Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Dunia Makin Cepat, Sayang..

y-control's picture
Dunia berjalan makin cepat, sayang… kata orang. Tidak, hidup yang berjalan lebih cepat, oh bukan, waktu yang berjalan makin cepat, rotasi bumi yang makin cepat, matahari yang makin cepat terbit dan makin cepat tenggelam. Namun beberapa waktu lalu matahari bahkan masih benderang pada setengah tujuh petang. Oh, dunia agaknya sudah mau kiamat.

Mari kembali dan melihat-lihat lagi. Manusia sejak dulu mengidamkan untuk menjadi yang tercepat. Siapa cepat dia dapat. Yang cepat adalah juara. Yang paling pertama sampai, yang pertama kali tahu, yang pertama kali bergerak, dialah yang terhebat. Dia sang pionir. Yang kedua dan lainnya hanyalah ekor. Tidak ada yang mempedulikan ekor. Orang selalu melihat pada kepala karena dialah yang berada di depan. Dialah yang paling cepat tahu. Agaknya anjing pun jika tanpa ekor pun akan nampak lebih gagah. Jangan lupa makan kepala ayamnya, korek otaknya, jadilah kepala. Hey, jangan makan ekornya, nanti kamu jadi pelupa. Masa sih? Oke, cukuplah bicara soal kepala dan ekor binatang.

Kamu suka olahraga. Sepakbola ya? Corto stretto, impian Danurwindo. Umpan pendek cepat merapat, adu sprint, awas serangan balik adalah senjata tim lemah menghadapi tim bintang yang asyik menyerang. Basket? Hanya fast break yang bisa memunculkan atraksi-atraksi yang disukai penonton. Balapan motor, mobil, kuda, sepeda, becak, lari, jalan cepat. Adakah yang merasa bahwa permainan kita saat ini masih tak beda dengan zaman primitif juga. Apa lagi ya? Catur cepat, pukulan cepat, dadu, sulap. Yang cepat akan mempecundangi yang lambat. Juga fastfood, kopi instan, speed (maksudnya pil itu), the Quick and the Dead, Lucky Luke; menembak lebih cepat dari bayangannya sendiri, pulpen faster, run… Forest! run…! Kursus kilat, speed reading, rekor-rekor yang dipecahkan dan time is money!

Sebetulnya, mungkin lebih sering karena saya takut capek, atau takut keringatan jika naik motor lebih dipilih ketimbang jalan kaki. Padahal, dulu sebelum pindah ke Jogja, kota yang saya tinggali sekarang, saya pernah memuji kota ini sebagai tempat yang cukup nyaman untuk pejalan kaki. Tapi sekarang rasanya alasan takut diserempet juga sudah mulai membayangi. Apa mungkin tata letak kotanya yang sudah berubah sehingga saya sering mengurungkan niat untuk jalan kaki waktu hendak cari makan (lah kok kayak ayam) atau kalau kebetulan bangunnya kepagian untuk ke kantor (jarang sih). Mungkin juga karena lokasi tempat tinggal saya yang kurang strategis, atau juga karena kurang enak jalan kaki cuma sendirian. Kampanye naik sepeda di kota ini rasanya sudah tidak begitu bergema lagi. Tapi saya tidak bisa menyalahkan karena saya sendiri adalah bagian dari yang malas untuk memperlambat diri itu.
pace

Hmm.. lambat? Di depan gardu satpam sebuah kantor tiap paginya ada tulisan “terima kasih anda tidak terlambat.” Ya, memang harusnya lambat namun tidak terlambat. Cuma apa orang-orang sudah siap diubah lagi dengan slogan “lambat pangkal pintar dan damai” dan “cepat-cepat (atau buru-buru) pangkal kepalsuan dan stres”. Meskipun tak begitu mirip dengan “alon-alon asal kelakon” sudah saatnya lambat direbut dari tangan orang malas sehingga jam dapat kembali menjadi alat bukannya pengontrol. Apa tidak pusing dengan berbagai jenis dan model dering alarm itu? Dering alarm yang membuat hewan-hewan kecil yang cantik segera kabur dan kita bahkan mengira mereka tak pernah ada lagi. Eh, tapi omong-omong mungkin kalau pagi saya juga bukannya belum mulai menerapkan slogan baru itu lho. Memang belum sampai pada taraf tidak ngebut berangkat kantor atau malah jalan kaki ke kantor, tapi sejauh ini masih dalam taraf tidak cepat-cepat bangun… ya mikir dulu hari ini mau apa, dan juga kalau ingat, semalam mimpi apa dan kok bisa seperti itu.. hehehe

Eh jangan cepat-cepat ya bacanya, ntar malah jadi bingung dan salah tangkap lho ( emang polisi?).

Chipurru's picture

Slogan baru

Kalo ini bisa jadi slogan baru, bagus juga loh, "Biar Lambat Asal Cepat"