Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

MADI

anakpatirsa's picture

Pelaut tua yang kembali ke pantai setelah bertahun-tahun tidak melaut, pasti mampu mencium bau khas udara laut yang akan membuatnya merindukan suasana di tengah lautan, yang mengingatkannya kembali kepada kenangan ketika masih mengarungi samudera.

Aku bukan pelaut, apalagi seorang pelaut tua. Aku hanyalah seseorang yang bertahun-tahun tidak menginjakkan kaki di kampung halaman. Walaupun demikian, aku mengalami hal yang biasa dialami oleh pelaut yang sudah lama tinggal di darat. Lima tahun tidak menginjakkan kaki di tanah kelahiran, membuatku mampu mencium bau khas bekas kebakaran hutan; padahal garis pantainya masih belum kelihatan. Bahkan dalam perjalanan dari pelabuhan, karena deretan rumah panggung di sepanjang jalan, ingatanku selalu tertuju pada kampung orang tuaku. Juga pohon-pohon yang mulai berdaun setelah mengalami kebakaran ikut mengobati kerinduanku.

Semua itu kualami dan kurasakan setelah lima tahun tidak pulang. Tetapi tiga bulan lalu, saat kembali ke tempat ini lagi, aku sedikit kecewa karena tidak mengalami dan merasakannya lagi. Aku tidak mampu mencium bau khas daerah ini, tidak mampu melihat keistimewaan rumah-rumah di sepanjang perjalanan. Bahkan pepohonan yang menghitam tidak memberi arti apa-apa. Sepertinya setahun tidak cukup untuk membuatku menjadi sedikit melankolis.

Akhirnya, karena tidak mampu melihat hal-hal yang menarik, aku hanya melamun sepanjang perjalanan. Dalam lamunan itu, aku teringat perjalanan setahun lalu, empat jam yang terasa sangat singkat. Perjalanan yang membuatku sadar, daerah ini telah mengalami perubahan.

Makin mendekati kota, perubahan itu makin kentara. Mungkin inilah yang membuatku tidak terlalu kaget ketika melihat daerah kostku dulu juga sudah berubah. Aku harus kesini untuk menanyakan alamat kedua adikku. Baru kumengerti kenapa mereka menyuruhku datang ke rumah yang kutempati lima tahun lalu. Semuanya telah berubah, tanpa bantuan orang lain, mencari alamat adikku hanyalah membuang waktu.

Rumah itu sendiri tidak terlalu banyak berubah, bahkan catnyapun tidak diganti. Begitu memasuki halamannya, aku kaget melihat sebidang tanah kosong di sampingnya. Dulu, di atasnya berdiri sebuah rumah yang cukup bagus. Sekarang, yang ada hanyalah sebuah gundukkan yang diselimuti semak belukar. Dari bentuknya bisa ditebak bahwa belukar ini menutupi bangkai sebuah mobil. Dari sisa tembok yang masih berdiri, bisa kulihat bahwa telah terjadi kebakaran.

Dari tempat ini, aku langsung diantar ke tempat adikku. Tidak bisa kugambarkan apa yang kurasakan ketika melihat si kembar, Nyai dan Mantuh yang sekarang sudah dewasa. Melihat keduanya sekarang, aku teringat masa kecil kami. Dulu, keduanya selalu minta digendong bersama-sama, satu di depan dan satu di belakang, tetapi sekarang kami sama-sama kaku.

Untunglah kekakuan ini segera mencair. Bahkan kami akhirnya mengobrol sampai larut. Secara bergantian, keduanya menceritakan keadaan di kampung. Kebanyakan berkisar tentang kelima saudara kami yang lain, terutama kekonyolan mereka selama lima tahun ini. Lalu, karena tidak ada lagi kekonyolan yang bisa diceritakan, topik berganti menjadi cerita tentang siapa-siapa yang sudah meninggal di kampung selama kepergianku. Alasannya, supaya aku tidak kaget bila mengetahui sudah tidak ada tempat bagiku di tempat pemakaman yang lama.

