Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Guru-guru SD (bag 4 - kepsek dll)

y-control's picture
Semua guru yang pernah menjadi wali kelasku sudah kubahas, jadi setelah ini adalah guru-guru di SD yang bukan wali kelas tapi cukup berkesan untukku. Nama pertama aku pilih pak Tomo saja. Guru olahraga ini masih muda. Badannya tinggi dan tegap dengan rambut yang tipis dan model agak kuno, ia juga selalu terkesan berpeluh, mungkin karena pakaian yang ia kenakan juga selalu tampak terlalu ketat di badan. Aku rasa ia tak begitu pintar dalam mengajar di kelas, tapi kalau di lapangan, para murid banyak yang mengaguminya. Ia agak keras dalam mengajar, tapi jarang menghukum, hanya sebatas menghardik dan memelototi. Ternyata, kakak pertamaku bilang kalau istri pak Tomo adalah mantan kekasih pacarnya kakak pertamaku (yang sekarang menjadi kakak iparku).
Guru olahraga lain adalah pak Yo. Tapi, sebenarnya aku agak kurang yakin kalau pak Yo pernah mengajarku. Aku mengingatnya karena rumah kami sama-sama di Mojosongo. Tapi walau pak Yo bukan guruku di sekolah, ia adalah guru kakak-kakakku. Pak Yo juga pernah menjadi guru sekolah mingguku. Rumahnya dipakai sebagai tempat mengadakan kebaktian sekolah minggu. Dengan memakai nama pena Yoyok HS, pak Yo (kependekan dari Yohanes) juga menulis buku pelajaran olahraga dan bukunya dipakai sebagai diktat di sekolahku selama bertahun-tahun. Pak Yo adalah guru dengan tampilan yang sangat konvensional. Sangat khas Solo, suka memakai baju batik, rambut potongan khas tukang cukur bawah pohon, kumis rapi, dan gerak-geriknya tertata. Ketika perang Teluk jilid pertama berlangsung, pak Yo datang ke rumahku, hanya untuk menumpang melihat tayangan CNN dari parabola tentang jalannya perang itu. Gambar yang ditayangkan di CNN sebenarnya hanya latar gelap agak hijau dengan titik-titik bunga api berloncatan, tapi ia menganggap itu menarik. Sebenarnya ada seorang guru olahraga lagi, tapi aku lupa namanya. Sebenarnya pak guru itu adalah guru matematika, tapi seperti sudah kubilang, di SDku semua guru pria harus bisa mengajar olahraga. Jadi, meski sudah memakai baju kaos dan celana training, postur tubuh pak guru itu, dengan perut buncit dan tangannya yang kecil terlihat tidak meyakinkan.

Guru pria lain yang kuingat ada dua, keduanya adalah kepala sekolah, pak Sardi dan pak Petrus. Pak Sardi bernama lengkap Sardipon bla bla bla… Ia selalu menceritakan bahwa tambahan 'pon' itu diberikan karena ia dilahirkan pada zaman Jepang (Nipon). Pak Sardi orangnya gemuk, pipi besar, mukanya hitam, berkumis tipis, kacamatanya berframe tebal warna coklat gelap senada dengan warna kacanya. Ia pernah mengajar di kelasku sebagai guru pengganti di pelajaran Matematika karena bu Tjien Hwa mendadak izin pulang karena pusing tekanan darahnya naik. Meski tidak galak, tapi ia juga tetap tegas, atau setidaknya kami semua agak takut dengannya. Kepala sekolah kami sendiri gitu loh… Sebagai kepala sekolah Widya Wacana 3 (kelas A, kelasku), ia menggantikan bu Endang kira-kira sejak aku di kelas 4. Pak Sardi juga adalah pakdenya Wilis, temanku beda kelas. Wilis adalah anaknya Pak In, guru juga, mengajar di Widya Wacana Warungmiri, dan sepupu Yiska, teman sekelasku yang adalah anaknya bu Naomi, guru di TK ku tapi kemudian juga mengajar di SD ku. Jadi, ada semacam klan keluarga guru di sekolah kami.

Kepala sekolah Widya Wacana 5 (kelas B) adalah pak Petrus, lengkapnya Petrus Sutimin. Ia lebih fleksibel lagi, kalau tidak salah ia juga pernah menjadi guru SMP. Pak Petrus orangnya tinggi dan kurus, rambutnya selalu tersisir rapi, hidung mancung, muka dan kepala kecil, dagu berwarna kehijauan, bekas brewok yang dicukur habis, giginya kelinci, dan ke mana-mana mengendarai vespa. Pak Petrus tinggal di daerah Mojosongo juga. Dari dalam angkot, aku sering melihatnya mengendarai vespanya. Aku sama sekali tak pernah diajar pak Petrus, tapi kakak-kakakku pernah, baik ketika SD atau SMP. Kalau kepala sekolah kelas A adalah bu Endang lalu pak Sardi dan kepala sekolah B adalah pak Petrus, maka kepala sekolah kelas C di masaku adalah bu Febe, biasa dipanggil bu Fe. Bu Fe membuka lembaga kursus semua mata pelajaran bernama Vita Class. Kalender dari Vita Class aku ingat menghiasi setiap kelas di sekolahku. Bu Fe orangnya putih, rambut keriting, dan kabarnya cukup galak. Kini, rupanya ia masih aktif dan menjadi kepala sekolah SD (atau TK?) Pratama di Solo Baru, sekolahnya dua keponakanku. Jadi, ia menjadi kepala sekolah atau paling tidak pernah mengajar dua generasi karena kakak pertamaku (ibu dari dua ponakanku itu) juga adalah mantan anak didik bu Fe juga.

kisah lengkap di sini dan juga ini
sh's picture

cari teman...lama!


Menarik dan detil sekali informasinya...minta ijin tak tambahin..ya, bagi2 cerita yach kalu ada yang tahu...

Bisa tolong infonya kalau tahun 80an ada nama guru agama di SD namanya pak Zakaria, bagaimanan beliau sekarang?

Pingin kontak2 ama temen2 lama yang hampir lupa...(sayang ya..) Ada yang kenal dengan : Daniel di Nusukan kalau sekolah pake spd mini, Henry di gondang (pinter selalu juara), Mien Purwanti ( kecil, putih..tapi pinter), Amelia (BienBien) tinggi posturnya rumahnya di deket GBIS kepunton, Ruth Faraya, dll.. tak lupa Si hitam manis Rebecca.. dan Maria Enny Setyawati, nduut..hehehe yang ini suka sebangku ..baik orangnnya.,,Ah nostalgia..kalo ada dan bisa mengadakan reuni alumni pasti seru.


Kebetulan setelah lulus SD melanjutkan ke SMP di lokasi yang sama, Guru yang ingat pak Dar dan pak Elia..ingat sih karena wali kelas dan guru prakarya lebih ingat karena hasil prakarya tersebut sering diminta untuk dipajang di almari sekolah karena bagus2 dan keren...sombong nich.Masih ada ngak ya..sekarang?


Mengenai temen2..smp ada yang dari SD dan banyak tambahan dari SD WW selain pasar legi ?? jadi ikutan nakal nich saat itu, sampe2 kalau ada pelajaran tambahan sore hari , pada pingin mangga mangga di samping sekolah, ambil deh...dipohon, heran yach..naiknya tinggi dari balcon/tangga diatas ruang TK,Pad apunya sepeda jengi brodolan kita lomba dengan hanya pake 1 ban saja (ngetreil) di teras ruang kelas belakang, yang seru kita2..kompak kalo kertas ulangan diminta untuk dibagikan, kita ngak bagikan rame2 buat/lipat jadi kapal terbang dan dilempar dari jendela atas rame-rame turun ke bawah..jadi seru! jalanan depan sekolah penuh pesawat dari kertas dan sialnya ada pesawat tuh belok masuk ke ruang kelas sebelah yang masih ada guru dan kegiatan belajar..nya hahaha..


Nama teman yang masih ingat..Agus Pranoto? Mulyono rumahnya deket RRI yang sekarang menetap di Bandung, Daniel_N, MinTjay, Sugianto (GeeIng), Sugiarto yang suka nembak burung tuh..., Yohanes, Rudi, Sandra di Nusukan, Henny di Kepatihan, Dewie Kunthi hitam manis...rame deh orangnya,eh..temen dekat Dewi Kunthi yang rumahnya belakang toko besi pasar legi siapa ya?


Kemudian penulis kelas kita Enny SriHartati..yang pendiam ,ada yang tahu dimana sekarang?, kontak terakhir saat kuliah di Malangkucekwara - Malang, mudah2 bisa kontak2 lagi.


Trus... ada Yudi, rumahnya deket Sriwedari..Ada Erawati, anaknya pendiam sekali,..sekarang tinggal di Serpong bisnis restoran masakan khas Solo.. tahu dan kenal kembali karena suaminya.

