Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Guru-guru SD (bag 5 - dan lain-lain)

y-control's picture
(hahaha... 'mang enak?)
Selain guru-guru, aku juga ingat beberapa nama pegawai di sekolah yang bukan guru atau kepala sekolah. Ada pak Kadim, pesuruh sekolah alias pak bon. Dia adalah pak bon untuk kelas A, begitu menurutku. Sementara untuk kelas B, ada bapaknya Heni temanku dan Elia temannya kakakku, namanya lupa. Bapaknya Heni ini meninggal dunia akibat kecelakaan sehabis ia menonton wayang kulit. Ia yang menaiki sepeda angin ditabrak oleh motor (atau mobil?) sampai meninggal dunia. Jika pak Kadim orangnya pendek, matanya ngantuk, dan kulitnya agak terang, bapaknya Heni ini bertubuh kurus tinggi dan berkulit gelap, seperti kedua putrinya.
Aku juga ingat pak Yap, petugas perpustakaan di sekolah. Orangnya hitam, rambutnya sudah banyak yang putih tapi selalu rapi diminyaki dan disisir ke belakang. Ia juga mengenakan kacamata dengan lensa dan frame yang tebal, yang selalu dipakai melorot, sehingga jika melihat kepalanya menunduk sambil bola mata melirik ke atas. Ia agak galak, terutama jika anak-anak ribut di perpustakaan atau terlambat mengembalikan buku/majalah yang dipinjam pulang. Perpustakaan SDku sebenarnya hanya menempati satu ruangan saja dengan raknya menempati seluruh sisi dinding. Tapi ruangan itu bersih, yang mau masuk harus melepas sepatu atau sandalnya karena lantainya dilapisi karpet. Di sana ada TV dan video beta yang pernah memutar video Ten Commandements buatan lawas itu dalam beberapa hari. Semua anak berteriak ketika adegan laut Merah terbelah. Lalu, setelah TPI menyiarkan film Mahabharata setiap Sabtu siang, TV itu selalu menyetelnya dan sambil menunggu dijemput aku sering menonton di situ. Film kolosal yang sangat panjang dan agak kurang kumengerti, satu-satunya yang kutunggu hanyalah adegan perang atau unjuk kekuatannya. Aku juga pernah berlatih untuk paduan suara yang akan mengisi sebuah acara radio. Meski sudah hapal dua lagu yang akan dibawakan itu, namun karena aku (dan juga Leo) pergi bersama keluarga dan rombongan rekan kerja Papa ke Parangtritis, kalau tidak salah untuk acara sepeda santai, maka kami urung datang ke stasiun radio itu. Barang pertama yang kupinjam pulang dari perpustakaan itu adalah majalah Bobo, setelah itu barulah Donal Bebek atau buku cerita rakyat. Perpustakaan itu juga pernah meraih juara tingkat kotamadya, kalau tidak salah sebagai perpustakaan teladan. Sebagai petugasnya, pak Yap memang sangat memelihara, bahkan protektif dengan perpustakaannya itu.

Aku juga ingat dengan pak Hono, dia adalah penjaga sekolah. Ia sudah sangat tua, memakai topi hansip dan berkemeja batik. Karena aku sering telat dijemput, pak Hono cukup hapal denganku. Bersama anak-anak lain, tas selalu kutaruh untuk dititipkan, kadang dengan tidak teratur, di depan, bawah, atau belakang meja tempat pak Hono duduk menjaga sekolah. Mestinya ia sering kesal atau khawatir dengan tas yang digeletakkan begitu saja oleh anak-anak yang belum mengenal tanggung jawab itu. Bagaimana kalau ada tas yang hilang atau paling tidak isinya hilang? Bukankah ia yang pasti akan pertama disalahkan oleh orangtua atau bahkan anak yang sembarangan itu tadi? Aku baru menyadari betapa aku menyusahkan pak Hono yang kadang memang harus marah-marah (sehingga kami kemudian menganggap dia galak) karena hal itu, kini di mana pun ia berada saat ini, maafkan saya Pak... Pak Hono, penjaga sekolah di SD dan TK jelas sangat sangat berbeda dengan bapak satpam yang menjaga SMP. Satpam itu memiliki gardu khusus, jaraknya hanya sekitar 7 meter dari bangku dan meja pak Hono. Satpam itu botak, hitam, beralis tebal, bahkan sepertinya dari kawasan timur Indonesia, dan masih muda. Mungkin karena menghadapi anak SMP lebih banyak tantangannya.

