Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDA Space Teens
Merindu Sebuah Pasar
Pergi ke pasar tradisional bukanlah hal favorit untuk kulakukan sehari-hari. Ada banyak alasan mengapa aku tidak suka ke pasar tradisional, diantaranya adalah faktor kebersihan. Sejak budheku memarkir sepeda di tempat parkir, bau amis ikan sudah tercium dari kios-kios ikan yang berderet di belakang pasar, maklum tempat parkir sepeda letaknya di samping pasar, jadi kita bisa memutar untuk masuk melalui depan atau belakang pasar.
Pasar tradisional ini memiliki daerah-daerah berjualan masing-masing, sehingga bagi orang yang tidak pernah atau jarang kemari tidak akan menemukan kesulitan mencari barang yang hendak dibelinya. Di bagian depan pasar berkumpul tukang jual daging, mereka bergerombol diatas sepedanya masing-masing menurut daging yang dijualnya ada tukang jual daging sapi, tukang jual daging ayam, dan penjual unggas hidup (ayam dan bebek). Di belakang pasar dekat tempat parkir sepeda ada penjual sayur, jika kita hendak mencari buah-buahan di sini juga ada, biasanya buah yang dijual berdasarkan musimnya, contohnya sekarang kita bisa menemukan pepaya yang menggunung di sebuah los (kios) pasar. Di sampingnya ada dua orang penjual yang menjual sayur-sayuran dan bumbu pawon (bumbu dapur). Nah, disamping penjual sayur itulah ada tukang jual ikan segar, mulai dari ikan air laut sampai ikan air tawar, dan beberapa penjual daging ayam, oleh karena itu bau disekitar mereka sangat menyengat tercium hingga tempat parkir sepeda. Sebagai pelengkap di depan penjual ikan ada sebuah tong sampah besar sebagai tempat pembuangan sampah terakhir di pasar.
Pasar yang kami datangi ini adalah sebuah pasar baru yang dibangun oleh pemkot setelah terjadi kebakaran besar yang meluluhlantakkan bangunan pasar beberapa tahun silam. Jujur saja pasar yang dibangun ini lebih besar daripada yang dulu, memiliki dua lantai dan dindingnya terbuat dari tembok. Tapi semenjak pasar baru tersebut berdiri aku belum pernah sekalipun masuk ke dalamnya, aku lebih suka berbelanja di sekitar pasar. Alasannya sederhana, di nampak lebih segar daripada udara di dalam pasar yang sumpek dikelilingi oleh tembok. Lagipula tanpa masuk ke dalam pun kami sudah bisa membeli semua kebutuhan yang diperlukan.
Dulu sebelum pasar baru ini jadi aku sering diajak kemari oleh budhe, bersama kami akan menjelajahi pasar lama membeli semua kebutuhan. Budhe tinggal di Jakarta, sewaktu liburan tiba biasanya dia datang bersama anak-anaknya menghabiskan liburan di rumah kami. Satu hal yang membuatku kagum, walau jarang ke pasar ini tapi dia memiliki mbok-mbok langganan sendiri. Mulai dari sayuran segar, ikan, daging, pisang, perkakas plastik, pisau, ulheg-ulheg (cobek), anglo, dan arang. Jika tidak mengetahui dimana membeli apa, maka budheku akan bertanya pada salah seorang pedagang yang akan dengan senang hati menunjukkan dimana letak bisa membeli barang apa.
Gang-gang di pasar sempit, tidak jarang kami harus memiringkan badan jika ada tukang mie ayam yang lewat mengantarkan pesanan dengan nampan berisi mie lengkap dengan botol saus dan sambal. Sampai sekarang aku juga ingat ada sebuah gang yang ujungya ada sebuah tong plastik besar yang diletakkan oleh seorang pedagang, tong tersebut berisi cincau dan kolang kaling. Di bawah tong ada sebuah selokan kecil, yang memaksaku melompatinya setiap kali kami melewati gang ini.