Sampai disini dulu ..jika ada waktu disambung,
mudah2 ada yang baca dan ketemu teman lama yang masih kenal..bisa saling kontak2 lagi..SmileCool

sh's picture

Cerita lain tentang Widya wacana..

Guru-guru SD

 

lanjutan dari kisah guru TK , yang diambil dari : http://lalathijau.blogspot.com/2008/03/guru-guru-sd_08.html

Masa SD yang enam tahun lamanya itu mungkin hanya bisa ditandingi waktu kuliah. Tapi mungkin tidak juga, mungkin SD lebih diingat karena katanya ingatan itu seperti bak pasir, pasir yang pertama masuk akan menghuni bagian dasar bak, menjadi pernopangnya, sementara pasir yang berikutnya hingga butir-butir yang terakhir akan menjadi bagian yang diinjak.

Setahun di bangku TK, aku kemudian disekolahkan ke SD yang masih dalam naungan yayasan yang sama, tapi lokasi sekolahnya beda, SD Widya Wacana di daerah Pasar Legi, Solo, sekolah swasta yang dinaungi sebuah yayasan Kristen yang berafiliasi ke organisasi GKI (Gereja Kristen Indonesia), yayasan yang sama juga menaungi universitas Satya Wacana di Salatiga. Guru pertamaku, yang adalah wali kelasku di kelas A adalah bu Yanti. Lengkapnya Dewi Yanti. Guru yang satu ini bertubuh kecil, berambut keriting, mata bulat, dengan janggut maju alias agak nyakil. Satu hal yang barangkali akan selalu dikenang semua bekas muridnya adalah kesukaannya bercerita. Ia punya banyak sekali koleksi dongeng, tentang keluarga kerajaan, dunia hewan, atau kisah dari Alkitab dan belakangan kisah dari film yang ia tonton dengan beberapa modifikasi disesuaikan dengan usia anak-anak, warna ceritanya baik yang kebarat-baratan, kemelayu-melayuan hingga kehongkong-hongkongan. Dongeng yang masih kuingat di antaranya tentang kancil, pangeran kodok, sebuah fragmen dari cerita film aksi bikinan Hong Kong yang dibintangi Chow Yun Fat yang beberapa hari sebelumnya juga aku tonton bersama Papa, dan kisah tentang Abraham yang mengorbankan Ishak, yang aku ingat terutama karena bu Yanti mendeskripsikan, "kalau Ismael itu nakal kayak… (nama temanku), tapi kalau Ishak anaknya diam, kayak lalathijau ini, yang kalau dinakali diam aja." Aku tidak bisa membayangkan perilakuku waktu kecil, tapi hubunganku dengan bu Yanti aku rasakan cukup dekat, meski aku sedemikian pendiam. Bu Yanti ini memang adalah wali kelasku, ia sangatlah sabar dan mungkin tidak bisa marah. Satu kali ketika di kelas 1, aku lupa membawa sesuatu untuk mata pelajaran Prakarya (keterampilan tangan). Nah, karena harus menepati janji akan mencubit anak yang lupa membawa, bu Yanti berpura-pura mencubitku, tapi hanya dengan sentuhan ringan saja sambil tersenyum pula, meski juga dengan berkata "hayo, nggak bawa, elek ini." Meski demikian, aku toh tetap merasa sedikit terpukul, aku masih ingat aku mencoba memandangi tanganku yang habis 'dicubit' bu Yanti itu. Tidak ada bekasnya, tentu saja, tapi aku merasa ada bekas putih di kulitku, mungkin itu kapur, aku merasakan panas menjalari wajahku, mungkin karena malu, mungkin aku seperti pemain bola yang diving. Tapi di luar itu, pastinya hukuman pertamaku di sekolah itu masih kuingat sampai sekarang.

Di kelas 1, guru yang mengajar kami memang tidak banyak. Wali kelas mengajarkan hampir semua pelajaran. Pengecualian mungkin adalah pelajaran olahraga (dulu namanya ORKES = Olahraga dan Kesehatan, halah.. singkatan itu sampai SMP sungguh membuatku sering rancu dengan kata orkes dalam bidang musik). Pelajaran ORKES selalu diajarkan oleh guru pria. Entah dia atletis atau tidak, rasanya setiap guru pria di SD ku harus selalu bisa menjadi guru olahraga, terutama untuk olahraga praktik, bukan teori. Tapi, tingkah polah para guru pria waktu SD ini akan kuceritakan nanti. Kembali pada bu Yanti, selain sebagai guru, ia juga punya sambilan membuat dan menjual kacang telor. Kacang bersalut tepung dalam bungkus plastik kecil dengan tulisan dan gambar warna merah, sayang aku lupa nama mereknya, dijual seharga 25 rupiah per-bungkusnya. Aku tahu dan masih ingat sebab kacang itu juga titip dijual di kantin sekolah dan merupakan salah satu jajanan kesukaanku waktu itu.

Hubunganku, termasuk keluargaku, dengan bu Yanti tergolong baik. Ya, menjadi guru SD memang tidak mudah, selain berhubungan dengan si murid, kita juga harus bisa menjalin hubungan yang baik dengan keluarga terutama orangtuanya, apalagi di kota kecil seperti Solo, apalagi sebagai sesama etnis Cina, apalagi di tahun-tahun itu (1980-1990-an). Mama hampir selalu tahu perkembangan dan sikapku selama di sekolah, ia juga tahu dan membawa sebutan 'pak Kem' dan 'bu Kem' yang dicetuskan oleh bu Yanti di sekolah, jika ada anak yang jorok, tangannya kotor, bajunya kotor, dsb. 'Kem' maksudnya adalah singkatan dari 'kemproh.' Mama dan kakak-kakakku, saling tahu dan saling mengenal dengan bu Yanti. Tapi Papa tidak. Terjadilah, satu hari aku diajak Papa makan sate kambing (sekarang ketahuan kalau memang Papa sendirilah yang tidak bisa menjaga menu makannya sampai kena macam-macam penyakit, termasuk hipertensi), di warung itu aku bertemu bu Yanti dan suaminya juga sedang makan di sana. Bu Yanti menyapaku tapi aku justru seperti malu-malu dan enggan beramah-tamah dengannya. Sejujurnya, saat itu aku merasa bingung hampir tidak percaya karena melihat guruku berada di tempat selain sekolah, dengan pakaian biasa, makan makanan yang sama denganku. Begitulah pikiranku saat itu. Karena belum tahu kalau dia adalah guruku di sekolah, Papa sendiri mungkin tampak heran dan tidak bisa menduga siapa kira-kira wanita setengah baya dengan suaminya yang botak dan berkacamata tebal itu. Ia pun hanya menyapa seadanya. Setelah pulang dan aku bercerita pada Mama tentang pertemuanku dengan bu Yanti, barulah Papa menyadari dan merasa sangat rikuh karena merasa kurang bersikap sepantasnya pada waliku di sekolah itu, "oalah, kok nggak ngomong?, lain kali disapa dong, jangan diam saja ketemu gurunya, …" demikian nasihat Papa padaku. Sebagai orang kuno, Papa tampaknya memang memandang seorang guru sebagai sosok yang sangat mulia, begitu kira-kira.

Waktu aku duduk di kelas 3 atau 4, Bu Yanti sempat sakit dan absen mengajar beberapa bulan, atau bahkan setahun, untuk memulihkan kesehatannya. Barangkali ia bahkan sempat mondok di rumah sakit, aku lupa. Mungkin saja penyakitnya tidak jauh dari akibat kebiasaan pola makan yang sama seperti Papaku, yang jelas waktu aku kelas 5, ia sudah kembali mengajar meski tampaknya tidak menjadi wali kelas lagi, dengan tubuh yang tampak lebih lemah dan makin kurus. Ia mengajar aku di mata pelajaran Seni Musik waktu kelas 5. Tapi, bukannya mengajar, kami malah lebih sering mendengarkan dongeng-dongengnya. Bu Yanti mungkin memang benar-benar lebih suka mendongeng ketimbang mengajar mata pelajaran yang sudah ditetapkan sesuai kurikulum yang tidak mencerdaskan anak itu. Mungkin saja ia merasa pendidikan budi pekerti melalui dongeng akan lebih berguna bagi anak-anak. Selalu, setiap melihat para murid terasa jenuh atau tidak berminat mengikuti pelajaran dan mulia berulah, bu Yanti segera berkata, "Bu Yanti punya cerita, mau dengar nggak?" Atau mungkin ia mendongeng karena alasan praktis, ia tak ingin atau tak bisa marah pada anak-anak yang ramai atau susah diatur, jadi ia pun selalu menggunakan rayuan, "kalau kalian tidak mau diam, bu Yanti tidak akan cerita lho.. ayo diam dulu." Rayuan itu memang sering manjur, paling tidak untuk sebagian besar anak, apalagi untuk aku yang tergolong murid yang tak banyak tingkah dan tuntutan. Jadilah satu jam pelajaran digunakan untuk mendongeng, kadang sampai dua dongeng, kadang yang satu selesai, satunya lagi bersambung di pertemuan berikutnya. Satu kali, wali kelasku di kelas 5 itu, bu Tjien Hwa datang ketika bu Yanti sedang mendongeng. Saat itu, bu Tjien Hwa memergoki beberapa temanku yang memang termasuk golongan yang banyak polahnya sedang main silat-silatan di depan kelas, di belakang punggung bu Yanti yang mendongeng di hadapan sebagian anak yang mau mendengarkan. Waktu bu Yanti ada di sana, bu Tjien Hwa hanya terlihat kaget tapi tidak marah-marah pada anak-anak yang main silat-silatan itu. Tapi, di hari atau jam pelajaran berikutnya, bu Tjien Hwa langsung marah-marah pada anak-anak itu. Situasi itu memang lebih seperti situasi di rumah tangga, antara tamu dan tuan rumah, dan sebaliknya. Tapi memang demikianlah keadaannya di SD-ku saat itu.

