Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Guru-guru SD (bag 2 - Bu Tjien Hwa)

y-control's picture
Guru selanjutnya, yang adalah wali kelasku di kelas 3 dan 6 adalah salah satu guru SD yang paling kuingat. Nama lengkapnya Kwa Tjien Hwa, dipanggil bu Tjien Hwa (bacanya Cin Hua). Badannya besar, kulitnya hitam, wajahnya kasar dengan beberapa bekas jerawat, flek, dan tahi lalat, rambutnya keriting dipotong pendek model laki-laki, berkacamata putih, serta wajah jarang tersenyum (seingatku). Gambaran yang terekam tentang bu Tjien Hwa memang demikian, detail tapi juga terkesan buruk. Memang, bu Tjien Hwa adalah guru yang menurutku galak, termasuk pada aku yang pendiam ini. Tapi, bu Tjien Hwa memang mengidap hipertensi, pernah satu kali ia tiba-tiba minta izin pulang karena pusing akibat tekanan darahnya naik. Bu Tjien Hwa sering kuanggap sebagai musuh, apalagi karena dia tampaknya lebih concern pada mata pelajaran Matematika yang aku benci.

Pengalaman terburukku dengan bu Tjien Hwa terjadi ketika masih di kelas 3. Waktu itu, entah kenapa yang jelas untuk pertama kalinya aku lupa mengerjakan PR. Soal-soal hitungan itu adalah sisa pekerjaan kemarin yang karena waktunya tidak mencukupi sehingga diputuskan dipakai sebagai bahan PR. Maka, karena tidak ada yang bisa membantu, sewaktu bu Tjien Hwa menyuruh anak-anak untuk mengeluarkan PR dan menukarkannya pada teman sebelahnya, aku buru-buru mengisi kolom-kolom yang masih kosong dengan angka-angka jawaban yang ngawur, sementara teman sebelahku juga tampak sudah tidak sabar karena pekerjaanku tidak segera diberikan kepadanya. Waktu itu, anak kelas 3 SD, atau barangkali hanya aku dan temanku itu saja, mungkin belum berpikir tentang bekerjasama menutupi kesalahan temannya, misalnya dengan meminjamkan PR-nya untuk disalin. Waktu itu, bu Tjien Hwa berkeliling ke bangku anak-anak untuk melihat kalau-kalau ada yang belum mengerjakan PR-nya. Beberapa anak ada yang kedapatan belum mengerjakan dan dihardik disuruh mengerjakan di luar. Waktu mendekati bangkuku, dengan gemetaran aku memperlihatkan buku PR-ku padanya, setelah sebelumnya karena panik aku justru memasukkannya lagi ke dalam tas, bu Tjien Hwa pun harus meminta, "y, mana coba liat PR-nya, sudah bikin belum?" Dengan melihat sekilas, kolom-kolom terlihat penuh, bu Tjien Hwa pun membiarkan dan berlalu. Aku sungguh lega. Tapi sekali lagi, karena lugunya, meski yang memeriksa PR-ku adalah teman sebelahku, yang tentu saja harusnya cukup akrab denganku, sewaktu jawaban yang benar dibacakan, toh tidak ada pikiran untuk mengisikan yang benar ke kolom yang masih kosong, sekadar membantu teman… Maka, setelah jawaban diperiksa, dengan jumlah coretan salah yang tentu saja sangat banyak, satu persatu murid harus maju ke depan untuk diberikan paraf nilai dari guru. Ketika melihat lembar jawabanku yang sangat penuh coretan salah, dengan beberapa kolom yang masih kosong, bu Tjien Hwa langsung menghardik, "Haah, apa ini??! Keluar!!"

