Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Apa Kabar Teologi dan Para Teolog?
“Ketika kita berpaling kepada para teolog (atau kepada karya-karya teologi) untuk mendapatkan pertolongan dalam memahami suatu hal tertentu, yang menyangkut dengan iman kita, seringkali bukanlah kejelasan yang kita dapatkan, melainkan kita justru akan dibuat menjadi lebih kabur lagi mengenai hal tersebut.” Itu adalah sebuah komentar yang, agaknya, mewakili pandangan sebagian besar orang Kristen sekarang ini, sehubungan dengan teologi (dan para teolog). Saya, memang, belum pernah membuat survey tersendiri, dengan pertanyaan seperti ini: “Apakah karya-karya teologi dan para teolog itu ada manfaatnya bagi Anda?” Tetapi, saya sangat yakin (berdasarkan pantauan saya selama ini, di banyak sekali tempat/even yang saya hadiri dan dari komentar-komentar orang Kristen yang tercetuskan, yang saya dengar/baca diberbagai kesempatan/media), kalau survey yang seperti itu tadi dilakukan di gereja-gereja dan perkumpukan-perkumpulan Kristen sekarang ini, maka orang-orang (khususnya mereka yang “awam” di bidang teologi) yang memberikan jawaban yang negatif terhadap pertanyaan itu, jumlahnya akan diatas 70%.
Dengan mengemukakan hal yang di atas itu tadi, apakah saya mau mengatakan bahwa saya sendiri adalah seorang yang anti atau, sedikitnya, tidak senang terhadap teologi dan para teolog? Sama sekali bukan begitu. Walaupun, saya memang menyetujui bahwa pandangan yang seperti itu tadi (yang negatif) terhadap teologi (dan para teolog) adalah memang cukup beralasan juga. Mengapa? Sebab, bukan rahasia lagi bahwa kebanyakan para teolog (dan karya-karya teologi itu) memang sepertinya “tidak menginjak bumi” atau “melambung terlalu tinggi di angkasa”. Tetapi, tentunya pandangan yang seperti itu (terhadap teologi dan para teolog) tidak juga sepenuhnya benar. Lalu, bagaimanakah yang benarnya? Hal itulah yang akan saya share-kan selanjutnya.
Ya, bagaimanakah sebaiknya kita memandang teologi dan para teolog itu? Saya mengusulkan pendekatan dari dua arah, yaitu sebagai yang berikut ini.
-
Dari sisi orang awam: Perlu memahami teologi itu sebagai sebuah disiplin ilmu.
Supaya kita, sebagai orang awam di bidang teologia, bisa memandang karya-karya teologi dan para teolog pada umumnya, secara lebih wise dan fair, maka kita harus memahami bahwa teologi itu adalah suatu disiplin ilmu (dan teolog itu adalah ilmuwan), yang memang harus bekerja menurut standard suatu bidang keilmuan pada umumnya. (Kalau tidak demikian, maka bidang mereka itu akan dinilai tidak layak atau tidak memenuhi syarat sebagai sebuah disiplin ilmu). Karena itu, tak dapat dihindarkan, karya-karya teologi itu pun berwujud sebagai karya ilmiah. Dan, karenanya, tak dapat dihindarkan juga, bahasa yang digunakan di sana pun adalah bahasa yang ilmiah dan juga yang khas (untuk bidang teologia). Itulah mengapa kosa-kata dan istilah-istilah yang digunakan di sana terasa/terdengar sangat asing (atau membingungkan) bagi telinga orang kebanyakan (yang minim pendidikannya). Dan, bahkan, juga bagi orang-orang yang, sekalipun sudah mengenyam pendidikan yang sangat tinggi, tetapi mereka tidak membidangi bidang tersebut (teologia).
-
Dari sisi para teolog: Harus “menterjemahkan” hasil-hasil karya teologis itu kepada dan dalam “bahasa” orang biasa/umum.