Kira-kira waktu aku duduk di bangku SMP, aku mendengar kabar bu Yanti meninggal dunia. Guru yang sangat penyabar, yang lebih seperti seorang nenek dalam cerita, yang minatnya dalam mengajar mungkin hanya mendongeng dan menyanyi itu kalau tidak salah meninggal karena penyakit yang sama yang pernah membuatnya absen selama setahun untuk kemudian kembali lagi, tapi sebagai guru yang tak begitu penting. Aku merasa ia guru yang memang sangat mencintai anak-anak. Ia selalu mengakhiri dongengnya tepat ketika bel berbunyi, dengan mengucap kalimat penutup, "baar.. ceritane bu Yanti apik ya.." sambil tersenyum lebar dan tangan dilipat di depan. Kalimat yang diucapkan dengan lambat seperti tirai pertunjukan yang pelan-pelan ditutup. Aku mungkin sudah tak begitu ingat semua dongengnya, tapi sepertinya dialah satu-satunya orang yang mengenalkan dongeng lisan padaku.

Guru kedua adalah bu Jun, nama lengkapnya Juniasningsih. Dia adalah wali kelasku saat kelas 2, masih muda mungkin usianya sekitar 30-an tahun, rambutnya model keriting sebahu yang sedang ngetren waktu itu (lihat gaya rambut Merriam Bellina di film Catatan si Boy), pipinya agak tembem dan bergigi kelinci. Beda dengan bu Yanti yang sangat kekeluargaan, bu Jun pembawaannya lebih pendiam. Sebagai guru, sepertinya ia lempeng-lempeng saja. Bu Jun juga sabar, aku tidak ingat ia pernah marah-marah. Satu perbedaan antara bu Jun dan bu Yanti yang masih sangat kuingat adalah tulisan tangannya. Tulisan bu Yanti berkait, besar-besar, gaya khas orang tua, sedangkan tulisan tangan bu Jun rapi, kecil-kecil, dan tidak berkait. Ketika duduk di kelas dua itulah aku mulai meraih juara, cawu (caturwulan) 1, 2, 3 selalu juara 2 sekelas, dengan formasi juara 1 dan 3 juga selalu sama. Juara 1, Reine Wulandari, juara 2, lalathijau, dan juara 3, Eko Haryanto. Entah kenapa bisa begitu, dan karena prestasi yang selalu sama itu, tulisan pesan guru di raporku juga selalu sama, tapi sekarang aku lupa bunyinya. Hanya saja, aku ingat ketika di cawu 1 aku pertama kali meraih juara 2, sambil memberikan rapor, bu Jun sempat memelukku sambil mengucapkan "Selamat ya", tentu saja aku bertambah bangga waktu itu. Bu Jun sepertinya memang menyayangiku. Ia jugalah satu-satunya guru yang pernah mengunjungi rumahku. Waktu itu, aku tidak masuk karena sakit, jadi sepulang sekolah bu Jun menjengukku. Sakitku memang tidak parah, hanya sedikit panas, waktu bu Jun datang pun aku sedang berkeliaran di rumah dan melihat guruku datang aku jadi malu. Tapi, aku masih ingat sampai sekarang. Di kelas 2, karena keterbatasan ruang kelas yang dimiliki sekolahku, aku masuk mulai pukul 09.30. Dengan demikian, bisa jadi itu adalah setahun masa paling santai dan menyenangkan dalam hidupku sebagai anak SD, atau mungkin juga sampai sekarang. Meski demikian, masa itu seperti lewat terlalu cepat, jadi tidak begitu banyak yang bisa kuceritakan, termasuk tentang bu Jun ini.

Guru ketiga, yang adalah wali kelasku di kelas 3 dan 6 adalah salah satu guru SD yang paling kuingat. Nama lengkapnya Kwa Tjien Hwa, dipanggil bu Tjien Hwa (bacanya Cin Hua). Badannya besar, kulitnya hitam, wajahnya kasar dengan beberapa bekas jerawat, flek, dan tahi lalat, rambutnya keriting dipotong pendek model laki-laki, berkacamata putih, serta wajah jarang tersenyum (seingatku). Gambaran yang terekam tentang bu Tjien Hwa memang demikian, detail tapi juga terkesan buruk. Memang, bu Tjien Hwa adalah guru yang menurutku galak, termasuk pada aku yang pendiam ini. Tapi, bu Tjien Hwa memang mengidap hipertensi, pernah satu kali ia tiba-tiba minta izin pulang karena pusing akibat tekanan darahnya naik. Bu Tjien Hwa sering kuanggap sebagai musuh, apalagi karena dia tampaknya lebih concern pada mata pelajaran Matematika yang aku benci.

Pengalaman terburukku dengan bu Tjien Hwa terjadi ketika masih di kelas 3. Waktu itu, entah kenapa yang jelas untuk pertama kalinya aku lupa mengerjakan PR. Soal-soal hitungan itu adalah sisa pekerjaan kemarin yang karena waktunya tidak mencukupi sehingga diputuskan dipakai sebagai bahan PR. Maka, karena tidak ada yang bisa membantu, sewaktu bu Tjien Hwa menyuruh anak-anak untuk mengeluarkan PR dan menukarkannya pada teman sebelahnya, aku buru-buru mengisi kolom-kolom yang masih kosong dengan angka-angka jawaban yang ngawur, sementara teman sebelahku juga tampak sudah tidak sabar karena pekerjaanku tidak segera diberikan kepadanya. Waktu itu, anak kelas 3 SD, atau barangkali hanya aku dan temanku itu saja, mungkin belum berpikir tentang bekerjasama menutupi kesalahan temannya, misalnya dengan meminjamkan PR-nya untuk disalin. Waktu itu, bu Tjien Hwa berkeliling ke bangku anak-anak untuk melihat kalau-kalau ada yang belum mengerjakan PR-nya. Beberapa anak ada yang kedapatan belum mengerjakan dan dihardik disuruh mengerjakan di luar. Waktu mendekati bangkuku, dengan gemetaran aku memperlihatkan buku PR-ku padanya, setelah sebelumnya karena panik aku justru memasukkannya lagi ke dalam tas, bu Tjien Hwa pun harus meminta, "lalat, mana coba liat PR-nya, sudah bikin belum?" Dengan melihat sekilas, kolom-kolom terlihat penuh, bu Tjien Hwa pun membiarkan dan berlalu. Aku sungguh lega. Tapi sekali lagi, karena lugunya, meski yang memeriksa PR-ku adalah teman sebelahku, yang tentu saja harusnya cukup akrab denganku, sewaktu jawaban yang benar dibacakan, toh tidak ada pikiran untuk mengisikan yang benar ke kolom yang masih kosong, sekadar membantu teman… Maka, setelah jawaban diperiksa, dengan jumlah coretan salah yang tentu saja sangat banyak, satu persatu murid harus maju ke depan untuk diberikan paraf nilai dari guru. Ketika melihat lembar jawabanku yang sangat penuh coretan salah, dengan beberapa kolom yang masih kosong, bu Tjien Hwa langsung menghardik, "Haah, apa ini??! Keluar!!"

