Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Dari kosmologi ke dialog
Shalom,
Kira-kira dua minggu lalu saya mendapatkan sebuah buku yang sangat bagus berjudul "Dari kosmologi ke dialog" (Mizan, 2010). Buku itu berisi pidato ilmiah Dr. Karlina Supelli di Paramadina beserta tanggapan dari beberapa pakar. Kebetulan saya pernah bertemu beliau di suatu acara sekitar 2008, jadi saya mengirim pesan kepada beliau sebagai berikut:
------
Yth. Bu Karlina dkk
Selamat sore,
Mungkin bukan kebetulan acak jika siang ini saya menemukan sebuah buku menarik berisi orasi ilmiah Bu Karlina Supelli. Judul buku itu adalah: Dari kosmologi ke dialog.
Meskipun saya baru membaca kata pengantar, serta artikel Mark Woodward dan Prof. Liek Wilardjo, perkenankan saya menyampaikan sedikit komentar sederhana:
a. Transdisciplinarity studies memang menarik, walaupun tidak baru. Kalau tidak keliru pendekatan ini dipelopori oleh Prof. Basarab Nicolescu (basarab.nicolescu@gmail.com), namun tampaknya pemikiran beliau belum dibahas dalam buku ini.
B. model dependent realism yang dibahas terkesan mengadops dari buku Grand Design-nya Hawking dan Mlodinow. Saya tidak tahu apakah memang orasi ilmiah tahun 2010 tersebut memang sengaja diadakan untuk menanggapi buku Grand Design tersebut, tapi menurut saya ada kesan agak terpesona dengan gagasan Hawking tersebut dan kurang mengambil jarak kritis. Ada beberapa artikel yang dapat diperoleh di google yang membahas ttg model dependent realism tersebut.
C. Pak Liek menyitir pendapat Weinberg yang mengatakan (kurang lebih) bahwa manusia sepenuhnya tidak ada nilainya dan secara kebetulan berada di alam semesta yang mahaluas. Memang hipotesis antroposentris menyatakan bahwa tatasurya terjadi sedemikian sehingga memungkinkan manusia bisa hidup. Tapi pertanyaannya: siapakah gerangan yang mengatur setting yang demikian rapi tersebut?
D. Di sinilah saya kira letak perbedaan antara ilmuwan yang takjub dengan kebesaran sang Pencipta, dibandingkan dengan para ilmuwan yang mati matian berusaha membuktikan bahwa tidak diperlukan hipotesis tentang Tuhan dalam konstelasi tatasurya. Memang ada dikenal sekelompok ilmuwan yang berpendirian bahwa Tuhan tidak diperlukan, dan kelompok ini kerap disebut sebagai the New Atheism atau Atheist Fundamentalism. Saya yakin para penulis buku Dari kosmologi ke dialog tidak ada satupun yang berorientasi ke filosofi New Atheism tersebut, nama saya agak terusik dengan penulisan kata "tuhan" secara konsisten dalam huruf kecil di sepanjang buku ini. Mungkin Pak Liek bisa membantu menjelaskan apakah ada alasan gramatikal yang pas untuk itu.? Setahu saya, tuhan diterjemahkan dari "god" dan bisa berarti dewa atau ilah. Sementara Tuhan lebih spesifik ke Sang Pencipta yang absolut. Mungkin saya keliru. (tentang Atheist fundamentalism, ada buku yang menarik karya Alister McGrath dari Oxford: http://www.svetlost.org/podaci/the_dawkins_delusion.pdf)
E. Meski saya belum sempat membaca orasi Bu Karlina, perkenankan saya sedikit menanggapi pandangan bahwa setiap pengetahuan memerlukan penafsiran. Mungkin itu yang dimaksud dengan model dependent realism? Sebagai kerangka kerja alternatif, mungkin bisa disebutkan bahwa penafsiran cukup dekat dengan hermeneutik. Jadi setidaknya ada hermeneutik rangkap tiga yang perlu dilakukan untuk sebuah model kosmologi: a. Hermeneutik terhadap alam, b. hermeneutik terhadap model matematis yang digunakan, dan c. Hermeneutik terhadap Firman Tuhan. Yang terakhir ini memang lebih merupakan ranah kaum teolog, namun menjadi penying dalam konteks dialog antara teologi dan sains. Bagaimana pendapat bu Karlina ?
