Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Galau Hati Seorang Kristen Yang Akan Kehilangan Kampung Halaman

guestx's picture

Seorang teman mengeluhkan kampung halamannya yang berubah total sejak ditetapkan sebagai ibukota kabupaten hasil pemekaran daerah. Dia galau. Berdiskusi tentang kegalauannya dengan saya malah membuat dia semakin sewot.

Kecamatan tempat kampungnya berada yang tadinya relatif tenang sekarang berubah menjadi kota kecamatan dimana bupati dan jajarannya berkantor. Sejalan dengan perkembangan itu, kegiatan ekonomi pun menggeliat. Beberapa bank BUMN dan Bank Pembangunan Daerah membuka cabang, banyak hotel baru dibangun, jalan utama menjadi pusat komersial yang diisi toko atau ruko (rumah toko). Harga tanah dan rumah meningkat berkali lipat, karena meningkatnya permintaan akan tempat tinggal yang dipicu datangnya para pegawai dari luar daerah mengisi jabatan-jabatan di pemerintahan daerah.

Saya pikir hal itu sebenarnya sangat baik. Pembangunan memberi manfaat dengan semakin majunya wilayah tersebut. Tetapi, teman itu ternyata mengamati fenomena di luar hal positif dari peningkatan status kampungnya menjadi ibukota kabupaten.

Meningkatnya kemajuan kampungnya rupanya menarik pula bagi para pedagang dari luar pulau. Pedagang makanan dan jajanan yang dijual di pinggir jalan atau dijajakan dengan gerobak dorong atau  dengan sepeda motor menjadi warga baru di sekitar kampungnya. Mereka berasal dari suku lain dan beragama berbeda dengan mayoritas warga kampungnya yang Kristen. Sebenarnya tidaklah masalah tentang kehadiran suku lain, karena sejak puluhan tahun lalu di tepi kampungnya sudah ada komunitas suku lain dan non-Kristen. Komunitas ini cukup kecil dan sebelum pemekaran wilayah jumlah mereka relatif tidak bertambah kecuali karena kelahiran. Mereka hidup harmonis dengan penduduk asli yang agama dan budayanya sangat berbeda. Tak sekali pun pernah ada insiden dan mereka memiliki rumah ibadah yang cukup besar di dekat pasar yang sekarang menjadi tengah kota.  

Yang menjadi keluhan teman saya adalah berubahnya demografi di kampungnya dengan mengalirnya terus para pendatang, khususnya para pedagang itu. Tahun demi tahun pendatang baru terus bertambah. Setapak demi setapak lahan sawah berubah jadi rumah tinggal pendatang dan perkampungan dimana sebelumnya terkonsentrasi kerabat teman tersebut berubah jadi pemukiman yang heterogen. Suasana kampung semakin samar. Jika dulu pulang kampung berarti akan ketemu sanak saudara di sepanjang jalan, maka sekarang di jalan menuju rumah keluarga besarnya dia bertemu dengan orang-orang 'asing'. Rumah-rumah dengan arsitektur khas di kampung berubah menjadi rumah-rumah fungsional ala rumah kota. 

"Tapi, bukankah modernisasi selalu seperti itu ?" tanya saya dan meluncurlah cerita panjang dari teman saya.

Ternyata keluhan teman saya bukan itu saja. Hadirnya puluhan atau ratusan keluarga pendatang telah memunculkan  pernikahan yang lebih sering antara warga lokal dengan pendatang - sesuatu yang jarang terjadi di masa lalu karena perbedaan agama. Paling sering terjadi warga lokal - termasuk beberapa saudaranya - yang Kristen berpindah keyakinan ketika menikahi pria atau wanita pendatang, meskipun sebaliknya satu dua ada juga dari pendatang yang menjadi Kristen. 

Itulah yang menggalaukan teman saya : Budaya kampung halamannya menjadi semakin terkikis. Dia memproyeksikan dalam beberapa belas tahun ke depan, kampungnya akan hanya tinggal nama dengan sedikit peninggalan  berupa makam para leluhurnya (itu pun kalau tidak digusur). Mungkin seperti beberapa perkampungan Betawi di Jakarta yang sudah tak menyisakan lagi warga asli.