Hatiku pun hancur. Tapi penderitaan belum selesai, ketika aku bersama beberapa temanku yang memang termasuk golongan yang badung mengerjakan soal-soal itu di luar kelas, datanglah bu Endang Ekawati, kepala sekolah SD Widya Wacana 3 (meski bangunannya satu, SD Widya Wacana di Pasar Legi secara organisasi terdiri dari 3 cabang, disebut cabang nomor 3 (kelas A), 5 (kelas B), dan 6 (kelas C), jadi ada 3 kepala sekolah yang kantornya bersebelah-sebelahan, konon murid kelas A otaknya lebih superior dari kelas B dan B lebih dari C, tapi kini aku meragukannya dan merasa itu hanyalah salah satu perang urat syaraf, yang di antaranya didasari rivalitas Mama yang anaknya ada di kelas A terhadap Paman, Bibi serta sepupuku, Leo yang seumuran denganku tapi masuk ke kelas B). Bu Endang ini juga terkenal galak, dengan tampilan fisik agak mirip dengan bu Tjien Hwa, tapi sedikit lebih tua, kulit mukanya lebih rusak dan warna kulitnya lebih terang serta lebih necis dan suka berdandan. Ketika melihat murid-murid yang bandel itu, ia pun seperti mendapat mangsa. "Naaa… ada apa ini?" "Nggak bikin PR, Bu…" jawab bu Tjien Hwa mewakili kami. Lalu, bu Endang pun menjewer telinga kami satu persatu, dengan senyuman menyeringai. Waktu itu, sepertinya aku sudah atau nyaris menangis, jeweran bu Endang bagiku sangat sakit dan panas, jelas berbeda dengan 'cubitan' bu Yanti yang kuterima di kelas 1.

Sudah selesai? Ternyata masalah lupa mengerjakan PR itu masih berlanjut. Kali ini sampai di rumah. Tapi, untuk lebih jelasnya aku ceritakan latar belakangnya yang lengkap dulu. Jadi, sejak cawu 2, lagi-lagi karena keterbatasan ruang kelas, maka kelas 3A dan kelas 3B belajar dengan menggunakan kelas yang sama, meski tetap dengan dua orang wali kelas. Dalam satu kelas, berdesak-desakan sekitar 50 murid untuk kelas yang kapasitas normalnya mungkin hanya 30-an anak. Beberapa bangku tambahan dan beberapa anak yang hanya mendapat meja sangat kecil diusahakan, tentu saja setahuku belum ada anak yang cukup kritis mengeluh, entah kalau orangtuanya, pastinya sih ada. Sebagaimana diketahui, sepupuku Leo ada di kelas B, kami pun menjadi teman sekelas. Tentu saja ia tahu semua hal yang kualami di kelas, tapi meski demikian sepupuku ini rupanya bukan pengadu. Mungkin ia menceritakan itu pada orangtuanya, tapi tidak kepada Mamaku. Tapi, ada temanku yang bernama Markus Yulianto, adiknya Lukas Yulianto, rumahnya Kalioso. Markus digolongkan sebagai anak badung di sekolah (sehingga kalau tidak salah waktu kelas 3 atau 4, ia tidak naik kelas), sewaktu kejadian aku lupa bikin PR itu Markus juga tidak membuatnya, hanya saja ia sudah dipergoki dan disuruh keluar sejak saringan pertama. Tapi sesudah itu, tanpa kutahu motifnya, rupanya Markus memberitahukan kejadian itu pada kakakku yang waktu itu duduk di kelas 6 lingkup sekolah yang sama. Kakakku melaporkannya pada Mama dan akupun dimarahi. Terlebih saat itu, Leo sekeluarga sedang berkunjung di rumah. Karena untuk keperluan konfirmasi, Leo pun harus buka mulut menceritakan kejadiannya. Lalu, Mama langsung marah besar, mungkin karena malu, aku segera diharuskan mengerjakan semua PR yang ada, termasuk PR yang masih akan diperiksa beberapa hari ke depan. Ketika sampai di PR mata pelajaran IPA, Mama makin marah lagi saat mengetahui catatan IPA-ku masih kurang lengkap. Terpaksa aku meminjam dan menyalin catatan dari Leo. Dengan ditunggui Mama yang terus mengomel dan sesekali menjewer, aku menyalin catatan Leo tentang anatomi bunga itu sambil menangis-nangis, tak jauh dari situ Leo memerhatikan aku bersama mamanya. Mama jelas marah terutama karena malu dan kehilangan muka di hadapan adik iparnya.

