Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Berawal Dari Warung Mi Jowo (PDS-1)

Purnomo's picture

Waktu gereja kota merintis berdirinya gereja pedesaan semua usaha dikerahkan habis-habisan. Tenaga, dana, waktu, pikiran bahkan pakai nyanyi-nyanyi sambil nangis kayak di pilem India. Tetapi setelah semua beres, dia lepaskan. Hidup terus, puji Tuhan. Bangunannya dibakar orang dan pendetanya kena aniaya, paling induknya bilang ‘Tuhan yang memberi Tuhan yang mengambil’.

                Setiap Selasa sore saya mengantar istri latihan koor di gereja. Karena tadi tidak sempat makan, maka setelah menurunkan istri di gereja saya ke seberang gereja di mana ada beberapa warung tenda. Saya masuk ke warung mi jowo yang belum lama buka tetapi kata koster gereja masakannya lumayan. Di satu meja ada 7 orang dan saya mengenal mereka.
                “Siapa yang ulang tahun kok bapak, ibu, anak, menantu kumpul di sini?”
                “Ayo gabung saja,” ajak kepala rombongan.
                Ia dosen sebuah sekolah teologi. Karena itu oleh gerejanya diberi gelar pdm – pendeta muda, bukan pendeta mabok. Ia pernah diundang gereja saya untuk memberi ceramah tentang plurarisme dan membuat mabok pendengarnya.

                “Kebetulan aku ketemu kamu,” kata saya. Kepadanya saya sudah beraku-kamu karena terlanjur akrab. Ia bertetangga dengan orang tua saya dan berjasa membawa mereka kepada Tuhan Yesus. Bahkan setiap minggu rajin memboncengkan mereka untuk menghadiri persekutuan doa wilayah. “Aku ingin mengunjungi gereja-gereja kecil di desa-desa daerah lereng Merapi dari arah Grabag – Magelang – Muntilan. Dari kunjungan itu aku berharap bisa merencanakan bantuan untuk mereka. Kalau mahasiswa teologimu ada yang berasal dari daerah itu, tolong catatkan alamat gerejanya.”

                Sudah lama saya ingin berdermawisata di daerah itu bersama teman-teman dari dunia maya. Dari Semarang saya akan mengajak de Wild Swan yang getol menginjili di mana saja, bahkan kabarnya dulu waktu ngantri minyak tanah sempat-sempatnya dia berkotbah tentang Yesus. Di Magelang saya akan menjemput Bang Muji yang berkarunia membuat mukjizat. Bersamanya saya bisa menghemat pembelian bensin mobil saya karena ia pernah bercerita 1 liter bensin untuk motor bisa dipakai jalan 100 kilometer jika didoakan dengan iman yang sungguh. Tidak lupa saya mengajak Mat Kodak yang pandai membuat dokumentasi. Keahliannya merekam ungkapan emosi dalam foto akan membuat saya lebih mudah mencari donatur untuk proyek ini.

                “Daripada jauh-jauh ke sana, mengapa tidak yang dekat saja? Tiga puluh tahun yang lalu bersama pemuda gerejaku aku merintis persekutuan doa di sebuah desa pinggir kota Semarang. Letaknya terpencil di tengah sawah. Persekutuan itu sekarang sudah jadi gereja dan 2 bulan lagi akan didewasakan.”
                 “Kalau akan didewasakan berarti gereja itu sudah kaya.”
                 “Itu kalau di dalam sinode gerejamu. Honor pendeta di kota dengan desa tidak beda jauh karena ada klasis yang membantunya walau sudah didewasakan. Di gerejaku setiap pendeta harus mandiri sehingga yang di kota dan di desa gajinya beda jauh.”
                 “Berapa honor pendeta desa itu?”
                  “Persisnya aku tidak tahu. Tetapi puteri sulungnya yang sekolah di tempatku, walau sudah dibebaskan uang kuliah dan asramanya, uang buku yang Rp.250.000.00 per semester sudah 4 semester belum dibayar. Apalagi sekarang gereja itu akan didewasakan. Uang subsidi dari gereja induknya akan dihapus.”
                   “Berapa?”
                   “Aku tidak tahu. Begini saja. Kapan-kapan kita janjian ke sana. Kamu bisa tanya semuanya sampai jelas.”
                   “Tolong alamat jelasnya kamu sms ke aku.”
                   “Alamat gereja lain perlu?”
                   “Nggak usah, satu itu dulu untuk pembelajaran. Ini proyek pribadi. Aku bergerak tidak atas nama yayasan atau gerejaku.”
                   “Mengapa harus pribadi? Gerejamu ‘kan kaya.”
                   “Memangnya gerejamu tidak kaya? Waktu gereja kota merintis berdirinya gereja pedesaan semua usaha dikerahkan habis-habisan. Tenaga, dana, waktu, pikiran bahkan pakai nyanyi-nyanyi sambil nangis kayak di pilem India. Tetapi setelah semua beres, dia lepaskan. Hidup terus, puji Tuhan. Bangunannya dibakar orang dan pendetanya kena aniaya, paling induknya bilang ‘Tuhan yang memberi Tuhan yang mengambil’. Tak usah jauh-jauh ke gereja pedesaan. Sekolah teologimu sampai sekarang renovasinya terbengkalai sementara gereja pendirinya malah mendirikan pemancar radio.”
                    Dia cuma ngakak.
                    Pembicaraan di warung mi jowo bukan di ruang rapat berase dan bertukar pikiran dengan sederhana tanpa referensi teologis ini tidak saya duga kelak berbuntut panjang.