Dia juga merasa kehadiran para pendatang dalam jumlah besar itu seperti punya misi khusus. Kampungnya yang tadinya merupakan wilayah 'kantong' Kristen perlahan menjadi daerah yang tak lagi dominan agama penduduk asli. Hal ini diperburuk dengan semakin banyaknya penduduk lokal usia sekolah atau angkatan kerja yang merantau ke luar daerah (dan tak kembali lagi).

Saya utarakan pendapat saya, bahwa perpindahan penduduk di seluruh wilayah NKRI adalah wajar saja. Alasannya biasanya adalah ekonomi. Buktinya, kampungnya menjadi menarik orang luar karena ada kesempatan mencari nafkah di sana. Penduduk kampungnya yang merantau pun sekarang 'menduduki' daerah orang lain. Jadi, cukup "fair" jika penduduk di negeri ini dibiarkan saja mengalir kemana mereka mau, selama tidak mengganggu.

Teman saya kurang senang dengan pandangan saya. "Warga kampung saya pindah ke kota besar, bukan masuk ke kampung orang lain!" tukasnya.

"Sama saja. Kampung kamu sekarang sudah jadi kota. Salahkan pembangunan yang menaikkan status kampungmu menjadi kota, bukan orang-orang pendatang yang masuk ke sana," kata saya.

Kemudian dia bertanya pandangan saya tentang asimilasi pendatang dan penduduk lokal yang membuat beberapa kerabatnya pindah agama.

"Itu karena kalian tolol!" ujar saya dengan sengaja memilih kata yang keras itu. Dia mendelik dan tampak tak sabar menunggu lanjutan kalimat saja.

"Bukankah kalian Kristen mayoritas di kampung kalian ? Bukankah tak ada yang bisa memaksa kalian pindah agama ? Bahkan kalaupun mereka sengaja menyebarkan agama mereka, apa yang mau dipermasalahkan selama mereka tidak memaksa atau dengan menjebak dan menipu ? Kalau ada yang mau pindah ke agama para pendatang, kalian tolol untuk mempersoalkannya."

Teman saya terlihat sewot mendengar pendapat saya. Saya menurunkan nada suara.

"Ketika ada pendatang pindah dan menjadi warga kampung kamu, apakah yang mereka lihat? Adakah kedamaian, kejujuran, kesejahteraan yang menjadi ciri agama Kristen yang menjadi anutan mayoritas keluarga kamu di sana? Ataukah mereka melihat orang-orang pemberang, pemalas, penjudi, pemabuk dan pertikaian berdarah antar saudara atas hak tanah warisan ?"

Matanya semakin membesar dan melotot. Saya tetap tenang dan melanjutkan, "Bukankah para pendatang itu justru membawa kesempatan bagi warga kampung kamu untuk kehidupan yang lebih baik? Kekristenan di kampung kamu mungkin pernah mengangkat hidup leluhur kamu dari kegelapan, tapi barangkali sekarang sudah tak bermakna banyak lagi dalam kehidupan keseharian. Apakah gunanya mempertahankan kekristenan sekedar sebagai tradisi? Bukankah jika orang Kristen di kampung kamu menjadi garam dan terang dalam kehidupan sehari-hari, mereka akan "menggarami" dan "menerangi" para pendatang yang datang ke kampung kamu? Jika garam tak lagi asin, apakah gunanya kecuali dibuang dan diinjak-injak ?"

Kali ini teman saya benar-benar marah dan setengah berteriak dia bertanya, "Apakah kamu sudah bukan Kristen?!"

Saya menahan diri untuk berbicara. Mencoba memikirkan kata-kata yang tepat, akhirnya saya menjawab dengan balas bertanya sekalem mungkin," Memangnya apa gunanya menjadi Kristen?"

 

# by GX 24.09.2015

__________________

------- XXX -------

Purnomo's picture

Guestx: kado kamu

aku teruskan ke Komisi Sekolah Minggu gerejaku ya.
Semoga isinya cd2 yang bisa dimanfaatkan oleh para GSM.
Thx.

guestx's picture

saya senang

saya sangat senang dan juga berterimakasih Pak Pur meneruskannya kepada yang bisa menggunakannya dengan baik.

__________________

------- XXX -------