Sangatlah tidak tepat (dan tidak bisa dijadikan alasan) bahwa karena seseorang itu adalah seorang teolog, maka dia (ngotot) harus selalu berbicara (atau menulis) dalam “bahasa” teologis juga, khususnya jika sedang berbicara/menulis di media umum atau kepada orang-orang yang awam secara teologi. Tentu saja, jika orang itu melakukan hal yang demikian terhadap atau di dalam lingkungan keakademisannya (teologi), hal itu lumrah dan bahkan merupakan suatu keharusan baginya. Tetapi, jika cara yang seperti itu juga dibawa-bawa hingga ke luar dari lingkungan keakademisannya itu, hal itu sudah merupakan perbuatan yang kelewatan. Dia sudah kelewat batas! Karena itu, khusus bagi para teolog, dengarkanlah suara hati dari orang-orang awam, yang sesungguhnya memang sangat membutuhkan masukan-masukan dari Anda sekalian (yang tidak mungkin kami dapatkan dari mereka-mereka yang membidangi bidang-bidang lainnya). Suara-suara itu pada umumnya berbunyi seperti yang berikut ini:
“Berbicaralah kepada kami dengan bahasa yang bisa kami mengerti. Kami sangat membutuhkan masukan dari kalian, supaya kami bisa menjadi lebih memahami iman kekristenan yang kami anut ini.”
“Tolonglah, supaya kalian jangan seolah-olah hanya ingin memamerkan saja kepada kami mengenai ilmu yang kalian miliki itu dan menunjukkan betapa pintar atau brilliant-nya pemikiran kalian itu, dengan penggunaan bahasa-bahasa yang, sejujurnya, ‘aneh’ terdengarnya di telinga kami itu!”
“Kami sesungguhnya berharap banyak dari kalian, khususnya untuk memberikan penjelasan-penjelasan yang bisa dipertanggungjawabkan mengenai arti dari nats-nats (ayat-ayat) Alkitab dan semua praktek-praktek ibadah kami, sebagai orang Kristen.”
Imbauan Kepada Para Teolog
Sudah saatnyalah sekarang untuk para teolog menjadi siuman dari tidur panjangnya selama ini. Mari lihat keadaan kekristenan yang sangat mengenaskan dan menguatirkan sekarang ini. Orang-orang yang sebenarnya sangat tidak pantas, telah duduk di kursi kalian sekarang ini. Orang-orang yang sesungguhnya sangat jauh dari mumpuni, sedang berdiri di tempat kalian sekarang ini, dan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang semestinya cuma kalian sajalah yang bisa dan layak untuk mengerjakannya. Mereka itu tidak pantas dan tidak mumpuni, karena sesungguhnyalah mereka tidak pernah menerima pendidikan atau mempelajari ilmu teologi sebagaimana yang sepatutnya. Dan, mereka itu sesungguhnya tidak punya dasar sedikitpun (dan karenanya, sebenarnya, tidak punya hak) untuk melakukan penafsiran atas nats-nats (ayat-ayat) Alkitab, dengan sebagaimana mestinya. Seharusnyalah, yang boleh melakukan penjelasan (komentar) atas nats-nats (ayat-ayat) Alkitab itu adalah seorang ahli di dalam bidang penafsiran Alkitab atau pun seorang yang bersedia dan tahu bagaimana caranya menggunakan hasil-hasil karya para ahli yang sudah dipublikasikan. Tetapi, mereka itu, dengan modal nekat saja (yang, tentunya, ditambah dengan kefasihan dalam berbicara dan, sebagiannya, masih ditambah lagi dengan “keterampilan” untuk membuat “apa yang, sebenarnya, terjadi hanya secara natural/psikologis saja, bisa kelihatan seperti kejadian yang supranatural/ilahi”), menyampaikan kepada umat “ayat-ayat” dari Alkitab dan berkata: “Menurut ayat ini kita harus berbuat begini…”, “berdasarkan ayat ini kita dituntut supaya…”. Tetapi, (di sinilah masalah itu menjadi begitu menguatirkan) banyak sekali orang, di antara umat, yang justru sangat menyambut dan mempercayai mereka itu sekarang ini. Dan, menurut pengamatan saya, hal itu, terutama sekali, karena mereka itu menggunakan pendekatan yang sangat menarik dan bahasa yang disesuikan dengan para pendengarnya.
Karena itu, sekali lagi, bangkitlah hai para teolog, ambillah kembali tempat kalian, yang telah mereka ambil, karena tadinya kalian biarkan terbengkalai. Dudukilah lagi kursi yang menjadi hak kalian itu. Dan, berdirilah lagi di tempat di mana yang, memang, sudah semestinya menjadi tempat untuk kalian berdiri itu. Tetapi, sekarang ini, ubahlah pendekatan kalian, khususnya “bahasa” kalian! (Percayalah, masih cukup banyak kami, yang akan berada di belakang kalian!).
