Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Angkot Air
SEKALI lagi Ririn melihat layar ponselnya. Pesan itu tetap sama, AC pesawat A546 rusak. Khusus penerbangan hari ini, semua pramugari yang bertugas harus memakai deodoran sebanyak-banyaknya.
Ia langsung melemparkan selimut. Berdoa, "Tuhan, Jangan lagi mesinnya rusak. Jangan lagi kacanya retak. Jangan lagi bautnya dol. Jangan lagi penerbangan hari ini sampai tertunda. Hanya untuk hari ini saja Tuhan. Amin."
Besok aku bertugas di pesawat lain, tambahnya dalam hati. Berharap Tuhan tidak mendengar.
Sudah lama ia tidak terganggu mendengar penerbangannya tertunda. Ruang tunggu tanpa nenek tua duduk menahan lapar, ibarat sayur tanpa garam. Tidak semua orang rugi karena penerbangan tertunda. Kios bandara menjadi lebih ramai, minuman kaleng yang harganya dua kali lipat lebih cepat laku. Penumpang juga lebih suka duduk terkantuk-kantuk di bangku bandara daripada melihat pintu terbang karena engsel berkaratnya patah.
Dulu, pesawat tetap terbang bila ada baut longgar. Pesawat tetap terbang walaupun pintunya hanya diikat tali rafia. Sering terjadi kecelakaan sehingga ada istri yang tidak mau terbang satu pesawat dengan suaminya. Hanya karena takut anak-anak mereka menjadi yatim piatu dalam sekejap.
Sekarang, setelah pencabutan ijin Amburadul Airways, pengawasan lebih ketat. Ambaradul Airways memang paling sial, ban pesawat Ririn pernah kempes di udara, tetapi tetap mendarat dengan selamat. Pesawat Amburadul Airways beberapa kali jatuh dan menelan jiwa. Terakhir, Pilot Bejo bersama seluruh awak dan penumpangnya terjatuh ke tengah laut.
Tidak ada lagi maskapai yang hanya bermodal nekat. Pesawat tidak akan terbang bila ada kerusakan sekecil apapun. Namun ada pengecualian, pesawat tetap berangkat bila hanya AC-nya yang rusak. Burung besi tidak akan terjatuh hanya karena pendingin udara di perutnya tidak berfungsi.
Ririn hanya takut kepala penumpang lebih cepat panas bila berada dalam perut yang panas itu. Kalau kepala panas, mereka tidak tersenyum menunggu mekanik mencari kunci pas untuk mengencangkan baut yang longgar. Mereka juga suka marah-marah. Kalau marah, mereka suka menumpahkannya pada pramugari.
***
RIRIN menarik nafas lega saat pesawat bergerak ke landasan pacu. Sangat jarang penumpang bisa naik pesawat tepat waktu. Selalu ada halangan. Dua hari lalu, pesawat sedang tancap gas ketika pilot menemukan tuas naik patah di tangannya. Penumpang bersyukur, merasa itu lebih baik daripada pesawatnya tidak bisa turun. Sehari sebelumnya, pesawat tidak jadi berangkat karena salah satu bannya dicuri maskapai penerbangan sebelah. Penumpang bersyukur karena bukan bagasi mereka yang dicuri.
Ririn menahan nafas saat pesawatnya terasa melambat. Ia mengintip keluar jendela.
Ia berharap sedang bermimpi buruk, pesawat bergerak ke pinggir.
"Mengapa pesawat berhenti, Mbak?" tanya penumpang paling depan yang dari tadi selalu melihat keluar jendelanya.
"Tidak apa-apa, Pak."
Pramugari tidak boleh menjawab penumpang berdasarkan isi hatinya. Di udara, bila mesin tiba-tiba mati, pramugari tidak boleh langsung menyuruh penumpang berdoa minta pengampunan dosa. Sebelum pilot mengatakan "kita akan jatuh", pramugari harus membuat penumpang tetap tenang.
Terdengar bunyi bip kecil, Ririn menoleh. Lampu telpon di samping pintu kokpit berkedip. Leoni, pramugari senior mengangkatnya.
"Rin, buka pintunya," katanya sambil meletakkan kembali gagang telpon.
Udara segar langsung masuk begitu pintu terbuka.
Seorang mekanik berlari mendekati pesawat. Ririn berharap penumpang tidak melihatnya. Orang berlari ke bawah mesin jet yang masih panas sambil memegang obeng raksasa sepanjang setengah meter bukanlah pemandangan yang bagus. Bisa-bisa penumpang berimajinasi melihat malaikat pencabut nyawa ikut berlari di belakangnya.