Tidak hanya pedagang yang menggelar dagangannya di los-los, tapi juga ada pedagang yang berkeliling menjajakan barang dagangannya, biasanya mereka menjual kamper, busa untuk mencuci piring, peniti, jarum, gunting, tambal panci, jepit rambut, dan sebagainya. Kulihat pria ini sampai sekarang pun masih suka berkeliling pasar baru menawarkan gunting atau tambal panci kepada ibu-ibu yang sedang melakukan transaksi di pasar.
Satu hal yang unik di pasar ini adalah tidak ada satu pun penjual yang memberikan kantong plastik sebagai wadah pada pembeli. Memang aneh, karena di pasar ini semua pembeli sepertinya sudah tahu aturan tak tertulis ini, biasanya mereka sudah membawa tas besar yang jelek atau kantong plastik sendiri dari rumah. Barang apa pun yang dijual di pasar dibungkus berdasarkan apa yang dibelinya. Misalnya ketika budhe membeli pisang, sang penjual tidak akan memberikan kantong platik sebagai wadah tapi langsung diberikan pisangnya, untung budhe membawa plastik hitam besar dari rumah, begitupun ketika dia membeli sayur kangkung dan kacang panjang. Hal yang sama terjadi ketika budhe membeli sayur untuk sop dan daging sapi, sayur sopnya dibungkus kertas sedangkan daging sapinya dibungkus daun jati. Memang ada beberapa barang yang dibungkus dengan plastik, misalnya daging ayam dan ikan, tapi plastik yang digunakan adalah plastik transparan untuk membungkus, bukan plastik yang berfungsi sebagai wadah.
Waktu itu ak berpikir apa yang dilakukan oleh pedagang di pasar sangat merepotkan pembeli dan tidak praktis, sekaligus pelit. Apa ruginya menyediakan plastik wadah untuk pembeli? dengan begitu bukankah pembeli tidak perlu repot-repot membawa tempat sendiri dari rumah, bagaimana kalau wadah yang dibawa mereka tidak cukup? Tapi kini pikiranku berubah, dengan adanya kerusakan lingkungan dan pemanasan global yang diisukan oleh banyak yayasan lingkungan hidup, cara ini bisa mengurangi sampah plastik. Bayangkan berapa orang yang berbelanja ke pasar setiap harinya? berapa ratus transaksi yang terjadi? berapa lembar plastik yang digunakan jika setiap pedagang memberi plastik untuk setiap barang yang dibeli? Berapa ibu-ibu yang secara tidak sengaja atau mereka sadari ikut andil dalam melakukan penyelamatan lingkungan hidup?
Sebelum dibangun menjadi gedung dua lantai, seseorang harus berhati-hati jika masuk pasar. Setidaknya hal ini berlaku untukku, karena aku tidak bisa menemukan jalan keluar dari pasar begitu aku masuk ke dalam. Setiap jalan, setiap sudut, setiap gang di mataku sama semua. Aku tidak bisa membedakan arah mata angin sebagai patokan, layaknya sebuah labirin raksasa, pasar ini menyesatkan.
Ah, akhirnya budhe mencolek lenganku, menunjuk seorang penjual pempek gerobak. Walau hanya pempek kampung seharga seribu perak yang rasa terigunya lebih kentara, lumayanlah untuk mengganjal perutku yang mulai berbunyi. Banyak perubahan di pasar ini, seperti halnya arus modernisasi yang pelan-pelan mengubah wajah kotaku. Tapi itu cerita lain, sekarang aku hanya ingin bernostalgia dengan pasar lama.
- amelia's blog
- Login to post comments
- 3711 reads
jaman sudah berubah....
jaman makin maju... segala yang lama pasti ditinggalkan.... tapi yang lama tersebut pasti akan membawa kenangan.... kenangan inilah yang membuat kita kuat menghadapi masa depan....
Jesus love you