~“Mereka telah mengubah RUMAH TUHAN menjadi SARANG PENYAMUN;
Adalah tugas suci kita sekarang ini untuk MEREFORMASInya!”~
- Julius Tarigan's blog
- Login to post comments
- 5916 reads
Julius, teolog dan kaum awam
Sebuah blog dengan pandangan yang cukup menarik. Teologi memang kelihatan "menyeramkan" bagi hampir sebagian besar jemaat di gereja. Terlalu banyak istilah teknis yang kadang tidak perlu. Tapi, perlu disadari bahwa setiap peran dan tanggung jawab kita berbeda dalam setiap pendalaman bidang. Ada yang terpanggil menjadi teolog, karena itu mesti bisa mengerti, memahami dan menjelaskan Firman dengan istilah teknis dan sulit. Ada yang terpanggil menjadi pengajar, karena itu mesti menterjemahkan istilah yang sulit menjadi dimengerti oleh jemaat. Ada yang terpanggil menjadi penginjil, karena itu mesti menjelaskan pengertian Injil dengan baik dan akurat secara sederhana.
Kita tidak perlu terlalu menuntut para teolog untuk "membumi" karena sebagian dari mereka memang tidak menyusun ilmu teologi untuk membumi dengan jemaat. Ilmu pengetahuan berkembang dengan istilah dan konsep sulit, mengapa teologi tidak bisa boleh menjadi penguji dan peletak dasar kebenaran? Karena itu, teologi mesti menjadi standar penguji ZAMAN sehingga mesti berurusan dengan istilah teknis yang sulit. Kalau seandainya kita mengganggap ilmu teologi terlalu "tinggi" bagi jemaat dan orang awam, mengapa kita sendiri tidak mengambil tugas untuk menyederhanakan dengan istilah yang lebih "membumi"? Jika kita merasa bahwa kursi teologi di gereja telah diambil oleh orang yang tak bertanggung jawab, itu adalah tugas kita untuk memperbaiki. Itu tugas kita, atau setidaknya kalau bukan, maka biarlah kita menyerukan kepada orang yang terbeban untuk mengerjakannya. Setiap orang punya talenta masing-masing. Biarlah setiap orang mengerjakan apa yang menjadi tugas pelayanannya. Teolog belum tentu harus pintar mengajar, Pengajar belaum tentu ilmunya setinggi teolog, tetapi jelas, keduanya saling melengkapi. Lebih baik tentu saja teolog yang pintar mengajar dengan sederhana, dan pengajar yang mampu memahami semua seluk-beluk teologi. Tapi, itu "tentu lebih baik".
@Vantillian: Ahli dan Praktisi
Salam kenal untuk Vantillian.
Thanks ya, buat komentarnya.
Di dalam tulisan saya itu memang tidak dengan tegas saya menyebutkan adanya dua pemeran di dalam atau untuk (ilmu) tologi. Dan, dengan komentar dari Anda ini, saya jadi merasa perlu untuk menegaskan mengenai hal itu. Jadi, sesungguhnya ada dua pihak yang seharusnya berperan dalam fungsinya masing-masing, yaitu: 1) Ahli/teolog, dan 2) Praktisi.
Yang dimaksud dengan ahli/teolog itu ialah mereka yang memang benar-benar telah mendapatkan pendidikan dan pelatihan dibidang disiplin ilmu teologi dan mereka itulah yang akan menghasilkan karya-karya teologi, yang kemudian dipublikasikan.
Sedangkan praktisi adalah orang-orang yang terjun langsung menjalankan pelayanan kepada umat, dengan berbekalkan pengetahuan teologi yang di dapatkan dari mempelajari karya-karya teologi yang telah dihasilkan oleh para ahli/teolog di atas tadi (mereka ini sepatutnya juga mendapatkan pendidikan dan pelatihan, tetapi haruslah lebih terarah kepada hal-hal praktikanya daripada ke hal-hal yang bersifat teknis-teologisnya). Dengan kata lain, mereka ini memang diajar oleh/dengan para teolog/karya-karya dari para teolog, tetapi bukan untuk menjadi teolog-teolog, melainkan untuk terjun langsung melayani umat.