Hatiku pun hancur. Tapi penderitaan belum selesai, ketika aku bersama beberapa temanku yang memang termasuk golongan yang badung mengerjakan soal-soal itu di luar kelas, datanglah bu Endang Ekawati, kepala sekolah SD Widya Wacana 3 (meski bangunannya satu, SD Widya Wacana di Pasar Legi secara organisasi terdiri dari 3 cabang, disebut cabang nomor 3 (kelas A), 5 (kelas B), dan 6 (kelas C), jadi ada 3 kepala sekolah yang kantornya bersebelah-sebelahan, konon murid kelas A otaknya lebih superior dari kelas B dan B lebih dari C, tapi kini aku meragukannya dan merasa itu hanyalah salah satu perang urat syaraf, yang di antaranya didasari rivalitas Mama yang anaknya ada di kelas A terhadap Paman, Bibi serta sepupuku, Leo yang seumuran denganku tapi masuk ke kelas B). Bu Endang ini juga terkenal galak, dengan tampilan fisik agak mirip dengan bu Tjien Hwa, tapi sedikit lebih tua, kulit mukanya lebih rusak dan warna kulitnya lebih terang serta lebih necis dan suka berdandan. Ketika melihat murid-murid yang bandel itu, ia pun seperti mendapat mangsa. "Naaa… ada apa ini?" "Nggak bikin PR, Bu…" jawab bu Tjien Hwa mewakili kami. Lalu, bu Endang pun menjewer telinga kami satu persatu, dengan senyuman menyeringai. Waktu itu, sepertinya aku sudah atau nyaris menangis, jeweran bu Endang bagiku sangat sakit dan panas, jelas berbeda dengan 'cubitan' bu Yanti yang kuterima di kelas 1.

Sudah selesai? Ternyata masalah lupa mengerjakan PR itu masih berlanjut. Kali ini sampai di rumah. Tapi, untuk lebih jelasnya aku ceritakan latar belakangnya yang lengkap dulu. Jadi, sejak cawu 2, lagi-lagi karena keterbatasan ruang kelas, maka kelas 3A dan kelas 3B belajar dengan menggunakan kelas yang sama, meski tetap dengan dua orang wali kelas. Dalam satu kelas, berdesak-desakan sekitar 50 murid untuk kelas yang kapasitas normalnya mungkin hanya 30-an anak. Beberapa bangku tambahan dan beberapa anak yang hanya mendapat meja sangat kecil diusahakan, tentu saja setahuku belum ada anak yang cukup kritis mengeluh, entah kalau orangtuanya, pastinya sih ada. Sebagaimana diketahui, sepupuku Leo ada di kelas B, kami pun menjadi teman sekelas. Tentu saja ia tahu semua hal yang kualami di kelas, tapi meski demikian sepupuku ini rupanya bukan pengadu. Mungkin ia menceritakan itu pada orangtuanya, tapi tidak kepada Mamaku. Tapi, ada temanku yang bernama Markus Yulianto, adiknya Lukas Yulianto, rumahnya Kalioso. Markus digolongkan sebagai anak badung di sekolah (sehingga kalau tidak salah waktu kelas 3 atau 4, ia tidak naik kelas), sewaktu kejadian aku lupa bikin PR itu Markus juga tidak membuatnya, hanya saja ia sudah dipergoki dan disuruh keluar sejak saringan pertama. Tapi sesudah itu, tanpa kutahu motifnya, rupanya Markus memberitahukan kejadian itu pada kakakku yang waktu itu duduk di kelas 6 lingkup sekolah yang sama. Kakakku melaporkannya pada Mama dan akupun dimarahi. Terlebih saat itu, Leo sekeluarga sedang berkunjung di rumah. Karena untuk keperluan konfirmasi, Leo pun harus buka mulut menceritakan kejadiannya. Lalu, Mama langsung marah besar, mungkin karena malu, aku segera diharuskan mengerjakan semua PR yang ada, termasuk PR yang masih akan diperiksa beberapa hari ke depan. Ketika sampai di PR mata pelajaran IPA, Mama makin marah lagi saat mengetahui catatan IPA-ku masih kurang lengkap. Terpaksa aku meminjam dan menyalin catatan dari Leo. Dengan ditunggui Mama yang terus mengomel dan sesekali menjewer, aku menyalin catatan Leo tentang anatomi bunga itu sambil menangis-nangis, tak jauh dari situ Leo memerhatikan aku bersama mamanya. Mama jelas marah terutama karena malu dan kehilangan muka di hadapan adik iparnya.

Jika bu Yanti bertemu Papa di warung sate kambing, bu Tjien Hwa juga pernah bertemu Papa, tapi mereka bertemu di sekolah. Waktu itu adalah karena angkutan umum tidak berhasil kudapat, alhasil Papa mengantarkanku ke sekolah, meski sudah terlambat. Aku terlambat untuk kesekian kalinya. Aturannya kalau tidak salah waktu itu adalah jika terlambat aku harus mengetuk pintu dan kemudian berkata pada guru, "Bu Tjien Hwa, maaf saya terlambat." Ketika itu, aku sudah tahu kalau kali ini aku terlambat lagi. Karena aku memang takut dengan bu Tjien Hwa, maka aku berjalan agak pelan menuju pintu. Tiba-tiba dari belakang, ada seorang pria berbaju putih datang. Jujur saja semula aku tidak mengenali papaku sendiri. Pikiranku masih terasa sangat susah untuk mencerna kehadiran Papa yang masuk di halaman sekolahku. Papa yang mengetukkan pintu dan memintakan izin maaf serta alasan aku terlambat kepada bu Tjien Hwa. Kali itu, aku merasa sangat dibela menghadapi guru yang juga musuhku itu. Terlebih sebagaimana mestinya, bu Tjien Hwa menjadi ramah dan tidak memarahiku karena datang terlambat. Meski sorenya Papa mengatakan "tadi katanya kamu sudah sering terlambat," aku tetap masih terkesan dengan kehadiran Papa dan upaya turun tangannya secara langsung dalam kehidupanku di sekolah.

Untuk urusan mengambil rapor atau pertemuan dengan guru, Mamalah yang selalu datang. Dalam sejarah, Papa hanya sekali saja datang untuk mengambil rapor kakakku yang pertama. Ketika menanyakan hal itu pada Mama dan kakak pertamaku, jawabannya adalah karena Papa hanya akan mau mengambil rapor jika anaknya juara kelas. Kakakku yang pertama memang sering meraih juara kelas, paling tidak juara dua atau tiga. Di keluargaku, di antara lima, empat anak pernah meraih juara (maksudnya juara 1 atau 2 atau 3) ketika SD, selain aku dan kakak yang pertama, kakak yang ketiga dan keempat pernah satu kali meraih juara ketiga di kelasnya. Aku memang sempat protes karena selama duduk di bangku SD, paling tidak aku pernah 8 kali meraih juara, dengan satu kali juara kelas. Tapi, sepertinya alasan bahwa Papa hanya akan mau mengambil rapor jika anaknya juara kelas adalah alasan rekaan saja. Papa mungkin memang tidak suka melakukannya.

Bu Tjien Hwa mungkin adalah guru galakku yang pertama. Meski galak, tapi di kelas 3 itu aku juga meraih satu-satunya juara kelas. Secara keseluruhannya adalah sebagai berikut: cawu 1 juara 3, juara 1 diraih Reine Wulandari, juara 2 nya Eka Haryanta. Cawu 2, juara 1, juara 2 diraih Reine Wulandari, juara 3 nya Eka Haryanta. Cawu 3, juara 2, juara 1 diraih Eka Haryanta, juara 3 Reine Wulandari. Memang, selama 2 tahun urutannya terus begitu. Bedanya, bu Tjien Hwa seperti tidak ingin menganakemaskan semua anak. Ia galak dan sering memarahiku, di lain waktu Reine Wulandari juga kena semprot, hanya Eka Haryanta yang sepertinya agak jarang.

Dengan prestasi seperti itu, ketiga anak itu memang termasuk anak yang pendiam, sangat tipikal 'bukan? Reine, seorang anak perempuan yang tubuhnya bungkuk, mata besar, gigi tak rapi, suara cempreng keras, dandanan seperti orang tua. Eka Haryanta, anak yang kurus, mata melotot, telinga besar mengarah ke luar seperti alien, dengan bentuk wajah lonjong. Aku anak kurus, gigi tonggos besar-besar, rambut selalu diminyaki dan disisir rapi belah pinggir model jadul, alis yang sempat dicukur habis, juga pendiam dan penakut. Aku dan Eka sering pulang bersama dalam satu angkot, jurusan 07 karena rumah kami searah, sekitar 4 km dari sekolah. Kadang, kami memang mampir dulu ke rumah teman kami Tomas alias Tomi yang searah dan berjarak sekitar 1,5 km dari sekolah. Bedanya, Tomi si anak pasangan dokter itu dijemput dengan mobil dan sopir pribadi. Jadi, kadang mampir ke rumahnya dengan menumpang mobil Tomi jelas bisa menghemat biaya angkot, dari 100 atau 75 rupiah menjadi 50 rupiah. Kalau ke rumah Tomi, Eka kadang juga ikut main. Kadang, aku sendiri yang sepulang sekolah, setelah makan dan berganti pakaian, dari rumah pergi naik angkot ke rumah Tomi main sampai sore. Pernah juga sudah berencana hendak menginap tapi tiba-tiba sekitar jam 8 malam, Papa menjemputku dan kemudian memarahi, "punya rumah sendiri ngapain menginap di rumah orang lain…" Alasan Papa kadang memang tidak kuat. Tapi, aku diam saja, takut tentu saja. Teman lain yang sering menjadi tempatku dolan, adalah rumah Henri dan Franki, rumah keduanya dekat tapi tidak searah rumahku. Kadang aku diboncengnya naik sepeda, kadang naik mobil omprengan atau angkot jurusan 01. Kalau ke rumah Henri atau Franki ini, kelompoknya agak lain, kadang ditambah dengan Ferry, Very, Kiki alias Hengki yang rumahnya lebih menyimpang lagi arahnya. Selain main ke rumah mereka, mereka juga kadang main ke rumahku.