Ps: bbrp waktu lalu sy menulis sebuah artikrl pendek tentang spektrum hermeneutik yang bisa ditempuh oleh seorang ilmuwan, mulai dari hermeneutik kecurigaan (seperti yang dipopulerkan oleh Weinberg, Hawking, Dawkins dkk), hingga hermeneutik respek. Tapi memang kerangka kerja ini belum lengkap: https://www.academia.edu/11346514/How_should_a_scientist_read_the_Bible_A_response_to_Amos_Yong_s_paper_Or_Between_Hermeneutics_of_Suspicion_and_Hermeneutics_of_Respect
Demikian komentar singkat dari sy, kiranya bapak-ibu berkenan menanggapi. Mohon maaf apabila ada kata-kata yang tidak berkenan.
Salam takzim,
Victor Christianto
------
Malam itu juga saya sms beliau, dan kebetulan beliau langsung menjawab email saya sebagai berikut:
Bung Vic yang baik,
KS: Terima kasih sudah membaca buku itu. Tulisan para pemberi tanggapan jauh lebih baik daripada tulisan saya sendiri yang menurut banyak orang sulit dimengerti. Saya sedang belajar menulis dengan lebih sederhana.
Meskipun saya baru membaca kata pengantar, serta artikel Mark Woodward dan Prof. Liek Wilardjo, perkenankan saya menyampaikan sedikit komentar sederhana:
a. Transdisciplinarity studies memang menarik, walaupun tidak baru. Kalau tidak keliru pendekatan ini dipelopori oleh Prof. Basarab Nicolescu (basarab.nicolescu@gmail.com), namun tampaknya pemikiran beliau belum dibahas dalam buku ini.
KS: Saya setuju. Kajian transdisiplin tidak terlalu baru, meski belum cukup dikenal di Indonesia. Saya memang tidak mengacu ke sumber yang Bung Vic sebutkan. Terima kasih untuk informasinya.
B. model dependent realism yang dibahas terkesan mengadops dari buku Grand Design-nya Hawking dan Mlodinow. Saya tidak tahu apakah memang orasi ilmiah tahun 2010 tersebut memang sengaja diadakan untuk menanggapi buku Grand Design tersebut, tapi menurut saya ada kesan agak terpesona dengan gagasan Hawking tersebut dan kurang mengambil jarak kritis. Ada beberapa artikel yang dapat diperoleh di google yang membahas ttg model dependent realism tersebut.
KS: Saya sebetulnya tidak membahas model-dependent-realism (MDR) Hawking dalam tulisan itu dan kuliah kenangan tersebut tidak dilaksanakan dalam rangka menanggapi Grand Design. Ketika panitia menghubungi saya, saya tawarkan dua tema, salah satunya kosmologi (dalam bingkai keterbatasan epistemik manusia). Perrtimbangan saya, dalam bidang itulah saya berkesempatan berdiskusi beberapa kali dengan Cak Nur. Panitia setuju.
Rujukan ke MDR adalah penafsiran Mark Woodward (yang tanggapannya dalam buku itu bagus sekali) dan sudah saya coba jawab dalam teks ke-2 di buku tersebut. Dari segi epistemologis, pemikiran saya tidak sederap dengan Hawking yang membatasi model/teori pada aras empirical adequacy. Kritik saya terhadap posisi epistemik yang berpegang ke kecukupan empiris pernah saya kemukakan dalam Jurnal Diskursus Vol 12, No. 2 (2013). Dalam Dialog, saya sampaikan bahwa ontologi-lah (dimensi intransitif sains) yang menjadi salah satu alasan adanya sains.
