Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
CELANA DALAM WANITA
Sumpah deh kalau boleh, aku menulis judul di atas tidak dengan maksud agar blog ini dibaca banyak orang Dunat jat milek detlah. Tetapi memang begitulah kejadiannya. Setiap mengunjungi gereja ini tak tahu mengapa, ada saja pengalaman yang ‘gimana ‘gitu. Pertama kali ke sini aku menulis kisahnya di bawah judul “Gereja MEWAH sekaligus MESUM” karena selain ‘mepet sawah’ gereja ini juga ‘mepet sumur’. Sewaktu keluar dari pastori yang di belakang ruang ibadah dan berjalan di samping gereja, aku melihat di sumur tetangga sebelah gereja seorang perempuan muda sedang menimba air hanya berbalut handuk putih yang lebarnya pas-pasan sehingga bila bergeser sedikit ke atas atau ke bawah akan memunculkan ‘adult view’.
Komentar Joli setelah membaca statusku, “Itu bonus pelayanan.” He he he, enak aja, untung onderdilku sudah tua sehingga waktu pulang tak perlu mampir di kios rokok beli obat pusing kepala.
Dalam menyantuni pendeta-pendeta gereja kecil aku membiasakan diri untuk mengevaluasinya paling lambat 6 bulan sekali. Catatanku menunjukkan terakhir aku mengunjungi beberapa di antara mereka bulan Januari. Jadi pagi tadi pk.08.00 aku berangkat dari rumah dengan motorku ke arah timur kota Semarang untuk blusukan di Kabupaten Demak. Gereja ini adalah satu di antara yang harus aku kunjungi hari ini.
“Assalamualaikum,” seruku di pintu pastori.
Pak Pendeta yang kulihat sedang menulis di ruang keluarga bergegas keluar. “E pak pur, lama sekali kita tidak bertemu,” katanya sambil menyalamiku. “Masuk, masuk saja ke dalam.”
Ruang depannya sempit sehingga hanya dipakai untuk parkir motor. Aku mengikutinya berjalan masuk ruang keluarga. Di meja tulisnya aku melihat secarik kertas dengan tulisan tangan. “Itu untuk rancangan kotbah besok,” katanya menjelaskan.
Begitu aku duduk di sofa dia menyodorkan 2 buku ukuran folio. “Ini pak, saya buat buku absensi jemaat. Yang ini untuk absensi anggota dewasa, yang ini untuk absensi anak sekolah minggu.”
Lho, memangnya aku penilik gereja? Rasanya aku tak pernah menganjurkannya membuat buku absensi. Memang duluuuuuu aku pernah bertanya apakah beliau melawat mereka yang sudah 2 – 3 kali tak muncul di gereja karena laporan keuangan bulanan yang juga mencantumkan jumlah hadir (dulu selalu aku minta) menunjukkan jemaat yang hadir di ibadah Minggu turun mendekati angka 20 yang pada akhirnya menurunkan jumlah persembahan bulanannya sekaligus menurunkan honor bulanannya.
Untuk menunjukkan apresiasi atas pekerjaannya, aku mengambil buku absensi dewasa. Sayang setiap kolom tidak dijumlahnya sehingga aku harus menghitung jumlah titik di setiap kolom. Minggu 7 Agustus 30 orang. Dua kolom di bulan Juli 29 dan 28 orang. Selain itu juga dicatat nama yang meninggal, yang menerima baptisan, yang pindah rumah, yang sakit, yang ulang tahun. Great note !
“Pak, bisa saya melihat laporan keuangan bulanan terakhir?” tanyaku.
“Yang mana ya?”
“Yang dulu selalu Bpk kirim kepada saya dan ditempel di dinding dalam ruang ibadah,” aku menjelaskan.
Dia tampak bingung. Aku jadi ikutan bingung karena menebak-nebak apakah dia tidak lagi membuatnya, atau mulai pikun, atau menyembunyikan dari aku karena saldonya tinggi. Gaji bulanannya naik turun sesuai dengan jumlah persembahan yang masuk. Ketika pertama kali aku memberi uang kepadanya, beliau menangis. Hari itu dia sudah tidak punya uang sama sekali untuk membeli beras sehingga dia berdoa semalam suntuk. Dia punya 2 puteri yang sudah berkeluarga. Sering bila kehabisan uang dia menyambangi puterinya di Semarang. Tetapi lama-kelamaan dia malu kepada menantunya apabila setiap pulang puterinya membekali sekantong beras. Di laporan keuangan bulanan yang tertempel di dinding gereja – Oktober 2011 – aku membaca honornya bulan itu 400 ribu rupiah.
“Ndakpapa kalau Bpk tidak ingat,” kataku. “Bpk masih ingat saldo uang gereja bulan lalu?”
“Sekitar 5 juta rupiah,” jawabnya membuat aku kaget karena dulu tak pernah lebih dari 1 juta.
“Ndak salah ingat, Pak?”
“Betul segitu,” istrinya menimpali. “Tetapi itu oleh majelis dicadangkan untuk membangun tembok pagar bumi gereja.”
“Bisa dapat saldo setinggi itu apakah karena mengurangi kegiatan gereja, Bu?”
“Tidak ada kegiatan gereja yang dihapus atau dikurangi dananya. Bahkan sekarang bila ada anggota yang berulang-tahun, kami kunjungi rumahnya, kami ajak berdoa bersama seluruh anggota keluarganya. Jika yang ulang tahun laki-laki kami bawakan roti sekaleng,” sang istri melanjutkan keterangannya.
“JIKA yang ulang tahun laki-laki . . . .” aku berguman, “berarti kadonya beda kalau yang ulang tahun perempuan, Bu?”
“Kalau yang perempuan kami beri 3 lembar celana dalam,” jawabnya membuat aku melongo. Seumur hidupku baru kali ini tahu ada kado ultah berupa celana dalam, apalagi kado dari gereja.
“Mengapa celana dalam, Bu?”
“Orang desa, pak, pikirannya sangat sederhana. Mereka pikir apa yang tidak kelihatan tidak perlu diurus atau tidak perlu dipakai karena tidak akan orang lain tahu.”
Lalu bagaimana Ibu pendeta ini tahu celana dalam jemaatnya sudah kebanyakan ventilasi atau bahkan tidak mengenakannya? Betul, aku sangat ingin tahu tetapi tak berani menanyakannya. Aku juga tidak berani usul kalau kado celana dalam bisa menaikkan uang persembahan, tahun depan bisa ditingkatkan jadi bra. Bisa jadi jemaatnya lantas berpikir betapa care gembala dan ibu gembalanya sampai-sampai celana dalam mereka juga diperhatikan sehingga membuat mereka terharu dan tidak pernah lagi lupa membawa persembahan yang terbaik.
Singkat cerita aku memutuskan donasi untuk Bpk pendeta ini diteruskan dengan nominal tetap. Mengapa? Yaaaa. agar aku bisa kembali mengunjunginya dan semoga keberanianku sudah terkumpul sehingga mampu menanyakan bagaimana Ibu pendeta ini bisa tahu tentang celana dalam anggota jemaatnya yang perempuan. Siapa tahu ketrampilan ini berguna bagi gereja lain.
(Sabtu 13.08.2016)
** gambar diambil dengan google sekedar ilustrasi.
- Purnomo's blog
- Login to post comments
- 5048 reads