak orang di antara kamu mau menjadi guru; sebab kita tahu, bahwa sebagai guru kita akan dihakimi menurut ukuran yang lebih berat. Sebab kita semua bersalah dalam banyak hal ;……”

       Pada waktu kuliah dulu…..salah satu hal yang bisa membuat kami bangga adalah kalau dalam pelayanan week end kami ditugaskan untuk mengajar di sekolah-sekolah di Malang. Perasaan yang muncul adalah kami dipilih karena  dianggap layak untuk mengajar, karena  punya kemampuan akademis yang memadai..dan sebagainya. O betapa bangganya waktu itu bisa menjadi guru apalagi waktu itu saya masih tingkat dua sedang yang lain adalah tingkat tiga. Kini pengalaman itu sudah belasan tahun berlalu. Namun jika kembali harus mengenang status sebagai “guru” saya justru malu bukannya bangga! Mengapa......? Karena sekarang saya lebih tahu sedikit apa artinya menjadi GURU.

       Guru……dalam kepanjangan bahasa jawa adalah di gugu lan ditiru. Guru tidak hanya menyalurkan pengetahuan atau ketrampilan yang ia tahu tetapi juga menjadi panutan yang baik bagi orang-orang yang di ajar dan juga orang-orang disekitarnya. Di negeri China sekolah keguruan di sebut Shi Fan Da Xue, yang di Indonesia pada decade yang lalu dikenal sebagai IKIP. Shi itu menunjukkan pekerjaannya yang ahli dalam bidangnya kemudian ia mengajar. Sedangkan Fan itu menunjukkan bahwa seorang guru harus mempunyai kepribadian yang menjadi panutan pada murid-muridnya. Padahal tidak sedikit guru yang ternyata tidak ahli dalam bidangnya, apalagi harus menjadi panutan bagi orang-orang yang diajarnya. Secara definitive guru itu mempunyai tiga tugas yang tidak boleh dipilah-pilah satu dengan yang lainnya; pertama menyalurkan pengetahuan atau ketrampilan, kedua mempengaruhi murid untuk merubah hidupnya sesuai dengan pengetahuan yang diperolehnya dan ketiga adalah mendorong murid untuk mengubah dunia disekitarnya dengan kebaikannya. Atau pendek kata seperti yang dikatakan Yesus “kamu adalah garam dan terang dunia”. Untuk menyalurkan pengetahuan dan ketrampilan kebanyakan guru mudah melakukannya. Tapi untuk memotivasi murid untuk merubah hidupnya itu sedikit guru yang melakukannya. Dan untuk mendorong murid mampu mengubah dunia di sekitarnya dengan kebaikan yang ada padanya, sulit menemukan guru yang melakukannya. Mengapa, karena seringkali murid perlu melihat teladan sang guru terlebih dahulu.

Di negeri China guru terbesar itu bernama Kong Zi, yang di Indonesia dikenal sebagai Kong Hu Chu. Dalam kehidupan sehari Kongzi sangat ulet dan rajin belajar. Tutur katanya selalu penuh arti dan sangat teratur, serta sarat dengan ajaran. Dalam kehidupannya, tingkah lakunya serta tindak tanduknya menjadi teladan.  Ketika mengajar ia tidak hanya membagikan pengetahuan tapi juga kehidupannya. Ia sangat perhatian terhadap perkembangan karakter dan hidup murid-muridnya. Ia adalah sosok guru yang benar. Saking hebatnya sampai di sebuah museum di kota Changsha, Kong Zi disebut sebagai guru yang sempurna. Tapi Kong Zi mempunyai kerinduan yang belum ia penuhi sendiri. Ia pernah berkata, “Liang Shi Yi You” (????) artinya; Seorang guru yang baik itu selalu menyempatkan diri untuk menjadi sahabat bagi murid-muridnya. Apakah teladan Kong Zi ada pada kebanyakan guru pada masa kini? Sebagai guru, untuk meneladani Kong Zi   saya masih harus banyak belajar.

Dalam Alkitab ada guru yang lebih hebat lagi. Ia memenuhi apa yang dianggap KongZi sebagai guru yang baik. Ia tidak hanya penuh pengetahuan dan kebijaksanaan. Ia juga bukan hanya berhenti menjadi teladan dan secara utuh memperhatikan hidup murid-muridnya. Ia guru yang hebat karena Ia memberikan waktu dan hidupnya untuk orang yang diajarnya. Sebagai guru? tentulah ia juga punya peraturan, tapi Ia tidak mudah menghukum murid yang berbuat salah. Sangat beda dengan saya yang ketika menjumpai  murid  yang salah akan langsung ditegur dan dicarikan hukuman yang setimpal. Untungnya Petrus, Thomas, dan para rasul lain punya guru yang penuh kerendahhatian, keluasan hati dan teknologi pengajaran yang mampu  merubah hidup mereka  semakin sempurna. Untung para murid bisa mempunyai guru yang mau juga bertindak sebagai sahabat yang mau mengerti mereka. Ya Yesus itu adalah sosok guru yang terhebat. Apakah teladan Yesus nampak pada kehidupan guru pada masa kini? Untuk meneladani Kong Zi saja saya masih harus banyak belajar, apalagi untuk meneladani Yesus Sang Guru Agung itu.

