Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Asap

Rya A. Dede's picture

 

Pagi ini, ketika aku baru saja duduk menghadapi komputer kerjaku, asap mengepul di luar, di tepi sungai kecil yang memisahkan tempat kerjaku dengan gang sebelah. Polusi merusak indahnya pagi, pikirku. Aku urung membuka jendela-jendela di ruanganku.
Tahun lalu, kami--bosku, seorang teman, dan aku, melihat bahwa tempat ini bagus untuk dijadikan tempat kerja kami yang baru. Tenang karena jauh dari jalan besar, bersih dan bersuasana alam. Di samping kanan area mengalir sebuah sungai kecil. Temanku sempat berolok-olok, “Tak perlu keluar uang banyak untuk bikin toilet, cukup pasang gedek di situ.” Sambil berkata begitu ia menunjuk ke arah sungai.
Bosku tak mau kalah, berujar, “Rya, nanti ruanganmu di lantai dua, dari sana kamu bisa lihat sawah, sungai, dan ada burung-burung. Kamu pasti suka, tapi nanti kamu cuma bikin puisi di sana, tidak kerja. Jadi kita mau bikin company lain untuk kamu, company yang bikin puisi.” Lalu ia mengucapkan beberapa baris puisi yang tiba-tiba tercipta.
Saat akhirnya kami pindah ke tempat baru ini, kami menyukainya. Suatu saat aku dan bosku harus kerja mulai jam enam pagi. Ia datang setengah tujuh, disambut oleh kicauan burung-burung dan sinar matahari pagi yang hangatnya sampai ke ruangan kami. Ia langsung berdecak kagum, “Oh... bagus sekali! Saya suka ini!”
Aku juga sangat menyukainya. Beberapa kali aku datang lebih pagi, sebelum kantor buka, cuma untuk duduk-duduk di depan. Kami sengaja meletakkan kursi panjang dengan dudukan bantal di depan kantor. Di situlah aku beberapa kali menikmati pagi dan juga senja seusai kerja, dengan sebuah bacaan di tanganku. Ya, tempat itulah yang paling kusukai untuk membaca.
Di depan gedung adalah tanah kosong. Beberapa waktu yang lalu, ada orang-orang datang membangun gubuk di tengah-tengah tanah itu. Semula kupikir mereka membangun gubuk untuk menunggu sawah. Tapi kenyataannya, setelah berbulan-bulan, mereka menghuni gubuk itu siang dan malam, di tengah-tengah semak-semak, bahkan mereka memelihara beberapa ayam di situ pula.
Aku tak habis pikir, bagaimana mungkin orang bisa tinggal di situ. Itu cuma tanah kosong yang penuh semak. Ada ular, biawak, katak, dan berbagai binatang liar lain. Aku lahir dan dibesarkan di kota, sehingga baru kali ini aku melihat seekor biawak menatapku dari tembok pembatas tepat di depan jendela ruanganku. Juga baru kali ini kutemui seekor ular besar masuk di pekarangan samping tempat kerjaku. Dan orang-orang itu hidup di tengah-tengah mereka.
Lama setelah itu, kudengar rumor beredar, orang-orang itu adalah keluarga yang terusir dari banjar asalnya. Entah kesalahan apa yang membuat mereka terusir. Kata temanku, memang seperti itulah yang masih umum terjadi di sini. Tidak melaksanakan kewajiban di sebuah banjar, maka masyarakat berhak mengusir orang tersebut keluar dari banjar mereka.
Beberapa minggu setelah pindah ke tempat baru ini, kami baru menyadari kekurangannya. Akses masuk ke tempat ini cukup sulit. Jelek dan sempit. Kami tentu sudah tahu sebelumnya, namun tak memikirkan dampak-dampaknya. Setelah seonggok sampak menumpuk, barulah kami bengong karena mobil pengangkut sampah tak bisa masuk untuk mengambil sampah kami.
Aku tak tahu masalah sampah ini sebelumnya. Lalu suatu pagi, kedamaianku terusik oleh asap yang membubung tinggi, bahkan menerobos masuk melalui jendela yang terbuka. Aku melihat untuk mencari tahu apa yang menyebabkan asap tebal itu. Terlihat sampah yang terbakar. Tetangga depan tak punya uang untuk membayar pengangkut sampah, pikirku. Tapi kemudian terlihat pula seorang temanku mengangkut sisa-sisa kain dari dalam dan melemparkannya ke pembakaran sampah tersebut. Aku mengerutkan kening. Kenapa mereka membakar sampah?
Aku berlari turun untuk bertanya. Jawabannya tidak memuaskanku. Truk pengangkut sampah tak bisa masuk untuk mengambil sampah. Lalu kenapa bukan orangnya yang masuk? Bisa saja para pengangkut sampah itu memarkir truk di jalan utama, lalu masuk ke gang dengan gerobak kecil untuk mengambil sampah-sampah di gang tersebut, kan? Beberapa kali malah kulihat, truk sampah berhenti di ujung gang itu beberapa saat lamanya, sehingga sebetulnya kami bisa mengangkut sampah-sampah kami ke sana. Toh cuma dua karung besar dalam seminggu. Tak ada tanggapan untuk itu.
Nafasku sesak. Tak sengaja menghirup asap.
 
