Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

JANDA CERIA, kunanti datangmu di Cafe Maxim

Purnomo's picture


            Seorang pesbuker Solo menulis di statusnya ketika berkesempatan jalan-jalan di Eropa, mampir di kota Wina. Yang aku tahu, kota ini adalah ibukota negara Austria dan bila melihat gedung-gedung pemerintah terasa seperti di negeri sendiri karena bendera yang dikibarkan adalah merah-putih-merah.

            Juga banyak pengamen di depan Katedral Steffel yang terletak di pusat kota. Ada yang menari diiringi musik dari compo, panggung boneka, atraksi akrobat, membaca puisi, menggesek biola atau mengembang-kempiskan akordion, bisa juga beberapa orang bersama memainkan musik. Wina memang dikenal sebagai kota musik karena di kota ini ada beberapa sekolah tinggi musik dan gedung opera.
           
           Tetapi pesbuker itu tidak bercerita tentang teater rakyat yang murah meriah ini. Ia bercerita bersama suaminya menonton opera. Tradisi nonton opera ternyata tidak berubah dari dulu. Dia mengomel karena suaminya harus mengenakan jas terlebih dahulu baru bisa masuk ke gedung opera. Mereka menonton opera The Merry Widow (Die Lustige Witwe).

           Membaca kata “Merry Widow” di statusnya, benak saya langsung membongkar memori lama yang tersimpan pada dekade 1970 dan sebuah melodi waltz yang dulu pernah saya akrabi segera mengalun.


          Pada waktu itu saya membeli sebuah buku lagu pop dan saya ingat lagu “Merry Widow Waltz” ada di dalamnya bersama “So deep is the night” dan “Three Coins in the Fountain”. Sebagian melodi lagu itu saya tulis di sini dan teks bahasa Inggrisnya yang sudah terlupa saya ambil dari Mbah Google.

         Opera Merry Widow ditulis oleh Franz Lehár dalam 3 babak dan mulai terkenal sejak tahun 1905. Membuka Wikipedia, dalam babak pertama ada sebuah lagu yang berjudul Da geh’ ich zu Maxim (Lalu aku pergi ke Maxim) atau dalam versi bahasa Inggris ditulis You’ll find me at Maxim’s. Maxim adalah nama sebuah cafe di Paris. Mengapa opera ini diselipi iklan komersial? Saya tak tahu sebabnya sampai suatu hari menemukannya di sebuah buku. Begini ceritanya.


         Pada suatu malam sekitar tahun 1900 di Paris, sepasang suami-istri Hungaria yang baru menikah bersantap malam di sebuah cafe yang kecil dan remang-remang. Ketika hendak membayar, sang suami terperanjat. Ternyata dompetnya hilang dicopet orang. Tiket kereta mereka untuk kembali ke Wina ikut raib. Pelayan cafe tidak memercayai keterangan mereka dan membawa mereka menghadap pemilik cafe.

         Ada sesuatu dalam diri sang suami – entah itu kesopanannya berbicara entah itu kesedihan yang sangat karena kehilangan semua miliknya – yang membuat pemilik cafe menyukainya sekaligus memercayainya sehingga membebaskannya membayar apa yang telah dimakannya, bahkan membelikan mereka tiket pulang ke Wina.

         Sang suami tak menyangka menerima kebaikan hati yang melimpah ini. Ketika akan pergi meninggalkan cafe, ia berkata, “Tuan, Anda tidak akan pernah menyesali kemurahan hati yang Anda lakukan ini. Saya berjanji untuk membuat Anda dan cafe ini terkenal. Cita-cita saya adalah menulis sebuah opera dan saya akan menulis nama cafe Anda ini di dalamnya.”

        Pemilik cafe tersenyum dan berkata ia senang uangnya akan kembali. Ah, ini hanya basa-basi belaka karena ia tidak mengenal orang muda ini. Tetapi orang muda ini memegang teguh janjinya. Ia berhasil menulis opera The Merry Widow yang masih terus dipertunjukkan sampai hari ini, dan Cafe Maxim disebut dalam satu lagunya.

       Dalam lagu Da geh’ ich zu Maxim, Franz Lehár berkisah tentang seorang diplomat yang sangat kelelahan karena pekerjaannya. Mendekati akhir lagu itu, ia menulis begini:

       Und sich bei Nacht, was man so nennt
       (Dan suatu malam seorang berkata)
 
       Erholung nach der Arbeit gönnt!
      (Rekreasi setelah lelah bekerja tidak dilarang!)

       Da geh ich zu Maxim
      (Lalu aku pergi ke Maxim)

       Dort bin ich sehr intime
      (Di sana aku merasa sangat kerasan)

       Gara-gara lagu ini, bahkan hingga kini, orang-orang yang datang ke Paris menyempatkan diri mampir di Cafe Maxim. Franz Lehár menyatakan terima kasihnya seumur hidupnya kepada seorang pemilik cafe yang telah menolongnya. Bahkan setelah ia meninggal, anak-cucu penolongnya masih menikmati balas budi Franz.

        Adakah kita juga berbuat sama seperti Franz terhadap Kristus yang telah menolong kita? Menerakan nama-Nya dalam setiap karya kerja kita sepanjang hidup kita? Bahkan ketika kita telah dipanggil-Nya pulang apa yang telah kita lakukan masih menjadi sumber pujian bagi kemuliaan Nama-Nya oleh banyak orang?


*** diilhami cerita ke-1236 dari buku “1500 Cerita Bermakna”.