Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

OJAN

anakpatirsa's picture

Ban bocor menjengkelkan dan tambal ban yang jauh membuat darah sedikit memanas. “Mengapa satu dari 10 juta penganggur negeri ini tidak membuka tambal ban disini?” kata hati, tetapi kalau ada tambal ban yang dekat, hati juga mengumpat, “Pasti tukang tambal ini yang menebar paku.” Intinya, tidak ada yang membuatku bersyukur saat pantat merasa sakit akibat pelek sepeda yang tiba-tiba bergesekan langsung dengan aspal. Tidak ada pilihan, selain turun. Jika saja ban depan yang kempis, aku bisa duduk di boncengan sambil menganyuh dengan sedikit mencondongkan badan ke belakang. Masalahnya, yang bocor ban belakang. Pernah mengakalinya dengan berdiri mengayuh sambil mencodongkan berat tubuh ke depan. Memang berhasil sampai bengkel, sayangnya,  ban dalamnya tidak bisa dipakai lagi, dan roda belakang jadi berputar seperti pantat Dewi Persik di atas panggung.

Aku tidak mau mengulanginya lagi, sehingga langsung berhenti dan bertanya kepada tukang bakso di pinggir jalan.

"Lurus sampai bangjo, belok kiri mentok," jawabnya. Sudah tinggal cukup lama di daerah ini, sehingga tahu arti "bangjo" dan "mentok".

Tidak sampai semenit menuntun sepeda, sebuah sedan hitam berflat merah yang melaju dari arah belakang mengedipkan lampu sign-nya. Tidak satupun keluarga menjadi pejabat sehingga yakin mobil ini bukan berhenti karena seorang sepupu yang sedang ketiban sial. Walaupun demikian, aku juga yakin, siapapun di dalam, ia tidak bermaksud untuk bertamu ke rumah orang. Tidak satu rumah pun berdiri sepanjang lima puluh meter ke depan.

"Semoga bannya bocor." kataku dalam hati, jahat. Penjelasan masuk akal hanyalah adanya sebuah kerusakan.

"Hei...!" seseorang keluar dari pintu belakang. Dari sinetron, tahu, bos selalu duduk di kursi belakang jika bersama sopirnya.

Kaget dan pangling. Aku mengenali pria yang barusan keluar dari mobil. Jika saja orang utan dari Kalimantan yang keluar, aku pasti tidak akan sesetengah mati ini kagetnya.

Ada alasan mengapa aku hampir mati berdiri, ada sebuah kisah.

***

"Aku sangat jengkel, rasanya ingin kutampar mukanya Ojan," kata Natalia, sekretaris laboratorium komputer kampus.

"Mengapa?" tanyaku, tidak terlalu peduli. Cukup banyak masalah pribadi sehinga malas mendengar sesuatu tentang si Ojan, mahasiswa tingkat  akhir yang akan menggantikan tugasku di lab.

Natalia, gambaran cewek Batak, suka berkata apa adanya namun sedikit ‘tinggi hati’. Bekerja di sini saat aku masih semester satu. Pacaran dengan orang Manado dan bertingkah seperti orang Manado. Tidak bisa kusalahkan, ia bukan hanya putih, wajahnya pun lumayan cantik. Seperti kebanyakan cewek Manado.

Ojan lain, ia bukan hanya tidak menyenangkan, tetapi juga menjengkelkan.  Tidak terlalu pintar, malah sedikit pas-pasan jika kata bodoh terlalu kasar. Orang bodoh tidak menjadi masalah, tetapi ceritanya lain jika selain sedikit pas-pasan, juga bertangan merusak seperti Ojan. Jika Midas membuat apapun yang disentuhnya menjadi emas, maka Ojan memiliki sentuhan Donald. Ketika membereskan komputer yang berbunyi beep-beep  karena memori yang tidak terpasang sempurna, Ojan membuatnya benar-benar tidak bisa hidup. Dalam dunia kedokteran, penyakit ini katanya membedakan dokter bertangan dingin dengan dokter bertangan panas.

