Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Eksposisi Roma 1:14-15: HAMBA KRISTUS: MENGASIHI JIWA & MEMBERITAKAN INJIL
Seri Eksposisi Surat Roma: Hamba Kristus dan Fokus Injil-4
Hamba Kristus: Mengasihi Jiwa dan Memberitakan Injil
oleh: Denny Teguh Sutandio
Nats: Roma 1:14-15
Mengapa di ayat-ayat sebelumnya (sebelum ayat 14), Paulus berkeinginan mengunjungi jemaat di Roma ? Alasannya terdapat di dalam ayat 14-15, yaitu, “Aku berhutang baik kepada orang Yunani, maupun kepada orang bukan Yunani, baik kepada orang terpelajar, maupun kepada orang tidak terpelajar. Itulah sebabnya aku ingin untuk memberitakan Injil kepada kamu juga yang diam di Roma.” Inilah citra diri seorang hamba Tuhan sejati, memiliki hati mengasihi jiwa. Bukan hanya memiliki hati yang mengasihi jiwa, Paulus pun sampai-sampai menyebutkan bahwa dirinya berhutang kalau tidak segera memberitakan Injil. Kata “hutang” di sini di dalam terjemahan King James Version maupun International Standard Version (ISV) sama-sama menggunakan istilah debtor. Di dalam Alkitab Bahasa Indonesia Sehari-hari, kata “berhutang” diganti dengan kata “mempunyai kewajiban”. Hal ini identik dengan terjemahan English Standard Version (ESV) yang menerjemahkan, “under obligation” dan New International Version (NIV) menerjemahkannya, “I am obligated” (saya diharuskan/diwajibkan). Dari perbedaan istilah yang dipakai ini, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa sebenarnya Paulus merasa diri memiliki hutang yaitu suatu kewajiban yang harus diembannya sebagai hamba Kristus yaitu memberitakan Injil. Saya membagi dua tahap di dalam dua ayat ini. Tahap pertama, Paulus berhutang. Sebelum memberitakan Injil, perasaan berhutang sudah dimiliki oleh Paulus. Ini berarti rasa mengasihi jiwa-jiwa yang berdosa sudah ada di dalam benak Paulus. Oleh karena itu, menjadi kerinduannya untuk mengunjungi jemaat Roma.
Perasaan berhutang ini pun seharusnya menjadi perasaan kita di dalam mengasihi jiwa-jiwa yang tersesat, sama sekali bukan suatu keterpaksaan yang memberatkan. Mungkin di dunia ini, kalau kita mengerti konsep hutang berarti mau tidak mau kita harus membayar hutang kita (otomatis dengan terpaksa). Tetapi konsep hutang demikian tidaklah diajarkan oleh Alkitab, karena hutang ini bukan lahir dari keterpaksaan, tetapi dari kerelaan hati yang siap tunduk kepada Allah sebagai Tuhan dan Pemilik hidup anak-anak-Nya. Mengapa bisa muncul sikap kerelaan hati ini ? Karena sebagai anak-anak Tuhan, kita telah dimerdekakan dari kutuk dosa, iblis dan maut oleh penebusan Kristus. Paulus mengungkapkan hal ini di dalam Kolose 2:13,14, “Kamu juga, meskipun dahulu mati oleh pelanggaranmu dan oleh karena tidak disunat secara lahiriah, telah dihidupkan Allah bersama-sama dengan Dia, sesudah Ia mengampuni segala pelanggaran kita, dengan menghapuskan surat hutang, yang oleh ketentuan-ketentuan hukum mendakwa dan mengancam kita. Dan itu ditiadakan-Nya dengan memakukannya pada kayu salib:” Kata “surat hutang” memang tidak identik dengan yang dipaparkan di dalam Roma 1:14 tentang perasaan berhutang Paulus. Kata “surat hutang” ada yang diterjemahkan the record of debt (ESV), the charges (ISV), the handwriting of ordinances (KJV). Semuanya itu berarti Kristus telah mengampuni dosa kita dan menebus segala dosa dan pelanggaran yang membelenggu kita dengan memakukannya di kayu salib. Darah Kristus telah menghapus semua dosa kita, karena hanya darah Anak Domba Allah yang 100% suci yang mampu membersihkan kenajisan manusia yang berdosa. Sebagai umat tebusan Allah, sudah seharusnya hati yang berhutang atau mengasihi jiwa-jiwa harus kita miliki, karena itu bukti kita mencintai Allah. Seorang yang mencintai Allah tetapi tidak mencintai jiwa-jiwa yang berdosa, itu berarti mereka tidak pernah mencintai Allah. Mencintai jiwa-jiwa yang berdosa tidak sama dengan mencintai dosa-dosa mereka. Marilah kita