Aku sadar, kalau tidak dihentikan, topik ini akan berlanjut dengan siapa-siapa yang sudah lahir, yang artinya siapa-siapa temanku yang sudah menikah. Topik yang tidak kusukai untuk saat ini. Untunglah aku teringat bekas kebakaran tadi. Seingatku, pemiliknya seorang pendatang yang setiap pagi dan sore membawa rumput untuk makanan ternaknya. Ia selalu menyapa dengan ramah setiap kali melihatku membaca di teras.

"Kenapa rumah pak Madi sampai terbakar?" tanyaku begitu ada kesempatan. Aku mendapat kesempatan ini ketika Nyai berhenti sebentar untuk mengambil kopinya. Aku harus cepat-cepat, kalau tidak, Mantuh yang mengambil alih. "Sekarang mereka dimana?"

Aku cukup heran dengan reaksi Nyai, awalnya kupikir ia tidak suka seseorang memotong ceritanya yang belum tamat. Tadi ia hanya berhenti sebentar karena haus. Sekarang ia malah tidak jadi mengambil kopinya, bahkan bertanya, "Mau tahu ceritanya?"

Lima tahun tidak akan membuatku lupa kalau ini bukan pertanyaan. Kalau sudah berkata seperti ini, Nyai tidak akan berhenti sampai ceritanya selesai. Kebiasaan ini yang dulu sering menjadi bahan pertengkaran. Nyai selalu memaksa Mantuh untuk mendengarkan ceritanya. Seingatku, karena seringnya terjadi pertengkaran, mereka akhirnya membuat kesepakatan, Nyai boleh bercerita apapun, kecuali satu, tidak boleh bercerita tentang dirinya sendiri. Syarat yang diterima olehnya dengan senang hati. Ia juga harus membuatkan teh untuk saudara kembarnya setiap kali akan bercerita, cerita yang boleh didengar sambil membaca novel, tetapi tidak boleh sampai tertidur.

Aku tidak menjawab pertanyaannya, aku hanya membetulkan posisi bantal. Mantuh juga melakukan hal yang sama, aku tidak tahu apakah karena tertarik atau karena sudah terbiasa dipaksa mendengarkan cerita saudara kembarnya. Aku melihat si Mungil ini membiarkan novelnya tergeletak di samping, mungkin pertanda bahwa ia tertarik. Nyai memberbaiki posisi duduknya juga - lebih tegak, lalu mengambil kopi dan menghirupnya dengan cara yang tidak terlalu anggun untuk seorang gadis. Aku diam saja karena tahu dari siapa ia belajar menikmati kopi dengan cara ini.

***

Sekujur tubuh Madi hitam legam terbakar matahari. Bertahun-tahun ia menjadi pendatang di pulau yang terkenal dengan lahan kosongnya yang begitu luas dan subur. Daerah yang begitu berbeda dengan tempat asalnya yang sangat padat dan tandus. Ia meninggalkan kampung halamannya karena mendengar betapa banyaknya lahan yang masih kosong.

Ia tidak punya keahlian apa-apa dan tidak punya pendidikan yang cukup pada waktu meninggalkan daerah asalnya, hanya seorang lulusan SMP berkepala tiga yang sudah kenyang dengan rasa lapar. Satu-satunya pekerjaan yang bisa dilakukannya begitu tiba di daerah perantauan hanyalah menjadi pembantu tukang bangunan. Pekerjaan seperti ini disebut "kernet". Tugas seorang kernet hanya mengaduk semen dan mengangkut bata untuk dipasang oleh tukang batu.

Bertahun-tahun ia menekuni pekerjaan ini, tetapi kehidupannya tidak terlalu banyak berubah. Tidak pernah punya tempat tinggal yang tetap, hanya mampu mendirikan pondok kecil di setiap tempat pembangunan yang ikut dikerjakannya, yang dibongkar lagi begitu bangunannya selesai.

