Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Gempa Jogja; Konsep berempati dan memberi kita sebagai manusia

y-control's picture

Gempa bumi yang menimpa Jogja dan sekitarnya memang telah terjadi. Kitapun tak usah beralasan bahwa banyaknya korban yang jatuh di daerah-daerah seperti Bantul, Klaten, Gunungkidul dll. tersebut terjadi karena kita dipukul dari belakang ketika fokus sedang diarahkan ke Merapi. Sungguh tak berperikemanusiaan juga jika kita malah bersikap bak nabi kesiangan dengan mengkait-kaitkan musibah tersebut sebagai akibat dosa warga Jogja yang tidak mendukung kaidah (kelompok) agama tertentu.

TRAGEDI MANUSIA DAN EMPATI KITA

Gempa yang berlangsung tak lebih dari satu menit itu kini memang telah menyita perhatian hampir seluruh rakyat Indonesia, atau paling tidak sempat menyita hampir semua pemberitaan di media televisi kita. Gambar-gambar puing bangunan yang runtuh, kepanikan warga, dan sesudah itu gambar tenda-tenda, evakuasi mayat, dan penderitaan para pengungsi yang kelaparan, sakit dan kedinginan setiap hari mengisi slot-slot berita sampai iklan. Ketika datang kesana, apa yang saya lihat langsung di lapangan sebenarnya tidaklah berbeda dengan apa yang bisa kita lihat di televisi. Tapi ada yang berbeda dan inilah yang paling penting dari sekedar reruntuhan bangunan yaitu MANUSIA! Manusia yang ditampilkan di televisi selalu berbeda dengan ketika kita menemui mereka langsung. Faktor manusia ini tentu saja bukan hal baru bagi Anda, tentunya para relawan, donatur, atau semua orang yang telah mengetahui apa yang sedang terjadi di Jogja dan sekitarnya juga bertindak atas dasar faktor yang satu ini. Dan melalui sikap mereka itulah, sedikit banyak kita kemudian bisa membaca bagaimana pendekatan dan pemahaman mereka akan manusia. Memang setiap orang memiliki pemahaman yang berbeda.

Beberapa orang berpikir bahwa perhatian adalah kebutuhan manusia yang paling pokok. Kesedihan akibat kehilangan sesuatu yang berharga (misalnya sanak keluarga atau harta benda) barangkali bisa disembuhkan dengan mengatakan pada mereka bahwa kita turut berbela sungkawa dan menaruh perhatian pada mereka. Ini memang bukan hal yang salah, yang menentukan adalah bagaimana perwujudan dan bagaimana konteksnya. Bagi segolongan orang, mereka mungkin masih sulit membayangkan rasanya mengalami begitu banyak kehilangan dalam waktu kurang dari 1 menit. Memang tidak semua orang yang mungkin sudah terbiasa dalam kehidupan yang serba terjamin dapat membayangkan bagaimana sebuah perubahan drastis terpaksa terjadi dalam waktu sesingkat itu. Tapi itulah yang memang dialami para pengungsi; rumah yang bagi manusia modern adalah satu bagian terpenting dari pengaman eksistensi mereka kini lenyap, juga makanan, pakaian, pekerjaan. Hidup para korban yang sebagian besar adalah masyarakat kelas bawah, yang sebelumnya telah terjepit dalam berbagai kesusahan kini harus ditambah dengan dengan kondisi gelap, kotor, malu, tanpa rasa aman dan jaminan, sementara di saat bersamaan kondisi kesehatan (ia dan keluarganya) mulai menurun, hanya beberapa waktu setelah ia mendapati orang yang disayangi telah tiada, semua terakumulasi menjadi satu. Pak Samingan, penduduk di salah satu dusun di Gunungkidul yang menjadi tempat jujugan bantuan kami juga menyatakan kekhawatirannya perihal mulai terlihatnya keputusasaan yang bahkan membuat warga pengungsi merasa lebih baik jika mereka bunuh diri dan mengakhiri hidupnya saja. Ini bukanlah kekhawatirannya yang berlebihan, dan tentu ini adalah masalah yang harus menjadi perhatian.

Dengan kondisi seperti di atas dan pemberitaan gencar media, kenyataannya memang masih ada sebagian orang yang timbul rasa simpatinya namun masih belum menyadari konteks yang sedang berlaku. Akibatnya, muncullah apa yang disebut sebagai turis-turis bencana. Mulai dari yang mengendarai mobil bersama keluarga, naik motor beriringan, bahkan menyewa bus pariwisata ber AC, mereka datang 'memberi perhatian' pada para pria, wanita, lansia, anak-anak yang harus berjejal-jejal di bawah terpal yang tidak begitu luas, yang lapar, mulai sakit, takut dan khawatir akan munculnya hujan deras yang masih sangat sering turun di malam hari yang mencekam karena penerangan belum ada, akan gempa susulan yang masih setiap hari mereka rasakan, akan begitu banyak hal mengenai kemungkinan yang sangat mungkin terjadi. Di suatu saat ada bis atau mobil lewat, kecepatannya melambat namun penumpang di dalamnya hanya membuka kaca dengan sebuah tatapan pada mereka, beberapa juga menunjuk-nunjuk reruntuhan rumah mereka. Dan setelah itu, berlalu.