Jika bu Yanti bertemu Papa di warung sate kambing, bu Tjien Hwa juga pernah bertemu Papa, tapi mereka bertemu di sekolah. Waktu itu adalah karena angkutan umum tidak berhasil kudapat, alhasil Papa mengantarkanku ke sekolah, meski sudah terlambat. Aku terlambat untuk kesekian kalinya. Aturannya kalau tidak salah waktu itu adalah jika terlambat aku harus mengetuk pintu dan kemudian berkata pada guru, "Bu Tjien Hwa, maaf saya terlambat." Ketika itu, aku sudah tahu kalau kali ini aku terlambat lagi. Karena aku memang takut dengan bu Tjien Hwa, maka aku berjalan agak pelan menuju pintu. Tiba-tiba dari belakang, ada seorang pria berbaju putih datang. Jujur saja semula aku tidak mengenali papaku sendiri. Pikiranku masih terasa sangat susah untuk mencerna kehadiran Papa yang masuk di halaman sekolahku. Papa yang mengetukkan pintu dan memintakan izin maaf serta alasan aku terlambat kepada bu Tjien Hwa. Kali itu, aku merasa sangat dibela menghadapi guru yang juga musuhku itu. Terlebih sebagaimana mestinya, bu Tjien Hwa menjadi ramah dan tidak memarahiku karena datang terlambat. Meski sorenya Papa mengatakan "tadi katanya kamu sudah sering terlambat," aku tetap masih terkesan dengan kehadiran Papa dan upaya turun tangannya secara langsung dalam kehidupanku di sekolah.

Untuk urusan mengambil rapor atau pertemuan dengan guru, Mamalah yang selalu datang. Dalam sejarah, Papa hanya sekali saja datang untuk mengambil rapor kakakku yang pertama. Ketika menanyakan hal itu pada Mama dan kakak pertamaku, jawabannya adalah karena Papa hanya akan mau mengambil rapor jika anaknya juara kelas. Kakakku yang pertama memang sering meraih juara kelas, paling tidak juara dua atau tiga. Di keluargaku, di antara lima, empat anak pernah meraih juara (maksudnya juara 1 atau 2 atau 3) ketika SD, selain aku dan kakak yang pertama, kakak yang ketiga dan keempat pernah satu kali meraih juara ketiga di kelasnya. Aku memang sempat protes karena selama duduk di bangku SD, paling tidak aku pernah 8 kali meraih juara, dengan satu kali juara kelas. Tapi, sepertinya alasan bahwa Papa hanya akan mau mengambil rapor jika anaknya juara kelas adalah alasan rekaan saja. Papa mungkin memang tidak suka melakukannya.

Bu Tjien Hwa mungkin adalah guru galakku yang pertama. Meski galak, tapi di kelas 3 itu aku juga meraih satu-satunya juara kelas. Secara keseluruhannya adalah sebagai berikut: cawu 1 juara 3, juara 1 diraih Reine Wulandari, juara 2 nya Eka Haryanta. Cawu 2, juara 1, juara 2 diraih Reine Wulandari, juara 3 nya Eka Haryanta. Cawu 3, juara 2, juara 1 diraih Eka Haryanta, juara 3 Reine Wulandari. Memang, selama 2 tahun urutannya terus begitu. Bedanya, bu Tjien Hwa seperti tidak ingin menganakemaskan semua anak. Ia galak dan sering memarahiku, di lain waktu Reine Wulandari juga kena semprot, hanya Eka Haryanta yang sepertinya agak jarang.