Pintu yang terbuka tidak membuat kabin menjadi lebih sejuk. Malah makin terasa sangat panas. Keringat mulai bercucuran. Terasa sekali ada campuran bau pakaian dua hari dengan tetesan keringat di ketiak. Dalam keadaan seperti ini, pramugari memakai deodoran sebanyak-banyaknya supaya tidak ikut menambahnya dengan bau telur busuk.
Ririn memandang kabin belakang pesawat. Raymond, pria berjas lengkap itu sedang tersiksa kepanasan di sana.
Ririn menggeleng pelan.
Aku juga tidak tahu apa-apa, batinnya. Kalau ia bisa mengerti arti tatapan Raymond, berarti pramugara itu juga bisa mengerti arti gelengannya.
Buku panduan penerbangan tiba-tiba menjadi kipas. Dari arah belakang terdengar gerutuan, "Kalau tahu begini, kubawa kipas angin dari rumah."
Seseorang menimpali, "Sayang jendela ini tidak bisa dibuka."
"Memangnya angkot?"
Ririn hanya bisa tersenyum.
Lampu telpon kembali berkedip, Leoni mengangkatnya. Ia hanya berkata "Ya," lalu masuk ke dalam. Satu menit kemudian ia keluar lagi.
Berita buruk, pikir Ririn begitu melihat raut muka Leoni saat mengangkat mikrofon.
"Para penumpang yang terhormat," katanya, "kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Pesawat ini mengalami gangguan teknis, semua penumpang diminta kembali ke ruang tunggu. Menunggu pemberitahuan kami selanjutnya. Barang-barang mohon tetap tinggal di pesawat."
Penumpang ingin tahu apa yang terjadi. Bertanya-tanya di antara mereka sendiri. Ada masalah apa? Sampai kapan harus menunggu? Apakah aman meninggalkan barang di pesawat? Tidak ada jawaban jelas. Mereka hanya membuat kesepakatan sendiri, jangan meninggalkan barang berharga di pesawat.
Ririn Berdiri di samping pintu, mengucapkan, "Maaf... Maaf," kepada semua penumpang yang melewati pintu. Ada yang membalas dengan senyum. Ada yang berkata, "Lebih baik begini daripada jatuh dari atas." Ada yang merengut. Bahkan ada yang membalas, "Sampai mati, aku tidak bakalan mau naik pesawat ini lagi."
"Mbak, nanti kami dikasih makan, nggak?" tanya bapak yang keluar terakhir. Ia pasti melihat peraturan bandara yang mengharuskan maskapai memberi makan bila ada penundaan keberangkatan lebih dari satu jam.
"Maaf, coba nanti Bapak tanyakan petugas kami di ruang tunggu."
Maskapai sudah mengajari pramugari jawaban ini. Juga sudah mengajari petugas ruang tunggunya main kucing-kucingan. Bila tetap tertangkap juga, ia hanya harus menjawab, "Maaf, nanti ada snack di pesawat."
***
"KITA berangkat," kata Leoni setelah membaca pesan di ponselnya. Ini bukan pesan pertama yang masuk ke ponselnya selama dua jam menunggu. Pramugari telah belajar memanfaatkan ponsel untuk membunuh waktu.
"Semoga AC-nya juga sudah baik," kata Ririn sambil menyusul teman-temannya.
Kabin tetap panas dan pengap. Udara pagi Surabaya sedang panas-panasnya. Sepuluh menit lagi, begitu penumpang masuk dan pintu ditutup, panas ini akan benar-benar sangat terasa.
Sikap penumpang lebih buruk daripada yang Ririn bayangkan. Mereka berebutan masuk seperti orang antri mendapat zakat. Mengira makin cepat kembali ke tempat duduknya makin cepat pesawat berangkat.
Ririn merasa seperti berada di lemari steamer SPA langganannya. Tetapi ia tidak boleh ikut kipas-kipas. Pramugari tidak boleh memperlihatkan dirinya sedang kepanasan. Itu ada di kontrak kerja. Ia bersyukur sudah memakai deodoran sebanyak-banyaknya. Pengharum ketiak ini bukan hanya bisa mencegah telur busuk, tetapi juga mencegah keringat menetes dari ketiak.