belajar dari Tuhan Yesus yang mencintai manusia yang berdosa dan membenci dosa-dosa mereka. Dunia kita mengajarkan konsep mencintai dengan tidak ada aturan yang bertanggungjawab. Apa itu mencintai ? Mereka mendefinisikan bahwa mencintai itu setulus hati mencintai dan menerima apa adanya, bahkan kalau perlu menerima dosa-dosanya sekalian. Inikah cinta kasih Kristen ? Tidak. Cinta kasih memang harus tulus, tetapi tidak boleh dikompromikan. Ketika ada sesama kita yang berdosa, sebagai wujud cinta kasih, kita tidak boleh membiarkannya, tetapi menegurnya dengan kasih dan pengajaran, sehingga mereka boleh bertobat. Seorang yang mengatakan bahwa dirinya mengasihi tetapi membiarkan sesamanya hidup di dalam dosa, adalah seorang yang sebenarnya tidak pernah mengasihi, tetapi mengasihi apa yang dimiliki oleh sesamanya atau mengasihi kalau memerlukan sesuatu. Inilah kasih yang bersyarat. Kasih Kristen adalah seperti kasih Tuhan Yesus yang tidak bersyarat (unconditional love), kasih Agape yang tidak berarti mengkompromikan dosa, tetapi menghendaki manusia yang berdosa segera meninggalkan dosa-dosa mereka dan kembali kepada-Nya. Itulah wujud kasih Kristen yang sejati, sama seperti (beda secara kualitatif) seorang laki-laki yang mengasihi pasangannya (baik pacar maupun istrinya) adalah laki-laki tersebut akan menegur pasangannya jika ada yang kurang atau salah, misalnya mengumpat, dll, tujuannya agar pasangannya juga bisa hidup baik. Hal ini mengajarkan kepada kita untuk tidak egois. Sikap mengasihi jiwa adalah sikap yang tidak egois. Orang Kristen yang egois adalah orang Kristen yang hanya menginginkan dirinya saja yang selamat, lalu masa bodoh dengan orang lain yang belum selamat. Tetapi bukan itu yang Tuhan inginkan. Tuhan ingin kita menjadi saksi dan berkat bagi orang lain dengan mengasihi mereka. Mengasihi adalah tanda seseorang berani merelakan dirinya menjadi saluran berkat dan kasih bagi orang lain agar orang lain boleh diberkati.
Kepada siapakah Paulus berhutang? Saya kembali membagi obyek hutang Paulus ke dalam dua kategori. Pertama, orang Yunani maupun bukan orang Yunani. Orang-orang bukan Yunani diterjemahkan sebagai orang-orang barbar di dalam Alkitab terjemahan Inggris. Secara ras dan suku, Paulus tidak pernah membeda-bedakan orang. Paulus mengasihi jiwa-jiwa mereka tanpa membedakan ras dan suku. Kita sebagai pengikut dan hamba Kristus juga harus memiliki semangat ini, yaitu semangat untuk mengasihi jiwa-jiwa yang tersesat tanpa memandang suku, ras dan agama mereka. Kalau kita mengerti mayoritas orang Yunani beragama Yunani dengan segala macam dewa-dewi dan pengaruh filsafat mereka baik dari Socrates, Plato, Aristoteles, dll. Demikian pula orang-orang yang non-Yunani atau pendatang juga memiliki agama dan kebudayaan mereka sendiri yang mungkin saja jauh dari pengenalan konsep yang benar tentang Allah yang benar. Paulus mengasihi mereka berdua, demikian pula kita harus mengasihi kedua golongan tersebut. Di Indonesia, mayoritas penduduknya beragama Islam. Sudah menjadi kewajiban kita dengan perasaan berhutang mengasihi jiwa-jiwa mereka yang tersesat tanpa memandang agama, suku dan ras mereka. Sekali lagi, ketika kita berbicara mengenai mengasihi jiwa-jiwa tanpa memandang agama, suku dan ras, itu TIDAK berarti kita mengkompromikan segala macam filsafat dan kebudayaan mereka lalu mengakui filsafat, agama dan kebudayaan mereka sebagai kebenaran yang setara dengan Alkitab. Ingatlah, mengasihi tidak berarti mengkompromikan segala sesuatu. Mengasihi tetaplah mengasihi. Mari kita belajar sedikit tentang mengasihi jiwa-jiwa (yang tanpa kompromi) konsep Paulus di dalam tugas apologetikanya di Atena di dalam Kisah Para Rasul 17:16-34. Di dalam pelayanan pemberitaan Injil, Paulus tidak pernah satu kali mengkompromikan Injil, tetapi mengkomunikasikan Injil dengan tepat dan bertanggungjawab. Di Atena, sebelum masuk ke