Kantin di sekolahku ada dua. Yang satu semestinya untuk SD, tempatnya jauh lebih kecil, sementara yang satu untuk anak SMP, meski anak SD juga sah-sah saja jajan di situ. Aku lupa penjaga di kantin SD, namun untuk yang berjualan di kantin SMP, aku ingat seorang wanita tua, gemuk, dan berkebaya putih, serta jarang kulihat ia berdiri apalagi berjalan, meski ia tidak lumpuh. Wanita itu dipanggil dengan sebutan 'encim.' Tampaknya ia adalah yang memiliki kantin itu, karena dia yang memegang kas. Duduk di balik meja dagangan yang panjang, yang bergerak hanya tangannya yang gemuk. Sementara di depan ada beberapa orang, tua dan muda yang melayani pembeli. Kantin di SMP lebih lengkap dan lebih disukai kalau Mama mentraktirku. Penyebabnya adalah di situ dijual masakan berkuah seperti soto, bakso, dan timlo meski porsinya tidak begitu banyak. Hingga aku kelas dua atau tiga, masih ada semangkuk soto tanpa nasi seharga 50 rupiah. Tidak begitu banyak tapi cukup untuk mengisi perut. Kalau ingin lebih kenyang, ada timlo atau soto campur nasi yang semula berharga Rp.75 lalu naik menjadi 100, kemudian 150 dan waktu aku kelas 6 menjadi 200. Jajanan di depan sekolah juga banyak. Salah satu yang cukup sering kubeli adalah es cendol pak Sadinu. Kadang saking kepinginnya, di siang yang panas, aku merelakan uang ongkos angkotku dipakai untuk membeli es yang antara lain terdiri dari janggelan, cendol, nangka, kacang hijau, semacam manisan buah kecil-kecil warna hitam, dan susu bendera. Harganya pernah 75 rupiah, lalu meningkat 100, 125, dan terakhir 150 rupiah. Jajanan lain yang di depan juga banyak yang kugemari seperti terang bulan, leker, gandos rangin, arum manis, babi kuah yang diwadahi daun, dll. Beberapa penjual ada juga yang agak seperti penipu. Biasanya penjual yang seperti itu masih muda, mangkalnya tidak lama, tidak bertahun-tahun seperti yang lainnya dan dagangannya juga mahal. Mereka ini misalnya penjual susu dalam kemasan yang mereknya aku lupa, juga seorang pemuda yang membawa berbagai macam game watch untuk disewakan. Beberapa game dihargai beberapa rupiah. Sebenarnya itu sah dan halal, namun banyak orangtua dan guru yang tidak suka karena membuat anak boros dan lupa waktu. Jelas, saat itu belum ada yang membayangkan akan ada playstation atau game online yang bisa membuat orang tanpa sadar bermain non-stop selama berhari-hari.

Weuw, ternyata panjang sekali tulisan tentang SD ini. Padahal masih cukup banyak yang bisa kuceritakan lagi, hanya saja sepertinya aku belum ingin. Tapi, tulisan panjang ini sudah mencakup cukup banyak tentang masa-masa SD-ku, terutama yang berhubungan dengan para guru-gurunya. Tentang teman-teman waktu SD jelas akan jauh lebih banyak dari ini. Tapi, mungkin kali ini aku membicarakan tentang guru dulu. Beberapa guru jelas ada, tapi aku lupa nama-nama mereka. Asal aku bisa mengingatnya, kalau sempat akan aku tambahkan lagi ke dalam tulisan ini. Tentang para guru waktu SMP bisa jadi akan lebih panjang lagi tulisannya, mengingat ingatanku lebih segar, gurunya lebih banyak, dan pikiranku sudah lebih mengerti ketimbang sebagai anak SD, tentu saja. Meski panjang, aku cukup senang saat menuliskan semua ini. Sebelumnya aku sempat melihat-lihat dan mencari di Google tentang berapa banyak tulisan mengenai para guru SD Widya Wacana ini telah dituliskan para mantan muridnya. Sejauh yang kutemukan, aku baru menemukan dua tulisan di dua blog saja, itupun relatif pendek-pendek. Aku kira, dengan segala kelebihan dan kelemahan mereka, dengan segala pengalaman baik dan pengalaman buruk yang pernah dialami murid-muridnya, para guru itu harusnya dikenang secara lebih pantas. Inilah caraku mengenang mereka, baik untuk mereka yang masih aktif, yang sudah pensiun, yang sudah alih profesi, dan terutama untuk yang sudah tiada, serta terkhusus untuk para mantan wali kelasku.

lengkapnya di sini atau sini
sh's picture

Cari temen nich...

Menarik dan detil sekali informasinya...minta ijin tak tambahin..ya, bagi2 cerita yach kalu ada yang tahu...

Bisa tolong infonya kalau tahun 80an ada nama guru agama di SD namanya pak Zakaria, bagaimanan beliau sekarang?

