Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Dunia Ini Bukanlah Rumahku

arharahadian's picture

“Janganlah kamu mengasihi dunia dan apa yang ada di dalamnya. Jikalau orang mengambil dunia, maka kasih akan Bapa tidak ada di dalam orang itu. Sebab semua yang ada di dalam dunia, yaitu keinginan daging dan keinginan mata serta keangkuhan hidup, bukanlah berasal dari bapa, melainkan dari dunia. Dan dunia ini sedang lenyap dengan keinginanya, tetapi orang yang melakukan kehendak Allah tetap hidup selama-lamanya” (Yoh. 2:15-17).

Orang-orang zaman ini merasa terhilang, tampak aneh ketika kita mempunyai lebih banyak kontrol atas daya-daya alam daripada sebelumnya, mereka jatuh ke dalam situasi demikian. Semua itu merupakan penghukuman Allah, yang sudah kita turunkan atas diri kita sendiri dengan berusaha merasa begitu kerasan di dunia yang mereka rasakan memberi banyak kenyamanan dalam hidup, mereka berpikir hidup hanya sekali maka harus dinikmati dengan sebaik-baiknya tanpa peduli apa yang sedang mereka diami dan alami sekarang ini adalah sesuatu yang bersifat fana. Kita menolak mempercayai bahwa orang harus hidup untuk sesuatu yang lebih dari kehidupan yang sekarang, kita sudah memperlakukan dunia ini seolah-olah itu adalah satu-satunya rumah yang pernah kita miliki dan sudah mengonsentrasikan secara eksklusif dalam mengaturnya untuk kenyamaanan kita. Kita mengira kita dapat membangun langit dan bumi, tetapi sekarang Allah sudah menghakimi kita karena ketidak salehan kita.

“Bekerjalah bukan untuk makanan yang akan binasa melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kamu hidup yang kekal, yang akan diberikan Anak Manusia kepadamu” (Yoh. 6:27), saat ini pada umumnya, orang-orang Kristen tidak lagi hidup untuk surga dan tidak lagi mengerti, apalagi mempraktikan, pelepasan dari dunia. Apakah dunia sekeliling kita mencari kesenangan, keuntungan, dan hak-hak istimewa? Begitu juga kita. Kita tidak mempunyai kesediaan atau kekuatan untuk meninggalkan tujuan-tujuan itu, sebab kita sudah mengubah kekristenan menjadi suatu bentuk yang menekankan kebahagian di atas kekudusan, berkat-berkat di sini di atas berkat-berkat setelahnya, kesehatan dan kekayaan sebagai karunia Allah terbaik, dan kematian bukan sebagai pelepasan yang patut disyukuri dari kesedihan dunia yang penuh dosa tetapi sebagai bencana terbesar dan tantangan yang terus-menerus terhadap iman dalam kebaikan Allah. Apakah kekristenan kita sekarang bentuknya lain? Memang benar, dan alasan dasar adalah bahwa kita sudah kehilangan perspektif dua dunia. Perjanjian Baru yang memandang kehidupan berikut lebih penting dibanding yang sekarang dan memahami hidup secara esensial sebagai persiapan dan latihan untuk hidup sesudahnya. Disamping itu, kita akan melanjutkan keluar dari bentuk semula sampai keduniawian lain yang tepat ini akan disembuhkan.

 

 

“Suruhlah terang-Mu datang, supaya aku dituntun dan dibawa ke gunung-Mu yang kudus dan ke tempat kediaman-Mu! Maka aku dapat pergi ke mezbah Allah, menghadap Allah, yang adalah sukacitaku dan kegembiraanku, dan bersyukur kepada-Mu dengan kecapi, ya Allahku, ya Allahku” (Mzm. 43:3-4). Apa yang dikatakan Alkitab kepada kita tentang kesenangan kita? Apakah ia, seperti yang dibayangkan sebagian orang, memberitahu kita untuk melepaskan semuanya, sebab tidak mempunyai tempat dalam kehidupan kudus? Tentu saja tidak! Alkitab menyukai kesenangan “Aku memuji kesukaan” kata orang bijak (Pengkhotbah 8:15) dan hanya melarang menyerah kepada kesenangan sebagai gaya hidup. Namun, ini sudah menjadi area kesulitan sebenarnya bagi orang kristen pada zaman kita. Kekristenan alkitabiah tidak mengajarkan bahwa setiap kesenangan atau perasaan yang baik, atau bentuk apa pun dari kelegaan dan kepuasan sekarang ini, harus dicari sebagai kebaikan hidup tertinggi. Apa yang diajarkan Alkitab, adalah bahwa memuliakan Allah melalui ibadah dan pelayanan adalah tujuan manusia yang sebenarnya, bahwa bersukacita dan bergenbira dalam Allah merupakan pusat penyembahan, dan bahwa buah-buah pertama dari warisan kesenangan selama-lamanya akan diberikan kepada kita pada waktu kita mulai melakukan ini; tetapi seandainya kita mulai mencari kesenangan lebih dari Allah, kita berada dalam bahaya kehilangan semuanya.

 

 

“Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia” (Kol. 3:23), perintah Allah kepada Adam dan Hawa untuk memenuhi dan menaklukkan bumi (Kej. 1:28) kadang-kadang disebut “mandat budaya” karena setiap usaha untuk memenuhinya sekaligus membudayakan, yaitu, pola kehidupan masyarakat berdasar, seperti semua budaya, dikerjakan dengan tujuan. Kerja sebagai cara hidup yang kita setujui, peluk, dan kejar bagi kemuliaan Allah menghasilkan semangat pujian kepada-Nya, baik atas keajaiban ciptaan di luar kita maupun kreativitas yang ditarik kerja kita dari dalam kita. Lebih jauh lagi, kerja mendatangkan sukacita dalam pengalaman membuat dan mengatur; kerja menghasilkan kebijaksanaan dan kedewasaan dalam cara kita mengusahakan hal-hal, termasuk hubungan kita dengan orang-orang lain (di mana juga kita dimaksudkan untuk menjadi kreatif); kerja membawa kepada meningkatnya kasih sayang dan maksud baik terhadap orang-orang lain sementara kita mengendalikan ketrampilan-ketrampilan kita untuk melayani mereka; dan kerja mengembangkan kepintaran dan menggali sumber-sumber dalam menemukan cara-cara untuk melanjutkan daya dan proses-proses di sekitar kita.