Kembali ke bu Tjien Hwa, sial memang, di kelas 6 bu Tjien Hwa menjadi wali kelasku lagi. Tapi, tampaknya waktu kelas 6 itu aku tidak begitu memiliki kenangan menakutkan dengan beliau. Barangkali karena aku sendiri sudah lebih besar dan sudah mulai belajar menghadapi berbagai jenis karakter orang. Kemungkinan lain adalah karena bu Tjien Hwa sendiri sudah mulai harus mengontrol emosinya setelah mengetahui dirinya mempunyai budrek alias hipertensi, serius, aku memang pernah mendengar ada orang mengemukakan alasan itu. Di kelas 6, atau tepatnya sejak cawu 3 kelas 4, aku sudah tidak pernah meraih peringkat 1, 2, atau 3 lagi. Terlebih di kelas 6, beberapa kali aku mulai disetrap atau disuruh keluar dari kelas karena tidak atau salah membawa atau lupa mengerjakan sesuatu, namun aku sudah mulai menyikapinya secara biasa, tanpa reaksi berlebihan seperti 3 tahun sebelumnya, apalagi karena setiap disetrap itu, beberapa teman mainku di atas sering ikut disetrap juga. Mama mungkin sering menganggap Henri atau Franki membawa pengaruh buruk bagiku. Terlebih melihat Franki, teman sekelasku tapi berumur 2 tahun di atasku, dengan badan yang jauh lebih besar dariku, ikut Taekwondo, dan kadang bertindak seperti tukang pukul yang membela teman-temannya yang kecil-kecil atau yang pendiam, termasuk aku jika diganggu beberapa anak badung di sekolah. Sementara Henri, anak yang tubuhnya seukuranku, sampai kelas 5 selalu dicukur gundul, Franki dan Henry mungkin hampir seperti Giant dan Suneo dalam versi lain. Suatu kali, ketika aku, Franki, dan Henri disetrap disuruh keluar kelas oleh bu Tjien Hwa, sementara aku masih terlihat agak terpukul dengan hukuman itu, Franki mengatakan, "jangan kuatir, lalat, nanti aku hajar dia (maksudnya bu Tjien Hwa)…" Tentu saja Franki hanya membual, tapi waktu itu aku pun merasa lebih tenang dan mengira rasa dendamku pada sang guru galak benar-benar akan dibalaskan oleh temanku itu.

Guru keempat di SD yang harus kusebut adalah bu Chris, aku lupa nama lengkapnya. Bu Chris adalah mamanya Hong Hong, teman sekelasnya Leo. Wajahnya sangat putih, sebagian karena pemakaian bedak yang amat tebal, bibirnya yang tipis selalu berlipstik merah, matanya sipit tapi bulu matanya panjang-panjang, suaranya agak serak dan suka berteriak, rambutnya kering seperti wig dan terlihat mulai beruban. Sebenarnya, bu Chris cukup humoris, tapi ia tidak bisa dibilang sabar juga, meski kalau denganku ia relatif cukup baik. Satu hal yang cukup khas adalah cara tertawanya, tawanya terkesan seperti mengejek, tidak feminim, bunyinya seperti orang bengek.

Bu Chris menjadi wali kelasku di kelas 4 dan 5. Ketika kelas 5, ia mengawali tahun ajaran baru dengan berkata, "kita ketemu lagi anak-anak, barangkali kalian mengharapkan akan memiliki wali kelas yang lebih cantik, tapi akhirnya kita ketemu lagi." Ketika itu, pembukaan tersebut disambut dengan ketegangan, termasuk untuk aku, mengira kalimat itu sebagai pertanda beliau akan marah atau tidak suka mengajar kami. Kata-kata bu Chris memang sering kali agak terlalu sinis untuk disampaikan kepada anak SD. Ia juga agak moody, kadang lucu dan baik, tapi kalau mungkin di rumah sedang ada masalah, di kelas ia bisa berubah menjadi galak dan dingin, kadang selama jam pelajaran ia juga sekadar menyuruh seorang anak menulis catatan di papan tulis sementara ia duduk di kursinya sambil menunduk memegangi kepala. Satu kali aku ingat ia pernah sengaja menyuruh temanku Dian mengambilkan sesuatu di ruang kantor bawah. Setelah Dian keluar, ia menutup pintu dan mulai menceritakan kejadian di kelas beberapa hari lalu, saat ia memarahi Dian dan mengucapkan satu perkataan (kalau tidak salah kata "goblok"). Rupanya Dian merasa sangat terpukul dengan ucapannya itu dan melaporkan pada orangtuanya. Lalu, orangtua Dian pun sepertinya tidak terima dan protes pada sekolah. Mungkin bu Chris sempat ditegur, tapi ia kukuh merasa tak pernah mengucapkan kata itu pada Dian. Ia merasa Dian telah melebih-lebihkan, jadi ketika Dian keluar itu, ia berusaha memengaruhi anak-anak yang lain bahwa Dian adalah anak yang suka berlebihan dan telah berbohong mengenai kejadian waktu itu. Setelah Dian kembali ke kelas, beberapa atau mungkin sebagian besar anak, terutama anak perempuan, memang segera mengambil sikap berbeda pada Dian. Ia seperti dikucilkan selama beberapa hari. Aku sendiri sudah lupa kejadian sebenarnya, entah bu Chris memang pernah mengucapkan kata itu atau tidak, yang jelas barangkali itu adalah satu pengalaman pertamaku berhubungan dengan intrik.

Seperti sudah kukatakan, bu Chris sebenarnya relatif baik denganku. Namun, kadang ia memang membuatku takut. Suatu kali ia memarahi Budiono alias Ming Ming, anak bertubuh kecil dengan kacamata rantai yang sering izin ke toilet. Karena berasumsi ia sudah ke toilet terlalu sering, bu Chris melarang Budiono ke toilet lagi. Beberapa hari kemudian, karena takut bernasib sama seperti temanku tadi, meski aku sudah sangat ingin kencing, aku terus menahannya. Namun, ternyata tidak bisa. Jadi, sementara bu Chris di depan sedang mengajar, aku menunduk dan celanaku makin lama makin basah, beberapa bahkan mengalir ke bawah bangkuku. Untuk menutupinya, aku mencoba menjatuhkan tasku yang berbentuk koper mini ke atas genangan air pesing itu. Tapi di belakangku. Franki dan Henri mengetahuinya. Franki tertawa-tawa, dan berteriak menyindir, "Asin ya?" Kelas pun menyadari kalau aku telah mengompol, bu Chris lalu mendatangiku dan tertawa. Untuk menutupi malu, aku pura-pura bilang bahwa aku tidak merasakan kalau aku kencing di celana. Alasan yang amat bodoh. Bu Chris berkata, "Lho kenapa tidak bilang mau ke WC?" Franki pun menjawab mewakili, "Lha, kemarin itu dimarahi.." Bu Chris hanya tertawa dan bilang "Kalau memang kebelet tidak apa-apa" lalu menyuruhku membersihkan diri di WC, sedang temanku Yiska disuruh meminjamkan celana di UKS. Di WC, jelas aku malu. Apalagi karena harus menunggu celana pinjaman untukku diambilkan oleh anak perempuan. Aku mengintip-intip dari belakang dinding kompleks WC dengan tidak memakai celana, menunggu Yiska mengulurkan celana kepadaku. Aku memang malu karena waktu itu aku sudah duduk di bangku kelas 5, tapi karena bu Chris tampaknya berhasil membuat kelas tidak lagi membahasnya, aku merasa agak tenang dan jelas lega karena yang kutahan-tahan akhirnya bisa dikeluarkan.

