Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Seorang Kakek dan Peti Hartanya

anakpatirsa's picture

Sejak kecil kami sangat penasaran dengan isi peti kayu tua yang ada di bawah ranjang kakek. Selalu terkunci dengan sebuah gembok kuno. Umurnya mungkin hampir sama dengan umur kakek, 80-an tahun. Sudah puluhan tahun kamar kakek tidak pernah dikunci dan kami boleh masuk kapan saja kami mau, tetapi sekali-pun tidak pernah terlihat kakek membuka peti tuanya. Peti tua ini benar-benar satu-satunya privasi kakek.

Kisah petualangan Jim Hawkins dalam "Pulau Harta Karun"-nya R. L. Stevenson membuatku menganggap peti tua kakek sebagai peti tua milik Billy Bones yang suka menyanyikan lagu:

"Fifteen men on the dead man's chest--
Yo-ho-ho,
and a bottle of rum!"

Jika peti tua Billy Bones dibuka setelah pemiliknya meninggal, sehingga ditemukan sebuah peta harta karun, maka peti tua kakek dibuka tanpa menunggu penguburannya.

***

Kakek, tidak bisa hilang begitu saja dari ingatan, masa kecil kami diisi bersama kakek. Ketika seorang pembicara seminar beberapa minggu lalu menjelaskan ketidakbijaksanaan orang tua yang membiarkan anak mereka diasus oleh seorang kakek atau nenek, aku sama sekali tidak bisa berkata apa-apa. Kami memang tidak diasuh kakek, tetapi kami tinggal bersama dia. Jika orang bertanya jumlah anggota keluarga, kami berkata, "Sebelas! Kakek, ayah, ibu, dan delapan bersaudara."

Itulah keluarga kami.

Kakek sangat senang membaca, bisa merawat buku dengan baik, serta sangat jijik sama orang yang membaca buku sambil membasahi jarinya dengan ludah ketika berpindah halaman. Bacaannya cukup beragam, ada majalah yang sudah terlambat sepuluh tahun, ada novel spy thriller dan ada cerita silatnya S. Kho Ping Hoo.

Pada awalnya kakek mengijinkan kami membaca buku-buku silat terbitan salah satu penerbitan Solo ini, tetapi kemudian ia mencabut ijin tersebut setelah lama-kelamaan buku-buku itu rusak atau beberapa jilid "Pendekar Mata Keranjang"-nya hilang. Kami tidak pernah bisa mengembalikan dengan baik buku-buku tersebut setelah selesai membacanya.

Masih jelas ditelingaku perkataan kakek waktu itu: "Sebenarnya aku tidak tega melarang kalian ikut membaca buku-buku ini, tapi kalian telah membuat beberapa buku hilang dan rusak. Padahal kalau sudah ada jilid yang hilang, ceritanya jadi tidak seru."

Dengan sedih kami memandang kakek memasukkan buku-buku tersebut ke kardus dan meletakkannya di atas lemari. Walaupun demikian, kami tetap mengijinkan kakek membaca buku-buku kami; buku-buku yang kami pinjam juga. kakek selalu bisa menjaga buku-buku yang dibacanya.

Sepertinya kami bukan cucu-cucu yang manis, kami mengambil buku-buku tersebut diam-diam ketika kakek tidak ada di kamar dan membacanya di atas loteng, atau kalau musim buah, membacanya di atas pohon. Kami baru berhenti melakukan "pelanggaran" ini hanya setelah satu persatu kami meninggalkan kampung untuk bersekolah di kota.

Setelah "dewasa", setiap pulang kampung tidak pernah lagi mengambil buku-buku dari atas lemari tersebut. Selera kami sudah berubah, idola kami bukan lagi "Pendekar Penyebar Maut"-nya Kho Ping Hoo, tetapi "Hercule Poirot", "Trio Detektif", "STOP" serta "Lima Sekawan". Kadang-kadang kakek juga ikut membaca buku-buku yang kami bawa dari kota. Kami benar-benar lupa dengan "Suling Naga", "Suling Emas", "Jodoh Rajawali" serta seluruh isi kardus seri cerita silat di atas lemari kakek.