Tidak akan banyak yang tidak menyukainya jika Ojan punya yang namanya kerendahan hati. Seandainya saja ia menyadari kelemahannya dan bisa mengambil hati, dunia rasanya lebih bersahabat. Sayangnya, ia terlalu pintar menyembunyikan kepas-pasanannya, terutama di mata orang baru. Buktinya,  Pak Melki, kepala lab sendiri yang memilihnya. Dosen mata kuliah Jaringan Komputer  ini benar-benar ikut kecele.

 “Ojan ini benar-benar berbeda sekali dengan Joni,” lanjut Natalia.

Dalam hati aku mengiyakan, “Ya, benar. Seperti langit dan bumi.”

Joni, anak Sumba inilah yang membawaku ke lab. Dulu sering mengajakku menginap di rumah tumpangannya, terutama di akhir bulan, saat aku mulai mencari recehan yang di awal bulan kuletakkan sembarangan. Ia kuliah di Sanatha Darma sebelum kakak yang membiayai kuliahnya meninggal. Pernah tiga hari hanya minum air putih setelah kepergian kakaknya. Tidak menyerah, entah bagaimana caranya, tetap bisa kuliah, tentu saja setelah pindah ke kampus ini. Kampus di tengah sawah dengan uang kuliah yang sangat murah. Sebuah kampus yang tidak hanya mengkreditkan mata kuliah, tetapi juga biaya kuliah.

Joni datang ke kos beberapa minggu sebelum ia wisuda. Menawari posisinya sebagai teknisi lab. “Aku tidak mengerti perangkat keras komputer, membuka CPU pun belum pernah, apalagi memperbaikinya,” kataku. Sudah tiga tahun mengambil program studi ilmu komputer tetapi belum pernah melihat bagian dalam sebuah komputer. Maklum saja, uang kuliah yang terkumpul tidak cukup bagi kampus untuk melengkapi bahan praktek “Pengenalan Ilmu Komputer” di semester satu.

“Aku juga dulu tidak tahu apa-apa. Dan kalau memang benar-benar rusak, komputernya akan dibawa ke tempat servis. Tugasmu hanya mengantarkannya ke sana,” kata Joni menyakinkanku. Ia lalu menambahkan segala macam keuntungan yang akan kudapat sebagai teknisi lab.

“Joni tidak terlalu pintar, tetapi tidak sombong.” lanjut Natalia, membuatku menyadari kami memikirkan hal yang sama, “Ia mengakui dirinya tidak pintar, tetapi selalu mau merendahkan diri untuk belajar.”

“Memang ada apa sih?” tanyaku akhirnya. Tidak tahan juga hanya manggut-manggut  mendengarkan ocehannya padahal pikiran yang melayang kemana-mana.

“Sabtu kemarin, aku datang ke lab. Ternyata ia ada di dalam, menonton televisi. Waktu aku membuka situs kampus, ada satu halaman yang error. Jadi aku minta tolong sama dia untuk mengeceknya sebentar,” jawab Natalia. “Ia malah menjawab, ‘Sori, saya tidak bisa melihatnya sekarang, hari ini bukan hari kerja saya, saya datang kesini karena ingin refreshing.’”

Darahku mendidih mendengarnya. Bukan karena bersimpati pada gadis yang sebentar lagi menikah ini, tetapi karena tahu Ojan sedang berkelit. Ia tidak tahu apa-apa tentang istilah CGI  ataupun program bernama Perl yang dipakai untuk membangun situs kampus, tetapi ia pura-pura tidak mau membereskan sebuah masalah karena tidak mau melanggar hari Sabat.  Aku marah karena ia tidak mau mengakui kepas-pasanannya. “Mengapa tidak jujur saja kalau tidak bisa?” batinku

“Itu bukan karena ia tidak mau liburannya terganggu, tetapi ia memang tidak bisa melakukannya,” kataku kepada Natalia, “ia bahkan belum tahu perintah Linux untuk menampilkan sebuah direktori.”