Bu Chris juga sering memberi julukan pada murid-muridnya. Ferry yang bernama Ferry Irawan Sunaryo (tentu Sunaryo adalah nama bapaknya), dipanggil dengan sebutan Cak Naryo. Temanku Hermawan yang pernah tidak naik kelas, yang sewaktu masih menjadi kakak kelasku sangat membuatku takut, dan konon sempat disekolahkan di sekolah anak nakal(?) di Jombang, dipanggil dengan sebutan Kucing. Khusus untuk Yohanes Hermawan ini, setelah menjadi satu kelas denganku, ternyata ia malah cukup baik denganku. Lalu ada juga Yohanes Haditomo, anak hitam berambut keriting, yang juga sempat tidak naik kelas, mendapat sebutan Brintik. Mulai kelas 4 dan 5, memang mulai banyak teman sekelasku yang adalah anak yang pernah tidak naik kelas, demikian pula banyak mantan teman sekelasku yang kemudian menjadi adik kelasku. Selain dua Yohanes, juga ada dua Didik, termasuk Ferry tadi. Semuanya termasuk akrab denganku, dengan kelompok main yang berbeda-beda. Kalau main bersama Franki dan Henri, biasanya diikuti Hengki, Ferry, kadang juga Ryan. Kalau main dengan Tomi, ada Eka. Kalau main dengan Didik. H, ada Rudi, Petrus, Haditomo. Main dengan Didik. T yang adalah sepupu dari sepupuku Leo alias Yoyo, ada Very alias A Fuk, Paulus Daniel alias Han Ciang, dan kadang kelompok dua Didik itu juga bercampur karena rumah keduanya cukup dekat.

Mana yang paling dekat? Aku tidak ingat lagi. Yang jelas, sedekat apapun hubunganku dengan mereka, hampir semua tidak pernah bertemu lagi denganku setelah lulus SD. Memang, waktu SMP kelas 1 aku masih sempat ke rumah Henri. Tapi ketika aku dan dia satu SMA, di kelas 1 ia masih cukup ramah, tapi di kelas 3, bahkan ketika kami sekelas, ia sudah sangat berbeda dan kami pun bukan lagi sahabat dekat. Ia bahkan berganti nama menjadi John (aku duga karena nama baptisnya Yohanes) dan dipanggil dengan sebutan si Jon yang cool, dandy, dan playboy. Masya allah. Dengan Didik T, ketika SMA, aku sempat bertemu dengannya di jalan. Ia naik mobil bersama teman-temannya dan aku naik motor, ia masih ingat denganku dan masih menyapaku dengan ramah dari dalam mobil. Tapi, kira-kira setelah kuliah, rupanya Didik telah menjadi pemakai narkoba, sempat menjalani rehab, dan sejak itu menurut informasi dari keluarga Leo, ia seperti orang yang agak bloon dan kalau diajak omong sering tidak nyambung. Demikian juga Franky, ketika di waktu SMP aku sempat aktif mengikuti latihan beladiri bernama KATEDA, ia menjadi pelatih di cabang lain (tapi kadang kami mengadakan latihan gabungan), ia masih mengenaliku tapi kami tidak bisa akrab lagi. Tapi Han Ciang agak lain dengan mereka. Kami bersekolah di SMA yang sama, juga sempat sekelas. Tapi, jika waktu SD ia adalah anak gemuk yang agak pendiam, waktu SMA, ia menjadi seorang remaja yang aktif, pemain bola yang cukup handal di sekolah, dan cukup gaul. Tapi ia masih cukup baik denganku. Yang lebih akrab waktu SMA justru Darwin, sepupu Han Ciang yang waktu SD tidak seakrab aku dan Han Ciang. Sementara Petrus sempat aku lihat menjadi tukang parkir di sebuah warnet dekat lingkungan rumahnya.

Kembali pada bu Chris, gosip sempat beredar sewaktu aku di SMP. Aku ingat kira-kira waktu aku di kelas 6, suami bu Chris meninggal dunia, lalu ketika awal SMP aku dengar bu Chris menikah lagi, konon dengan suami alm. Bu Yanti. Aku tak tahu kebenarannya. Yang jelas, alm. suami bu Chris dan suami bu Yanti memang tampilannya cukup mirip. Satu hal lagi yang kuingat tentang bu Chris adalah waktu kelas 5, cawu 1. Ketika akan menerima rapor, adalah hal yang mendebarkan untuk mengetahui siapa yang akan menghuni peringkat 1-10. Seperti malam penerimaan anugerah Oscar, beberapa gosip tentang siapa yang akan menjadi juara 1 cukup gencar. Dulu, waktu aku masih sering merebut juara 1, 2, dan 3, biasanya beberapa hari sebelum terima rapor, guru tata usaha atau wali kelas akan memberitahuku secara diam-diam, agar membawa foto hitam putih ukuran 3x4=1 lembar. Foto itu akan dipasang di piagam juara. Itulah pertanda aku akan meraih juara, tapi mengenai peringkatnya aku masih belum tahu sebelum rapor dibagikan. Di hari pembagian rapor itu, seperti biasa diawali dengan wali kelas memberi wejangan untuk kemudian setelah itu memanggil orangtua dan muridnya satu persatu menerima rapor. Ternyata, seperti seorang tukang sulap, bu Chris membuka bagian belakang papan tulis yang memang bisa bisa dibolak-balik, di situ ada 10 nama dari peraih rangking 1-10. Semua murid terpana, kenapa tidak ada satupun yang punya pikiran akan ada 10 nama itu di bagian belakang papan itu? Maka, pada dua cawu berikutnya, setiap menjelang hari pembagian rapor, papan tulis bagian belakang itu selalu diperiksa. Tentu saja tidak ada lagi tulisan seperti itu di sana. Begitulah bu Chris, labil tapi sering kali cukup menghibur.

Semua guru yang pernah menjadi wali kelasku sudah kubahas, jadi setelah ini adalah guru-guru di SD yang bukan wali kelas tapi cukup berkesan untukku. Nama pertama aku pilih pak Tomo saja. Guru olahraga ini masih muda. Badannya tinggi dan tegap dengan rambut yang tipis dan model agak kuno, ia juga selalu terkesan berpeluh, mungkin karena pakaian yang ia kenakan juga selalu tampak terlalu ketat di badan. Aku rasa ia tak begitu pintar dalam mengajar di kelas, tapi kalau di lapangan, para murid banyak yang mengaguminya. Ia agak keras dalam mengajar, tapi jarang menghukum, hanya sebatas menghardik dan memelototi. Ternyata, kakak pertamaku bilang kalau istri pak Tomo adalah mantan kekasih pacarnya kakak pertamaku (yang sekarang menjadi kakak iparku). Guru olahraga lain adalah pak Yo. Tapi, sebenarnya aku agak kurang yakin kalau pak Yo pernah mengajarku. Aku mengingatnya karena rumah kami sama-sama di Mojosongo. Tapi walau pak Yo bukan guruku di sekolah, ia adalah guru kakak-kakakku. Pak Yo juga pernah menjadi guru sekolah mingguku. Rumahnya dipakai sebagai tempat mengadakan kebaktian sekolah minggu. Dengan memakai nama pena Yoyok HS, pak Yo (kependekan dari Yohanes) juga menulis buku pelajaran olahraga dan bukunya dipakai sebagai diktat di sekolahku selama bertahun-tahun. Pak Yo adalah guru dengan tampilan yang sangat konvensional. Sangat khas Solo, suka memakai baju batik, rambut potongan khas tukang cukur bawah pohon, kumis rapi, dan gerak-geriknya tertata. Ketika perang Teluk jilid pertama berlangsung, pak Yo datang ke rumahku, hanya untuk menumpang melihat tayangan CNN dari parabola tentang jalannya perang itu. Gambar yang ditayangkan di CNN sebenarnya hanya latar gelap agak hijau dengan titik-titik bunga api berloncatan, tapi ia menganggap itu menarik. Sebenarnya ada seorang guru olahraga lagi, tapi aku lupa namanya. Sebenarnya pak guru itu adalah guru matematika, tapi seperti sudah kubilang, di SDku semua guru pria harus bisa mengajar olahraga. Jadi, meski sudah memakai baju kaos dan celana training, postur tubuh pak guru itu, dengan perut buncit dan tangannya yang kecil terlihat tidak meyakinkan.

Guru pria lain yang kuingat ada dua, keduanya adalah kepala sekolah, pak Sardi dan pak Petrus. Pak Sardi bernama lengkap Sardipon bla bla bla… Ia selalu menceritakan bahwa tambahan 'pon' itu diberikan karena ia dilahirkan pada zaman Jepang (Nipon). Pak Sardi orangnya gemuk, pipi besar, mukanya hitam, berkumis tipis, kacamatanya berframe tebal warna coklat gelap senada dengan warna kacanya. Ia pernah mengajar di kelasku sebagai guru pengganti di pelajaran Matematika karena bu Tjien Hwa mendadak izin pulang karena pusing tekanan darahnya naik. Meski tidak galak, tapi ia juga tetap tegas, atau setidaknya kami semua agak takut dengannya. Kepala sekolah kami sendiri gitu loh… Sebagai kepala sekolah Widya Wacana 3 (kelas A, kelasku), ia menggantikan bu Endang kira-kira sejak aku di kelas 4. Pak Sardi juga adalah pakdenya Wilis, temanku beda kelas. Wilis adalah anaknya Pak In, guru juga, mengajar di Widya Wacana Warungmiri, dan sepupu Yiska, teman sekelasku yang adalah anaknya bu Naomi, guru di TK ku tapi kemudian juga mengajar di SD ku. Jadi, ada semacam klan keluarga guru di sekolah kami.