dalam pemberitaan Injil, ia mengungkit sedikit mengenai kondisi keagamaan masyarakat Atena yang menyembah Allah yang tidak dikenalnya. Dari konsep unknown god, Paulus menceritakan dan mengajarkan tentang konsep Allah yang benar bukan dengan konsep penduduk Atena, tetapi dari konsep Injil Kristus (ayat 22-31). Kalau kita dengan teliti memperhatikan konsep apologia dan penginjilan Paulus ini, sebagai kata pengantar/pembukaan, ia tetap menghargai agama-agama mereka di tataran respon manusia terhadap wahyu umum Allah, lalu ia meneruskannya dengan berita Injil sebagai yang terutama di dalam penginjilan. Ini namanya mengasihi jiwa tanpa mengkompromikan Injil sedikitpun dengan orang-orang yang berbeda kepercayaan dengan kita. Tetapi rupa-rupanya para penganut social “gospel” tidak senang dengan hal ini, dan mengajarkan bahwa kita juga bisa “belajar” dari agama-agama lain, kalau perlu, Alkitab pun perlu ditambah dengan “kitab suci” agama lain. Mereka sudah mendegradasikan fungsi penginjilan dan esensi Injil sejati. Inilah wujud iblis yang menyamar sebagai malaikat terang, mereka sama sekali bukan hamba Kristus, tetapi jelas statusnya adalah hamba diri dan hamba setan. Setiap orang yang tidak memberitakan Kristus dan Injil-Nya, sama sekali bukan hamba Kristus, tetapi hamba diri dan hamba setan, apalagi yang suka memutarbalikkan dan menyelewengkan Injil Kristus dengan motivasi yang tidak beres. Kedua, terhadap orang-orang yang terpelajar dan tidak terpelajar. Kata “terpelajar” diterjemahkan wise atau bijaksana oleh Alkitab terjemahan Inggris dan kata “tidak terpelajar” diterjemahkan foolish atau bodoh/tolol oleh ESV dan ISV. Paulus tidak hanya memperhatikan masalah kebudayaan dan agama, tetapi juga memperhatikan rasio mereka. Paulus yang cerdas sangat memperhatikan konsep pikiran manusia berdosa. Ini terbukti dengan caranya berdialog dan memberitakan Injil di antara orang-orang Yahudi di Atena di dalam Kisah Para Rasul 17:16-34 tadi. Paulus juga mengasihi jiwa-jiwa baik yang berbijaksana atau mungkin yang benar-benar bodoh di mata masyarakat. Paulus menggunakan kata “berbijaksana” bukan kata “pintar”. Perbedaan kata ini bukan sekedar perbedaan kata, tetapi menyangkut perbedaan esensi. Seorang yang pintar bergelar Ph.D. sekalipun belum tentu bijaksana, karena orang yang berbijaksana adalah seorang yang terjun ke dalam masyarakat secara praktek, misalnya dalam mengambil keputusan. Seorang yang bijaksana adalah seorang yang belajar dari sejarah, hidup orang lain, dll, terutama di dalam keKristenan, orang itu belajar dari Sumber Bijaksana itu sendiri yaitu Allah dan firman-Nya. Orang pintar berbeda, mereka mungkin bisa bergelar Ph.D. sebanyak 9 buah, tetapi mungkin sekali secara praktek, mereka tidak memiliki pengalaman bijaksana, sehingga mereka akan kacau dalam mengerjakan apapun meskipun pintar secara akademis. Itulah kegagalan banyak institusi pendidikan yang terlalu mementingkan pengetahuan (knowledge) tanpa memperhatikan kemampuan/keahlian dan hal-hal yang bersangkut paut dengan kehidupan sehari-hari apalagi menyangkut Tuhan. Di dalam kota Roma yang penduduknya juga banyak orang-orang Yunani yang mementingkan rasio, Paulus menyebut mereka bijaksana dengan pengetahuan mereka, tetapi mereka kurang satu hal yaitu kembali kepada Sumber Bijaksana, yaitu Allah dan firman-Nya. Mereka inilah yang perlu dikasihi jiwanya, karena mereka terlalu memuaskan diri dengan berbagai macam bijaksana cara dunia yang berbeda total dengan bijaksana versi Allah. Semua hal yang di dunia ini fana sifatnya dan tidak akan menemukan makna sejati jika tidak kembali kepada Sumber segala sesuatu yaitu Allah sendiri. Oleh karena itu, keinginan Paulus dan seharusnya juga merupakan keinginan kita untuk mengasihi jiwa-jiwa yang merasa puas diri untuk kembali kepada Kristus. Tahap kedua, Paulus ingin memberitakan Injil. Wujud kasihnya kepada