 

 

“kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang. Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi” (Mat. 5:13-14). Tuntutan Allah yang pertama bagi kita di dunia ini adalah bahwa kita berbeda dari orang-orang di sekitar, melaksanakan ajaran moral Allah, mempraktikkan kasih, menghindari tindakan yang memalukan, dan tidak kehilangan wibawa kita sebagai pembawa citra Allah melalui setiap bentuk menyenangkan diri yang tidak bertanggung jawab. Pemutusan hubungan yang bersih dengan sisitem-sistem penilaian dunia diharapkan, sebagai basis untuk mempraktikan keserupaan dengan Kristus dalam batas-batas positif.

 

Kemudian, karena mengetahui bahwa Allah dalam kebaikan pemeliharaan dan kesabaran terus berlanjut, di hadapan dosa manusia, untuk memelihara dan memperkaya dunia-Nya yang sudah bersalah, kita harus melibatkan diri dalam semua bentuk aktivitas manusia yang sah, dan dengan berbuat demikian dalam batas-batas sistem nilai dan visi hidup kekristenan kita akan menjadi garam (bahan pengawet yang menjadikan makanan menjadi terasa enak) dan terang (penerangan yang menujukkan jalan) dalam masyarakat manusia. Pada waktu orang-orang percaya memenuhi panggilan mereka, kekristenan menjadi suatu kekuatan budaya  mengubahkan.

 

 

“Maka berikanlah kepada hamba-Mu ini hati yang faham menimbang perkara untuk menghakimi umat-Mu dengan dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat, sebab siapakah yang sanggup menghakimi umat yang sangat besar ini?” (1Raj. 3:9). Bedakanlah antara yang baik dan yang jahat tentang dunia. Allah membuat aturan kosmis aslinya baik. Bidatlah yang meneguhkan bahwa dunia benda, hidup fisik, dan kesenangan duniawi  bernilai dan jahat. Selama berabad-abad, bidat itu sudah menghantui pikiran orang Kristen dan menghasilkan banyak hal buruk; antitesis palsu antara material dan spiritual; kesalahan palsu tentang menikmati makanan, kenyamaan fisik, dan seks dalam pernikahan; kesombongan dalam asketisisme yang menyangkal dunia; mengkerutkan dari seni budaya; dan seterusnya. Bagaimanapun, pihak lain dari kebenaran di sini adalah bahwa dunia manusia sudah aslinya buruk melalui penyesatan moral dan spiritual dari sifat manusia. Buah pahit dari kejatuhan adalah bahwa sekarang hubungan manusia dikacaukan oleh kekejaman, kekerasan, dan mencari diri; ilmu pengetahuan dibuat untuk melayani ambisi egois dan seni yang indah yang digunakan untuk memerosotkan moralitas. Nilai-nilai yang diciptakan dari hidup manusia tidak boleh dikacaukan dengan kejahatan yang diperolehnya, atau kita tidak akan pernah tahu bagaimana bertindak benar di dunia Allah.  

 

CATATAN :

v  Asketisisme, pendisiplinan keras terhadap tubuh telah menjadi ajaran banyak agama, dan jelas bahwa orang-orang Kristen, yang mengharapkan kedatangan Tuhan kembali di bumi akan terjadi segera, mempersiapkan diri untuk menyambutnya dengan berdoa, berpuasa dan berpantang melakukan hubungan seksual. Terdapat pengesahan yang kuat mengenai penolakan pernikahan dalam surat-surat tertentu (mis. 1Kor:7:7) dan Injil (mis. Mat. 19:12), serta Why. 14:4, hal ini merupakan pendapat minoritas, namun kemudian secara luas dipegang bahwa asketisisme merupakan prasyarat untuk masuk kekehidupan kekal. Tentu saja hal ini juga merupakan bukti kesungguhan kemuridan. Dalam Luk. 9:23,  kata ‘setiap hari’ secara signifikan ditambahkan pada Mrk. 8:34, sehingga membuat asketisisme yang dapat dilakukan dapat diterima dalam kehidupan jemaat selanjutnya, yang tidak segera berakhir karena parousia

.  

v  Bidat, kata ‘hersey’ dalam bahasa Inggris berasal dari kata Yunani yang berarti ‘pilihan’ atau ‘sesuatu yang dipilih’ atau suatu pendapat. Di Yunani kata tersebuit digunakan untuk sekte atau sekolah filsafat; dan dalam Kis. 5:17; 15:5, untuk sekte Saduki dan Farisi. Kata tersebut digunakan oleh Paulus untuk sekelompok pemprotes di Korintus (1Kor . 11:19) dan untuk tipe-tipe tindakan yang memecah-belah persukutuan (Gal. 5:20). Makna kata tersebut berkembang, hingga kemudian hari berarti kelompok sempalan dalam kekristenan. Pada akhir abad pertama Ignatius dari Antiokhia menyebut kesalahan dalam teologi sebagai bidat, dan dalam Gereja kemudian hari bidat berarti yang dengan sengaja setia terhadap doktrin palsu dan dikutuk sebagai berdosa.

 

__________________

Thank and GBU

Www.Arsyimanuel.blogspot.com