Kepala sekolah Widya Wacana 5 (kelas B) adalah pak Petrus, lengkapnya Petrus Sutimin. Ia lebih fleksibel lagi, kalau tidak salah ia juga pernah menjadi guru SMP. Pak Petrus orangnya tinggi dan kurus, rambutnya selalu tersisir rapi, hidung mancung, muka dan kepala kecil, dagu berwarna kehijauan, bekas brewok yang dicukur habis, giginya kelinci, dan ke mana-mana mengendarai vespa. Pak Petrus tinggal di daerah Mojosongo juga. Dari dalam angkot, aku sering melihatnya mengendarai vespanya. Aku sama sekali tak pernah diajar pak Petrus, tapi kakak-kakakku pernah, baik ketika SD atau SMP. Kalau kepala sekolah kelas A adalah bu Endang lalu pak Sardi dan kepala sekolah B adalah pak Petrus, maka kepala sekolah kelas C di masaku adalah bu Febe, biasa dipanggil bu Fe. Bu Fe membuka lembaga kursus semua mata pelajaran bernama Vita Class. Kalender dari Vita Class aku ingat menghiasi setiap kelas di sekolahku. Bu Fe orangnya putih, rambut keriting, dan kabarnya cukup galak. Kini, rupanya ia masih aktif dan menjadi kepala sekolah SD (atau TK?) Pratama di Solo Baru, sekolahnya dua keponakanku. Jadi, ia menjadi kepala sekolah atau paling tidak pernah mengajar dua generasi karena kakak pertamaku (ibu dari dua ponakanku itu) juga adalah mantan anak didik bu Fe juga.

Sedikit lepas dari konteks guru, aku juga ingat pak Pono, papanya temanku Amelia. Pak Pono kalau tidak salah adalah ketua Yayasan Widya Wacana waktu itu. Wajahnya sangat mirip dengan Amelia, temanku yang sebenarnya termasuk pendiam tapi agak manja dan tidak begitu ramah. Satu kali kalau tidak salah bu Tjien Hwa pernah memarahi Amelia karena satu kesalahan, dan bu Tjien Hwa juga menyebut-nyebut kalau ia tak takut meskipun papa Amelia adalah pak Pono yang bahkan dihormati oleh kepala sekolah. Mungkin bu Tjien Hwa memang benar-benar takut kalau dilaporkan dan ada permainan kekuasaan waktu itu. Ketika kelas 3, Amelia juga pernah merayakan ulangtahunnya di sekolah, dengan dihadiri bu Endang sang kepala sekolah serta papanya, tentu saja. Hidangan waktu itu adalah sup jagung yang dimasak seperti sup asparagus dan sempat membuatku kecanduan. Tapi, kalau makan sup jagung di manapun saat ini, aku justru sudah tidak suka, hanya kenanganku di masa SD itulah yang membuatku kadang tergoda untuk mencicipi menu sup jagung. Meski ketika SD, sering ada pembagian bungkusan berisi berbagai makanan kecil dari temanku yang sedang berulangtahun, kehadiran bu Endang dan adanya hidangan khusus yang rupanya dimasak sendiri oleh bu Pono serta pemakaian jam pelajaran lebih lama dari acara ulangtahun teman-teman yang lain adalah keistimewaan tersendiri untuk seorang anak ketua yayasan. Acara ulangtahun sendiri memang menyenangkan. Biasanya, kami sudah tahu kalau di jam terakhir pelajaran sudah ada bungkusan tas kresek besar di bawah meja guru. Dan beberapa saat menjelang pulang, pintu kelas akan ditutup oleh anak yang berulangtahun. Lalu wali kelas akan mengumumkan kalau si A berulangtahun. Dinyanyikan lagu Selamay Ulang Tahun, lalu Happy Birthday to You, disambung Panjang Umurnya, diakhiri dengan wali kelas berteriak "hip.. hip" dijawab serentak oleh kelas "huraaa..." Setelah semua seremoni sederhana itu dijalankan, murid yang lain maju satu persatu untuk menerima bungkusan plastik berisi berbagai makanan kecil, kadang dengan pita warna-warni, sambil satu persatu juga menyalami si birthday girl/boy. Aku rasa tradisi seperti itu masih tetap terjadi sampai sekarang.

Beberapa guru SD lain yang aku ingat mungkin tidak pernah mengajarku, atau pernah mengajar sebagai guru pengganti. Yang pertama adalah bu Nunik. Guru yang hitam, berambut keriting, berkacamata, mukanya selalu terlihat berminyak, apalagi dengan bibirnya diberi lipstik tebal. Kakakku yang keempat sepertinya membual saat mengatakan kalau bu Nunik pernah menggambar di papan sambil menyuruh kelas menebak gambar apa itu, dan ternyata yang ia gambar adalah pantat orang sedang berak, lengkap dengan e'eknya. Tapi, sekali lagi waktu itu aku agak percaya juga dengan kakakku itu. Hanya kabarnya bu Nunik memang suka ngomong yang jorok-jorok. Guru kedua adalah bu Marsini, dia sebenarnya adalah wali kelas kakakku yang keempat tadi. Bu Marsini (dipanggil bu Mar) tampangnya sangat keibuan. Rambut digelung dan beberapa sudah beruban, kacamata tebal warna coklat seperti punya pak Sardi, kulit putih karena bedak, hanya kabarnya ia agak galak. Guru selanjutnya adalah pak Pramono (dipanggil pak Pram). Dia adalah guru favorit kakakku yang kedua. Waktu aku masih kelas 3 atau 4, ia mengajar di kelas 6. Orangnya tinggi, bibirnya tipis, rambut hitam berbelah pinggir dan selalu rapi, sepertinya masih cukup muda. Ada juga guru favorit kakakku yang ketiga. Namanya Pak Zakaria (dipanggil pak Sak). Sebenarnya ia tidak mengajar di sekolahku tapi di Widya Wacana Warungmiri. Pak Sak orangnya agak tinggi, model rambutnya seperti pak Tomo, hanya saja ia berkumis. Aku selalu membayangkan pak Tomo adalah pak Sak waktu muda dan sebaliknya. Kakakku senang dengan dia karena pak Sak yang mengajar matematika suka memberi hadiah pulpen atau pensil atau hadiah lain kepada anak yang nilainya bagus atau yang bisa menjawab pertanyaannya. Tampaknya, kakakku itu cukup kuat di mata pelajaran matematika sehingga pernah mendapat hadiahnya. Pak Sak sekarang masih eksis dan cukup dekat dengan keluarga suami kakakku yang kedua. Ia sekarang menjadi pendeta, bahkan memimpin doa saat upacara perkawinan kakakku yang kedua tadi. Selanjutnya, ada juga bu Kim, bukan kependekan dari Kimberly tapi sebuah nama Tionghoa yang terdiri dari tiga suku kata. Aku ingat itu karena ada merek kue Tiong Ciu Pia (kue bulan) yang namanya Kim Hwa (aku mengingatnya sebagai nama kedua guru kelas 3 yang kebetulan waktu itu kelasnya digabung, yakni bu Kim dan bu Tjien Hwa). Beda dengan bu Tjien Hwa, bu Kim yang mengajar kelas 3B lebih pendiam dan lebih sabar. Dia adalah wanita yang mungkin seumuran dengan bu Tjien Hwa, hanya saja kulitnya lebih terang, tubuhnya kurus tinggi, rambut lurus sebahu, wajah seperti beberapa saudaraku dari pihak ibu yang berasal dari Kalimantan. Di kelas 3 itu, aku sering iri dengan Leo karena wali kelasnya adalah bu Kim sementara aku harus sering bertemu bu Tjien Hwa yang galak. Guru selanjutnya yang cukup berkesan adalah bu Gwat. Ia tidak pernah mengajarku, tapi mengajar kakakku yang keempat. Bu Gwat sudah tua, bertubuh pendek dan gemuk sehingga kalau menulis di papan tulis ia harus menaiki sebuah injak-injakan kecil. Jika bertemu di luar, ia jauh lebih seperti seorang nenek biasa ketimbang seorang guru. Aku juga sudah membahas tentang bu Naomi, tapi sebagai tambahan, aku ingat ketika di SD bu Naomi pernah menjadi guru pengganti di kelasku yang antara lain berisi putrinya Yiska. Aku merasakan suasananya memang agak canggung, apalagi karena ia juga menunjuk anaknya untuk mengerjakan sesuatu, dan memarahi dengan cara seorang ibu memarahi anaknya, saat ia melakukan satu kesalahan. Hal itu terjadi waktu SD sehingga rasanya tak bisa kuceritakan dalam tulisan tentang guru TK.

