Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
IMAN DAN KEMISKINAN
“Bukan lautan hanya kolam susu..”
Demikian lah penggalan lagu yang didendangkan oleh band legendaris Indonesia Koes Plus. Syair lagu itu setidaknya menggambarkan kayanya tanah Indonesia tercinta. Memang betul Indonesia memang tanah yang kaya, bukan hanya tanahnya yang kaya, tapi lautnya, udaranya dan budayanya. Namun, gambaran itu semua sepertinya sirna jika mata dipandangkan pada realitas masyarakat Indonesia sendiri. “Ah…begitu kontras” jerit hatiku.
Lihatlah angka garis kemiskinan yang begitu besar tertera di brangkas data Biro Pusat Statistik, realita nasi aking begitu nyamannya melewati daun telinga yang tak bisa ditutupi, angka pelacuran di bawah umur dan eksploitasi anak yang kian meraja lela, dan sederetan fakta-fakta lain yang memuat hati merintih dan bertanya, “Tuhan, masih adakah secerca asa yang tersisa?”
Benarkah Penjajahan Menjadi Kambing Hitam?
Tidak ada asap jika tidak ada api. Mungkin pepatah ini tepat disandingkan jika ingin mellihat apa latar belakang semua fenomena ini. Negara kaya tapi penduduknya miskin.
Banyak pendapat yang mengatakan bahwa penjajahan menjadi alasan utama kenapa kondisi bangsa menjadi seperti sekarang ini. Dikatakan bahwa lamanya Indonesia terjajah mengakibatkan runtuhnya mentalitas yang merasuk dalam gen anak bangsa. Tidak bisa dipungkiri memang budaya korupsi ada diakibatkan atau diakari oleh penjajahan ini. Pelecehan demi pelecehan yang dilakoni oleh penjajah Belanda memang diakui mengakibatkan runtuhnya martabat dan harga diri bangsa ketika itu dan menjalar terus sampai sekarang. Tapi benarkah ini penyebab kemiskinan bangsa yang terjadi saat ini?
Mari berkaca pada sejarah di belahan dunia yang lain. Tahun 1942 Hiroshima dan Nagasaki diluluhlantahkan oleh bom atom sekutu. Sistem pemerintahan berantakan, sistem perekonomian rusak tak terkirakan, anak-anak tak berdosa menjadi korban, ketraumaan melanda generasi Jepang kala itu. Tapi lihatlah apa yang terjadi enam puluh tujuh tahun kemudian. Industri Jepang maju menandingi industri Eropa yang sudah terlebih dahulu berlari, mata uang Yen seperti dengan jumawa bisa bersaing dengan mata uang raksasa-raksasa Eropa, seperti tak terlihat jejak-jejak tragedi itu. Atau lihat juga tuan rumah Piala Dunia 2010 Afrika Selatan, penjajahan, konflik antar suku, apartheid yang memecah belah bangsa, seperti tidak mempengaruhi derap langkah mereka dalam mengarungi masa depan. Cina jajahan Inggris pun seperti tidak pernah terpengaruh dengan sejarah kelam bangsa mereka. Negara ini terus maju dan bersaing dengan negara-negara lain dalam industri.
Kalau begitu, dapatlah disimpulkan penjajahan bukanlah kambing hitam utama kemiskinan. Karena faktanya banyak negara terjajah lainnya justru mampu keluar dari bayang-bayang kelam sejarah bangsanya.
Etos Kerja
Seorang sosiolog asal Jerman bernama Max Weber menangkap sebuah fenomena yang unik. “Kenapa negara-negara barat menjadi lebih maju jika dibandingkan dengan negara-negara timur?” mungkin itulah tanya yang melintas dalam benaknya ketika mencoba membandingkan dua belahan negara di dunia itu. Setelah dicernanya semua tanya itu, muncullah sebuah jawab yang berhasil memuaskan dahaga akan tanyanya.
Bukan sejarah bangsa yang menyebabkan sebuah negara maju. Bukan pula hanya bergantung pada kekayaan alamnya, juga bukan pula karena ragam coraknya, tapi akidah yang dipeganglah menjadi alasan utama kenapa sebuah negara bisa maju. Inilah kesimpulan yang berhasil diramu Max Weber melalui rentetan penelitiannya.