C. Pak Liek menyitir pendapat Weinberg yang mengatakan (kurang lebih) bahwa manusia sepenuhnya tidak ada nilainya dan secara kebetulan berada di alam semesta yang mahaluas. Memang hipotesis antroposentris menyatakan bahwa tatasurya terjadi sedemikian sehingga memungkinkan manusia bisa hidup. Tapi pertanyaannya: siapakah gerangan yang mengatur setting yang demikian rapi tersebut?
KS: Tentu Pak Liek yang perlu menjawab pertanyaan Bung Vic ini. Dalam penafsiran saya, petikan yang Pak Liek ambil dari Weinberg itu 'kan untuk menyanggahnya.
D. Di sinilah saya kira letak perbedaan antara ilmuwan yang takjub dengan kebesaran sang Pencipta, dibandingkan dengan para ilmuwan yang mati matian berusaha membuktikan bahwa tidak diperlukan hipotesis tentang Tuhan dalam konstelasi tatasurya. Memang ada dikenal sekelompok ilmuwan yang berpendirian bahwa Tuhan tidak diperlukan, dan kelompok ini kerap disebut sebagai the New Atheism atau Atheist Fundamentalism. Saya yakin para penulis buku Dari kosmologi ke dialog tidak ada satupun yang berorientasi ke filosofi New Atheism tersebut, nama saya agak terusik dengan penulisan kata "tuhan" secara konsisten dalam huruf kecil di sepanjang buku ini.
KS: Ini perlu Anda tanyakan kepada para penyunting. Dalam naskah asli sebelum turun cetak, baik dalam tulisan Pak Liek, Pak Gerrit, Woodward dan saya sendiri tertulis "Tuhan" dan bukan "tuhan" kecuali memang dimaksudkan demikian. Mungkin ada pertimbangan khusus dari penyunting. Saya sendiri agak risih dengan beberapa pengubahan akibat penyuntingan, khususnya menyangkut kata berimbuhan yang semestinya tidak luluh ternyata ada yang diluluhkan.
Mungkin Pak Liek bisa membantu menjelaskan apakah ada alasan gramatikal yang pas untuk itu.? Setahu saya, tuhan diterjemahkan dari "god" dan bisa berarti dewa atau ilah. Sementara Tuhan lebih spesifik ke Sang Pencipta yang absolut. Mungkin saya keliru. (tentang Atheist fundamentalism, ada buku yang menarik karya Alister McGrath dari Oxford:http://www.svetlost.org/podaci/the_dawkins_delusion.pdf)
E. Meski saya belum sempat membaca orasi Bu Karlina, perkenankan saya sedikit menanggapi pandangan bahwa setiap pengetahuan memerlukan penafsiran. Mungkin itu yang dimaksud dengan model dependent realism? Sebagai kerangka kerja alternatif, mungkin bisa disebutkan bahwa penafsiran cukup dekat dengan hermeneutik. Jadi setidaknya ada hermeneutik rangkap tiga yang perlu dilakukan untuk sebuah model kosmologi: a. Hermeneutik terhadap alam, b. hermeneutik terhadap model matematis yang digunakan, dan c. Hermeneutik terhadap Firman Tuhan. Yang terakhir ini memang lebih merupakan ranah kaum teolog, namun menjadi penying dalam konteks dialog antara teologi dan sains. Bagaimana pendapat bu Karlina ?
KS: Tanpa bermaksud mendesak, akan lebih genah bagi saya kalau Bung Vic sudah membaca teksnya karena saya sebetulnya tidak merujuk ke MDR Hawking dan tidak memaksudkan demikian.