                   Suatu hari saya menelepon dosen ini.
                   “Hari ini aku mau ke gereja Dadirejo. Kamu tak perlu repot mengantar. Aku berangkat sendiri dengan sepeda motor agar kalau kesasar gampang memutarnya. Alamat yang kamu berikan jelas, ada nama dusun dan rt-rw-nya.”
                   “Titip salam untuk Pak Daniel. Tolong kamu jangan ajak dia debat yang sulit-sulit. Pengetahuannya terbatas.”
                   “Aku ‘kan ke sana bukan untuk diskusi doktrin gereja.”

                   Ternyata yang dimaksudkan ‘pengetahuannya terbatas’ tidak tentang doktrin gereja. Setelah melewati batas kota Semarang saya sampai di desa Amarta di mana saya harus berbelok ke utara. Saya menelepon hape Pak Daniel untuk mengabari saya sudah sampai di Amarta dan bertanya di mana saya harus berbelok. Jawabannya sulit saya mengerti. Terpaksa saya tanya pada orang di pinggir jalan. “Ooo, sampeyan sudah jauh melewati belokan itu.”

                   Saya berbalik arah sambil mewaspadai truk-truk yang berlalu lalang dengan kecepatan tinggi. Tetapi saya tidak menemukan kampung itu. Saya bertanya lagi kepada orang. “Cari SDN Satu di jalan besar ini, Pak. Bapak masuk jalan kecil di seberangnya.” Saya menemukan belokan itu. Setelah 2 kilometer memasukinya, jalan itu bercabang. Saya menelepon Pak Daniel. Hapenya tidak menjawab. Harus tanya lagi kepada orang. Dan itu terus saya lakukan di setiap persimpangan jalan. Akhirnya saya sampai di kantor kelurahan Dadirejo.

                   Odometer motor menunjukkan dari jalan raya sampai tempat ini berjarak 5 kilometer. Saya menelepon Pak Daniel untuk mengabari posisi saya. “Tunggu saja di situ, Pak,” katanya. “Segera saya jemput. Saya pakai jaket hitam.” Tetapi yang namanya ‘segera’ sampai 30 menit belum terjadi. Saya bertanya kepada tukang yang sedang merenovasi masjid di seberang kantor kelurahan. Ternyata sudah dekat karena gereja itu ada di kampung belakang masjid. Saya ke sana.

                   Walau jengkel karena ‘pengetahuannya terbatas’, saya tidak mengungkapnya ketika bertemu dengannya. Saya menceritakan maksud kedatangan saya, untuk mengetahui apa saja yang mungkin bisa saya lakukan untuk membantu pelayanannya. Untuk itu saya akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang bila dianggap rahasia untuk orang luar boleh tidak dijawabnya.

                  Dia sebelum di Dadirejo melayani di desa Grabag Magelang. Anaknya 3 puteri. Yang sulung kuliah PAK di sekolah teologi. Dua lainnya kembar dan masih di SMP Negeri. Setiap semester hanya dipungut Rp.70.000,- untuk 2 anak itu. Istrinya ikut membantu puskesmas desa dan sering membantu bidan setempat. Dia sendiri anggota komite sekolah SDN Dadirejo, guru agama Kristen tak berbayar di situ dan Ketua RT. Dia melakukan pengerasan jalan kampung di mana gereja itu ada dengan uang gereja. Penerimaan masyarakat terhadap keberadaan gereja dan dirinya tidak sekejap terjadi.