Di lain waktu, mobil-mobil atau kendaraan itu berhenti. Para penumpangnya turun (adakah yang mengeluhkan mual atau tentang AC mobil yang tidak bekerja baik?). Sebuah bungkusan atau sebuah kardus, entah apa isinya, mereka bawa dan segera saja mereka mencari ketua RT setempat. Beberapa yang lain sibuk memotret atau mengabadikan lewat handycam, terutama ketika bungkusan itu diserahkan kepala rombongan kepada ketua RT setempat. Sementara para bayi yang terbaring kedinginan di tanah itu diambil gambarnya. Untuk koleksi pribadi, untuk latihan menjadi fotografer atau untuk ditunjukkan kepada teman- temannya guna mengatakan bahwa ia sudah pernah pergi ke lokasi bencana. Sudahkah kalian melihat mereka? Belum pernah, aku sibuk, tak sempat datang, tapi kantorku/ gerejaku/ kampusku/ partaiku/ sudah menyumbang 1 dus mie instant. Yah jangan dilihat nilainya (lihatlah bahwa itu membuktikan kalau aku bukan orang atau golongan yang tidak memiliki rasa kemanusiaan). Lainnya menimpali: Aku sudah menghadiri sebuah konser amal yang hasil penjualan tiketnya akan disumbangkan kepada korban bencana, asik nih foto-fotonya, gila Element keren banget nggak sih. Seorang lagi berkata: di posko katanya sudah menumpuk sumbangan, aku juga khawatir bantuan dikorupsi lagipula bisnis lagi sepi, kalau ada waktu aku akan datang sendiri menyerahkan sumbangannya.

Gempa kali ini memang tak sama dengan tsunami Aceh yang terletak jauh dari pulau sentral di Indonesia yang paling padat dan banyak masalah: pulau Jawa, akses pun lebih mudah ditempuh. Mestinya ini bisa membuat kekurangan pangan, tenda, obat-obatan dsb dapat cepat diatasi, namun kenyataan yang terjadi tidaklah demikian. Selain turis-turis bencana tadi, ada juga beberapa pihak yang sengaja datang untuk melakukan pencurian, atau memanfaatkan situasi dengan menyamar sebagai penggalang sumbangan, hal itu telah menjadi masalah tersendiri. Sungguh mengherankan jika berpikir bahwa kejahatan yang sangat sangat jahat ini bisa muncul di negara yang masyarakatnya begitu agamis, yang beberapa waktu lalu ratusan ribu rakyatnya menggelar demo anti kebejatan dan yang sangat menjunjung akhlak dan moralitas di atas segalanya ini. Inilah tragedi kemanusiaan kita yang lain, apakah perilaku ketegaan macam ini disebabkan karena sering melihat wanita pakai tank top dan rok mini? Sekali lagi bisa kita periksa otak kita masing-masing.

Dan presiden mengatakan tidak ada penjarahan, sama seperti Menkokesra yang dulu mengatakan tidak ada kelaparan di Yahukimo, hanya gejalanya saja, pihak lain mengatakan penjarahan memang ada tapi tidak sistematis. Apapun kata mereka, kesulitan yang dialami para pengungsi kini makin bertambah. Tidak hanya kesedihan, kekurangan dan kekuatiran, namun kesemuanya itu kini juga telah terakumulasi dalam bentuk kegeraman yang wujudnya dapat dilihat di lokasi, mulai dari yang halus, misalnya lewat tulisan: "Kami bukan Tontonan", "Piknik ya?" dsb hingga pemeriksaan dan pelarangan masuknya mobil yang tidak membawa bantuan dan bukti jika mereka benar-benar relawan yang terpercaya.

BIROKRASI DAN KONSEP MEMBERI

Terutama ketika melewati wilayah Klaten, kita bisa melihat pemandangan yang lebih mirip aksi jualan. Kibaran bendera parpol dan tenda-tenda yang penuh dengan atribut parpol sepertinya sengaja didirikan dan dipasang di pinggir jalan-jalan raya, tentu dengan tulisan besar- besar: "Posko Partai.. Peduli Gempa". Pemandangan 'lucu' juga dilihat kawan saya di posko sebuah parpol yang menjanjikan keadilan dan kesejahteraan, dimana di atas terlihat benderanya yang begitu besar berkibar namun dibawahnya hanya membagikan 4 dus mie instant untuk begitu banyak pengungsi yang lapar. Pemandangan itu boleh jadi menunjukkan apa yang menjadi prioritas mereka mendirikan posko.