***
 
Pagi ini, aku berdiri di ruangan bosku menyaksikan peristiwa pembakaran sampah itu dari balik kaca. Aku menelan ludah. Ternyata protes itu tak sanggup kuucapkan sampai saat ini. Ternyata cuma hatiku yang berteriak. Teringat kejadian-kejadian lain yang berhubungan dengan itu.
Suatu saat aku memberanikan diri menyuarakan protesku atas asap rokok seorang teman. Sebelumnya aku hanya bisa menutup hidung atau sekalian menjauh saat ia kebal-kebul di dekatku.
“Aku menghargai orang merokok dengan tak pernah melarang mereka merokok, tapi mereka tak pernah menghargaiku yang alergi asap rokok,” gumamku di sela-sela makan siang.
Ia mengeluarkan jawaban untuk membela diri. Aku tak protes.
Di saat lain, aku sedang makan dan ia mulai menyalakan sebatang rokok. Aku tak melihat itu, tahu-tahu saat sedang mengunyah, aku menghirup asap rokoknya, dan seketika...
Aku lari menutup mulut dan hidungku, meninggalkan makan siangku yang belum selesai, meninggalkan teman-temanku yang terheran-heran melihat kejadian itu. Nafasku sesak. Mataku berair. Pandanganku berkunang-kunang. Aku benar-benar bermusuhan dengan asap.
Besoknya, dengan tidak menyesal atas kejadian itu, temanku bertanya dengan ringan apa yang terjadi denganku. Aku cuma tersenyum kecut. Lalu ia mengucapkan lagi pembelaan diri atas kebiasaan merokoknya itu, dengan diakhiri pertanyaan, “Memangnya suamimu nggak merokok?”
Aku lagi-lagi tersenyum, lalu menggeleng. Sejak lahir, aku tak terbiasa dengan asap. Di rumahku tak ada asap pembakaran sampah, tak ada asap rokok karena tak satupun dari anggota keluarga yang merokok, tak ada asap hasil memasak dengan kayu bakar, dan tak ada asap obat nyamuk bakar karena sejak kecil aku merasa tak nyaman jika ada yang menyalakan obat nyamuk bakar.
Aku tersenyum pahit saat meninggalkannya untuk masuk ke ruanganku, mengingat bahwa perokok pasif katanya lebih berisiko daripada perokok aktif. Sempat terpikir, mungkin sebaiknya aku menjadi perokok aktif saja.
Dan kalau mengingat kejadian makan siang itu, kadang-kadang tercetus pula keinginan untuk mencuri rokok-rokok teman-temanku dan membuangnya sehingga mereka tak bisa merokok. Tapi aku merasakan motif dendam di dalamnya, dan lagi-lagi aku cuma tersenyum, lebih pahit.
 
***
 
Pagi ini, ketika memandangi asap di luar sana, pikiranku malah mengembara ke topik lain: kematian. Hari ini, di sebuah tempat, aku ingat akan ada ngaben. Beberapa kali aku ingin menyaksikannya, namun selalu terlewatkan karena kesibukan pekerjaan.
Aku tertawa membayangkan sesuatu. Kalau aku mati dan mayatku dibakar, mungkin aku akan tiba-tiba terbatuk-batuk karena alergi asap ternyata tetap hidup meskipun aku mati!
Aku kembali ke tempat dudukku. Burung-burung masih berkicau riang. Ya, mereka masih bisa bernyanyi, kenapa hatiku sibuk menggerutu hanya gara-gara asap?
Mulai hari ini, aku akan mengangkut sisa-sisa kain dari bagian produksi untuk kujadikan bantal duduk, jadi asap yang mengepul karena pembakaran sampah akan berkurang.

 

jackching's picture

Kamu ga tau ya?

kan ada 1 yg ngerokok d rumah ree... cm ga pernah d rumah sih kl ngerokok... tp kl skrg dah brenti juga sih... xixixi....