“Kurang ajar!” jawab Natalia, sifat aslinya sedikit keluar, “bilang kek, kalau memang  tidak bisa.”

Aku tidak hanya mendengar keluhan tentang Ojan dari Natalia saja. Beberapa mahasiswa yang mengerjakan tugas di lab di luar jam praktek juga menyampaikan beberapa keluhan. Keluhan karena Ojan sering berkata, “Nanti dulu, aku lagi banyak pekerjaan,” saat mahasiswa tahun pertama yang sedang mengerjakan tugas Teknik Pemrograman melihat tulisan “Invalid Syntax” berkedip di depan mata. Aku ingin memberi tahu mereka, “Itu bukan karena Ojan sibuk, tetapi karena ia tidak mau kalian tahu bahwa ia tidak mengetahui perbedaan antara variabel dengan konstanta dalam bahasa Pascal.”

Kadang ia menggunakan koneksi internet gratis dari lab untuk chatting. Sepertinya di dunia maya ia membual tentang istilah-istilah teknis dunia internet, seperti DNS, Proxi, Gateway, dan TCP/IP. Tidak satupun istilah ini benar-benar dipahaminya, hanya pernah mendengarnya. Aku tahu ia suka membual di dunia maya karena suatu kali, listrik mati saat ia sedang chatting. Di antara bunyi beep UPS -- alat yang membuat komputer tidak langsung mati saat PLN bertingkah -- aku masih bisa mendengar ia berkata di ponsel, “Maaf, aku harus off, ada masalah DNS di server kami.”

Sebelum mematikan komputer, seharusnya ia masih mempunyai kesempatan memberi tahu teman chatting-nya kalau listrik mati. Tetapi ia memilih membual dengan berkata, ada masalah dengan Domain Name Service atau DNS. Layanan internet yang mengidentifikasi sebuah komputer dengan nama biasa, bukan dengan angka-angka seperti 192.168.32.1 yang terkenal dengan nomor IP.

Menjadi orang bodoh tidak masalah, tetapi menjadi orang seperti Ojan benar-benar membuat kepala pusing. Aku ragu apakah ia sadar dirinya pas-pasan, sepertinya ia merasa dirinya pintar. Keadaan saja yang membuatnya tidak bisa menunjukkan kepintarannya. Kalau ada masalah jaringan, jika tidak bisa membereskannya, itu bukan karena ia tidak bisa, tetapi karena lab masih memakai kabel biasa; sekarang jamannya wireless yang lebih praktis. Masih banyak alasan lain, seperti komputer yang sudah tua, bahasa pemrograman seperti Pascal yang sudah tidak dipakai lagi, serta lingkungan yang tidak mendukung.

Ia memang pintar menyalahkan keadaan. Padahal aku hanya ingin ia tahu dirinya pas-pasan. Menjadi orang ber-IQ sedikit di bawah rata-rata bukan murni kesalahannya. Ada faktor keturunan, faktor gizi dan faktor lingkungan. Mendengar cerita tentang orang tuanya membuatku ragu mereka telah memberinya susu yang cukup. Aku hanya berharap ia sedikit tahu diri, bukan hanya dalam hal gaya sok pintar, tetapi juga  dalam gaya sok keturunan menengah ke atas.

“Sepertinya aku harus berbicara dengan Pak Melki,” kataku akhirnya. Membuat bibir manis Natalia membentuk sebuah senyum simpul. Berbicara dengan Pak Melki, berarti meminta kepala lab meninjau kembali status Ojan.

“Kamu harus menerima kenyataan. Ini bukan dunia yang sempurna. Kamu pasti selalu menemui orang-orang seperti Ojan,” kata Pak Melki saat kupaparkan penilaianku terhadap Ojan.

"Jujur, aku benar-benar tidak menyukainya," jawabku, "aku bahkan mulai muak melihatnya.”