Derrida pernah mengatakan jika tidak ada pemberian yang benar-benar murni diberikan tanpa berharap balasan. Orang yang memberi paling tidak akan mengharapkan balasan berupa ucapan terima kasih atau agar tindakannya dicatat oleh malaikat di surga, atau untuk mendapatkan kepuasan pribadi melihat orang lain senang. Saya sendiri mungkin tidak akan menaruh perhatian begitu besar jika yang tertimpa bencana bukan Jogja, kota yang saya cintai dan telah memberikan saya banyak hal menyenangkan itu. Jadi mungkin ini seperti keinginan membalas budi. Kita tahu apa yang diharapkan oleh partai tersebut, hanya saja menurut saya balasan yang mereka harapkan atas pemberian mereka tersebut sudah keterlaluan. Kunci keberhasilan dalam dunia politik mungkin adalah sifat oportunis, namun benarkah hanya itu? Bagaimana bisa mereka menganggap masa prihatin akibat bencana ini sama seperti masa kampanye pemilu? Lagipula apakah yang diperjuangkan para penyandang sifat oportunis selain kepentingan dan ambisi dirinya sendiri?

Langkah pemerintah juga tak jauh beda, bahkan jauh lebih buruk jika mengingat bahwa merekalah seharusnya yang memiliki kewajiban dan tanggung jawab terbesar dalam menangani masalah yang menimpa warganya. Saya tidak tahu apakah bantuan dari pemerintah yang dikumpulkan dari berbagai negara dan sumbangan rakyat lainnya itu sudah mulai didistribusikan atau belum. Atau mereka masih menunggu para pengungsi mencari KTP mereka yang hilang di antara reruntuhan serta sapuan aliran hujan dan menunggu ketua RT dan lurah yang mungkin masih sering sibuk dan susah ditemui untuk membuatkan surat pengantar bagi warganya? Bagaimana dengan warga yang tidak disukai lurah atau RT setempat atas alasan pribadi? (seperti yang terjadi pada pemilihan penerima BLT). Laporan adanya RT yang tidak mau mendistribusikan bantuan yang telah dipasrahkan kepadanya inipun memang ada. Logistik yang menumpuk, busuk dan akhirnya dibuang membuat para pengungsi lebih memilih percaya pada bantuan pihak non-pemerintah. Inilah kenyataannya. Dan para relawan penggalang dan pendistribusi bantuan non-pemerintah sendiri sepertinya sudah tak ambil pusing dengan bantuan dan langkah lambat Bakornas, para relawan dan donatur luar negeri nampaknya juga makin lebih percaya kepada koordinasi posko- posko bantuan non-pemerintah.

Bagi beberapa pengungsi, kekecewaan pada birokrasi tanpa hasil tadi meluap dalam bentuk penjarahan yang dibawa para pengantar bantuan. Inilah dilemanya, pendataan dan catatan tentang apa yang dibutuhkan pengungsi, siapa yang menerima, dan perlunya aturan agar bantuan bisa dibagikan secara merata jelas sangat diperlukan agar tidak ada pengungsi pria mendapat bantuan pembalut, atau lansia mendapat susu bayi. Administrasi juga perlu agar tidak ada bantuan yang terkorupsi, agar bantuan dapat sesuai dengan apa yang dibutuhkan, dalam hal jumlah atau jenisnya. Namun contoh yang ditunjukkan birokrasi ruwet ala pemerintah itu telah menyebabkan pengungsi anti dengan tanda tangan di formulir dan pemusatan bantuan di satu titik.

Selama beberapa hari di Jogja. Saya merasa kecil dan tidak berguna setiap kali ada orang yang datang ke posko kami, menyatakan kebutuhan di daerah anu belum tercukupi namun persediaan di posko saat itu sedang habis sehingga iapun harus pergi dengan kecewa. Perasaan ketika tidak bisa memberi adalah lebih berat daripada ketika hendak mengorbankan milik kita untuk diberikan kepada orang lain. Konsep kita tentang empati dan memberi sangat tergantung pada pandangan pribadi kita akan manusia itu tadi. Lihat saja pihak-pihak di atas dan pilihlah pendekatan mana yang lebih cocok, atau Anda memiliki pendekatan sendiri? Semuanya terserah Anda. Jika bergabung dengan posko pihak non-pemerintah menjadi pilihan Anda, atau malah ingin mendirikan posko sendiri karena Anda tidak percaya dengan orang lain selain diri sendiri, satu hal yang penting adalah koordinasi. Saling berhubungan dengan posko-posko lain, bertukar informasi sehingga bantuan yang diberikan bisa tepat sasaran terutama dari segi lokasi serta jenis dan jumlah bantuan. Sedang untuk yang tidak memiliki kesempatan untuk terjun langsung ke lapangan seperti saya kini, keberadaan di lapangan juga bukanlah hal terpenting. Daripada seperti turis bencana atau malah penjarah, yang penting kini adalah apa yang bisa Anda dan saya lakukan disini untuk mereka? Saya harap akan ada banyak.