Etika kerja Protestan yang dicetuskan Calvin ternyata berpengaruh besar dalam mempengaruhi etos kerja bangsa barat ketika itu. Etika kerja yang coba diterapkan ternyata berhasil membuat negara-negara barat berlari mengejar ketertinggalan peradaban dari Cina, Mesir, Arab yang terlebih dahulu sudah maju menurut catatan sejarah. Etika kerja Protestan menawarkan pengendalian alam secara rasional, kerja keras, disiplin, perbaikan diri secara terus menerus dan tanggung jawab sangat mempengaruhi etos kerja bangsa barat kala itu. Prinsip “Lakukan semua seperti untuk Tuhan” benar-benar merasuk dalam sukma manusia barat ketika itu. Akibatnya terjadi peralihan paradigma tentang kerja, kerja bukan lagi dilihat sebagai kutuk, tapi kerja dillihat sebagai ibadah. Kesungguhan dalam bekerja menjadi semakain terangsang dengan paham ini. Hal ini jelas berdampak pada semua segi bidang kehidupan baik itu ilmu pengetahuan, industri, teknologi, seni dan budaya. Hal inilah yang membuat peradaban negara barat begitu cepat melesat menyusul semua peradaban yang telah maju terlebih dahulu.
Korelasi Iman dan Kemiskinan
Terliahat jelas ada korelasi yang positif antara penerjemahan iman yang tepat dengan usaha pengentasan kemiskinan. Jika iman diterjemahkan dengan tepat maka hal ini akan berpengaruh pada akidah-akidah dan sistem nilai yang dipegang oleh masyarakat. Sistem nilai inilah yang menjadi dasar sekaligus motor penggerak lapisan masyarakat itu untuk menghasilkan karya yang membawa suatu bangsa lepas dari kemiskinan.
Dalam buku “Mencari Keseimbangan” yang diperuntukan kepada enam puluh tahun Pdt.D.Dr.S.A.E. Nababan; Dr.A.A. Yewangoe menuturkan bahwa kerja harus dipandang sebagai panggilan iman. Pandangan ini tidak hanya diperuntukan oleh iman dari sudut pandang Kristen saja, tapi dari kajian iman yang lain pun ternyata menuturkan hal yang sama.
Ouchi Low yang menulis mengenai Zen Budhisme di Jepang berhasil mengidentifikasikan bahwa pandangan hidup bangsa Jepang mempunyai pengaruh dominan sebagi sumber yang menjadi dasar bagi bangsa tersebut di dalam pembentukan etos kerja dan di dalam mengartikan kerja.
Penerjemahan Iman Dalam Porsi Yang Tepat
Maka jelaslah terlihat penerjemahan iman dalam porsi yang keliru adalah sumber dari kemiskinan di Indonesia. Hal ini bisa jadi salah satu indikator kegagalan lembaga gereja dalam memberi pencerahan dan penekanan dan pendaratan yang tepat akan apa arti iman. Kehidupan iman harus dijabarkan dalam arti yang seluas-luasnya. Iman Kristen harus mampu menjawab semua tantangan yang ada, terkhusus dalam mengentaskan kemiskinan.
Iman tidak boleh lagi diterjemahkan hanya sebatas bukti dan dasar dari sesuatu yang tidak terlihat dan yang diharapkan. Tapi, iman itu sendiri harus diejawantahkan dalam cara yang sefaktual mungkin. Iman itu harus direalisasikan senyata mungkin sehingga terbukti dan bisa dirasa manfaatnya. Iman hendaknya tidak lagi diartikan secara abstrak tapi konktret. Jika iman dipercaya mampu mengubah cara pandang seseorang, itu berarti iman juga harus bicara pada tataran praktis dalam kehidupan seseorang tersebut. Karena itulah fungsi sejati dari iman yaitu menggiring orang pada sebuah perbuatan yang memuliakan Allah yang disembahnya.
Inilah tantangan Kenasranian Indonesia!
- Ringga Pangaribuan's blog
- Login to post comments
- 7835 reads