Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Double Esspresso - Part Of Mine

minmerry's picture

@ DOUBLE ESSPRESSO

Manusia, mengingat banyak hal dalam hidupnya.

Bisakah ingatan itu berubah? Atau tertutup dengan ingatan lain?

Atau, diriku yang membuat itu berubah?


'Darah....DARAH.... Tolong aku....Selamatkan dia, dia harus selamat.... ! Hanya dia satu satunya peninggalan Ben untukku.'
'Kenapa masih begitu banyak darah? Ayolah, tolong aku....'

(Double Esspresso – Not My Miracle)


Setelah memar ditubuhku hilang, dan rasa takutku berlalu, aku kembali. Aku menuntup pintu coffee shop. Menatap ke dalam. Aku tidak menemukan pecahan kaca, tidak ada tanda-tanda kekacauan yang terjadi, beberapa malam yang lalu.

Aku tersenyum. Glass pasti sudah memperbaiki semua untukku. Semuanya, bisikku pada diriku sendiri.

 

Double Esspresso - Part of Mine

Aku meletakkan bunga dalam dekapanku di coffee bar.

Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku membeli buket-buket kecil bunga berwarna ungu yang diikat sangat mungil. Aku biasa meletakkan bunga itu dalam gelas kecil. Biasanya, aku berjalan memutar dari rumah ke @Double Esspreso setiap pagi, untuk membeli bunga-bunga ini.

Menggantung jaket, memakai appron hitam, aku mulai mengganti bunga-bunga itu. Aku menekan tombol remote. Player-ku memutar New Dawn. Suasana yang tadi sangat sunyi, entah kenapa bertambah sunyi dengan alunan lagu di album ini, dalam coffee shop ku.

Aku menatap meja itu.

Meja itu tetap ada, dimana pria itu duduk, dan aku mencoba mengingatnya. Tidak terlalu sulit. Dan aku akan melupakannya, putusku dalam hati.

Membersihkan meja, menyusun kursi. Mengganti lilin dan bunga dengan yang baru. Aku berpindah ke coffee bar. Mengisi kotak kopi dengan kopi terbaru. Memeriksa telp dan faks. Mengganti menu, dan menuliskannya di papan coffee shop. Aku sungguh-sungguh menikmati itu semua. Membosankan, yeah. Berdiri ditengah-tengah coffee bar, pagi ini, aku tidak merasakan betapa hidupku membosankan.
 
Kali ini aku belajar dari internet. Aku menghabiskan waktu seharian berburu mangkuk kaca. Mangkuk kaca bening. Biasa, aku membeli yoghurt dalam kotak-kotak kecil. Kali ini, yoghurt aku letakkan dalam mangkuk kaca. Dan ada pinggirannya. Yey. For topping also. Isn’t that awesome? Anggur? Strawberry? Kiwi. Perfectly healthy. Noni akan menjerit kesenangan, dan tetap gratis untuknya.

Aku menyadari kedatangan si anak band coffee shop-ku, Hayden. Dia suka yoghurt-ku, lalu sibuk memberi ide bagaimana seharusnya aku menyusun yogurt. Aku tahu, ini bukan sikapnya yang biasa. Aku membiarkannya, dia mengkhawatirkanku sejak kejadian itu. Aku tahu. Aku membiarkannya menghiburku. Aku membiarkan diriku, untuk merasa disayang dan dipedulikan.

‘Cantik.’ Pujinya untuk yoghurt pertamaku, sarapanku.

Aku menyusunnya dengan kiwi, oreo dan mangga yang dipotong dadu. Lovely. Sampe-sampe aku tidak tega untuk memakannya.
 

‘Kamu mau?’ Tanyaku sambil menyuapkan yoghurt itu ke dalam mulutku.
‘Maaf aku pulang duluan malam itu. Seharusnya aku menjagamu, maaf ya.’ Hayden menepuk-nepuk kepalaku.
‘Sungguh, tidak apa-apa. Biarkan aku habiskan sarapan, then aku harus mulai bekerja.’

 

 

 

'Kamu tidak pernah beruntung, kei. Semuanya. suatu hari kamu akan tahu bahwa mama yang benar, mama tidak salahkan kamu. Tapi kamu memang bodoh, kei. Sama seperti papa kamu.'

(@Double Esspresso – A Rainy Day)
 

 Double Esspresso - part of mine

Setelah sekian lama, pagi itu, ponselku berbunyi kembali. Entah bagaimana, aku tahu, itu mama.

