Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Sempurnaku Karena Tak Sempurna
Beberapa waktu lalu, ketika asyik ber-window shopping di Sabdaspace, sebuah blog menggelitik saya. Blog tersebut membahas tentang mutu alias kualitas yang ada di dalam komunitas ini. Saya lebih tergelitik lagi ketika seseorang di ‘kotak ijo’ menyatakan bahwa ia enggan mengunggah tulisannya karena mengganggap tulisannya masih ‘jelek.’
… dan obrolan itu membuat saya berpikir…
***
Anda ingin sempurna? Hasil kerja tanpa cela. Nilai-nilai berada pada kisaran A – bahkan kalau bisa mendapat nilai 10 bulat atau lulus cum laude. Kehidupan keluarga dan sosial yang super sempurna. Singkatnya menjadi seorang superman atau wonderwoman dengan predikat ’paling’ di segala bidang.
Wajar bila Anda menjawab ‘ya.’ Memberikan usaha terbaik memang merupakan salah satu kecenderungan alamiah kita sebagai manusia. Melakukan yang terbaik membuat kita merasa berharga, serta mengangkat harga diri kita di hadapan teman, keluarga dan rekan sejawat. Singkatnya, membuat kita merasa nyaman dan lebih baik.
Dorongan untuk meraih hasil yang terbaik itu disebut perfeksionisme.
Dalam kadar yang normal, perfeksionisme memberikan dampak yang baik. Perfeksionisme mendorong kita untuk berprestasi, dan terus menggerakkan kita untuk tetap bertekun ketika menghadapi kesulitan ataupun tantangan. Perfeksionisme membantu seorang pelari berlari secepat mungkin untuk mencapai garis finish. Ia juga membantu seorang pelajar belajar segiat-giatnya demi prestasi yang memuaskan.
Namun, bila Anda merasa harus melakukan sesuatu dengan betul-betul sempurna; atau bila Anda merasa harus menjadi yang nomor satu sehingga berada di posisi nomor dua terbaik masih kurang dan membuat Anda gusar, berhati-hatilah. Bisa jadi penyakit perfeksionisme sedang menjangkiti Anda. Dan alih-alih membuat Anda menjadi yang terbaik, dorongan untuk sempurna itu bisa jadi menuntun Anda kepada kegagalan, depresi dan kecemasan. Saat itulah perfeksionisme berubah menjadi maladaptif.
Ketika dorongan menjadi sempurna itu telah berubah menjadi suatu hal yang tidak sehat, banyak hal dalam hidup yang tidak dapat lagi dinikmati karena diri terus diresahkan oleh ’keharusan’ menjadi tanpa cela. Padahal, apakah ada satu hal pun dalam dunia ini yang benar-benar sempurna? Mengutip sebuah kalimat bijak, ”tak ada gading yang tak retak” – tak ada satu hal pun yang sempurna. Maka, menuntut kesempurnaan adalah hal yang mustahil. Karenanya, menuntut kesempurnaan adalah kemustahilan yang berbuntut pada kegagalan. Ketika kegagalan itu tiba, perasaan tidak berdaya, bersalah, cemas, marah, frustasi dan sedih juga akan menyerang.
‘Keharusan’ menjadi sempurna juga membuat penderitanya tidak produktif. Pasalnya, para Ms. Dan Mr. Perfect cenderung menunda-nunda pekerjaan karena menunggu hingga hasilnya benar-benar sempurna. Seringkali, para perfeksionis terjebak untuk menyempurnakan satu detil hingga tak pernah benar-benar merampungkannya.
Perfeksionisme tidak hanya menggerogoti diri sendiri, namun juga orang lain yang berada di sekitar ’penderita.’ Para perfeksionis tidak hanya menuntut kesempurnaan dari dirinya, namun juga dari orang-orang di sekitarnya. Akibatnya, menjalin dan mempertahankan hubungan menjadi suatu hal yang sulit karena seorang perfeksionis tidak dapat bertenggang rasa atas kekurangan orang lain, dan menerima orang lain sebagaimana adanya.
