Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Kue Wingko Babad
Berbeda dengan Bika Ambon yang tidak ada kena-mengenanya dengan pulau atau orang Ambon, kue Wingko Babad betul-betul berasal dari kota kecil Babad yang terletak di antara kota Gresik dan Lamongan di Jawa Timur
Dalam perjalanan darat Surabaya – Semarang aku berhenti di terminal bus dekat pesarean Sunan Bonang Lamongan. Aku mencari kue ini yang kondang di Semarang sehingga orang salah mengira ini kue khas Semarang. Satu kantong 15 ribu rupiah isi 20 bungkus kecil, jadi sebijinya 750 rupiah. Yang di Semarang paling murah 3 ribu rupiah. Aku tambah 10 batang lopis @ 500 rupiah yang bentuknya kayak cerutu Tarumartani Jogja yang dulu sering dipakai untuk pelengkap sesajen. Lopis di Semarang ukurannya gede seperti lontong.
Siapakah LOE SOE SIANG yang namanya ditulis di kantong kue Wingko itu? Dia adalah ayah Loe Lan Ing yang didaulat penduduk internet sebagai pembuat pertama kue Wingko ini. Pada tahun 1949 saudara kandungnya – Loe Lan Hwa – pindah ke Semarang sambil membawa resep kue ini. Lan Hwa berjualan di Setasiun Tawang dan wingkonya diberi merek Wingko Babad Cap Sepoor yang kemudian berubah menjadi Wingko Babad Cap Kereta Api.
Bagi mereka yang belum pernah mencicipi kue ini, sekedar tahu saja kue ini dibuat dari adonan ketan, gula pasir, garam dan dulunya dipanggang di atas arang. Ada perbedaan rasa antara yang “Loe Soe Siang” dan yang “Kereta Api”. Yang di Semarang rasanya gurih karena adonannya mempergunakan air santan kelapa sedangkan yang asli kota Babad mempergunakan air biasa saja. Mungkin dikarenakan perbedaan media cairnya maka yang “Kereta Api” teksturnya keras sedangkan yang “LSS” lembek.
“Di sini kue wingko ini laris?” tanyaku kepada penjualnya.
“Ya, biasa-biasa saja.”
“Tidak ada yang di-modif seperti yang di Semarang, misalnya wingko rasa durian, wingko rasa keju, biar laris banget seperti yang di Semarang? Kalau di sini ‘kan bisa dibuat wingko rasa tuak legen?” Sejak dulu daerah Lamongan juga dikenal sebagai produsen minuman legen yang dibuat dari air buah siwalan. Bila legen ini disimpan lama, ia akan berubah menjadi tuak.
“Pernah pabriknya membuat yang ditambahi rasa lain, malah tidak laku karena orang sini bilang itu bukan kue wingko babad karena sudah keluar pakem. Jadi sekarang pabrik hanya membuat yang tradisional saja,” cerita pedagang itu.
Kek gerejaku saja yang tradisional. Hanya nambahi drum di ruang ibadah penduduknya sudah bergunjing karena dianggap “out of pakem”. Padahal gereja-gereja lain sudah ada yang rasa luarbiasa, rasa tepuk tangan, rasa desis, rasa roh, rasa metal, rasa minyak zaitun, dan seterusnya dan sejenisnya sehingga laris manis. Tetapi aku tak pernah protes karena aku juga masih ‘ndesit’ sehingga malah kerasan di gereja ini.
** Semarang 14.05.2016
- Purnomo's blog
- Login to post comments
- 3764 reads