Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Di Tepi JALAN DAENDELS (4) Lemak Nian

Purnomo's picture

            Setelah wawancara selesai dan anggota jemaat pulang, pak pendeta Kholiq mempersilakan kami menyantap makan siang. Pemilik rumah di sebelah gereja tempat kami melakukan wawancara ini adalah seorang janda tua. Aku duduk di sebelahnya dan bertanya,

         “Mbah, sekarang umur berapa?”
         “Tujuh puluh lima tahun.”
         “Sehat, tidak ada penyakit?” tanyaku macam petugas posko bencana alam saja.
         “Sehat walafiat.”



      “Masih sanggup jalan kaki ke jalan besar?” Jalan Daendels berjarak sekitar 250 meter dari rumahnya.

       “Tidak bisa, sejak aku ditabrak motor dari belakang. Jalan kaki lama sedikit badan sudah gemetar.”

       “Sebelum di sini pernah tinggal di mana?”
       “Di Palembang lalu di Padang. Silakan makan dulu,” katanya.

 

               Aku ke meja makan. Bebek goreng, tempe goreng, sayur terong, daun singkong. Karyawan Pak Atang juga ikut makan. Setelah dari desa ini mereka akan ke Purwokerto untuk tugas pekerjaannya sementara aku akan diturunkan di Purworejo pulang ke Semarang dengan travel. Beli tiket dengan uang sendiri tentunya, karena aku sampai di sini bukan karena diutus oleh gereja. Dengan piringku aku kembali duduk di sebelah nenek tua ini.

 

        “Masakan Mbah lemak nian,” kataku. “Mbah masih ingat bahasa Palembang?”
        “Sudah lupa. Setelah ditabrak motor aku jadi pelupa.”
        “Sudah lupa artinyo jingok, pacak, katek, cakmano, kagek, budak betino?”
        “Lupa. Lupa semua.”
        “Lemak nian itu enak tenan. Jingok itu kalau di Padang jadi caliek, melihat.”

 

              Dia tertawa dengan gigi ompongnya. “Ya, ya, pacak itu saged, katek itu rak ono, cakmano itu kepriben, kagek itu mengko, budak betino itu anak wedok,” katanya dengan semangat. Lalu dia mengucapkan satu kalimat panjang dalam bahasa Palembang. Dialek sananya masih ada.


              “Di Palembang tinggal di mana?”
              “Dekat Plaju.”
             “O, di seberang Ulu. Tahun berapa?”
             “Waktu Jembatan Ampera dibangun. Suami aku kerja jadi mandor di situ.”
             “Oooo, sekitar tahun 1960-an itu.”

 

              Dia memang sudah tua. Dia pelupa? Rasanya tidak parah. Dia hanya butuh pembuka ‘folder’ yang lama tak dipergunakannya. Ketika kami berdiskusi dan anggota gereja memaparkan harga-harga plastik penutup tanah, bermacam pupuk, ongkos sewa pompa air, sistim jual padi basah yang masih tegak di sawah atau padi kering, dia sering mengoreksi angka-angka yang disebut mereka yang jauh lebih muda, sehingga aku sering menoleh kepadanya meminta konfirmasi, “Betul segitu, Yangtri (Eyang Putri)?”

 

               Kita pun karena disibukkan dengan pekerjaan sering lupa adanya ‘folder-folder’ dalam ‘hardisk’ otak kita yang terlupa karena lama tak membukanya. Bisa saja itu berisi data-data yang penting bagi kehidupan kita. Begitu juga dengan serial tulisanku ‘Di tepi Jalan Daendels’ ini yang telah aku aplot di fesbuk gerejaku, sekedar membuka sebuah ‘folder’ kegiatan gereja kami yang tidak pernah diumumkan di warta gereja.

 

 

              Kegiatan gereja kami meminjami modal itu dalam mata anggaran disebut “pemberdayaan desa tertinggal”. Setelah semua proposal diseleksi dana sekitar 15 juta rph dikirim ke rekening buku tabungan Pak Kholiq. Setelah jatuh tempo pinjaman telah dikembalikan semua, tidak ada yang menunggak. Setelah itu apa yang dikerjakan oleh mantan penerima kredit itu? Tentunya tidak mungkin bila kita meminjami motor kepada seseorang untuk ngojek setelah setahun motor kita ambil kembali dia sudah mampu membeli motor baru.

             “Karena tidak ada lagi pinjaman modal,” jawab Pak Kholiq lewat telepon, “mereka melakukan kegiatan yang hanya butuh modal kecil, menanam jagung misalnya.”

               Hari Minggu 13 Maret 2016 Pak Atang cerita kepadaku. “Gereja kita sudah tidak lagi mengirim dana ke Pak Kholiq. Sekarang aku kembali lagi pakai uang pribadi. Sapi gadhuhku sudah laku. Aku masih untung. Aku ganti nitip kambing karena lebih mudah dan lebih cepat ‘panen’nya. Beberapa teman gereja ikutan. Kamu mau ikut?”

               “Kambingmu di sana ada berapa?” tanyaku.

               “Aku lupa. Nanti kalau aku berkunjung ke sana aku dokumentasikan.”

                Hahaha jan kelakuan penatua ini tidak pernah berubah, kalau sudah percaya sama orang ya begitu itu, pasrah bongkokan.

 

                 Tadi pagi aku menelepon Pak Kholiq. Jawabnya –

                “5 ekor kambing induk, 4 ekor anak yang sudah besar, 7 ekor anak yang masih kecil. Nanti kalau ada yang masih mau dititipi kambing gadhuh saya kontak pak pur.”

 

                 Tentunya aku tak berani melanggar etika bisnis bila nanti aku nitip kambing di sana. Aku akan kontak “authorized dealer”-nya, Pak Atang. Anda mau ikutan membantu gereja-gereja pedesaan dekat kota Anda merintis bisnis? Alkitabiah kok.

 

(catatan 17.03.2016)