Khawatir menderita perfeksionisme yang maladaptif? Kenali tanda-tandanya. Perfeksionisme dapat jadi telah berubah menjadi destruktif ketika Anda:
· Selalu khawatir akan membuat kesalahan, dan tidak menghargai keberhasilah yang telah dicapai.
· Tidak dapat menikmati apa yang telah dicapai karena segera memikirkan celah-celah kekurangan lain yang dapat membuat Anda gagal.
· Menyesal ketika apa yang Anda lakukan tidak membawa hasil sesuai harapan.
· Seringkali mengkritik dan mencari kesalahan orang lain di sekitar Anda.
· Merasa gelisah ketika Anda tidak dapat mengendalikan situasi.
Bila dicermati, perfeksionisme muncul ketika kecenderungan untuk bersandar pada diri sendiri menjadi terlampau besar. Keyakinan bahwa kemampuan, dan usaha yang kita miliki adalah jaminan untuk mencapai kesempurnaan. Segala kekuatan yang dimiliki dalam diri harus dieksploitasi semaksimal mungkin untuk mencapai satu titik pencapaian semu yang disebut ’sempurna.’
Padahal, resep menuju kesempurnaan bukan terletak pada kekuatan yang kita miliki, melainkan pada kelemahan kita. Mengapa demikian? Tengok saja II Korintus 12: 9, ”....Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna..”.
Ternyata kesempurnaan itu akan ditambahkan ketika kita mau merendahkan diri dan mengakui kelemahan-kelemahan kita. Tanpa dinyana, justru dalam kelemahan-kelemahan itulah TUHAN menunjukkan betapa sempurnanya DIA—betapa sempurnanya rancangan-NYA dalam kehidupan kita. Ayat tersebut membawa saya pada sebuah perenungan sederhana dan akhirnya membuat saya memahami mengapa Yesus memilih murid-murid dari kalangan yang tidak ’luar biasa’ : untuk menunjukkan betapa dalam ketidaksempurnaan manusia fana TUHAN menyatakan kesempurnaanNya.
Ternyata untuk menjadi sempurna, kita bukan harus menengok pada apa yang bisa kita lakukan dengan baik; melainkan mengungkapkan kelemahan kita – menerimanya lalu menyuguhkannya pada Yang Maha Sempurna untuk diubahkan menjadi sesuatu yang indah dan sempurna dalam rancangan-Nya. Karena hidup ini bukan tentang ’aku dan kuatku’ tapi tentang ’Dia pemilik segala kuatku dan lemahku.’
... dan sungguh sejatinya kesempurnaan hanya milik TUHAN...
***
Saya membaca bakal blog saya ini untuk ketiga kalinya. Bertanya-tanya apakah ia sudah sempurna. Sejujurnya, saya pun tengah bergumul dengan penyakit bernama perfeksionisme itu. Ada banyak kekurangan di situ – dari segi isi hingga bahasa. Namun sekali lagi mata saya terpaku pada kalimat yang tercetak miring itu, “....Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna..”
Dan kelemahan saya itulah yang menguatkan saya untuk mengunggah tulisan ini. Sebab tak perlu menunggu sempurna untuk mempersilahkan-Nya menyempurnakan segala yang ada pada diri saya.
Belum ada user yang menyukai
- clara_anita's blog
- Login to post comments
- 5780 reads
Bagaimana kalau ini.....
@Clara_anita
Ada seorang teman yang mengaku dirinya Krsiten namun enggan sekali ke gereja. Dalam setahun mungkin hanya Natal yang itupun kadang tidak dihadirinya juga.
Ketika ditanyakan alasannya, ia menjelaskan bahwa ia adalah orang yang hidupnya jauh dari Tuhan sekalipun dengan keukeuh ia menyatakan dirinya orang Kristen.
Dengan alasan itulah ia merasa tak layak ke gereja. Menunggu dirinya mejadi "orang baik " saat yang tepat untuk mulai beribadah di gereja.
Termasuk golongan orang yang perfeksioniskah teman saya itu ? ha ha ha ha
Apakah dengan mengatakan kebenaran kepadamu aku telah menjadi musuhmu?
Apakah dengan mengatakan kebenaran kepadamu aku telah menjadi musuhmu?
