Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
GWB 6 – MENYALAKAN PELITA di GUNUNG KALONG
Begitu pagi ini aku memutuskan unt memulai “santunan teol” aku menulis nama2 siapa saja yg akan aku hubungi. Prioritas pertama adalah seorang GWB (Guru Wiyata Bakti) yg tinggal di Kelurahan Susukan Ungaran Timur. Aku pernah mengunjungi rumahnya dalam mempersiapkan penyantunan GWB yg kemudian berlangsung dari Nopember 2013 sampai dengan Desember 2014. Setiap hari Kamis pk.19.00 - malam Jumat – dia mengadakan persekutuan oikumene di rumahnya. Yang hadir penduduk di sekeliling rumahnya sekitar 15 orang. Aku dimintanya datang membawakan Firman. Tetapi aku menolak. “Pak Subandi, orang yg tepat adalah mbak Ningsih. Bpk akan bertemu dengannya karena setiap bulan Bpk akan mengambil santunan di rumahnya.”
Makanya aku tertawa saja membaca tulisan Ningsih di wall pesbuknya jika dia sedang sebel, “Si Tua Bangka itu menjebak aku.” Pertama kali dia ke sana aku anjurkan bersama seorang pendeta muda bertato yg aktif bergaul dengan anak jalanan yg akan menikah tgl 7 Agustus 2015 nanti. Sementara teman Ningsih lebih banyak yg kurang baik daripada yg baik. Dia sudah tidak kaget ditemui mantan narapidana, pecandu narkoba, pecinta free sex, pelacur dan semacamnya dan sejenisnya. Kehadiran 2 orang ini membuat pertemuan yg biasanya hanya berlangsung satu setengah jam molor sampai pk.22.00. Kemudian Ningsih and her geng dijadwal hadir setiap Kamis akhir bulan.
Ketika aku menghentikan santunan GWB di akhir tahun 2014, Ningsih tetap bergiat di sana. Makanya dia sebel sama aku karena merasa aku yg ‘nyemplungke’ dia di sana kemudian aku tinggal. Dia jengkel karena terlanjur jatuh cinta kepada kawasan Gunung Kalong.
Pagi ini aku menelepon Pak Subandi. “Pak Bandi, saya purnomo, temannya mbak Ningsih yg sering memimpin persekutuan oikumene di rumah Bpk. Saya ingin bertemu Bpk unt bincang2. Tetapi maaf, bisakah kita bertemu siang ini di supermarket ADA Setiabudi Semarang? Saya tunggu Bpk di gerai Mekdi.”
Aku menyebut Mekdi tetapi begitu dia datang masih dalam seragam sekolah, aku ajak dia naik ke lantai 3, pujasera. Sambil berjalan aku bertanya,
“Anak perempuan sudah selesai kuliah, Pak?”
“Oktober nanti ujian skripsi.”
Ningsih bercerita puterinya stress berat karena tidak bisa menyelesaikan skripsinya. Maka dia di‘kos’kan di markas gengnya di daerah Ngaliyan di mana ada beberapa mahasiswi yg bisa membantunya. Puterinya kuliah di prodi programming. “Biar sekalian dibangkitkan minat misinya,” kata Ningsih kepadaku.
Duduk di meja pujasera aku menyajikan es teh manis dan gorengan. Ngirit!
“Pak Bandi, ini unt kedua kalinya kita bertatap muka. Saya berencana memulai kembali penyantunan GWB. Karena itu tadi lewat sms saya minta nomor rekening Bpk. Tetapi sebelum saya menjelaskan lebih lanjut, saya ingin mendengar cerita Pak Bandi mengenai kelakuan mbak Ningsih dan kawan2nya di persekutuan yg Bpk selenggarakan. Maaf, karena daya ingat saya sudah melemah, saya akan mencatatnya,” kataku sambil mengeluarkan notes.
Mendengar kata ‘kelakuan’ dia tertawa.
“Saya heran melihat kepandaian orang2 muda itu dalam membawa Firman,” dia memulai ceritanya. “Mereka mengupas Firman dengan sederhana sekali tetapi selalu mengena. Mereka berbicara membumi dengan contoh2 yg mereka jumpai dan telah dialami sendiri. Jangankan orang2 asuhan saya, saya sendiri mendapatkan pencerahan seperti apa selayaknya kekristenan itu.”
“Persekutuan Oikumene tetap setiap Kamis malam. Tetapi sekarang tidak selalu di rumah saya. Tempatnya ber-pindah2 bahkan sampai Gunung Kalong. Mereka di’bombong’ unt berani menyatakan imannya kepada tetangganya dgn mau menjadi tuan rumah pertemuan. Karena itu yg hadir sekarang bertambah menjadi antara 25 sampai 30 orang.”
“Mbak Ningsih juga mengadakan Youth Fellowship, setiap Jumat malam di rumah saya. Yg hadir antara 12 sampai 15 orang, dari kelas 1 SMP sampai mahasiswa. Anak saya yg baru SMP saya lihat bangga sekali bisa membawa seorang teman kelasnya hadir di persekutuan itu.
