Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

In the Fishbowl?

xaris's picture

(Sekilas coretan “iseng” tentang living in the fishbowl…)

“Gimana yah rasanya berpasangan dengan hamba Tuhan?” seorang teman bertanya, yang saya jawab dengan kerutan dalam di dahi yang lebar ini seraya berkata, “Yah, pastinya rasanya seperti berpasangan dengan hamba Tuhan!” Tetttooottt, jawaban yang aneh…! Tapi…mungkin sama anehnya dengan pertanyaan yang diajukan... Ini serius meski sambil nyengir kuda selebar-lebarnya. Ada apa dengan hamba Tuhan?

Koreksi. Koreksi. Koreksi. Setiap umat pilihanNya juga dipanggil untuk menjadi hambaNya. Setiap pengikut Kristus juga dipanggil untuk turut memikul salib, menyangkal diri, taat perintah-perintahNya, hidup benar, dll. Jadi apa bedanya yang kita sebut hamba Tuhan dengan yang tidak “bergelar” demikian? Nah, itulah masalahnya. Kita sendiri yang membuat pembedaan-pembedaan yang tidak perlu itu.

Memang ada pembedaan-pembedaan yang perlu seperti para teolog diharapkan lebih mengerti hal-hal yang berhubungan dengan teologi, paling tidak secara kognitif. Sama seperti seorang yang berkecimpung di bidang seni diharapkan lebih mengerti hal-hal yang berkenaan dengan seni. Karena setiap orang memang punya tugas, panggilan dan talenta masing-masing yang diberikan pada Tuhan. Itu sah-sah saja tentu.

Tapi dalam hal hamba Tuhan, saya melihat ada beberapa (kalau tidak banyak banget gitu deh) tuntutan yang “tidak adil” terhadap orang-orang yang disebut hamba Tuhan. Menjadi hamba Tuhan seringkali identik dengan hidup minim rupiah (boro-boro USD), dilarang berbuat kesalahan, harus bisa multi fungsi, akrab dengan penderitaan, taat firman Tuhan (sampai tahap dianggap ekstrim), sementara orang lain tidak perlu demikian. Aneh… Komentar seorang hamba Tuhan senior yang baru-baru ini saya dengar berkata seperti ini, “Jadi hamba Tuhan itu seringkali tidak dimengerti orang lain…” Ooops… jadi pengikut Kristus yang sejati itu seringkali tidak dimengerti orang lain mungkin lebih tepat? Ah… silahkan para hamba Tuhan menjawab pertanyaan ini (ah, males deh!)…

Bangsa Israel # Jaga Image

Dalam salah satu kelas yang saya hadiri, ibu Inawaty Teddy yang begitu handal mengupas perjalanan bangsa Israel di sepanjang sejarah Perjanjian Lama mengingatkan bahwa sesungguhnya sejarah yang dicatat bukanlah sejarah tentang dunia ini, melainkan sejarah tentang umat pilihan Tuhan dari keturunan Israel. Segala sesuatu yang terjadi, baik jatuh bangunnya suatu bangsa, perang damainya suatu masa, berputar dengan berporos pada kehidupan umat Israel. Suatu bangsa yang dipilih Tuhan untuk menjadi gambaran bagi mata dunia tentang bagaimana hubungan antara Allah Sang Pencipta dengan ciptaanNya.

Kalau boleh, saya lebih suka menggunakan analogi kehidupan bangsa Israel untuk menggambarkan kehidupan para hamba Tuhan atau lebih tepatnya orang-orang yang disebut hamba Tuhan. Menjadi hamba Tuhan berarti memiliki hidup yang bersedia dijadikan gambaran bagi dunia ini seperti bangsa Israel dimata bangsa-bangsa kafir pada masa itu. Dalam kesuksesan menjalankan panggilan dan juga berbagai kejatuhan yang dialami. Dalam ketaatan dan juga ketidaktaatan. Dalam kesukacitaan dan juga kedukacitaan. Dan terutama dalam pergumulan menghadapi dosa.

Beberapa saat yang lalu seorang mahasiswa teologi muda berkali-kali berkata pada saya, “Aduh, harus jaga image nih!” Hati saya terasa jatuh ke dasar sumur yang lagi kering airnya. Lecet-lecet gitu deh… Kenapa? Karena yang sesungguhnya dijaga bukan image-nya Tuhan yang dilayaninya, melainkan image-nya sendiri yang dibungkus slogan “Soli Deo Gloria” (duh, kenapa gloria lagi…). Malam itu saya doakan agar Tuhan mengubah hati teolog muda itu sehingga di masa nanti dia tidak akan hancur akibat ja’im-ja’imnya itu. Justru seperti bangsa Israel yang dipilih Tuhan menjadi berkat bagi bangsa-bangsa lain lewat perjuangan mereka melawan dosa. Menjadi berkat bukan hanya lewat keberhasilan mereka, melainkan juga kegagalan-kegagalan mereka. Keliru melihat ini membuat kita terjebak mendewakan hamba Tuhan.