“Tidak ada yang sempurna. Banyak mahasiswa sudah menjadi teknisi lab ini sejak kampus berdiri. Kita memang bukan kampus terbaik, tetapi kitalah yang pertama kali membuka program studi Ilmu Komputer di kota ini.” kata pak Melki, berusaha membuatku mengerti. “Ada Lali yang ceroboh, selalu tersandung kabel jaringan; Ada Joni yang polos, sampai menyembah-nyembah saat membuat monitor meledak; Lalu ada kamu, teknisi berantakan. Menjadikan lab ini seperti pasar loak, sampai menemukan VGA Card saja susahnya minta ampun.”.

Aku terpaksa menahan senyum kecut.

“Sebenarnya, paling tidak, aku ingin ia tahu dirinya itu tidak begitu pintar,” kataku sedikit melunak serta memperhalus bagian akhir kalimat.

“Kalau kamu mau, kamu bisa langsung bicara dengannya,” jawabnya, "Ngomong-ngomong, aku memang berharap ada orang yang berani mengatakan kepadanya tentang hal itu."

Sampai aku pergi, aku tidak pernah punya keberanian mengatakannya.

***

Ojan inilah yang membuatku hampir mati berdiri saat melihatnya keluar dari sebuah sedan berflat merah.

“Wah, hebat kamu sekarang,“ kataku. Sedikit menyindir atau iri, aku tidak tahu.

"Tidak ah, kamu saja yang selalu berpura-pura menjadi orang miskin,” katanya, dengan sebuah senyum kemenangan dan matanya memandang sepedaku. Aku bermimpi tatapan itu paling tidak berkata, “kamu ini masih saja suka nyentrik, naik sepeda segala.”

Mulutku pun ingin mengatakan sesuatu, tetapi kalimat  yang keluar lebih lunak.

"Kamu bekerja dimana sekarang." tanyaku, berbasa-basi.

"Aku di Dewan," jawabnya sambil merogoh ke dalam jasnya, mengeluarkan kartu nama berlogo sebuah partai terpampang di pojok kiri, "Main ke rumah ya, ini kartu namaku.”

"O.. ya,” kataku sambil menerima kartu namanya. Entah karena mataku makin rabun, atau si sirik sedang beraksi, gelar kesarjanaanya kelihatannya menggunakan tinta yang lebih tebal dari huruf-huruf lain. Hasil belajar basa-basi secara otodidaks membuatku melanjutkan, "besok-besok aku main kesana.”

Aku sudah tahu arti kata besok-besok. Mantan bapak kos berkata, “Besok-besok aku main kesana,” saat aku pamit pindah kos. Membuatku jarang keluar kos selama beberapa hari, takut tidak berada di kos baru saat mantan bapak kos berkunjung. Tetapi akhirnya aku belajar, “Besok-besok” artinya, “Sampai kiamatpun itu tidak bakalan terjadi.”

Mungkin aku memang terlalu sombong, merasa lebih baik dari dia. Buktinya, sekarang aku hanyalah orang biasa bersepeda butut, sedangkan orang dulu kutolak sekarang menjadi wakil rakyat. Orang yang dulu membuatku jengkel karena tidak bisa membedakan kabel cross over dengan kabel jaringan biasa, sekarang berdiri penuh percaya diri dengan celana yang diseterika begitu licin.

Ketika akhirnya mobil itu pergi mendahuluiku lagi, dalam hati aku berpikir, mungkin saja Ojan berada di tempat, dimana seharusnya ia berada.

***

Samuel Franklyn's picture

Ini namanya sindiran yang super tajam

Ini namanya sindiran yang super tajam. Ojan yang pas-pasan dan suka membual memang pantas jadi wakil rakyat. Apakah ini berarti yang namanya wakil rakyat itu IQ nya pas-pasan dan suka membual? Sepertinya sih iya

Rusdy's picture

Duh, Gawat

Kalau ini bisa digeneralisasi ke wakil rakyat lainnya, gawat nih! Apa betul kali yah? Kalau melihat buktinya? :P Ah, serem ah ngebayanginnya...