Begitu banyak lahan subur yang kosong, tetapi ia tidak punya hak apa-apa untuk ikut mengolahnya. Dalam kemiskinan, ia akhirnya menikahi gadis daerah ini yang juga miskin. Namanya Lasmi, seorang penjual makanan yang pelanggannya adalah para tukang yang juga miskin. Jadilah mereka sepasang suami istri miskin yang melayani orang-orang yang miskin.

Seringkali Madi berpikir, seandainya ia bisa mengolah sebidang kecil lahan subur ini, ia akan mengolahnya dengan sekuat tenaga. Begitu banyak lahan yang tidak diolah, kebanyakan karena pemiliknya cukup puas dengan kehidupan mereka. Atau jika diolahpun, itu hanya diolah pada musim hujan. Begitu musim kemarau tiba, pemiliknya tidak akan mau repot-repot, dengan sabar ia akan menunggu sampai musim hujan tiba.

Ada sebuah ungkapan terkenal, 'dimana ada kemauan, disitu ada jalan'. Madi memang tidak pernah mendengar ungkapan ini, tetapi ia dan istrinya mengalaminya sendiri. Jalan itu tidak datang dengan sendirinya, tetapi mereka sendiri yang membuatnya. Keduanya sedikit demi sedikit menabung. Lalu setelah bertahun-tahun, tabungan tersebut cukup untuk menyewa sebidang tanah.

Madi akhirnya mendapat sebuah kesempatan untuk memperbaiki nasib. Bukan hanya sekedar menyelamatkan perut yang terlalu sering kosong, tetapi lebih dari itu - kehidupan yang lebih baik. Ia menggunakan kesempatan itu dengan baik. Ia tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang pertanian, tetapi ia mengolah lahannya dengan otot. Ketika penduduk membiarkan lahan mereka kering kerontang karena musim kemarau, maka setiap pagi dan sore Madi mengangkut air untuk menyirami kebunnya. Ketika orang lain mengistirahatkan tanahnya bila sudah tidak subur lagi, setiap siang, di bawah terik matahari, Madi mengumpulkan kotoran sapi dan dedaunan kering untuk dijadikan pupuk.

Di daerah asalnya, alam telah menempanya. Kemiskinan dan kehidupan yang keras telah membuatnya tidak mau tunduk kepada alam. Alam sepertinya telah membentuknya menjadi pekerja keras. Ia dan istrinya akhirnya tidak lagi menjadi sepasang orang miskin. Bahkan mereka membeli tanah yang dulu hanya disewa, lalu membangun rumah di atasnya ketika tempat itu sudah tidak lagi menjadi daerah pertanian. Mereka membeli lahan lain untuk berkebun, lahan yang sangat luas. Lalu merubahnya menjadi perkebunan.

Walaupun sudah berhasil, mereka tetap bekerja keras.

Bukan hanya Madi yang seperti ini, orang-orang seperti dia akhirnya menjadi kelompok yang berhasil. Mungkin karena mereka tidak pernah takut kulitnya terbakar matahari. Bila orang lain berhenti begitu sinar matahari sudah menyengat, maka mereka baru berhenti begitu matahari sudah tidak kelihatan. Sepertinya kelompok ini sudah bosan hidup dalam kemiskinan, di samping itu, alam di tempat asalnya juga telah membentuk mereka menjadi pekerja keras, sekaligus orang-orang yang keras.

Tidak pernah jelas apa yang menjadi penyebab kerusuhan itu, kebanyakan hanya menduga-duga. Yang pasti, Madi harus berpisah dengan istri dan anak-anaknya. Itulah jalan terbaik, karena jika ia tertangkap ketika bersama dengan keluarganya, bukan hanya ia saja yang akan menjadi korban. Ia akhirnya memutuskan untuk meninggalkan daerah ini sendirian, demi orang-orang yang telah membantunya mengalahkan alam dan kemiskinan. Pergi tanpa membawa apa-apa, kecuali tubuh yang hitam legam terbakar sinar matahari.