jiwa-jiwa yang tersesat, ternyata direalisasikan oleh Paulus dengan keinginannya untuk memberitakan Injil. Mengasihi jiwa itu harus, tetapi jika terhenti pada tahap itu saja dan tidak ada pewujudnyataannya, itu sia-sia. Mengasihi jiwa harus diwujudnyatakan dengan keinginan kita untuk memberitakan Injil. Kembali, mari kita lihat apa yang Alkitab catat mengenai perasaan dan keinginan Paulus di dalam Kisah Para Rasul 17:16-34. Ayat 16 di dalam Kis. 17, dr. Lukas mencatat, “Sementara Paulus menantikan mereka di Atena, sangat sedih hatinya karena ia melihat, bahwa kota itu penuh dengan patung-patung berhala.” Perasaan mengasihi jiwa-jiwa yang tersesat ada di dalam perasaan Paulus dengan perasaan kesedihan yang mendalam setelah melihat kota Atena yang penuh dengan patung-patung berhala. Tetapi apakah perasaan itu hanya berhenti sampai tahap mengasihi jiwa-jiwa saja ? Tidak. Paulus langsung berdiskusi dengan orang-orang Yahudi dan orang-orang Atena tentang Injil Kristus sambil memberitakan Injil. Inilah citra hamba Kristus sejati, yaitu hati yang mengasihi jiwa ditambah dengan pewujudnyataannya dengan memberitakan Injil. Pemberitaan Injil adalah wujud utama kita mengasihi jiwa, karena pemberitaan Injil sedang berbicara mengenai pemenuhan kebutuhan spiritual yang paling urgent di dalam diri manusia. Mereka perlu Juruselamat yang memberikan kedamaian. Tetapi tidak berhenti sampai di sini, mereka juga perlu diajar oleh Injil untuk hidup bergantung dan bersandar mutlak di dalam penguasaan-Nya dan pimpinan-Nya (men-Tuhan-kan Kristus). Penginjilan Paulus di kota Atena ini sungguh unik dan berbeda total dengan penginjilan yang banyak diperdagangkan oleh banyak “hamba Tuhan” dari gereja kontemporer yang pop. Bedanya terletak pada berita Injil yang langsung disertai dengan berita murka-Nya yang mengadili dunia. Berita Injil yang sehat bukan hanya memberitakan penebusan Kristus atas dosa-dosa manusia, tetapi juga memberitakan tentang hukuman Allah kepada mereka yang tidak menerima Kristus. Itulah kedua sisi berita Injil sebagaimana yang dipaparkan di dalam Yohanes 3:16-21. Kasih Allah menyelamatkan umat pilihan-Nya yang percaya kepada-Nya, dan menghukum manusia yang tidak percaya kepada-Nya. Itulah keadilan Allah yang jarang dibicarakan oleh banyak gereja hari-hari ini. Pemberitaan Injil inilah yang Paulus jalankan dan itulah yang harus kita teladani, karena pemberitaan Injil bukanlah barang dagangan yang bisa dijual menurut kebutuhan manusia yang mendesak (hukum supply and demand), tetapi pemberitaan Injil adalah suatu pemberitaan Kabar Sukacita tentang jalan keluar dari dosa dan hidup benar di hadapan Allah. Injil berlaku untuk selama-lamanya dari zaman Adam sampai di akhir zaman, karena Injil itu, “kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani.” (Roma 1:16) Karena di dalam Injil ada kuasa Allah yang menyelamatkan, oleh karena itu, jangan sekali-kali mempermainkan Injil dengan tidak bertanggungjawab. Dengan mempermainkan Injil dengan cara memutarbalikkan atau menambahi atau mengubah arti Injil itu berarti mempermainkan kuasa Allah dan otomatis nama Allah sendiri, itu namanya menghujat Allah. Pemberitaan Injil harus kembali berfokus hanya di dalam Kristus, bukan yang lain dan bagi kemuliaan-Nya saja. Sudahkah hari ini Anda mulai disadarkan akan kebenaran firman untuk mengasihi jiwa-jiwa dan memberitakan Injil Kristus kepada mereka yang tersesat sebagai realisasinya ? Amin.
“Without knowledge of self there is no knowledge of God”
(Dr. John Calvin, Institutes of the Christian Religion, Book I, Chapter I, Part 1, p. 35)
- Denny Teguh S-GRII Andhika's blog
- 6925 reads
Menyelamat kan Jiwa atau roh?
Debu tanah kembali menjadi debu tanah...
Dikotomi atau trikotomi atau ???
“Without knowledge of self there is no knowledge of God”
(Dr. John Calvin, Institutes of the Christian Religion, Book I, Chapter I, Part 1, p. 35)