Selain guru-guru, aku juga ingat beberapa nama pegawai di sekolah yang bukan guru atau kepala sekolah. Ada pak Kadim, pesuruh sekolah alias pak bon. Dia adalah pak bon untuk kelas A, begitu menurutku. Sementara untuk kelas B, ada bapaknya Heni temanku dan Elia temannya kakakku, namanya lupa. Bapaknya Heni ini meninggal dunia akibat kecelakaan sehabis ia menonton wayang kulit. Ia yang menaiki sepeda angin ditabrak oleh motor (atau mobil?) sampai meninggal dunia. Jika pak Kadim orangnya pendek, matanya ngantuk, dan kulitnya agak terang, bapaknya Heni ini bertubuh kurus tinggi dan berkulit gelap, seperti kedua putrinya. Aku juga ingat pak Yap, petugas perpustakaan di sekolah. Orangnya hitam, rambutnya sudah banyak yang putih tapi selalu rapi diminyaki dan disisir ke belakang. Ia juga mengenakan kacamata dengan lensa dan frame yang tebal, yang selalu dipakai melorot, sehingga jika melihat kepalanya menunduk sambil bola mata melirik ke atas. Ia agak galak, terutama jika anak-anak ribut di perpustakaan atau terlambat mengembalikan buku/majalah yang dipinjam pulang. Perpustakaan SDku sebenarnya hanya menempati satu ruangan saja dengan raknya menempati seluruh sisi dinding. Tapi ruangan itu bersih, yang mau masuk harus melepas sepatu atau sandalnya karena lantainya dilapisi karpet. Di sana ada TV dan video beta yang pernah memutar video Ten Commandements buatan lawas itu dalam beberapa hari. Semua anak berteriak ketika adegan laut Merah terbelah. Lalu, setelah TPI menyiarkan film Mahabharata setiap Sabtu siang, TV itu selalu menyetelnya dan sambil menunggu dijemput aku sering menonton di situ. Film kolosal yang sangat panjang dan agak kurang kumengerti, satu-satunya yang kutunggu hanyalah adegan perang atau unjuk kekuatannya. Aku juga pernah berlatih untuk paduan suara yang akan mengisi sebuah acara radio. Meski sudah hapal dua lagu yang akan dibawakan itu, namun karena aku (dan juga Leo) pergi bersama keluarga dan rombongan rekan kerja Papa ke Parangtritis, kalau tidak salah untuk acara sepeda santai, maka kami urung datang ke stasiun radio itu. Barang pertama yang kupinjam pulang dari perpustakaan itu adalah majalah Bobo, setelah itu barulah Donal Bebek atau buku cerita rakyat. Perpustakaan itu juga pernah meraih juara tingkat kotamadya, kalau tidak salah sebagai perpustakaan teladan. Sebagai petugasnya, pak Yap memang sangat memelihara, bahkan protektif dengan perpustakaannya itu.

Aku juga ingat dengan pak Hono, dia adalah penjaga sekolah. Ia sudah sangat tua, memakai topi hansip dan berkemeja batik. Karena aku sering telat dijemput, pak Hono cukup hapal denganku. Bersama anak-anak lain, tas selalu kutaruh untuk dititipkan, kadang dengan tidak teratur, di depan, bawah, atau belakang meja tempat pak Hono duduk menjaga sekolah. Mestinya ia sering kesal atau khawatir dengan tas yang digeletakkan begitu saja oleh anak-anak yang belum mengenal tanggung jawab itu. Bagaimana kalau ada tas yang hilang atau paling tidak isinya hilang? Bukankah ia yang pasti akan pertama disalahkan oleh orangtua atau bahkan anak yang sembarangan itu tadi? Aku baru menyadari betapa aku menyusahkan pak Hono yang kadang memang harus marah-marah (sehingga kami kemudian menganggap dia galak) karena hal itu, kini di mana pun ia berada saat ini, maafkan saya Pak... Pak Hono, penjaga sekolah di SD dan TK jelas sangat sangat berbeda dengan bapak satpam yang menjaga SMP. Satpam itu memiliki gardu khusus, jaraknya hanya sekitar 7 meter dari bangku dan meja pak Hono. Satpam itu botak, hitam, beralis tebal, bahkan sepertinya dari kawasan timur Indonesia, dan masih muda. Mungkin karena menghadapi anak SMP lebih banyak tantangannya.

Kantin di sekolahku ada dua. Yang satu semestinya untuk SD, tempatnya jauh lebih kecil, sementara yang satu untuk anak SMP, meski anak SD juga sah-sah saja jajan di situ. Aku lupa penjaga di kantin SD, namun untuk yang berjualan di kantin SMP, aku ingat seorang wanita tua, gemuk, dan berkebaya putih, serta jarang kulihat ia berdiri apalagi berjalan, meski ia tidak lumpuh. Wanita itu dipanggil dengan sebutan 'encim.' Tampaknya ia adalah yang memiliki kantin itu, karena dia yang memegang kas. Duduk di balik meja dagangan yang panjang, yang bergerak hanya tangannya yang gemuk. Sementara di depan ada beberapa orang, tua dan muda yang melayani pembeli. Kantin di SMP lebih lengkap dan lebih disukai kalau Mama mentraktirku. Penyebabnya adalah di situ dijual masakan berkuah seperti soto, bakso, dan timlo meski porsinya tidak begitu banyak. Hingga aku kelas dua atau tiga, masih ada semangkuk soto tanpa nasi seharga 50 rupiah. Tidak begitu banyak tapi cukup untuk mengisi perut. Kalau ingin lebih kenyang, ada timlo atau soto campur nasi yang semula berharga Rp.75 lalu naik menjadi 100, kemudian 150 dan waktu aku kelas 6 menjadi 200. Jajanan di depan sekolah juga banyak. Salah satu yang cukup sering kubeli adalah es cendol pak Sadinu. Kadang saking kepinginnya, di siang yang panas, aku merelakan uang ongkos angkotku dipakai untuk membeli es yang antara lain terdiri dari janggelan, cendol, nangka, kacang hijau, semacam manisan buah kecil-kecil warna hitam, dan susu bendera. Harganya pernah 75 rupiah, lalu meningkat 100, 125, dan terakhir 150 rupiah. Jajanan lain yang di depan juga banyak yang kugemari seperti terang bulan, leker, gandos rangin, arum manis, babi kuah yang diwadahi daun, dll. Beberapa penjual ada juga yang agak seperti penipu. Biasanya penjual yang seperti itu masih muda, mangkalnya tidak lama, tidak bertahun-tahun seperti yang lainnya dan dagangannya juga mahal. Mereka ini misalnya penjual susu dalam kemasan yang mereknya aku lupa, juga seorang pemuda yang membawa berbagai macam game watch untuk disewakan. Beberapa game dihargai beberapa rupiah. Sebenarnya itu sah dan halal, namun banyak orangtua dan guru yang tidak suka karena membuat anak boros dan lupa waktu. Jelas, saat itu belum ada yang membayangkan akan ada playstation atau game online yang bisa membuat orang tanpa sadar bermain non-stop selama berhari-hari.

Weuw, ternyata panjang sekali tulisan tentang SD ini. Padahal masih cukup banyak yang bisa kuceritakan lagi, hanya saja sepertinya aku belum ingin. Tapi, tulisan panjang ini sudah mencakup cukup banyak tentang masa-masa SD-ku, terutama yang berhubungan dengan para guru-gurunya. Tentang teman-teman waktu SD jelas akan jauh lebih banyak dari ini. Tapi, mungkin kali ini aku membicarakan tentang guru dulu. Beberapa guru jelas ada, tapi aku lupa nama-nama mereka. Asal aku bisa mengingatnya, kalau sempat akan aku tambahkan lagi ke dalam tulisan ini. Tentang para guru waktu SMP bisa jadi akan lebih panjang lagi tulisannya, mengingat ingatanku lebih segar, gurunya lebih banyak, dan pikiranku sudah lebih mengerti ketimbang sebagai anak SD, tentu saja. Meski panjang, aku cukup senang saat menuliskan semua ini. Sebelumnya aku sempat melihat-lihat dan mencari di Google tentang berapa banyak tulisan mengenai para guru SD Widya Wacana ini telah dituliskan para mantan muridnya. Sejauh yang kutemukan, aku baru menemukan dua tulisan di dua blog saja, itupun relatif pendek-pendek. Aku kira, dengan segala kelebihan dan kelemahan mereka, dengan segala pengalaman baik dan pengalaman buruk yang pernah dialami murid-muridnya, para guru itu harusnya dikenang secara lebih pantas. Inilah caraku mengenang mereka, baik untuk mereka yang masih aktif, yang sudah pensiun, yang sudah alih profesi, dan terutama untuk yang sudah tiada, serta terkhusus untuk para mantan wali kelasku.
 

 

y-control's picture

sh

terima kasih, jng kapok mengunjungi sabdaspace dan blog lalathijau ya sh, komentar saya sudah ditulis di blog lalathijau

 

 

Jika bermasalah dengan HA HA HA!

pakailah hehehe...