Dear King Heart, Dari
Dear King Heart,
Dari gambaran kasus yang Anda ceritakan tampaknya teman Anda tersebut lebih tepat bila dikategorikan sebagai golongan yang mencari alasan untuk membernarkan tindakannya sendiri.
Apa ada aturannya kalau hanya orang baik yang boleh datang ke gereja? Bukankah DIA datang untuk menyelamatkan domba-domba yang hilang dan menghibur orang yang letih dan lesu?
^_^
GBU
kesempurnaan dalam batasan
Dear Clara..
aku juga pernah punya pengalaman menarik untuk orang orang yang merasa perfect dalam apapun...
Ketika seorang perempuan, sebut saja namanya Herlina,mendapatkan nilai B+ dalam mata kuliahnya, atau mendapatkan nilai 95 dalam ulangan atau ujian di sma nya,..dengan sangat sedihnya dia meratapi hasil yang didapat...Akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya,...kenapa, kok sedih gitu?aku stress, aku kesel, aku sedih,..karena nilaiku ga A, nilaiku ga 100....Kalo udah begini, aku ga akan bisa makan enak, ga bisa tidur nyeyak, dan ga akan merasa damai dalam beberapa hari ini...Segi positifnya luar biasa,...tapi dari sisi lain,...akan nampak suatu bentuk ketidakpuasan yang lama lama bisa menjadikan seseorang menjadi selalu kurang kurang dan kurang...menjadikan orang tersebut menjadi orang yang jauh dari kata mengucap syukur atau sejenisnya...Untuk menjadi sempurna, kita semua harus berjuang kearah itu, karena sudah jelas, Allah menghembuskan Rohnya kepada kita dan saat kita lahir kita menjadi manusia yang segambar dan serupa dengan Dia,dan karen Allah kita adalah Allah yang sempurna, maka kita harus menjadikan diri kita sempurna,...tapi sempurna dalam kategori kategori tertentu yang punya takaran dan standarisasi.Allah pun sangat mengerti bagaimana kita sebagai manusia punya segala kekurangan disamping banyak juga kelebihan kita,..seperti yang anda katakan, kelemahan kita akan dirubahNya menjadi sempurna menurut rancangan dan rencanaNya...Kadang sangat complicated, dan kadang dalam hal ini pun saya sangat bingung,...mungkin anda juga bisa mampir di blogku yang berjudul "TERLAHIR CACAT"
Dear Nita,...
Dasar dari segala dasar...setiap manusia, dilahirkan untuk 99% merasa tidak puas akan sesuatu yang didapat...
Kurang kurang dan kurang akan segala sesuatu yang diperoleh..
kesempurnaan,...yang menurut aku tidak sempurna,....kepuasan yang menurut aku tidak puas,
Seharusnya untuk kita yang mengalami hal seperti itu, bisa baca Pengkotbah dari awal sampai akhir...Mungkin akan banyak menemukan jawaban disana.
Jesus christ Bless Us
"I love You Christ, even though sometimes I do not like Christians who do not like You include me, but because you love me, so I also love them"
@Smile: harga diri itu.....
Dear Smile,
Saya penasaran bagaimana kabar teman anda tersebut? Apakah dia benar-benar pernah merasa puas serta damai sejahtera bila terus memburu standard yang sedemikian tinggi?
Smile, ada dua hal yang menentukan seberapa seseorang menilai dirinya berharga. Faktor eksternal berupa sanjungan, ataupun penguatan lain dari luar; dan faktor yang berasal dari dalam alias internal -- yang berupa penerimaan diri tanpa syarat.
Teman Anda , sebut saja Herlina, itu nampaknya amat bergantung pada penguatan dari luar itu. Saya menangkap dia memiliki hasrat yang tinggi untuk mengesankan orang lain; selalu tampak sempurna di hadapan orang lain. Di sisi lain penerimaan diri tanpa syarat kurang begitu mendapat porsi dalam kehidupannya. Jadi, sejauh yang dapat saya tangkap ada ketidakseimbangan antara faktor eksternal dan internal, maka kepuasan agaknya nyaris mustahil dicapai. Ibarat kata, setelah melampaui satu puncak gunung, ia selalu mencari puncak lain untuk didaki tanpa menikmati kepuasan dan hikmah dari pendakian yang baru saja sukses ditempuhnya.