Leoni masuk kokpit, kali ini bukan karena panggilan. Entah apa yang ingin ia bicarakan. Sesaat kemudian ia keluar dan langsung meraih mikrofon. Berkata, "Para penumpang yang terhormat, sekali lagi kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Saat ini sistem pendingin kabin sedang mengalami gangguan. Tetapi begitu pesawat sudah mengudara, kabin akan kembali dingin."
Waktu kecil, Ririn mengira makin dekat matahari pasti makin panas. Sekarang ia tahu, di puncak gunung, udaranya malah dingin. Bahkan di pengunungan yang sangat tinggi selalu ada es. Di pesawat juga sama, di atas awan, pesawat bisa sejuk walau tanpa alat pendingin.
Sesaat kabin tenang. Janji pesawat dingin bila sudah mengudara cukup ampuh. Tetapi hanya sesaat, pesawat tetap tidak berangkat. Dari belakang ada pengumuman dari penumpang, "Ban pesawatnya lagi ditambal. Sekarang sedang dipanasi spiritus. Makanya jangan heran kita seperti dipanggang."
"Ini benar-benar angkot," kata pemuda mata keranjang dekat pintu darurat. Tadi ia bukannya memperhatikan petunjuk cara membuka pintu darurat, malah memperhatikan tubuh Ririn yang sedang berbicara di depannya.
Penumpang tertawa. Ririn hanya menahan senyum. Pramugari tidak boleh ikut menertawai maskapainya.
"Bisa saya bantu, Pak?" tanya Ririn pada pria bergaya perlente yang tiba-tiba menuju ke arah pintu.
"Saya mau turun, menunggu di luar saja. Panas," jawabnya ketus.
"Maaf, tangganya sudah tidak ada, Pak."
Ririn bersyukur pria ini tidak nekat meloncat.
"Pesawat macam apa ini?" balasnya. "Panasnya minta ampun."
Pramugari telah belajar, jangan menanggapi kekesalan penumpang, lebih baik alihkan kemarahannya.
"Maaf Pak, pesawat sedang menunggu giliran lepas landas."
Ririn bersyukur pria ini mengalah, kembali ke tempat duduknya dengan muka masih merengut. Ririn makin bersyukur ketika pintu akhirnya boleh ditutup.
Di atas awan, kabin benar-benar menjadi sejuk, tapi sudah terlambat. Kepala sudah terlanjur panas, ada yang memprotes roti yang hanya sepotong. Udara panas tadi juga telah menurunkan minat beli. Ririn hanya berhasil menjual satu gantungan kunci, satu ballpoint dan satu kaos bertuliskan Angkot Air.
- anakpatirsa's blog
- Login to post comments
- 5037 reads
AP, cerita ini membuat saya terkenang
ketika di sebuah ibukota propinsi Kalimantan saya akan meneruskan penerbangan ke pedalaman, dekat rumah AP. Setelah mendengar cerita teman bahwa pesawatnya kecil dan sering terbang rendah di pucuk kelapa, sebelum naik para penumpang juga ditimbang berat tubuhnya, saya membatalkan niat saya.
Tetapi, cerita AP juga bisa terjadi di bandara besar. Suatu ketika dari Cengkareng saya akan terbang ke Bandarlampung. Pesawatnya kecil. Ketika akan berangkat, pramugari turun sehingga tinggal penumpang dan pilotnya saja. Pesawat yang sudah meluncur di landasan pacu dan nyaris take-off mendadak menurunkan kecepatannya dan berbelok kembali. Kata pilot ada masalah teknis. Tiba di tempat parkir saya melihat seorang teknisi berlari mendekati pesawat sambil membawa botol yang isinya berwarna kuning. Ketika ia naik pesawat baru saya tahu botol aqua itu berisi air jeruk.
Tega nian!
Salam.
flying coffin
AP, banyak orang bilang naik pesawat "AA" seperti naik flying coffin (peti mati terbang).
Huanan
Angkot Air T-Shirt
"Ririn hanya berhasil menjual satu gantungan kunci, satu ballpoint dan satu kaos bertuliskan Angkot Air"
Hebatnya, masih ada aja yang mau beli yah? Apalagi kalau lihat harganya...
@Pur: Kalo ditimbang badan sebelum terbang, saya juga mengalaminya beberapa kali (tapi ini helikopter, jadi lain kali yak?). Paling ringan dari semua penumpang lagi...
suka gaya cerita anak patirsa
saya suka gaya cerita anak patirsa.
salut.
Selamat Bergabung
Terima kasih,
Merupkan sebuah hiburan tersendiri ketika mengetahui sebuah blog yang sudah "terkubur" ternyata masih bisa dibaca.