Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Hujan Kesiangan

Indonesia-saram's picture

Pagi ini, aku terbangun tiga kali. Dua kali untuk membunuh alarm. Yang ketiga terbangun oleh deru hujan deras dan tersadar, ini telah pukul lima pagi. Kupaksakan untuk berdoa sejenak, doa yang umum, tidak ada yang spesifik, kecuali untuk mereka yang kutahu sakit dan sakit-sakitan.

Buru-buru aku turun dari tempat tidur yang sering berderit-derit menahan beban tubuhku yang tidak seberapa. Menyambar handuk, mengoles odol pada sikat gigi, lalu mandi. Hujan masih menderu.

Seiring aku keluar dari kamar mandi, hujan mulai mereda meski masih tercurah. Tapi karena satu dan lain hal -- dasar perut pengganggu! -- jadilah aku berangkat sangat terlambat: 5.45. Akibatnya, sudah bisa ditebak: Pondok Gede macet. Lubang Buaya apa lagi. Belum pula hujan yang kembali melebat. Buku menjadi pelarian.

Baru melintasi Jembatan Molek, jembatan yang membatasi Bekasi dengan Jakarta Timur itu, seorang wanita naik. Tubuhnya mungil, kulitnya putih bersih. Rambutnya sebahu. Matanya sedikit sipit. Dari jauh ia tampak cukup menarik. Kalau saja rangkaian jerawat tidak menghias, ia mungkin bisa digolongkan sempurna. Tapi bagiku ia harus sempurna.

Pandanganku kembali beralih ke bukuku. Sesekali kulirik kanan-kiri. Dua-dua kali kulirik sang wanita. Tiga-tiga kali kulirik jendela. Empat-empat kali kembali ke buku. Lima-lima kali, kumainkan ha-pe-ku. Dan perjalanan kembali menjadi lebih lancar daripada sebelumnya. Namun, hujan masih tercurah dengan manisnya.

Ya, aku suka hujan. Sangat menyukai hujan. Sudah lama juga tidak mandi hujan. Pernah dulu ketika pulang dari Mojosongo berama seorang teman, kami kehujanan. Ia memang memakai mantel, tapi kala itu aku yang sudah rindu mandi hujan malah menolak untuk berlindung di balik mantelnya.

Apakah kini aku pun menikmati hal serupa? Tidak bisa. Aku harus ke kantor. Ini sudah sangat terlambat. Tapi aku tidak punya payung. Maka aku tetap kehujanan.

Aku menanti bis yang biasana akan membawaku langsung ke depan kantorku. Namun, menanti hingga hampir dua puluh menit, tak kunjung ia muncul. Apa boleh buat. Aku terpaksa menaiki kendaraan yang tak biasa kunaiki sampai kudapati halte Transjakarta. Dan hujan terus menghiasi kawasan ibukota.

Senen segera terlihat. Setelah melampaui sejumlah kemacetan yang membuat seorang ibu di depanku berdecak kesal terus-menerus. Entah karena macet, entah karena hujan, entah karena dirinya sendiri yang patut disesali karena terlambat bangun dan terjebak kemacetan dan kepadatan Transjakarta seperti diriku. (Bedanya, aku tidak berdecak kesal seperti dirinya.)

Jalur PGC-Senen. Itu koridor yang kutumpangi. Aku memilih turun di Pal Putih. Dan sekali lagi menikmati sentuhan sejuk dari curahan hujan. Aku biarkan mereka menjamahku. Aku biarkan mereka menciumi diriku. Aku biarkan mereka menikmati rambutku, pundakku, sekujur tubuhku sejauh mereka inginkan.

Entah sampai kapan hujan masih akan terus mencumbui diriku. Tapi kuharap kemesraan kami tidak sesering ini. Sebab akhirnya aku harus terlambat. Sebab ketika kumasukkan kartu absenku dan menariknya kembali, warna merah berangka 09.23 menghiasi kartu pada hari kerja pertama bulan Februari ini.

__________________

_____________________________________________________________
Peduli masalah bahasa? Silakan bertandang ke Corat-Coret Bahasa saya.

Rusdy's picture

Saram Keujanan

Wah, sudah lama tidak melihat i-saram menulis di sini :). berangkat 5.45, sampai 9.23, weleh, penyiksaan juga yah, walau diiringi cumbuan hujan

Yenti's picture

Mandi ujan:p

Nggak pp lagi Rus.Si I-Saram emang suka ujan.

Liat aja kalimatnya :"Entah sampai kapan hujan masih akan terus mencumbui diriku"

"Ya, aku suka hujan. Sangat menyukai hujan"

Kalo ngak kerja, mungkin dia udah mandi ujan di depan rumahnya:p