Tentang Youth Fellowship ini Ningsih pernah bercerita kepadaku demikian –
“Ke depannya direncanakan tidak hanya berupa kumpul di Jumat saja tapi juga di fokuskan penanganan orang per orang sehingga setiap orang dapat mengalami pertumbuhan yang baik, baik dalam hal rohani maupun yang lainnya. [“Yg lainnya” pernah berupa mencari uang sekolah sendiri dengan berkeliling jualan bandeng presto.] Saya telah mempersiapkan beberapa orang untuk kelanjutan persekutuan tersebut yang terdiri dari beberapa orang pekerja, mahasiswa, dan siswa. Mengajari mereka untuk melintasi batas desa sejauh 5 km dari rumah tempat persekutuan tersebut yang kalau malam gelapnya minta ampun karena tidak ada lampu sama sekali dan mbulak (hutan). Saya pastikan rekan-rekan saya akan mengerjakan dengan baik dan melanjutkannya, sampai mentok.”
Dalam ceritanya, Pak Bandi sama sekali tidak menyinggung ‘kelakuan’ Ningsih yg ‘paling parah’. Agaknya dia kuatir aku tidak suka. Kepadaku Ningsih bercerita -
“Ungaran – Susukan – Gunung Kalong dan sekitarnya memiliki 'pasar' yang bagus untuk misi. Aku sudah sampai pada tahap mengajak beberapa orang muda itu melakukan 'kegilaan' sama seperti yang biasa aku lakukan di Simpang Lima Semarang, yaitu ‘nongkrong’ di alun2 mini Kalirejo.”
“Ning, kamu itu edian tenan,” komentarku. “Mahasiswa teologia saja tidak ada praktek nongkrongi.”
“Aku yo gumun kok dulu kong pur bisa menemukan tempat seperti itu,” balasnya. “Wis tuwir kok masih hobi blusukan.”
“Ning kamu tahu, waktu seorang pendeta cerita mau mendidik jemaat mudanya berjiwa misioner aku usulkan kelompokmu unt jadi trainer, apa komentarnya? Jangan, itu kelompok penyesat. Aku tanya mengapa komunitasmu penyesat. Jawabnya, karena mereka menyebut semua gereja itu sesat. Aku setuju pendapat pendeta itu.”
“Lalu mengapa kong pur masih mau berteman dengan aku?”
“Karena kamu telah berhasil menyesatkan banyak orang ke jalan yang benar.”
“Ha ha ha ha.”
Di akhir perbincangan aku berkata kepada Pak Bandi, “Bulan ini saya akan mulai kembali mengirim donasi ke Bpk. Seperti yg dulu, sekarang juga jumlahnya tidak pasti, durasinya juga. Bisa Bpk pergunakan unt keperluan pribadi, membeli makanan kecil unt persekutuan oikumene (biaya Youth Fellowship ditanggung oleh Ningsih), atau kespel pribadi Bpk.”
Waktu berjalan bersama menuju area parkir motor dia berkata,
“Kamis lalu mbak Ningsih tidak datang. Yg membawa Firman di persekutuan oikumene mbak Magda.”
“Minggu lalu Ningsih sudah pindah kerja ke Solo,” jawabku. “Tetapi dia akan tetap menyemangati teman2nya yg bergiat di Gunung Kalong. Semoga di Solo dia berhasil membentuk FPI.”
“FPI?”
“Ya. Front Pewarta Injil.”
Amanat Agung adalah tugas utama setiap gereja. Anda dan saya adalah gereja, begitulah yg diajarkan dalam sebuah lagu Sekolah Minggu.
(01.08.2015)
*** semua nama orang disamarkan, kecuali nama tempat.
- Purnomo's blog
- Login to post comments
- 4019 reads
hati-hati! Pak Purnomo mengutus penyesat
ketika kita sama-sama belum tiba di tujuan, sesat atau tak sesat bisa dinilai hanya dari 'peta' (yang belum tentu akurat) yang kita pegang dan kemampuan kita membaca peta (yang belum tentu sudah paripurna pengetahuan dan pengalaman). tapi, banyak yang begitu yakin bahwa hanya dirinya / kelompoknya yang tak sesat. :-)
kisah Pak Purnomo ini sangat inspiratif. semoga semakin banyak utusan 'penyesat' menyalakan pelita di gunung-gunung dan suluh di pantai-pantai.
------- XXX -------
setia menunggu disesatkan
hahaha.. saya suka dialog ini:
'..Jangan, itu kelompok penyesat. Aku tanya mengapa komunitasmu penyesat. Jawabnya, karena mereka menyebut semua gereja itu sesat. Aku setuju pendapat pendeta itu.
”Lalu mengapa kong pur masih mau berteman dengan aku?”
“Karena kamu telah berhasil menyesatkan banyak orang ke jalan yang benar.”
“Ha ha ha ha.”"
'
Semoga orang sesat setia menunggu dengan sabar untuk disesatkan ke jalan yang benar.
Pada akhirnya semua akan menyadari kesesatannya dan semua orang beroleh anugerah.
Kejarlah kasih, follow the way of love.
http://kejarlahkasih.wordpress.com
MENYESATKAN ORANG KE JALAN YG BENAR
Guestx & Kejarlah Kasih
Jargon itu pernah populer di SS ketika komunikasi terasa chaos, terutama dalam perdebatan doktrin.
Ketika doktrin yg aku pegang dianggap SESAT dan di-tolol2kan oleh User lainnya, ini mendorong aku unt menyelidiki "tumpuan" doktrinku. Setelah itu tersisa 2 opsi, aku makin erat memegang doktrinku karena kembali yakin doktrinku benar atau ikutan doktrin si tukang umpat. Bila aku memilih opsi 1 bukankah aku telah disesatkannya ke jalan yg benar?
Thx unt apreasiasi Anda atas blogku.
Salam.