Rya A. Dede's picture

gawat sekali

...dalam hati aku berpikir, mungkin saja Ojan berada di tempat, dimana seharusnya ia berada.

Menurut Anda, tempat itu memang dihuni oleh orang-orang seperti Ojan?

Gawat, seperti kata Rusdy.

Viesnu's picture

menurutku

Ya menurutku sih ojan emang sudah di tempat yang seharusnya dia berada.. 8-)

kan wakil rakyat ga ngurusin hal2 yang dia ga bisa yaitu yang berkaitan komputer2an...::bigsmile

kabur ah.... :runaway

Lovepeace..uenak..

__________________

Lovepeace..uenak..

Debu tanah's picture

Kenapa orang yang pas2-an bisa lebih maju..

Kenapa orang yang sebenarnya pas2 an bisa lebih maju dari orang yang pandai?

Kata kuncinya adalah KEBERANIAN, orang yang pintar biasanya terlalu banyak perhitungan dan pertimbangan karena takut salah, sehingga sering keduluan ama orang yang kurang pandai. Sedangkan orang yang kurang pandai, lebih berani untuk menutupi kekurangannya.

Seperti-nya kehidupan berpihak kepada yang BERANI.

Orang yang kurang pandai tetapi berani bertindak, walau salah mereka dapat belajar dari kesalahannya. Sedangkan orang yang pandai tetapi tidak berani bertindak tidak belajar apa-apa.

Wah, betapa luar biasanya kalo PANDAI trus BERANI pula ya??

 

 

__________________

Debu tanah kembali menjadi debu tanah...

y-control's picture

punya teman juga

AP, saya juga punya teman waktu kuliah yg mirip dengan ojan, sebut saja namanya si A..

banyak teman kuliah yang pernah kerjasama dengan si A mengeluhkan sifatnya yang sangat oportunis dan suka nyurangin teman sehingga banyak yang sebal... tapi setelah itu dia ikut semacam kontes yg tajuknya cak & ning suroboyo dengan ngaku-ngaku aktif di kegiatan ini itu, padahal enggak.. dan meski sepertinya tidak pernah mendengar ada orang bilang si A ganteng, toh dia dapat meraih juara harapan sekian karena bahasa inggrisnya dibanding peserta lain terhitung lumayan (iyalah, kuliah jurusan sastra inggris)... setelah itu, dia banyak ikut kegiatan pariwisata macam2, dan perilakunya berubah drastis, misalnya kalau ngobrol dng teman seolah sedang diwawancarai wartawan hehehe..

beberapa tahun lalu saya dengar cerita tentang seorang teman mendaftar di sebuah perusahaan, waktu itu ia sudah masuk tahap wawancara, tapi setelah sesi wawancara, tanpa ba bi bu ia segera mengurungkan niat bekerja di perusahaan itu. kenapa? karena ternyata yang mewawancarai dia adalah manajer perusahaan itu yang tidak lain adalah si A.

HA HA HA!

Ari_Thok's picture

Jadi Ingat Seseorang

Wah, si Ojan memang mengingatkanku akan seseorang dimana dulu pernah bekerja sama di bidang hardware. Memang menjengkelkan, dan agak susah menghadapi orang yang demikian. Walo gitu seingatku sebelum dia keluar dari kerja, aku sudah pernah menegurnya "kalo bisa ya bilang bisa, kalau endak ya endak". 

*yuk comment jangan hanya ngeblog*


*yuk ngeblog jangan hanya comment*

 

__________________

*yuk komen jangan cuma ngeblog*


*yuk ngeblog jangan cuma komen*

Daniel's picture

funniest blog & comment :)

 Huahahaha...  ada yang frustasi nih...  sori, saya tidak bisa menjelaskannya, tapi serius.. lucu banget... 

smiley girl's picture

Email yang dijual

Jadi ingat anggota DPR yang menurut gosipnya berkata: "Saya email punya, tetapi sudah saya jual."