Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

FILM SEJARAH KITA MASIH SEDIKIT

Tante Paku's picture

Belum lama ini ada rilis film baru yang  ber-genre sejarah, sayangnya cuma fiksi yang mengambil setting masa revolusi fisik  1947. Di antara sekian puluh film yang bertema CINTA atau HANTU, film ini menyeruak di antara kebekuan para sineas film kita yang lebih mementingkan tuntutan para broker, yang murni pengusaha yang pasti memperhitungkan besar kecilnya keuntungan

     Kita memang kekurangan film sejarah. Persoalannya jelas karena film sejarah belum tentu laku. Pikiran semacam inilah yang sering menghinggapi benak para produser kita. Anggapan tersebut memang ada benarnya, karena untuk membuat film sejarah tentu memerlukan investor yang bersedia membiayai pembuatan film tanpa perhitungan komersil. Dan pasti orang film kita mampu membuat film yang baik dan bermutu bila diberi kesempatan berikut dana yang cukup dan kebebasan berkarya sepenuhnya.

     Dibandingkan film bertema percintaan, horor, humor, film sejarah memang menduduki ranking paling akhir. Padahal film sejarah peranannya cukup penting bagi generasi sekarang. Generasi sekarang lebih banyak menghafal saja, memang ada buku, televisi, koran, majalah, HP, yang merupakan media yang tepat untuk itu. Toh film pun mampu hadir lebih hidup.

     Untuk menggarap film sejarah memang tidak bisa sebulan atau dua bulan, persiapannya bisa bertahun-tahun. Lihat saja film TJOET NYA' DHIEN (1988), dari persiapan sampai selesai memakan waktu sekitar 2 tahun. Bahkan proses film tersebut banyak menghadapi hambatan, utamanya masalah keuangan. Film yang disutradarai Eros Djarot itu akhirnya berhasil menggondol 8 piala Citra pada FFI l988 lalu.

     Dari sini jelas, film di Indonesia lebih mengutamakan segi komersil daripada bikin film baik tapi tidak komersil. Dan kita rupanya kurang menghargai film berlatar sejarah. Sementara banyak film kita yang berlatar sejarah dibawa ke Belanda, sebut saja : KARTINI, DOEA TANDA MATA, ENAM JAM DI YOGYA, PERINTIS KEMERDEKAAN, SERANGAN FAJAR, MEREKA KEMBALI, BANDUNG LAUTAN API, SURABAYA 45,JANUR KUNING. PAGAR KAWAT BERDURI dll.

     Kita sebetulnya kaya akan film sejarah, sejarah sebelum revolusi, tapi kenapa belum disentuh. Sebenarnya kita mampu film sekaliber THE LAST EMPEROR, GANDHI, KILLING FIELD misalnya, dengan catatan pemerintah mau mengulurkan tangan dalam pendanaannya. Kalau pembuatannya diserahkan kepada swasta, tentu perhitungannya adalah keuntungan, dan ini bisa mengurangi nilai filmisnya.

     Film sejarah bisa menjadi sarana yang efektif penghubung generasi yang akan datang dengan masa lampau. Karena sejarah kita sama, meski budaya etnis berbeda. Dan jangan lupa, kita disatukan oleh sejarah. Nah andaikata pemerintah memberikan perhatian, swasta pun tentu tak mau ketinggalan dalam memberikan perhatian. Hasilnya tentu film kita semakin bermutu.

     Film MERAH PUTIH yang diproduseri Hashim Djojohadikusumo (Seorang pengusaha saudara kandung Prabowo Subianto) dan disutradarai Yadi Sugandi ini banyak melibatkan sineas terbaik dari Indonesia, juga merekrut para ahli efek dan senjata dari Hollywood sehingga film ini tampil dengan gaya Hollywood. Sayangnya film ini cuma fiksi sejarah, sama seperti film NAGA BONAR, akankah bisa selaris NAGA BONAR yang sudah jadi 2 itu?

     Tantangan masa depan semakin luas menghadang dan kita harus bersama-sama mempersiapkan diri dalam banyak bidang. Jadikanlah film bagian dari kebudayaan agar pemerintah tak segan-segan turun tangan.

 

                                                                

Semoga  Bermanfaat  Walau  Tak  Sependapat

 

                                                                     *****

    

__________________

Semoga Bermanfaat Walau Tidak Sependapat

dennis santoso a.k.a nis's picture

film indo

isu terutama di film adalah laku atau nggak.

film2 hollywood, entah pake dukun dari hongkong yang mana, selalu laku atau minimal hipotesa zero nya selalu diduga akan laku. hal yang berkebalikan terjadi dengan film2 indo.

film2 hollywood yang menang oscar, rata2 film yang banyak ditonton. film2 indo yang menang ffi atau piala citra atau apa deh, biasanya adalah film2 yang "katanya bagus" tapi orang2 awam kayak gue jangankan pernah nonton, denger aja ga pernah.

kadang mikir, apakah terjadi gap yang besar antara selera audience dan selera para insan perfilman indo sehingga ini bisa terjadi? andai gap itu beneran ada, selera manakah yang seharusnya lebih diperhatikan dalam membuat film?

KEN's picture

Film Indonesia Pertama yg Saya Suka

Walaupun dengan bantuan dari pihak Hollywood, gpp deh, yg penting ambil ilmunya, majukan perfilm-an Indonesia!

Tante Paku's picture

Pameo Film

     Dalam dunia perfilman pasti mengenal pameo yang cukup populer yaitu : "Membuat film begitu susah, tapi lebih susah lagi mengedarkannya." Ada pameo lain : "Film baik belum tentu laku dan film yang laku belum tentu baik."

     Pameo tersebut bagi buah simalakama bagi sutradara khususnya dan insan film umumnya. Kita memang belum menemukan rumusan tentang film yang baik sekaligus laku.

__________________

Semoga Bermanfaat Walau Tidak Sependapat