Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Aku Belum Ingin Pulang

clara_anita's picture

Hujan turun lagi setelah berhenti sejenak. Hatiku melonjak kegirangan. Tirai basah itu memberiku alasan untuk sedikit mengulur waktu untuk pulang. Kadang -- oops bahkan sering-- aku begitu membenci rumah. Tidak, bukan kesumat, hanya jengah yang amat sangat. Aku tidak pernah ingin lari. Aku hanya tidak ingin pulang sekarang.

Usai menatap titik-titik air menerpa kaca jendela, aku kembali menghempaskan diri di atas kursi meja kerjaku. Keras dan tidak nyaman, tapi rasanya jauh lebih hangat dari selimut tebalku yang terongok di sudut kamarku.

Ruangan demikian senyap. Semua orang sudah bergegas pulang begitu melihat awan mendung menggelayut di langit; meninggalkanku sendirian bersama sepi. Seorang teman pernah bercerita tentang hantu yang sering berkeliaran di bangunan yang usianya lebih tua dariku ini. Dongeng mistis itu agaknya tak mempan padaku yang terbiasa bergaul dengan sunyi. Ya, memang hanya sunyi yang bersedia membuka telinga untuk teriakan-teriakan bisuku.

"Jadi lagi-lagi belum pulang ya?", tanyaku pada ruangan kosong. Orang-orang mungkin menganggapku gila mendengarku bicara sendiri.

Tentu saja tidak ada jawaban. Aku hanya tersenyum kecut.

Pulang? Go home atau go back to my house? Sayang bahasa ibuku tidak pernah membedakan istilah rumah dari tempat tinggal. Seharusnya ada damai ketika kita pulang ke rumah (home); bukan sebuah keharusan untuk setor muka ketika kembali ke tempat tinggal (house).

Bukannya aku tidak berusaha membawa sekeping damai ke rumah itu. Hanya saja kepingan-kepingan itu tak pernah cukup buat mereka. Rumah itu memang sudah retak.  Bahkan usaha terkuatku untuk membuatnya tetap utuh sama halnya dengan merekatkan porselen dengan lem kertas.  Tak lama retakan itu toh akan pecah juga. Kadang rasanya begitu lelah merekatkannya lagi dan lagi ....

Aku tidak membenci rumahku. Aku hanya lelah dan butuh waktu menyingkir sejenak sebelum sekali lagi menambal retakan yang cepat atau lambat remuk kembali. Keping retakan yang coba kurekatkan kembali kemarin sempat menusukku demikian dalam. Aku butuh waktu, maka ijinkan aku tidak pulang dulu sekarang.

Ah, Bapaku, aku mengerti ada beberapa hal yang tidak dapat kupilih. Mau tidak mau; suka tidak suka semuanya harus dijalani. Aku benar-benar paham aku pun tidak bisa memilih di rumah mana aku berada; meski kalau boleh aku akan memilih rumahMU.

Sesuatu menggetarkan mejaku. Bukan hantu seperti kisah temanku; hanya getar telepon genggamku. Sebuah pesan singkat dari seorang kawan lama. Sambil lalu aku membaca layarnya, "Tuhan masih punya rencana buatmu." Demikian teks itu berbunyi. Entah darimana ia tahu pergumulanku.

Tirai pekat itu mulai menipis. Rasanya sudah saatnya untuk pulang meski itu berarti aku harus menambal retakan itu lagi.. lagi... lagi... dan lagi. Tuhan masih punya rencana buatku, maka aku tak akan berpaling lari seperti seorang pengecut...

 

rogermixtin09's picture

Clara anita,seandainya aku jadi tokoh dalam tulisanmu

Salam Clara Anita

Sungguh ironis memang,,seandainya aku jadi tokoh yang ada dalam tulisanmu aku akan sangat bersyukur karena aku bisa pulang ke rumahku kapan saja aku mau,tapi sayang aku bukan tokoh yang ada dalam tulisanmu.Untuk pulang kerumahku aku harus bersabar sampai waktunya tiba dan sangat lama.Untuk pulang kerumahku aku memerlukan biaya yang tidak sedikit.Seandainya aku jadi tokoh yang ada dalam tulisanmu maka aku akan berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan apa yang Tuhan sudah berikan kepadaku meskipun itu pahit rasanya sampai batas kemampuanku,agar aku bisa pulang kerumahku kapan saja aku mau.

Tuhan Yesus memberkati

clara_anita's picture

Dear Roger, Memang segala

Dear Roger,

Memang segala sesuatu akan terasa harganya ketika ia tidak lagi tergeletak manis di genggaman. Demikian pula dengan keluarga. Sayangnya, bertolak belakang dengan itu, kadang kita tidak bisa menghargai makna hubungan yang terjalin dalam wadah suatu keluarga. Ketika masing-masing hanya mendengar "suaranya" sendiri tanpa mau memasang telinga untuk yang lain retakan itu pun mulai tercipta. Malangnya lagi, kadang tidak ada yang dilakukan untuk mencegah retakan itu merajalela.

Roger, di tempat saya bekerja, banyak siswa yang berasal dari keluarga yang retak. Bahkan beberapa sudah hancur lebur. Entah siapa yang paling terluka ketika retakan itu sudah menjelma menjadi puing-puing tajam. Betul kata Anda. Satu satunya hal yang paling sensible untuk dilakukan adalah bersyukur dan mencoba bertahan semampunya menelan semua kenyataan pahit itu. Toh, yang pahit tak selalu menjadi racun;obat pun kebanyakan terasa pahit.