Tahun 1996 kakek meninggal dalam usia 91 tahun, para cucu, suami atau istri para cucu mulai berdatangan. Adanya kabar burung tentang isi peti kayu yang selalu berada di bawah ranjang itu, mendatangkan lebih banyak pelayat. Belum pernah ada yang benar-benar melihat isinya. Lalu muncul desas-desus ada emas serta jimat-jimat yang dipakai kakek ketika ikut melawan Belanda dan Jepang di dalam peti tua tersebut. Desas-desus yang membuat beberapa menantu dan suami para cucu ingin mendapatkannya.

Beberapa orang bahkan menuntut peti tua ini dibuka ketika jenazah kakek masih ada di kamar, beberapa orang menambahkan, jika peti ini dibuka, semua anggota keluarga harus berkumpul, supaya dikemudian hari tidak terjadi kecurigaan bahwa ada yang mengambil harta peninggalan kakek tanpa bagi-bagi. Ada yang menuntut bukan hanya keluarga yang harus berkumpul, tetapi saksi resmi juga, artinya kepala adat serta tua-tua kampung.

Akhirnya setelah semua berkumpul, termasuk para saksi, peti kayu itu ditarik dari bawah ranjang tempat kakek terbujur kaku. Sepertinya kabar menyebar dengan cepat, sehingga lebih banyak orang datang melayat. Sebagian benar-benar ingin melihat kakek untuk terakhir kalinya, sebagian hanya ingin melihat isi peti yang sudah begitu tua dan penuh rahasia.

Sayang sekali waktu itu aku masih di kota, karena sedang ujian, tetapi adikku yang jadi pendeta punya bakat luar biasa untuk bercerita secara lisan, termasuk menambah bumbu disana-sini, sehingga aku merasa seperti ikut hadir di situ ketika ia bercerita.

Suasananya kira-kira seperti ini, kamar kakek cukup luas, semua perabotan sudah dikeluarkan sehingga yang tersisa cuma ranjang jenazah dan sebuah peti kayu tua di bawahnya. Seluruh anggota keluarga berdesakkan di kamar, beberapa terpaksa hanya melihat dari pintu, termasuk adik-adikku yang benar-benar penasaran dengan isi peti ini.

Puluhan pasang mata memandang peti tua ini, mungkin tidak ada yang memperhatikan kakek lagi. Puluhan pasang mata memancar penuh harap, mata yang sedang kesulitan ekonomi berharap isinya emas, mata yang hidupnya belum mengenal Tuhan berharap isinya jimat-jimat. Mata yang hanya penasaran juga harap-harap cemas, karena sebuah misteri akan terungkap.

Tidak ada yang berniat repot-repot mencari kuncinya, apalagi sama sekali tidak pernah dibuka selama kakek sakit-sakitan dua tahun terakhir. Sama sekali tidak ada yang keberatan peti tersebut dibuka dengan paksa.

Dengan sebuah lingis, gempoknya patah. Paman yang paling tua membuka tutup peti. Tidak ada emas, barang berharga, atau jimat di situ. Puluhan pasang mata itu lupa bertahun-tahun sebelumnya kakek sudah mewariskan segala hartanya kepada mereka. Peti tua itu tidak berisi apa-apa, kecuali tumpukan buku silatnya Kho Ping Hoo yang jilid-jilidnya sudah banyak bolong. Satu-satunya yang berharga hanyalah selembar ijazah kakek. Dari situlah kami baru benar-benar tahu umur kakek yang sebenarnya, ia lahir tahun 1905.

