Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Antara Lennon dan Harrison
Meskipun sudah bubar 36 tahun yang lalu, nama the Beatles tetap dikenang orang banyak. Tidak sedikit kelompok musik yang digerakkan oleh fenomena empat anak muda asal Liverpool , Inggris ini, entah itu di masanya maupun di masa sekarang.
Semenjak bubar pada 1970, masing-masing personil mengukuhkan diri dalam karir solo--jalan yang telah mereka lakukan bahkan ketika the Beatles masih eksis, di antaranya oleh George Harrison. Meski demikian, kelihatannya hanya Richard Starkey, alias Ringo Starr, saja yang kemudian lebih sering main film ketimbang bermusik--meski beberapa kali diajak berkolaborasi, baik oleh Lennon maupun McCartney--di antaranya, ia juga berperan dalam album Flamming Pie-nya McCartney (1995).
Fakta menunjukkan bahwa kelompok ini pernah dijuluki sebagai kelompok sesat. Pernyataan fenomenal "kami lebih populer ketimbang Yesus" yang diucapkan Lennon pada 1966 (lihat artikel saya "John Lennon dan Gereja") menggerakkan banyak kalangan muda di Amerika berbondong-bondong menghancurkan segala hal berbau Beatles. Dan kelihatannya hal ini kemudian berlanjut juga dalam kehidupan beberapa dari personil kelompok legendaris ini.
Ada hal yang menarik antara Lennon dan Harrison--sebagaimana menarik juga melihat kontras antara Lennon dan McCartney, entah itu dalam bermusik maupun kepercayaan. Karena keduanya memiliki keyakinan yang sama-sama berbeda.
Dalam lagunya berjudul "God", Lennon menyatakan bahwa dirinya tidak percaya kepada siapa pun. Ia tidak percaya keajaiban (magic), Elvis Presley (padahal ketika masih bersama the Beatles, Elvis merupakan idolanya), bahkan tidak percaya kepada Yesus Kristus. Sebaliknya, ia menegaskan bahwa ia hanya percaya kepada dirinya sendiri. Dari sini, saya tidak melihat kecenderungan Lennon untuk menilai kebaikan agama.
Sebaliknya, Harrison justru menampilkan identitas diri sebagai seorang yang beragama. Dalam album terakhirnya, "Brainwashed"--album ini kemudian diselesaikan dengan baik oleh Dhani, anaknya, Harrison meyakinkan kita bahwa ia justru berada dalam posisi berbeda daripada Lennnon.
Simak saja penggalan lirik dari "Brainwashed" tersebut.
"God, God, God/You are the wisdom that we seek/God, God, God/the lover that we miss/God, God, God/Beneath You is eternity/God, God, God/You are existence, knowledge, bliss"
Dalam kutipan di atas, Harrison mengakui bahwa Tuhanlah sumber kebijaksanaan, cinta kasih, kekekalan, segenap keberadaan, pengetahuan, bahkan kebahagiaan. Tidak ada yang lain. Lebih lanjut lagi, ia lebih memilih dicuci otaknya oleh Tuhan ketimbang oleh zaman (I wish that You brainwash us too).
Kalau begitu, apakah Harrison adalah seorang Kristen yang sejati? Sayangnya, tidak demikian. George Harrison hanyalah salah satu produk dari Inggris yang tidak memegang teguh iman kaum puritan. Hal ini bisa diketahui dari bagian akhir dari "Brainwashed" tersebut yang berbunyi demikian.
"Namah Parvarti Pataye Hare Hare Mahadev
Namah Parvarti Pataye Hare Hare
Namah Parvarti Pataye Hare Hare
Shiva Shiva Shankara Mahadeva
Hare Hare Hare Hare Mahadeva
Shiva Shiva Shankara Mahadeva
Shiva Shiva Shankara Mahadeva"
...
Benar. Ia penganut Hindu. Meski demikian, lirik-lirik lagu dalam lagu "Brainwashed" tersebut mengandung nilai kebenaran yang universal. Bandingkan dengan Lennon yang cenderung bicara damai dan damai yang hanya mengedepankan perdamaian dari sisi humanisme belaka. Meski tidak sepenuhnya baik, apa yang dikemukakan Harrison dalam "Brainwashed" masih lebih baik daripada Lennon.
Nah, bagaimana dengan kekristenan kita? Jangan-jangan kita sendiri berkata, "I just believe in me."
_____________________________________________________________
Peduli masalah bahasa? Silakan bertandang ke Corat-Coret Bahasa saya.
- Indonesia-saram's blog
- 5646 reads
Tumben
Namaku: Yulia
Demen Musik Juga, Kok!
Memang benar, bahwa kekristenan tidak dapat dinilai hanya dengan, "I believe in God." Malahan ketika orang berkata demikian, kita patut hati-hati juga. Apalagi "God" itu sendiri sangat universal, bisa melekat kepada kepercayaan mana pun. Kaum animis zaman dahulu juga sudah kenal yang namanya "God", tapi tentu saja bukan Tuhan yang sejati sebagaimana kita percayai. Meski demikian, ketika orang mengungkapkan kepercayaannya sedemikian, hal itu setidaknya memberi gambaran bahwa orang itu takurt akan Tuhan. Kita tinggal lihat saja, Tuhan yang mana yang dia percayai. Bukankah Harrison dalam tulisan di atas juga demikian? Yah, ada nilai yang bisa kita pelajari dari hal tersebut.
_____________________________________________________________
Peduli masalah bahasa? Silakan bertandang ke Corat-Coret Bahasa saya.
Falosofis euy
Namaku: Yulia