Pingin kontak2 ama temen2 lama yang hampir lupa...(sayang ya..) Ada yang kenal dengan : Daniel di Nusukan kalau sekolah pake spd mini, Henry di gondang (pinter selalu juara), Mien Purwanti ( kecil, putih..tapi pinter), Amelia (BienBien) tinggi posturnya rumahnya di deket GBIS kepunton, Ruth Faraya, dll.. tak lupa Si hitam manis Rebecca.. dan Maria Enny setyawati, nduut..hehehe yang ini suka sebangku ..baik orangnnya.,,Ah nostalgia..kalo ada dan bisa mengadakan reuni alumni pasti seru.

Kebetulan setelah lulus SD melanjutkan ke SMP di lokasi yang sama, Guru yang ingat pak Dar dan pak Elia..ingat sih karena wali kelas dan guru prakarya lebih ingat karena hasil prakarya tersebut sering diminta untuk dipajang di almari sekolah karena bagus2 dan keren...sombong nich.Masih ada ngak ya..sekarang?

Mengenai temen2..smp ada yang dari SD dan banyak tambahan dari SD WW selain pasar legi ?? jadi ikutan nakal nich saat itu, sampe2 kalau ada pelajaran tambahan sore hari , pada pingin mangga mangga di samping sekolah, ambil deh...dipohon, heran yach..naiknya tinggi dari balcon/tangga diatas ruang TK,Pad apunya sepeda jengi brodolan kita lomba dengan hanya pake 1 ban saja (ngetreil) di teras ruang kelas belakang, yang seru kita2..kompak kalo kertas ulangan diminta untuk dibagikan, kita ngak bagikan rame2 buat/lipat jadi kapal terbang dan dilempar dari jendela atas rame-rame turun ke bawah..jadi seru! jalanan depan sekolah penuh pesawat dari kertas dan sialnya ada pesawat tuh belok masuk ke ruang kelas sebelah yang masih ada guru dan kegiatan belajar..nya hahaha..

Nama teman yang masih ingat..Agus Pranoto? Mulyono rumahnya deket RRI yang sekarang menetap di Bandung, Daniel_N, MinTjay, Sugianto (GeeIng), Sugiarto yang suka nembak burung tuh..., Yohanes, Rudi, Sandra di Nusukan, Henny di Kepatihan, Dewie Kunthi hitam manis...rame deh orangnya,eh..temen dekat Dewi Kunthi yang rumahnya belakang toko besi pasar legi siapa ya?

Kemudian penulis kelas kita Enny SriHartati..yang pendiam ,ada yang tahu dimana sekarang?, kontak terakhir saat kuliah di Malangkucekwara - Malang, mudah2 bisa kontak2 lagi.

Trus... ada Yudi, rumahnya deket Sriwedari..Ada Erawati, anaknya pendiam sekali,..sekarang tinggal di Serpong bisnis restoran masakan khas Solo.. tahu dan kenal kembali karena suaminya.

Sampai disini dulu ..jika ada waktu disambung,
mudah2 ada yang baca dan ketemu teman lama yang masih kenal..bisa saling kontak2 lagi..

sh's picture

guru SMP

Ini ada informasi tambahan untuk nostalgia...

 Guru SMP Widya Wacana I Pasar Legi ada : Ibu Dian , Ibu Debora Lina K, Ibu Diah (Guru Karawitan), Pak Darmoko (Guru Matematika), Bu Sri V - Guru Ketrampilan, Bu Yulianti (Guru Geografi dan Ekonomi), Pak Mulyadi (Guru PSPB), Pak Michael Nenobais (Kepala Sekolah dan Guru Bahasa Indonesia), Pak Mardi (Guru Bahasa Indonesia), Pak Eko (Guru Agama), Pak Yunianto (Agama) Pak Budi S. Marsudi (sekarang Pendeta), Pak Benny Harahap (Agama) Pak Sis (Guru Bahasa Daerah- dulu sering dipanggil Mbah karena beliau sudah tua), Pak Mardi (karena ada 2 Pak Mardi seking dijuluki Pak Mardi kurus dan Pak Mardi pendek), Ibu Henriette (Guru Bahasa Ingris yang lucu - karena beliau dari Kalimantan katanya orang Dayak suka makan telinga orang), Bapak I.M. Sukono (Guru Musik), Ibu Hartati (Guru PMP), Pak Liem (Guru Olah Raga), Bu Rossy (guru BP), Pak Josti (Guru BP), Pak Hindarto (Guru Menggambar).

Apakah ada yang tahu anak Ibu Henriette (Guru Bahasa Ingris) namanya Ferry, adalah teman sekelasku dulu..suka main bersama.