Ternyata kakek akhirnya mengetahui kami diam-diam mengambil buku silatnya dari kardus di atas lemari. Pasti ia mengetahuinya setelah kami melupakan buku-buku tersebut. Daripada memarahi kami, ia memilih mengamankan apa yang masih tersisa ke dalam peti yang tidak boleh disentuh oleh siapapun sampai dia meninggal.

Banyak yang menganggap bahwa acara pembukaan peti itu merupakan aib keluarga yang memalukan, tetapi bagi kami itu merupakan kenangan manis. Setelah kejadian itu, setiap berkumpul di rumah, adikku yang jago cerita itu akan mengulang cerita upacara pembukaan peti tua yang dikira peti harta karun.

Kami tidak pernah bosan mendengarnya.

mercy's picture

Asyik sekali membaca tulisan Anda

Dear Anakpatirsa,  

Sekali lagi saya mau bilang Bravo, karena saya memang kepincut dengan tulisan Anda.

Apakah Anda ada menulis buku? Kalau ada, boleh tau judul-judulnya (kalau buku yg Anda tulis lebih dari satu)?  

Saya iri tuh dengan kemampuan Anda (yg benar iri atau cemburu ya)

Tolong jangan berhenti menulis ya, sebab saya hakul yakin (mudah-mudahan benar menulisnya) banyak sekali yg menikmati tulisan Anda  

Tuhan Yesus memberkati

Sola Gratia

__________________

 

 

 

Sola Gratia

hai hai's picture

Buku-Buku Tulisan Anakpatirsa

 Mercy, kayaknya kita sama-sama kepincut dengan tulisan Anakpartisa ya? Ya perlu diakui sich beberapa tulisan terakhirnya ditulis terburu-buru sehingga kurang terasa gregetnya dibandingkan tulisan tulisannya yang biasanya.

Oh ya mercy, Anakpatirsa ada menulis beberapa buku, ini judul-judulnya:

pikir-pikir mau nulis buku, kayaknya mo nulis buku, nulis buku nggak ya?

Nah, itu ketiga judul bukubya kali ya?  

Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak

__________________

Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak

mercy's picture

ha ha ha, judul bukunya bagus-bagus

Dear hai hai,  

Thanks buat petunjuknya, saya baru baca sedikit tulisannya Anakpatirsa dan itupun relatif yg baru-baru dan seperti yg saya bilang sudah kepincut.

Untuk beberapa hari kedepan berarti udah nggak perlu nyusun rencana yg lain lagi nih.  

Dear Anakpatirsa,

Waktu baca tulisan diatas, saya ngebayangin & bahkan kayak terbawa suasana yg mungkin cukup "menegangkan" menjelang dibukanya peti milik kakek Anda.  

Tuhan Yesus memberkati

Sola Gratia

__________________

 

 

 

Sola Gratia

anakpatirsa's picture

Kejar Setoran

To: Mercy Terima kasih atas pujiannya. Untuk masalah buku, apa yang dilakukan di SABDASpace merupakan sebuah hobi baru. Jadi malu ketika Anda bertanya tentang judul-judul bukunya. Tentang terus menulis? he.. he.. sudah menjadi hobi yang sulit dihentikan. Tentang keinginan Anda menulis, Sabdaspace benar-benar tempat yang cocok untuk mengekspresikan apa yang kita rasakan dan lihat. To: Hai hai Terima kasih, anda benar tentang blog yang dibuat terburu-buru. Biasanya saya hanya fokus satu blog satu minggu, selama minggu itu mengganti kebiasaan melamun dengan memikirkan blog apa yang akan ditulis dan membayangkan kerangkanya dalam pikiran. Sebuah 'peringatan' yang sangat bermanfaat. Terima kasih, benar, itu sangat bermanfaat. Blog-blog terakhir itu memang kejar setoran, untuk memunculkan avatar di halaman utama. Tanpa pernah benar-benar punya waktu untuk mengolahnya di dalam pikiran. Sekali lagi terima kasih. Berharap bisa kembali ke motivasi yang benar, bukan sekedar point atau pujian.