Cheers,

nita

 

noni's picture

home/house

Dalam suatu masa, rumah pernah menjadi tempat terakhir yg ingin saya kunjungi setelah lelah beraktivitas seharian.
Demi menunda waktu pulang, seringkali kantor menjadi tempat ternyaman untuk sembunyi.
Berdalih menyelesaikan pekerjaan, maka maklumlah semua orang.
Alternatif kedua setelah bersembunyi di kantor adalah membenamkan diri dibilik mungil warnet.
Mencoba menyapa teman di dunia maya, mengalihkan diri dari penat dan problema. Paling banter jam 9 malam baru akhirnya menyerah dan pulang.
Sesampainya di rumah, langsung mengunci diri di kamar. Mencoba sesedikit mungkin berinteraksi dengan penghuni rumah yang lain.

Dulu, saat jenuh menyapa, kesesakan meraja, dan suasana rumah terasa hampa, saya memutuskan untuk ngekos. Hampir 6 bulan lamanya saya menempati kamar kecil berukuran 2 x 3 meter persegi.
Nyaman? Untuk sesaat iya. Tapi pada akhirnya, 'rumah' toh memanggil saya kembali pulang.

Dear Bu Guru Anita, semoga 'rumah' itu akan kembali menghangatkanmu. Dan kamu akan merasakan 'kenyamanan' berada disana dan selalu rindu untuk segera pulang.

Tadi pagi, seorang sahabat mengirimkan sms berkat. Perkenankan saya membaginya untuk Bu Guru terkasih :
"Di belakangku ada kekuatan tak terduga.
Di depanku ada kemungkinan tak berujung. Dan di sekelilingku ada kesempatan tak terbatas. Kenapa aku harus takut?"
(Pengkotbah 11:6)
Taburlah benih damai itu dalam rumahmu hunny... Apapun hasilnya, apapun kendalanya, hunny akan dimampukanNya saat engkau bersandar pada kuat kuasaNya ^_^

__________________

clara_anita's picture

My dearest Hunny, Hun,

My dearest Hunny,

Hun, bagaiman rasanya mengurung diri di dalam "penjara" ukuran 2 x 3 itu? Berapa lama tubuh dan jiwamu dapat menahannya?

Kadang ketika kita "dilukai" oleh kenyataan yang kejam  (ini gaya sok dramatis model sinetron Indonesia ), reaksi pertama adalah mengambil langkah seribu menarik diri ke tempat persembunyian yang kita anggap nyaman.

Dalam keadaan demikian, manusia tak ubdahnya seperti seekor kura-kura yang langsung menyembunyikan kepalanya di balik cangkang kerasnya -- pertahanan semu yang tidak membawanya kemana-mana.

Satu hal yang pasti, di dalam cangkang keras "istana" kita yang sempit itu, kita "memenjarakan" pandangan kita. Hanya luka dan sakit kitalah yang mampu kita lihat dan rasa.

Sadarkah, ketika yang kita hanya melihat luka-luka kita, pada saat itulah kita gagal melihatNYA yang maha kasih.

Hunny, sudahkah kau kembali pulang?

Cheers,

nita

noni's picture

Pulang...

Dear...
Rumah telah membawaku kembali.
Saya hanya bertahan di kos selama sekitar 6 bulan.
Setelah 'sukses' menata hati dan 'merasa' siap berdamai dengan diri sendiri (ciee...), saya pulang ke rumah.

Waktu membawa kami berproses, hingga hari ini, kami semua belajar untuk 'mengimani' kalimat : 'home sweet home'.
Sekarang, tiap habis jam kantor, nggak sabar rasanya untuk segera pulang, halah!!

Hunny, benarkah dirimu jengah pulang ke rumah?

__________________

Andreas Priyatna's picture

Ini 'kan cuma sekedar fiksi

Saya rasa tulisan Clara Anita ini cuma sebuah fiksi, it is not a really matter of fact that happened to her. Kalau ini terjadi sama Clara..., Oh my God..., saya turut prihatin...., ada apa emangnya di rumah mu..., mbok ya mulih nang umahku ae.

clara_anita's picture

Dear Andreas, Lho, rumah

Dear Andreas,

Lho, rumah Andreas dimana? Boleh juga nih sekali-kali mampir

Cheers,

nita

Andreas Priyatna's picture

Monggo Kerso

Ojo sungkan-sungkan, mampir ae..., umahku nang Jl. Sudirman No. 2

clara_anita's picture

Kalau di kota saya yang ada

Kalau di kota saya yang ada di jalan jend Sud no 2 adalah banguna ini. Di kota manakah anda berada?

virgi_diar's picture

BELUM

    clara saya suka dengan tulisan anda,memang ada hal-hal yang kita tidak bisa memilih,suka tidak suka itu sudah jadi milik kita,sudah identitas,aku seperti hidup dalam tulisanmu loh....,akupun belum ingin pulang juga bukan karena aku benci rumahku,aku hanya ingin menjauh menghindari supaya tak tersentuh lagi kepingan yang sudah terekat ulang itu,yang sudah rapuh itu....cukuplah aku memandangnya dari kejauhan dan aku pikir itu yang terbaik,dari kejauhan akan selalu kunaikkan doa-doaku.