Tentang tiga rangkap hermeneutik, tentu saja dapat dijalankan. Saya sendiri sedikit berhati-hati menggunakan kata "hermeneutik" karena seperti Bung Vic ketahui, dalam filsafat kata itu merupakan termonologi teknis dengan acuan metodologis yang ketat. Untuk yang (c) saya setuju. Untuk (a) dan (b) perlu dirumuskan secara metodologis, kendati dalam ilmu (termasuk kosmologi), pada akhirnya kita semua adalah penafsir. Saya kira itulah pokok gagasan yang ingin saya sampaikan dalam buku itu. "Posisinya saja penafsir, kok mau mendaku kebenaran mutlak?" Kira-kira seperti itulah ringkasannya.
Ps: bbrp waktu lalu sy menulis sebuah artikrl pendek tentang spektrum hermeneutik yang bisa ditempuh oleh seorang ilmuwan, mulai dari hermeneutik kecurigaan (seperti yang dipopulerkan oleh Weinberg, Hawking, Dawkins dkk), hingga hermeneutik respek. Tapi memang kerangka kerja ini belum lengkap: https://www.academia.edu/11346514/How_should_a_scientist_read_the_Bible_A_response_to_Amos_Yong_s_paper_Or_Between_Hermeneutics_of_Suspicion_and_Hermeneutics_of_Respect
KS : Terima kasih untuk tautan di atas, tentu akan saya baca. Hermeneutika kecurigaan adalah istilah teknis dari Paul Ricoeur (yang mengacu ke Marx) untuk menunjuk ke dua motivasi dalam proses membaca teks (alam bisa dipandang sebagai teks), yaitu kehendak untuk mencurigai sekaligus kehendak untuk menyimak; kesediaan untuk menentang sekaligus kesediaan untuk patuh/setia kepada teks. Dengan motivasi yang berkait kelindan di dalam hermeneutika kecurigaan ini, tidakkah laku respek sudah termasuk di dalamnya? Mungkin saya keliru. Saya akan baca teks Anda.
Demikian komentar singkat dari sy, kiranya bapak-ibu berkenan menanggapi. Mohon maaf apabila ada kata-kata yang tidak berkenan.
KS: Sekali lagi, banyak terima kasih atas tanggapan dan masukan Anda serta beberapa tautan yang berharga. Mohon maaf apabila jawaban saya tidak memadai.
Salam hangat,
KS
------
Saya langsung menjawab email beliau secara singkat:
Yth. Bu Karlina Supelli
Terimakasih telah menyempatkan untuk membalas komentar sy. Ya mohon maaf belum sempat mencerna bahan 60 halaman orasi ilmiah bu Karlina, semoga sabtu atau minggu saya bisa baca.
Tentang Ricoeur, hermeneutika dll sy bukan ahlinya, jadi sy akan sangat senang jika ada saran tentang spektrum hermeneutik. Tujuan artikel tersebut adalah menunjukkan bahwa tidak benar penalaran ala Dawkins bahwa untuk menjadi seorang ilmuwan maka seseorang harus menjadi ateis atau agnostik. Masih ada pilihan pendekatan lain.
Tentang Prof. Nicolescu, jika berminat bisa mengunduh beberapa file beliau di http://basarab-nicolescu.fr/index.php
Komentar berikutnya mungkin menyusul. Terlepas dari penggunaan kata tuhan yang agak sensitif, saya angkat topi untuk karya ilmiah yang langka ini. Semoga membuka wawasan banyak orang untuk lebih rendah hati, atau ugahari kalau meminjam istilah Pak Liek.
Salam takzim dan terimakasih sekali lagi,
Jbu,
------
Semoga diskusi via email ini berguna sebagai bahan dialog lebih lanjut. Jika Anda ada saran dan komentar, silakan kirimkan ke email: victorchristianto@gmail.com. Terimakasih.
JBU
21 April 2015,
VC
Dari seorang hamba Yesus Kristus (Lih. Lukas 17:10)
"we were born of the Light"
Prepare for the Second Coming of Jesus Christ:
http://bit.ly/ApocalypseTV
visit also:
http://sttsati.academia.edu/VChristianto
http://bit.ly/infobatique
- victorc's blog
- Login to post comments
- 4195 reads