Smile, pendapat saya mungkin saja salah karena saya tak begitu mengenal teman Anda itu. Tapi kalau suatu saat Anda bertemu dengannya, mungkin akan sangat membantu bila Anda memintanya untuk belajar mencintai dirinya tanpa syarat.
GBu
anita
perfectionis? tapi bukan untuk mencari kesalahan orang lain
Kalau sudah tidak mau dikritik, tidak boleh dikritik mau jadi apa? Banyak orang kristen yg benci kritikan sehingga membuat kekristenan itu sampah, asal comot ayat sana sini, serta berani mengajarkannya dengan serampangan!
Percuma ayat ini ditulis: "hendaklah kamu sempurna seperti Bapa-mu adalah sempurna!
hanya karna satu kata "perfectionis", lalu seenak jidat seperti Onta yg menyembunyikan kepalanya dalam pasir, sehingga menganggap dan berharap supaya orang-orang di luarnya tidak melihatnya dan setelah merasa yakin dirinya sudah tidak kelihatan, lalu terus mempertahankan dosa yg sudah dikritik habis2an dan menuduh orang yg mengkritik itu mencari kesalahan orang lain dan menuntut orang lain sempurna dibalik tuduhan perfectionis?! Siapa yg menuntut sebenarnya di sini? menuntut untuk tidak boleh mengkritik!!! Dosa tetap dosa, dan tidak ada kompromi di dalamnya, serah, saya tidak akan banyak membela diri!
Wah Ken sedang jengkel
Wah Ken sedang jengkel ya??
Hati-hati, tidak dapat menerima dunia seperti apa adanya juga salah satu gejala perfeksionis lho
Saye menangkap "hendaklah kamu sempurna seperti Bapa-mu adalah sempurna!" sebagai suatu proses. Kita harus melalui tahapan-tahapan tertentu (yang berbeda untuk setiap orangnya) supaya sampai dalam tahap sempurna. Pergumulan, dan jatuh bangun kita dalam menghadapi berbagai hal dalam hidup (seperti juga kritikan ataupun menghadapi orang-orang sulit) adalah bagian dari proses itu.
Saya pernah berpikir Tuhan toh bisa saja membuat seisi dunia ini menjadi 'orang baik.' Tapi toh Ia tak melakukannya. Saya memandang Dia sebagai seorang guru yang selalu sabar menunggu anak-Nya belajar hingga sampai ke titik yang diharapkan.
Sabar ya Ken
GBU
anita
@clara_anita, saya tidak tersinggung
Hanya saja, orang-orang terutama yg kristen, selalu menjadikan perfeksionis itu kambing hitam, padahal untuk sampah yang dibuang sembarangan saja saya yg perfeksionis sudah merasa risih, apakah anda tidak merasa risih akan hal itu?
Dear Ken, Pertanyaan klasik
Dear Ken,
Pertanyaan klasik yang umum muncul dan selalu membuat risih:
1. Saat tetangga saya yang tukang becak bersusah payah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, kenapa para koruptor itu bisa hidup senang di atas penderitaan orang-orang macam mereka?
2. Ketika begitu banyak kasus aborsi yang terjadi, sementara om dan tante saya yang sudah lebih dari sepuluh tahun menikah dan belum dikaruniai anak begitu mengharapkan kehadiran seorang buah hati. Apakah ini adil?
3. Ketika beberapa blogger [seperti Ken] mengeksplorasi nalar, dan menggumulkan firman-Nya untuk menulis sebuah blog berkualitas, namun beberapa yang lain dengan ringannya (maaf) buang sampah . Apakah ini benar?
Kalau ken tanya jawaban saya, jawaban saya adalah TIDAK.
Kalau Ken tanya apakah saya risih dan ingin mengubahnya, jawaban saya adalah YA.
Pertanyaannya adalah: Bagaimana mengubahnya??
Ken yang bijak, sebelum mengubah dunia, mulailah dengan mengubah diri sendiri menjadi lebih baik dari hari ke hari. Alih-alih mengutuki gelap, lebih baik kita menyalakan lilin. Biar cahanya temaram, siapa tahu DIA berkenan menggunakan cahayanya untuk menyingkirkan kegelapan .