‘Keira.’
‘Ma...’
Kami berdua terdiam cukup lama.
‘Mama membawanya. Sore ini mama akan datang bersamanya.’
Aku terdiam sangat lama, terkejut, tidak mengerti.
‘Ma? Ma?’
Dan mama menutup teleponnya.

Sepanjang pagi, aku gelisah. Aku menunggu pintu itu terbuka, menunggu kedatangannya.

‘Kamu menunggu seseorang?’ Glass sudah duduk didepanku sejak satu jam yang lalu. Dia mencoba kopi terbaru yang aku pesan. Warna kopi Lintong cukup baik untuk espresso. Crema yang berwarna emas, merata diatas permukaan espresso. Sangat memikat.

‘Iya.’ Aku menatapnya resah.

Aku tidak tahu siapa yang dimaksud dengan mama. Siapa yang dia akan bawa untukku. Aku semakin gelisah memikirkan itu.

‘Meja luar, pesan espresso 2 gelas, yoghurt warna-warnimu juga dua.’
‘Sebentar.’

Dengan gesit aku memasukkan biji kopi ke dalam mesin. 40 detik. Aku mengeluarkan dua mangkuk yoghurt dan mulai memberi topping diatasnya. Pikiranku kosong, karena rasa khawatir apa yang akan kuhadapi. Selalu begitu.

Dan angin menyentuh windbell lembut. Aku tidak lagi terburu-buru memalingkan wajahku ke pintu. Aku tahu siapa yang datang.

Dia berdiri di sana.
 

‘Ma.’
Aku keluar dari coffee bar-ku, dan berlari menyambutnya. Tangannya tidak terlulur padaku. Dia hanya tersenyum.

Kejutan ini membuatku terlalu tegang. Aku takut padanya. Mama. Sesuatu dalam dirinya membuatku takut. Takut karena akan mengecewakannya, tidak, lebih tepatnya, takut dia akan mengatakan aku adalah putrinya yang sudah gagal.

Aku baru menyadari, dia tidak datang sendirian. Coffee shop tidak terlalu ramai, suara orang-orang yang duduk mengobrol juga terasa nyaman. Namun saat melihat siapa yang datang bersama mama, membuat suara itu terhenti.

Mata itu, rambut itu, mulut yang mungil. Aku tidak mungkin percaya, jika bukan mama yang membawanya. Aku hampir tersedak, dan air mataku hampir jatuh.

Tatapan dan anggukan mama seolah memateraikan apa yang saat itu muncul dalam pikiranku. Aku mundur beberapa langkah. Glass yang duduk tidak jauh dari itu, tidak perlu diragukan lagi. Terdiam. Aku tidak ingin menebak apa yang ada dipikirannya saat ini.

Aku berusaha mengingat apa yang terlupakan olehku.
Namun aku tidak bisa mengabaikan naluri itu. Dengan cepat, Aku meraih tubuh mungil itu, membawanya kepelukanku. Membawanya bersamaku. Gadis kecil itu sedikit terkejut, namun tidak menolak diriku.

Mama mengikutiku ke coffee bar.

‘Saat itu, kamu tidak bisa menerima apa yang terjadi pada Ben.’

Aku mendengarkan. Gadis kecil itu bermain main dalam pangkuanku. Dia sedikit merasa asing denganku. Dia tidak menatapku, melainkan bermain-main dengan jari-jarinya yang mungil.

‘Kamu menghadapi trauma yang terbesar. Joana, lahir sebelum waktunya. Mereka harus mengambilnya saat itu.’

‘Joana?’ Tanyaku.

‘Ben yang memberi nama itu, Kei. Banyak yang tidak mampu kamu ingat setelah Ben meninggal.’

‘Mereka mengambilnya?’

‘Ya. Mereka sangat baik terhadap Joana.’

‘Mama berbicara pada mereka....’ Mama tidak melanjutkan ucapannya.

‘Dan ini alasan mama mencariku?’

Dia mengangguk.

Aku juga menyadari, Glass mengambil kunci dan melambaikan tangannya padaku. Ia pamit, lebih awal. Tidak pernah ia pulang secepat ini. Dia juga tidak berkata ia akan balik nanti malam untuk menjemputku.

‘Terima kasih.’ Kataku pada mama. Aku tidak tahu apa yang sebaiknya kukatakan padanya, mama. Pada glass. Juga pada Joana.

‘Joan...’ Panggilku lembut.

Dia menatapku.

Seketika itu, semua perasaan yang baru itu, memasuki hatiku, kehidupanku. Menutup semua perasaan yang pernah ada. Ingatan itu tidak benar-benar datang kembali. Namun, Joana. Bagian dari diriku. Bagian dari diri Ben. Yang sudah lama kuanggap diambil dariku, pergi bersama-sama dengan Ben. Ada dipangkuanku.