Dengan prestasi seperti itu, ketiga anak itu memang termasuk anak yang pendiam, sangat tipikal 'bukan? Reine, seorang anak perempuan yang tubuhnya bungkuk, mata besar, gigi tak rapi, suara cempreng keras, dandanan seperti orang tua. Eka Haryanta, anak yang kurus, mata melotot, telinga besar mengarah ke luar seperti alien, dengan bentuk wajah lonjong. Aku anak kurus, gigi tonggos besar-besar, rambut selalu diminyaki dan disisir rapi belah pinggir model jadul, alis yang sempat dicukur habis, juga pendiam dan penakut. Aku dan Eka sering pulang bersama dalam satu angkot, jurusan 07 karena rumah kami searah, sekitar 4 km dari sekolah. Kadang, kami memang mampir dulu ke rumah teman kami Tomas alias Tomi yang searah dan berjarak sekitar 1,5 km dari sekolah. Bedanya, Tomi si anak pasangan dokter itu dijemput dengan mobil dan sopir pribadi. Jadi, kadang mampir ke rumahnya dengan menumpang mobil Tomi jelas bisa menghemat biaya angkot, dari 100 atau 75 rupiah menjadi 50 rupiah. Kalau ke rumah Tomi, Eka kadang juga ikut main. Kadang, aku sendiri yang sepulang sekolah, setelah makan dan berganti pakaian, dari rumah pergi naik angkot ke rumah Tomi main sampai sore. Pernah juga sudah berencana hendak menginap tapi tiba-tiba sekitar jam 8 malam, Papa menjemputku dan kemudian memarahi, "punya rumah sendiri ngapain menginap di rumah orang lain…" Alasan Papa kadang memang tidak kuat. Tapi, aku diam saja, takut tentu saja. Teman lain yang sering menjadi tempatku dolan, adalah rumah Henri dan Franki, rumah keduanya dekat tapi tidak searah rumahku. Kadang aku diboncengnya naik sepeda, kadang naik mobil omprengan atau angkot jurusan 01. Kalau ke rumah Henri atau Franki ini, kelompoknya agak lain, kadang ditambah dengan Ferry, Very, Kiki alias Hengki yang rumahnya lebih menyimpang lagi arahnya. Selain main ke rumah mereka, mereka juga kadang main ke rumahku.

Kembali ke bu Tjien Hwa, sial memang, di kelas 6 bu Tjien Hwa menjadi wali kelasku lagi. Tapi, tampaknya waktu kelas 6 itu aku tidak begitu memiliki kenangan menakutkan dengan beliau. Barangkali karena aku sendiri sudah lebih besar dan sudah mulai belajar menghadapi berbagai jenis karakter orang. Kemungkinan lain adalah karena bu Tjien Hwa sendiri sudah mulai harus mengontrol emosinya setelah mengetahui dirinya mempunyai budrek alias hipertensi, serius, aku memang pernah mendengar ada orang mengemukakan alasan itu. Di kelas 6, atau tepatnya sejak cawu 3 kelas 4, aku sudah tidak pernah meraih peringkat 1, 2, atau 3 lagi. Terlebih di kelas 6, beberapa kali aku mulai disetrap atau disuruh keluar dari kelas karena tidak atau salah membawa atau lupa mengerjakan sesuatu, namun aku sudah mulai menyikapinya secara biasa, tanpa reaksi berlebihan seperti 3 tahun sebelumnya, apalagi karena setiap disetrap itu, beberapa teman mainku di atas sering ikut disetrap juga. Mama mungkin sering menganggap Henri atau Franki membawa pengaruh buruk bagiku. Terlebih melihat Franki, teman sekelasku tapi berumur 2 tahun di atasku, dengan badan yang jauh lebih besar dariku, ikut Taekwondo, dan kadang bertindak seperti tukang pukul yang membela teman-temannya yang kecil-kecil atau yang pendiam, termasuk aku jika diganggu beberapa anak badung di sekolah. Sementara Henri, anak yang tubuhnya seukuranku, sampai kelas 5 selalu dicukur gundul, Franki dan Henry mungkin hampir seperti Giant dan Suneo dalam versi lain. Suatu kali, ketika aku, Franki, dan Henri disetrap disuruh keluar kelas oleh bu Tjien Hwa, sementara aku masih terlihat agak terpukul dengan hukuman itu, Franki mengatakan, "jangan kuatir, y, nanti aku hajar dia (maksudnya bu Tjien Hwa)…" Tentu saja Franki hanya membual, tapi waktu itu aku pun merasa lebih tenang dan mengira rasa dendamku pada sang guru galak benar-benar akan dibalaskan oleh temanku itu.

yg lengkap di sini