***

"Begitulah ceritanya," kata Nyai sambil menghirup kopi yang sudah dingin. Terlalu asyik bercerita, membuatnya lupa dengan minuman kesukaanya sejak masih sekolah dasar.

"Bagaimana kamu bisa tahu ceritanya?" tanyaku. Kalau dulu tidak melihat sendiri bagaimana Madi merubah nasibnya, aku pasti meragukan cerita ini. Lima tahun yang lalu, aku telah melihatnya sendiri.

Sambil menunggu jawaban, aku memandang Mantuh, tidak tahu apa yang ada dalam pikirannya. Tetapi dari reaksinya, pasti telah mendengar cerita ini lebih dari sekali.

"Tiga bulan setelah kerusuhan, Lasmi yang selama ini ikut mengungsi, kembali ke kota. Ia dan anak-anaknya mendapati rumah mereka sudah rata dengan tanah. Ia hanya bisa berdiri di depan reruntuhan rumahnya sambil menggendong anaknya yang paling kecil. Para tetangga tidak berani keluar menemuinya, merasa malu dan tidak enak karena sadar sebenarnya bisa mencegah pembakaran itu jika mau. Memang, waktu pembakaran itu kami semua bersembunyi, padalah kami mengenal orang yang memimpin pembakaran."

"Akhirnya Lasmi melangkah kearah kost kita yang dulu." Lanjut Nyai sambil melihat ke arahku, aku senang dengan kata 'kita'-nya. "Tante sedang melihat dari jendela ruang tamu, berharap bukan ia yang harus memberi penjelasan. Akhirnya tante terpaksa keluar dan mengajak Lasmi dan anak-anaknya masuk. Lasmi hanya berkata, 'Kenapa orang-orang di sini membiarkan rumah kami dibakar, padalah mereka tahu suamiku sudah lari dan aku juga orang sini?'"

"Tante tidak bisa menjawabnya, ia tidak mengucapkan apa-apa, kecuali menawarkan supaya Lasmi tidur di rumahnya untuk sementara. Malam itu kami mendengarkan cerita Lasmi. Ia menceritakan semuanya, termasuk bercerita bahwa sampai sekarang ia belum tahu keadaan suaminya."

***

Aku hanya bisa menarik nafas dalam-dalam. Kami semua sudah mengantuk, malam sudah begitu larut. Aku harus tidur karena besok pagi-pagi akan melanjutkan perjalanan ke kampung, sorenya baru bisa bertemu dengan ayah dan ibu.

Perjalanku masih panjang dan berat, tetapi rasanya tidak akan seberat penderitaan orang-orang yang diceritakan tadi. Juga tidak seberat penderitaan kedua adikku. Mereka telah melihat sendiri kerusuhan dan pembakaran itu. Melihat orang-orang yang dulu mereka kenal sebagai orang yang ramah telah berubah beringas, seperti kesurupan.

Sudah lama aku tidak bermimpi buruk, tetapi malam itu aku mengalaminya lagi, padahal seharusnya aku bermimpi indah, karena besok akan bertemu dengan orang-orang yang kukasihi setelah tidak melihatnya selama bertahun-tahun.

***

Aku terbangun dari lamunanku begitu sopir angkutan yang mengantarku bertanya dimana aku turun. Ternyata kami sudah sampai di daerah yang kusebutkan waktu naik tadi, daerah kostku dulu. Ketika melewati rumah yang pernah kutempati selama lima tahun itu, aku melihat semak belukar di sampingnya jauh lebih lebat dari tahun sebelumnya.

Aku sama sekali tidak mampu mencium bau khas kota ini.