Bagaimana aku harus menerima perasaan ini kembali, jika aku tidak bisa mempertahankan ingatanku? Jika Joana adalah anakku dan Ben, kenapa aku tidak berusaha lebih keras untuk mengingatnya? 

‘Aku tidak bisa mengingat itu. Aku tidak tahu bagaimana harus menerima ini semua.’

Aku ingin mama mengambil kembali Joana.
Selama ini aku bersembunyi, dan aku belum siap untuk keluar. Aku tidak ingin merubah diriku untuk sesuatu yang tidak bisa kuhadapi. Aku tidak mau menyesuaikan diri atas harapan orang lain padaku.

Aku punya pilihan atas diriku sendiri, ataukah sebaliknya?

‘Kamu tidak pernah mendengarkan apa yang mama katakan padamu. Semua yang ada dalam pikiranmu, mama tidak bisa mengerti. Karena semua yang penting bagimu, tidak mama mengerti.’

Aku diam mendengarkan. Sedikit luka lagi, tidak akan menyiksaku terlalu dalam. Atau aku terlalu berlebihan menganggapnya sebagai luka? Tidak mungkin terbersit dalam pikirannya untuk membuatku susah, karena ia ibuku. Namun, kenapa semua yang dia lakukan untukku, selalu membuatku jauh lebih tertekan?

‘Joana tidak tahu siapa kamu, Keira.’

‘Ya, dia tidak perlu tahu.’ Jawabku.
‘Tapi dia anak-anak, dan dia memiliki sedikit hak untuk pernah berada didekat orang yang membagi darah yang sama dengannya, walau sesingkat itu keberuntungannya.’

‘Sama seperti kamu, yang tidak pernah beruntung.’ Tandasnya.

Aku tidak peduli, bagaimana itu semua terdengar dalam telingaku. Aku menatap gadis kecil itu. Berlari-lari kecil di dalam coffee shop. Rambutnya, matanya, milikku. Selebihnya, Ben.

Aku tahu, jangan memulai sesuatu yang tidak bisa aku akhiri. Ini mudah. Semua akan berjalan seperti semula.
Semua melakukan bagiannya sendiri, bagian yang dianggap benar untuk dirinya sendiri, sekaligus yang terbaik untuk orang-orang yang tidak perlu dikecewakan.

‘Dia benar-benar cantik, ma.’

Aku menatapnya, lama sekali. Aku ragu, namun aku merasa mama juga ingin menangis. Kasihan pada Joana? Atau sesuatu dalam diriku yang tidak mampu ia katakan padaku?

‘Mama ingin minum sesuatu? Joana sudah makan?’

Sore itu menjadi malam, malam itu juga sama seperti malam-malam sebelumnya, berlalu.

Dan Joana tertidur saat mama membawanya pulang. Aku mengantarkan mereka hingga ke dalam mobil.

Joana tidak akan pernah tahu kapan pertama kalinya ia bertemu denganku. Dan aku tidak perlu menebak apakah ini pertemuanku yang terakhir dengannya.

Malam itu aku menutup coffee shop tanpa ditemani Glass.
Aku tahu kenapa, namun tidak ingin memikirkannya. Memikirkan dia tidak ada disini.

Memakai jaket, menutup lampu, mengunci pintu @Double Esspresso. Aku berjalan. Mencoba berpikir, apakah aku sudah melangkah terlalu jauh dari tujuanku semua? Apakah persembunyian ini berhasil, atau sebenarnya ini sebuah persembunyian yang sia sia, dan terlalu cengeng?

Dan aku sampai di pintu rumah itu.
Mengetuknya.

Glass keluar.

‘Jangan khawatir, Kei. Aku tidak akan bertanya apa-apa.’

Kenapa aku tadi? Berpikir aku akan kehilangan Glass? Berpikir dia akan menyerah karena kerumitan hidupku?
Sungguh aneh, aku mengela nafas, dengan lega. Dia menemaniku duduk di depan rumahnya.
 

‘Namanya Joana’ Kataku.
 

Dia hanya mengangguk. Dan mengulangi perkataannya sekali lagi, ‘Aku tidak akan bertanya apa-apa. ’

 

 

 

^-^ min

 

__________________

logo min kecil

vincent's picture

@min

sepertinya cerita ini akan menuju ke sebuah cerita yang lebih kompleks. dan kalo bisa ceritanya dibuatlebih meneganggkan. hanya sedikit saran.