                  Dulu tempat persekutuan ini ada di tengah pemukiman. Kata lurah masyarakat tidak menyukainya dan harus dipindahkan. Pak Pendeta bertanya di mana harus dipindahkan. Di tepi desa, jawab Pak Lurah. Pendeta menurut dan “kebetulan” ada anggota jemaatnya yang menawarkan tanah di pinggir desa dengan harga sangat murah. Pak Lurah setuju. Maka dimulailah pembangunan gedung gereja yang mewah (mepet sawah). "Ketaatan" Pak Pendeta terhadap himbauan aparat pemerintah membuat kehadiran gereja ini bisa diterima oleh masyarakat dengan baik.

                  Saya minta ijin melihat ruang ibadah. Tempat duduknya berupa bangku panjang. Karena macamnya ada 5 saya berkesimpulan bangku-bangku ini berasal dari sumbangan. Alat bandnya lengkap dan ada overhead projector. “Rata-rata kehadiran jemaat 100 orang,” kata Pak Pendeta. Biasanya saya akan mendiskon angka itu dengan 50% (kelak terbukti angka estimasi saya tidak jauh meleset setelah saya memintanya membuat laporan keuangan dan kegiatan gereja).

                   Saya permisi ke kamar kecil. Ah, ini cuma alasan untuk melihat pastorinya. Kalau betul-betul mau pipis bukankah nanti di perjalanan pulang saya harus melewati daerah pesawahan yang sepi. Tembok ruang konsistori, ruang sekolah minggu dan sebagian besar pastori belum diaci sehingga terlihat batu batanya. Pada akhir pembicaraan saya mengatakan belum tahu persis apa saja yang bisa saya lakukan.
 
                  Ketika berpamitan beliau bertanya akan lewat jalan yang mana.
                  “Jalan yang saya tadi lalui,” jawab saya.
                  “Ndak sulit to Pak? Ndak akan kesasar to?”
                  Lha mbokyao saya diantar sampai jalan besar. Tapi saya juga tidak berani memintanya mengantar lha wong saya tidak ngasih apa-apa. “Pak, ada 3 modal untuk menemukan sebuah alamat,” kata saya. “Pertama, bawa KTP agar tidak disangka preman kesasar. Kedua, bisa berbahasa Indonesia. Ketiga, tidak malu bertanya.”
                  Dia tertawa. Saya tidak tega bercerita bahwa yang ketiga seharusnya ‘ada orang yang bisa ditanya’ karena tadi 2 kali saya harus mengetuk rumah pintu penduduk sebab tidak ada orang dekat persimpangan jalan dan selalu ditanya balik “sampeyan siapa, dari mana, cari siapa, untuk keperluan apa.”
                
                   Sesampai di rumah saya menelepon Pak Dosen. Kepadanya saya beritahu selama 1 semester setiap bulan saya akan menitipkan uang Rp.350.000,00 kepadanya untuk diteruskan kepada Pak Daniel sebagai ganti uang subsidi yang akan dihentikan.
 
                   “Nasib gereja kecil di desa adalah bahan kotbah yang mengharubiru, bahan debat di ruang rapat gereja yang menggairahkan tanpa akhir, bahan tulisan di media Kristen yang memancing air mata. Sementara mereka mabuk menikmati karsa untuk gereja kecil ini, mari kita melakukan karya untuk mereka. Biar yang kuberikan tidak seberapa, setidaknya pendeta desa itu tahu ada orang kota yang peduli akan keadaan dirinya. Walau kamu hanya sebagai perantara, dengan setiap bulan bertemu dengan salah seorang perintis gereja itu pendetanya bisa curhat dan mendapat penyegaran semangat dari kamu.”
                   “Setuju!” jawabnya. Dan sebuah ‘cluster’ baru konspirasi diaken bayangan pun mulai dirintis.

                                                         (bersambung)

Catatan: semua nama orang dan tempat disamarkan.

joli's picture

Purnomo, mbonceng..

“Nasib gereja kecil di desa adalah bahan kotbah yang mengharubiru, bahan debat di ruang rapat gereja yang menggairahkan tanpa akhir, bahan tulisan di media Kristen yang memancing air mata. Sementara mereka mabuk menikmati karsa untuk gereja kecil ini, mari kita melakukan karya untuk mereka.

Ada yang menggelitik di kalimat diatas, tapi no comment aja..

Kapan2 melu ya Pur, brompit-brompit-an..