Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Tiga Kata Bertuah

Inge Triastuti's picture
Dalam pergaulan sehari-hari ada tiga kata bertuah yang punya kesaktian luar
biasa. Begitu ampuhnya sampai bisa menandingi, kata penggemar Harry
Potter, mantera pengusir Dementor mahluk tak berwajah yang bertugas
menyedot roh manusia. Bener lho, gue serius nih. Mengucapkan mantera
ini nggak berdosa kok. Hanya syaratnya berat sekali. O o, nggak perlu
puasa mutih 7 hari, atau merapal Doa Bapa Kami 9 kali.
Sederhana tetapi tidak mudah. Yaitu, harus diucapkan dengan jujur dan
tulus hati. Kalau dirapalkan tanpa syarat itu, baru kamu berdosa.

 

Tolong.

Kamu terjatuh dari sepeda motor. Nggak luka tapi kakimu tertindih
kendaraan sehingga kamu tidak bisa berdiri. Orang-orang di trotoar
memandangimu. Ucapkanlah mantera ini, “Tolongi saya, dong.” Pasti
kendaraanmu akan terangkat dan kamu bisa bebas berdiri lagi.
Wow, ini sih bukan mantera. Sejak kecil aja aku udah biasa ngucapin kata
itu,” pasti begitu kamu ngedumel. Betul katamu, gals. Kata
bertuah ini sudah Tuhan lekatkan di lidah manusia di usia dini. Aku
sendiri masih ingat keampuhannya kala itu. Waktu pergi piknik
rame-rame keluar kota mendadak aku berteriak, “Tolong, I’in mau
pup.” Langsung kepanikan terjadi dalam mobil. Pakde yang nyetir
mobil berusaha keluar dari antrian panjang kendaraan yang merambat ke
Puncak. Bapak langsung lompat keluar dari mobil mengatur lalu lintas
agar pakde bisa parkir. Ibu memelukku sambil meratap-ratap, “Sabar,
sabar, tahan dulu ya.” Bude menyorong-nyorongkan kantong plastik.
Hii, nggak ah.
Apakah kata itu masih bertuah ketika kita beranjak dewasa? It depends on
your sincere heart, my dear. Bila masih didasari kejujuran, aku lihat
nggak luntur kehebatannya. Untuk kasus yang sama ketika rame-rame
bermobil di kepadatan lalu lintas Jakarta aku nggak sungkan
berteriak, “Tolong dong, gue mau be-a-be.” Pasti aku menerima
omelan. Kamu ini gimana sih, nggak punya disiplin ke belakang tiap
pagi. Rasain lu, mentang-mentang gratis rujak sebakul lu abisin.
Tetapi tetap saja yang nyopir segera mencari hotel berbintang,
sementara teman segera meminjami sepatu agar gue keliatan rapi. Lalu,
rame-rame kita masuk ke lobi hotel. Teman-teman duduk di lobi,
sementara aku langsung ke toilet yang pasti jauh lebih nyaman
daripada yang ada di rumah.

Temanku nggak marah atas teriakanku itu, karena mereka percaya aku jujur,
tidak berpura-pura. Sebaliknya, aku juga bisa menerima protes mereka
karena aku telah merepotkan mereka. Inilah titik masalahnya mengapa
ketika kita beranjak dewasa kita takut mengucapkan “tolong”
ketika kita terhimpit kesulitan.

Kita tak berani mengatakan ketidakberdayaan kita kepada orang lain karena
takut merusak image kita, kemasan diri kita yang selama
ini telah populer sebagai orang yang serba bisa. Dalam kasus yang
sangat sederhana, misalnya mencari sebuah alamat, ada orang yang malu
untuk minta tolong kepada orang lain. Apalagi bila pakaian kita rapi
abis, ada berlian di kalung kita, begitu kita membuka buku menu resto
berbintang yang ditulis dalam bahasa planet lain, kita nggak berani
minta pelayan menerterjemahkan dalam bahasa bumi. Karena malu untuk
mengatakan kita tak tahu bahasa asing, ujung-ujungnya kita cuma pesan
nasi goreng dan es teh aja.

Kelakuan ini juga sering menghinggapi aktivis gereja. Mereka malu mengatakan
“Tolong ajarin aku. Aku belum biasa jadi em-si.” Karena itu
mereka lebih suka menolak tugas yang diberikan dengan berbagai alasan
yang bergengsi. “Sori, jangan gue. Tugas pelayanan gue udah banyak
sekali.” Atau, “Berikan saja kepada yang baru. Itung-itung
melatih mereka.”

Kata “tolong” juga sulit terucap manakala kita kuatir membuat repot
orang lain. Padahal orang lain akan lebih repot kalau mereka tak tahu
kita perlu pertolongan mereka. Coba saja dalam contoh kasusku, kalau
aku diam saja sementara perutku sudah terpilin-pilin, pasti terjadi
musibah nasional gara-gara aku jaim.

Terima kasih.

Mantera ini juga sudah diajarkan oleh ortu sejak kita bisa bicara. Mereka
bangga sekali apabila tanpa disuruh kita berkata “makasih” bila
seseorang memberi kita permen. Sebagai orang yang sudah lebih lama
hidup di dunia ini, ortu tahu keampuhan mantera ini. Penerima kata
ini merasa pemberiannya dihargai, dan ini membuatnya bangga, yang
akhirnya akan mendorongnya mengulang perbuatannya. Sukur-sukur yang
jadi obyek penerima adalah kita terus ya. He he maunya.