Yang terjadi sekarang ini adalah tidak adanya pembedaan atau pemilahan yang jelas di dalam kedua pihak yang disebutkan di atas itu. Kemudian ada kerancuan mengenai penggunaan istilah "teolog awam". Seharusnya yang boleh dan pantas untuk disebut sebagai "teolog awam" itu adalah/hanyalah mereka yang saya sebutkan sebagai praktisi tadi. Yah, keadaan "perteologian" di dalam kekristen sekarang ini memang lagi "carut-marut". Tulisan saya di blog itu, yang masih jauh dari memadai, dimaksudkan untuk "memancing" semua orang yang berkecimpung dalam "keteologiaan" dan yang bersimpati pada teologi dan para teolog, memulai suatu pembicaraan yang segar, jujur dan berbobot mengenai fungsi dan peranan teologi dan para teolog itu di masa sekarang ini, di mana "semua orang" telah "mengangkat diri mereka sendiri" sebagai "penafsir" atau "komentator" Alkitab. Dan, yang saya sangat harap-harapkan sekarang ini ialah agar tejadi reformasi di dunia "perteologiaan" kita pada masa kini. Sebab, hal itu akan sangat berperan untuk mempercepat terjadinya reformasi bagi gereja-gereja kristen sekarang ini (yang merupakan impian saya dan banyak orang Kristen lainnya, di seluruh dunia, sekarang ini).
Begitu aja ya, Vantillian. GBU.
~“Mereka telah mengubah RUMAH TUHAN menjadi SARANG PENYAMUN; Adalah tugas suci kita sekarang ini untuk MEREFORMASInya!”~
~“Mereka telah mengubah RUMAH TUHAN menjadi SARANG PENYAMUN;
Adalah tugas suci kita sekarang ini untuk MEREFORMASInya!”~
@jt : para perenung
Jesus Freaks,
"Live X4J, Die As A Martyr"
-SEMBAHLAH BAPA DALAM ROH KUDUS & DALAM YESUS KRISTUS-
Jesus Freaks,
"Live X4J, Die As A Martyr"
-SEMBAHLAH BAPA DALAM ROH KUDUS & DALAM YESUS KRISTUS-
@jf: Harus Dibedakan antara Study & Ibadah
Salam untuk Jesusfreaks.
Thanks ya, buat komentarnya.
Saya bisa ngerti kalo kita, pada umumnya, beranggapan seperti ini:
Buat apa orang memiliki banyak pengetahuan yang hebat-hebat/canggih-canggih tentang Alkitab, kalo semuanya itu cuma pengetahuan "di kepala" atau hanya secara intelektual saja. Yang jauh lebih penting adalah menekuni kebenaran firman Tuhan itu secara sederahana, tetapi lebih bersifat pribadi, yaitu melalui renungan atau saat teduh.
Tetapi, kita harus tahu dan bisa membedakan bahwa ada 2 tujuan yang sama-sama sah dan baik dalam membaca Alkitab bagi orang Kristen, yaitu:
Nah, itulah kedua tujuan dalam membaca Alkittab, yang sama-sama perlu dilakukan pada waktu dan tempatnya masing-masing. Dari keduanya itu tidak perlu dicari yang mana yang lebih baik/penting untuk kita sebagai orang Kristen. Karena masing-masing dari keduanya itu memiliki peranan yang sama-sama baik/penting bagi kita. Tinggal pintar-pintar kita saja dalam mengatatur waktu, kapan melakukannya sebagai ibadah dan kapan pula kita melakukannya sebagai study. (Dan, juga tergantung spesialisasi kita, kalau teolog, tentunya, akan lebih banyak melakukan study; kalau kita awam secara teologi, sebaiknya lebih banyak sebagai ibadah saja).
Begitu aja ya, Jesusfreaks! GBU.
~“Mereka telah mengubah RUMAH TUHAN menjadi SARANG PENYAMUN; Adalah tugas suci kita sekarang ini untuk MEREFORMASInya!”~
~“Mereka telah mengubah RUMAH TUHAN menjadi SARANG PENYAMUN;
Adalah tugas suci kita sekarang ini untuk MEREFORMASInya!”~