       Dalam banyak hal guru juga adalah pemimpin jemaat atau pemimpin sekolah alkitab (pendeta/penginjil/majelis). Untuk mempersiapkan murid-muridnya menjadi guru dan pemimpin dunia, Yesus harus hidup bersama mereka sekitar 3,5 tahun. Yesus tidak hanya mengajar firman-Nya tapi juga membagikan hidup-NYA, menjadi sahabat serta menjadi teladan mereka. Cara hidup, pola hidup, kerendahan hati, kepedulianNya, kasihNya,……semua itu hendak ditransformasikan kepada murid-muridNya.       Jika kita menjadi guru tapi hanya sekedar membagikan pengetahuan atau ketrampilan, sebenarnya kita sedang salah memahami apa artinya menjadi guru. Apalagi jika profesi guru atau pemimpin jemaat hanyalah alat untuk mencari kedudukan, kepuasan psikis dan kekayaan, sungguh suatu perbuatan yang mencoreng profesi guru sendiri. Kadang guru (baca: termasuk para pemimpin jemaat dan dosen teologi) sangat arogan dalam berkata-kata, dalam mengambil keputusan, bahkan sering menjelekan dan merendahkan  orang lain apalagi yang tidak seusai dengan cara dan pendapatnya. Tidaklah heran, dibelakang kelas, dibalik mimbar, di luar sana banyak orang sedang mencibir kita sebagai guru, penginjil, pendeta, majelis dan sebagainya. Perhatikan hidup murid-murid Yesus, mereka  tidak hanya mampu mengajar dan berkhotbah, tapi yang paling penting di atas semua itu adalah kesaksian hidup  dan kasih yang hebat terhadap Tuhan dan sesama.

       Memasuki negeri Tiongkok ini, saya mengetahui banyak Misionaris yang dipanggil guru; guru A, guru B dsb. Namun saya mengenal satu orang yang tidak dipanggil guru oleh orang-orang yang diajarnya. Mula-mula saya tidak terima mengapa orang yang diajarnya nampak kurang sopan dengan hanya menyebut namanya atau yang banyak memanggilnya dengan sebutan “Saudara”. Sekarang saya memahaminya, karena nampak jelas kesederhanaan, kepeduliannya, dan sikapnya yang rendah hati, ketelatenannya, justru sebenarnya telah menjalankan fungsi yang benar, sepeti yang Yesus ajarkan, seperti yang kamus tuliskan apa artinya menjadi guru. Pengikutnya menghormati dia dengan melakukan apa yang dia ajarkan walau mereka tidak memanggilnya guru. Saya pikir itu jauh lebih baik ketimbang kita, yang sekalipun berpendidikan tinggi dilengkapi dengan formula belajar mengajar yang handal, disertai gelar-gelar yang mentereng,  kita yang senang dipanggil sebagai guru tapi hanya secara pincang menjalankan tugas mengajar ilmu tanpa disertai pengaruh hidup yang baik yang memancarkan kasih Kristus hidup di dalam kita. Kalau sudah demikian apa yang dihasilkan, apakah orang yang diajar menjadi terang dunia atau  bahkan mencemari dunia, sehingga orang sukar melihat perbuatan yang baik dan sukar memuliakan  Bapamu yang di sorga.

       Pengalaman menjalankan tugas belajar mengajar, pengalaman menjadi penginjil dan pendeta kadang membuat saya begitu bangga, tapi teladan hidup yang saya lihat, membaca sosok Kong Zi guru yang hebat, apalagi ketika mengetahui Yesus guru yang terhebat itu, ditambah tulisan Yakobus tersebut, saya setuju bahwa sebagai seorang guru saya telah salah dalam banyak hal. Karena itu ketika di negeri Tiongkok ini saya mulai menjalankan tugas yang harus saya kerjakan, ketika mereka memanggil saya Laoshi(Indonesia= guru ), sayapun lekas-lekas mengingatkan, Jangan Panggil Saya Guru!”.  Anda……?

Salam

Hendra Rey

Jianling Cun sebuah desa penuh kenangan

esthiez's picture

lantas dipanggil apa?

salam kenal,

Sejujurnya, (maaf kalau saya dianggap keterlaluan atu bodoh) saya tidak begitu mengerti, mengapa tidak ingin disebut sebagai guru, hanya karena memang PASTI ada guru dibalik semua guru?

Kemudian, anda dipanggil apa?

Sayapun calon guru, yang enggan dipanggil guru, karena alasan yang simpel: masih terbilang muda dan merasa kurang pengalaman dalam mengajar, sehingga saya lebih suka menganggap calon murid saya sebagai teman. Namun, bukankah itu salah?

Menimbang banyak 'guru' senior yang justru dengan enggan membenarkannya. Kalau saya tidak ingin dipanggil guru, mungkin saya lebih suka disebut teman berbagi ilmu. Bagaimana menurut anda?

Terima kasih.