Di sisi lain saya juga berhadapan dengan orang-orang yang mengeluh dalam-dalam tentang kelakuan para hamba Tuhan yang dikatakan sebagai hamba berjiwa nge-boss, sehingga sudah seharusnya malu pada para boss yang berjiwa hamba. Meski prihatin mendengarnya, yang pertama-tama menyentak saya adalah kenyataan bahwa saya pun punya andil dalam menjadikan hamba-hamba Tuhan tersebut menjadi demikian. Kekaguman dan simpati yang dirasakan untuk para hamba Tuhan, sangat mungkin sekaligus juga membuat saya terlalu meninggikan para hamba Tuhan yang kemudian berakibat pada keinginan dari para hamba Tuhan tersebut untuk diperlakukan lebih istimewa. Efek domino. Vicious cyle. Semoga Tuhan memberikan lebih banyak belas kasihan dan anugerah kepada setiap orang yang berjuang menghancurkan lingkaran setan ini…

Para Pendamping

Saya pernah membaca tulisan seorang wanita yang bertajuk Ogah Jadi istri Hamba Tuhan!, dibaca terasa lucu, direnungkan terasa trenyuh, dijalani terasa…yak, silahkan para istri hamba Tuhan menyelesaikan kalimat ini, hehehe… Mudahkah menjadi pendamping hamba Tuhan? Seharusnya sama tidak mudahnya dengan menjadi pendamping keturunan Adam/Hawa manapun. Tetapi sayangnya banyak yang terjebak dalam pembedaan-pembedaan seperti di atas. Seorang anak remaja yang tampil di Oprah berkata begini, “My father is a pastor, I live in the fishbowl and I hate it.” Tetapi apakah masalahnya karena seperti hidup di dalam fishbowl?

Sebetulnya bukan hanya para keluarga hamba Tuhan yang hidupnya bagaikan di dalam fishbowl. Kehidupan para selebritis misalnya, para pemimpin, tokoh masyarakat, semua juga hidup di dalam fishbowl. Tapi mungkin yang memberatkan bagi para pendamping hamba Tuhan (termasuk anak-anak mereka!) adalah karena seringkali adanya tuntutan yang tidak realistis bahwa keluarga hamba Tuhan harus identik dengan hamba Tuhan itu sendiri. Mereka tidak lagi dipandang sebagai pendamping yang masing-masing memiliki panggilan tersendiri dari Tuhan, melainkan sebagai hamba Tuhan itu sendiri. Bahkan meskipun bila panggilan mereka bersesuaian dengan panggilan sebagai hamba Tuhan itu sendiri, tetap saja dianggap yang paling ideal adalah jika pendampingnya menjadi kembaran (atau kloning?!) dari hamba Tuhan itu sendiri.

Bersyukur sekali dengan sharing dari para pendamping hamba Tuhan yang saya temui disini, Pastor’s Wives, yang membuat saya semakin mengerti arti pendamping hamba Tuhan. Saya ulangi lagi, p-e-n-d-a-m-p-i-n-g. Semoga dengan memahami ini saya lebih realistis melihat peran para pendamping hamba Tuhan yang saya temui. Baik suami, istri maupun anak-anak mereka.

Di dalam semua yang saya coba pikirkan di atas, satu hal yang saya akan coba untuk terus mengingat yaitu bagaimana dan apa yang dikatakan atau dilakukan Kristus selama masa-masa hidupnya di dunia. Bagaimana perannya sebagai seorang hamba yang tidak mempedulikan apapun yang dikatakan orang tentang diriNya dan pusat hidupnya yang begitu jelas terporos pada misi yang diberikan Allah Bapa pada diriNya. Tidak ada orang lain yang pernah hidup di dalam fishbowl seperti Kristus. Tidak ada selebriti yang begitu dimusuhi dan direndahkan seperti Dia. Tidak ada orang begitu disalahmengerti sepertiNya, celakanya kalaupun kita suka disalahmengerti, kitapun sering pula salah mengerti orang lain, tidak demikian dengan Kristus. Tidak ada orang yang dituntut begitu rupa akan kesucian hidupNya seperti Kristus. Sekaligus begitu transparan dengan kehidupanNya sehingga pergumulanNya melawan dosa menjadi berkat bagi kita semua.

Terima kasih Kristus buat kehidupanMu untuk kami teladani, tetapi terlebih lagi buat penebusanMu yang akan melengkapi kami semua menjalani perjalanan kami masing-masing di dunia ini…