Seperti penggalan serenity prayer yang ternama itu:
Tuhan bantu saya untuk mengubah hal yang bisa saya ubah,
Menerima hal yang tidak dapat saya ubah
dan kebijakan untuk membedakan antara keduanya...
[dan mengetahui bahwa yang dapat saya ubah adalah diri saya sendiri]
PS: Yang terakhir tambahan dari saya
GBU
anita
@Clara_Anita, anda memutar fakta
Terang-terang tulisan anda ingin mengubah perfeksionis, koq anda malah menuduh saya ingin mengubah yang tidak perfeksionis?
Waduh.. waduh.. Ken.. Take
Waduh.. waduh.. Ken..
Take it easy ...
Saya tidak menuduh Anda kok. Kelihatannya anda jumped into a wrong conclusion. Saya hanya mencoba menjawab pertanyaan Anda kok .
Pertangaan yang ini lho:
Hanya saja, orang-orang terutama yg kristen, selalu menjadikan perfeksionis itu kambing hitam, padahal untuk sampah yang dibuang sembarangan saja saya yg perfeksionis sudah merasa risih, apakah anda tidak merasa risih akan hal itu?
@Ken: Jangan emosi
Ken kamu sebaiknya jangan emosi dulu. Tulisan ini adalah introspeksi diri Clara yang merasa dirinya terlalu perfeksionis dan paham apa kerugian dari hal itu. Jadi dalam hal ini Clara bukan menegur kamu secara pribadi melainkan menegur setiap orang perfeksionis. Kalau kamu merasa tertegur mustinya kamu pertimbangkan dulu apa bersikap perfeksionis tidak ada ruginya sama sekali. Bersikap perfeksionis boleh saja tapi bersikap terlalu perfeksionis itu merugikan baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Saya sendiri bukan perfeksionis saya adalah orang yang praktis
@Miss Clara
Dear Minmerry , Seperti
Dear Minmerry ,
Seperti yang sudah saya tuliskan di muka, dalam kadar normal perfeksionime adalah hal yang baik karena ia memberi dorongan buat kita untuk terus dan terus memberikan yang terbaik. Saat kita telah memberikan yang terbaik, ada rasa puas dan nyaman yang dapat kita petik sebagai hasilnya. Maka, wajar saja jika Min merasa kecewa ketika tidak mendapat hal yang min harapkan hingga merasa down. Sangat wajar malah.
Satu segi positif yang dapat kita ambil ketika kita merasa down adalah sebuah kesadaran betapa terbatasnya diri kita tanpa campur tanganNya; suatu pelajaran untuk terus bergantung penuh padaNya dan tak hanya mengandalkan kemampuan diri sendiri. Sekali lagi, wajar bila kita merasa bersalah, namun lihat sisi baiknya: ketika kita merasa bersalah berarti kita menyadari bahwa ada yang salah. Kesadaran inilah yang dapat menjadi titik tolak untuk memulai suatu hubungan yang lebih baik dengan Dia.
Min, saya tersanjung sekali min ketika min mengatakan bahwa saya ini lembut. Wah... min belum tahu aslinya saya nih... Mungkin suatu hari kita bisa bertemu langsung, dan kita bisa saling mengenal dengan lebih baik
GBU
nita
Dear Miss Clara
Thx for reply my question, miss. Min membacanya sambil mengangguk-angguk.
Min ingin lebih impulsif dan tidak begitu perfeksionis, huehehe... Perfeksionis melelahkan, sejujurnya, hahahaha... Tapi banyak yang menyukai itu dari min. Karena bisa diserahkan tugas, haha.
Miss harus janji lho, kalo ketemu min, min ga boleh dijadikan anak (pucuk) bawang, hehe...
^-^
You are very welcome
You are very welcome Min,
Betul bersikap spontan itu menyenangkan lho. Hidup terasa lebih mudah dinikmati. Tentunya perlu dijaga keseimbangannya dengan yang lebih berat atau serius.
Setuju. Harus lebih asertif dan berani mengambil sikap untuk mengatakan tidak Min.
GBU