Seorang teman bercerita, “gue nggak senang ama istri pendeta itu, yang
nggak pernah bilang terima kasih ketika menerima pemberian dari
jemaat suaminya.” Karena aku tak suka ngomongin kejelekan seorang
pendeta, supaya nggak tampak lebih jelek, aku akan menanyakan kasus
yang serupa saja. Mengapa seorang ibu tidak berkata ‘terima kasih’
ketika anaknya membantu membawakan barang belanjaannya? Mengapa
seorang majikan tidak bilang ‘terima kasih’ kepada pembantunya
yang berhasil menemukan uangnya yang hilang? Mengapa majelis gereja
tidak mengirim surat ‘terima kasih’ kepada anggota komisi pada
akhir masa pelayanan mereka?

Karena mereka merasa apa yang mereka terima dari orang lain adalah haknya.
Di pihak lain dengan sikapnya itu, si pemberi materi atau jasa ini
akan merasa ia ditempatkan sebagai orang yang harus melakukan
kewajibannya. Seperti biasa yang terjadi dalam komunikasi yang
berdasarkan hak dan kewajiban, komunikasi ini tidak memberi kepuasan
jiwa. Dan, si penolong bisa malas untuk mengulangi perbuatannya.

Ada juga orang yang merasa tidak harus bilang ‘tengkiu’ karena “gue
nggak minta, ngapain gue harus bilang terima kasih. Malah gue merasa
dia mau merendahkan gue dengan pemberiannya itu.” Karena itu
sebaiknya kita hati-hati dalam memberi. Kalau orang itu tidak bilang
“tolong” lebih bijak selidiki dulu apa dia benar-benar
membutuhkan pertolongan kita. Belum tentu ia sombong lho. Mari aku
beri misal.

Menjelang Natal, kamu mudik ke kampung. Sebagai orang Kristen yang soleh, hari
Minggu kamu pergi ke gereja di desamu itu. Namanya orang kota, maka
kamu berbusana moderen, bercelana jeans belel model terakhir. Majelis
gereja matanya tertarik melihat kain merah berbentuk hati besar
menempel di pantat jeansmu. Matanya lebih mendelik melihat kain jeans
di lututmu dua-duanya koyak. Kasih dalam hatinya membuat ia segera
mengutus seksi diakonia ke rumahmu mengantar celana-celana bekas
layak pakai. Kamu bilang terima kasih? Harus, agar ia tahu kamu
menghargai pemberiannya. Setelah itu terserah kamu. Kamu bisa bawa
pemberiannya ke kota untuk diberikan kepada orang yang betul-betul
membutuhkan. Atau, dengan hati-hati menjelaskan bahwa kamu telah
salah tempat salah waktu dalam berbusana dan kemudian mengembalikan
pemberiannya. Dalam hal ini ‘terima kasih’mu untuk perhatian yang
mereka berikan kepada dirimu.

 

Maaf.

Mantera pamungkas ini paling sulit dilakukan. Perlu pengerahan tenaga dalam
habis-habisan dan tanpa busana. Pakai pornoaksi?

Aku kira Tuhan geleng-geleng kepala bila kita berdoa “Tuhan, berkatilah
saya hari ini.” Berkat berupa apa? Tidak dimarahi boss, tidak
terlambat datang ke kantor, atau nggak macetin komputer lagi? So, aku
bilang itu bukan doa. Begitu juga bila aku bilang “Maafin I’in
ya.” Orang akan bingung karena enggak tahu apa salah gue yang harus
dimaafin. Bukan karena nggak punya kesalahan, tetapi karena kesalahan
gue udah bertumpuk!

Kata “maaf” harus diikuti dengan penelanjangan diri. Kita harus
mengaku tubuh kita tidak semulus yang mereka duga. Bunga-bunga di
kulit kita bukan tato seperti yang mereka sangka, tetapi panu. Otak
kita tidak secanggih yang mereka kira, tetapi sering hang.
Hati kita tidak sebersih yang mereka percayai, tetapi sering tercemar
kedengkian.

Aku baru boleh dinilai mengucapkan “maaf” bila berkata, “Oom dan
Tante yang membaca artikel ini, dan merasa tidak nyaman karena
contoh-contoh yang I’in tulis cenderung jorok en menjijikkan, I’in
minta maaf. Bener kok, tau Oom dan Tante ikut baca artikel ini, I’in
nggak akan berani bersikap kurang ajar seperti itu. I’in tahu ini
akan menjatuhkan angka index I’in dalam bursa calon menantu.”

Tetapi bila kalimat penelanjangan diri di atas aku sambung dengan “Makanya,
Oom dan Tante jangan curi-curi lihat tulisan orang muda. Kalau tensi
naik lalu strok, ‘kan rugi sendiri” jelaslah ini pledoi,
pembenaran diri, bukan minta maaf. Model beginilah yang ngetrend,
maaf berisi ancaman. Kita lebih senang jadi Dementor, mahluk jahat
penyedot semangat hidup orang lain. Karena kita anak-anak Kerajaan
Surga, mantra kasih itu jangan dirubah ya. ****