Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Hai-Hai Yang Malang
Pada hari pertama aku datang di FPPK, ada 3 acara yang ingin kuhadiri. Pertama aku ingin ikut workshop “From Good Reader to Good Writer”. Setelah itu, aku ingin hadir pada peluncuran buku “Aku Takkan Menyerah” bersama penulis-penulis buku lainnya yang karyanya ada di dalam buku tersebut. Setelah itu aku ingin menonton pertunjukkan monolognya Luna Vidya. Jadi aku berusaha melaksanakan niatku itu.
Aku puas dengan acara “From Good Reader to Good Writer”. Setidaknya bagiku, itu merupakan konviksi bahwa kalau mau jadi penulis yang baik, maka kita tak boleh melupakan elemen membaca karya orang lain. Pikirku, sekarang aku akan lanjut mengikuti acara pelucuncuran buku. Eh, ternyata aku ditelepon oleh Ita bahwa acara peluncuran buku diurungkan karena Mr. XP harus mengejar penerbangannya. Ah, gimana sih seniorku yang satu ini? Dia didaulat untuk menjadi pemandu acara, kok malah pulang? Tetapi Ita bilang, sebaiknya aku mengikuti acara bagus di panggung utama, yaitu tentang bagaimana menyampaikan firman Tuhan dengan cara mendongeng. Jadi aku ke sana dan menonton sambil berdiri dari kejauhan.
Entah bagaimana, tiba-tiba mataku melihat sesosok manusia yang menurutku tak biasa, berdiri beberapa langkah di depanku. Seperti biasa, mentalku mulai menganalisa. Seolah-olah merasakan sesuatu, orang itu menoleh ke arahku. Aku dengan segera juga mengalihkan pandanganku ke arah lain. Jelas maksudnya, supaya orang itu tidak tahu bahwa aku ini mengamati dia. Namun untunglah, aku masih sempat merekam dalam ingatanku bahasa tubuhnya, tarikan wajahnya dan—yang paling penting—sinar matanya (konon mata adalah jendela jiwa). Sekarang rasanya aku sudah bisa membayangkan profil psikologisnya: melihat lagaknya dia pastilah seseorang yang “bias gender” dan kalau berdiskusi pasti dia mau menangnya sendiri. Namun, siapa peduli? Aku tidak mengenalnya. Dan juga tidak mungkin aku akan berkenalan.
Setelah sekian lama menonton sambil berdiri, aku mencari tempat duduk juga di depan panggung. Tak lama kemudian muncul sesosok yang lain, yang sangat berbeda dengan sosok yang pertama tadi, meminta izin untuk boleh duduk semeja denganku sambil mengudap seiris keik berwarna coklat (apakah itu keik coklat atau tiramisu, ya?). Senyumnya manis, tutur bahasanya santun dan gerak tubuhnya halus. Begitu aristokrat. Hatiku terasa sejuk. Aku selalu senang melihat perempuan matang yang cantik perilakunya, karena mereka akan selalu menjadi acuanku sendiri: growing old gracefully.
Perempuan cantik itu—Angeline—menanyakan apa yang akan aku lakukan setelah ini. Kujawab, aku ingin menonton Luna Vidya. Sama kalau begitu. Maka kami bersama-sama menonton pertunjukan monolog Luna Vidya.
Done with Luna Vidya. Masih tersisa satu acara lagi. Angeline bertanya apa aku mau ikut workshop tentang blog SabdaSpace; aku lingak-linguk...di manakah Ita? Di manakah panitia yang lain? Jadi: ikut workshop blog Sabdspace? Mengapa tidak? Tetapi, wait...mengapa di dalam ruang hanya ada beberapa orang saja? Itu pun bergerombol, seolah tidak siap menikmati acara. Kulihat meja tempat narasumber masih kosong. Jadi, nggak sih acaranya? Ah, untung ada mas Wawan...maka acaranya pasti jadi, deh. Lega juga hatiku karena, paling tidak, ada orang yang kukenal di ruang itu. Selebihnya, aku tidak kenal siapa mereka. Namun, menilik cara mereka berbincang pastilah mereka itu “Birds with a feather flock together”...dan tiba-tiba saja aku merasa seperti “si itik buruk rupa”. Ketika aku berusaha mengenali satu demi satu setiap orang yang sedang berkumpul itu, tiba-tiba...tiba-tiba saja...dalam sepersekian detik, aku merasa jantungku berdetak lebih kencang: Mati aku...mati aku...”orang itu” ada di situ! “Ngapain dia di sini?”, batinku. Sekali lagi menilik caranya membawakan diri, wah...kayaknya dia “merasa sebagai somebody”, deh...Apakah dia yang akan memandu acara? Wah! Aku berpikir-pikir, mencari cara bagaimana bisa melarikan diri dari ruangan itu dengan sopan. Tetapi, terlambat! Seorang cewek mendekatiku. Dia mengulurkan tangannya, “Aku Joli.” (Tetapi di telingaku terdengar seperti “Juli”). “Aku Martha”, jawabku. “Blogger juga?” tanya Joli lagi. “Hmmm...iya, sih” jawabku agak ragu secara aku ingat sudah beberapa tahun ini aku tidak menulis di blog SabdaSpace sebab aku selalu sibuk “kejar tayang” dan “kejar setoran”.
Lalu, entah bagaimana, tiba-tiba “sosok yang tidak biasa” itu nge-joke bahwa Tuhan Yesus itu suka merasa terganggu dengan Martha karena Martha menganggu acara pedicure-Nya. Pedicure? Tuhan Yesus pedicure? Nggak salah? Bukannya Martha yang suka pedicure? (Ah, mana yang lebih jayus, aku apa dia?) Tetapi tak urung (di dalam hati) aku tersenyum kecut, “Wah, belum-belum aku dikerjain, nih.”
Lagi-lagi, entah bagaimana, kelompok orang ini ribut mengatakan mau keluar makan. Wah, bubar, dong acaranya. Terlambat lagi! Seseorang mengajakku ikut makan. Loh, gimana ntar aku balik ke Museum? Malam ini aku harus pulang dengan Ita. Tidak bisa tidak. Aku lingak-linguk lagi. Where is my Ita? Aku harus memberitahu dia bahwa aku akan pergi dengan kelompok ini. Jadi aku menelepon, “Ita, aku keluar makan dulu ya sama temen-temen...”. Dari ujung yang lain, terdengar suara Ita, “Ha, temen-temen? Temen-temen siapa?” Untuk kedua kalinya pada hari ini, Ita menanyakan hal yang sama. Aku setengah ingin tertawa, setengah putus asa. Ya...temen-temen siapa, ya? Yang kuingat cuma nama Joli. Namun, bagaimanapun juga aku mendapatkan “izin” itu; izin untuk keluar bersama “teman-teman”. Tetapi sejenak aku ragu, karena kudengar mereka tak yakin apakah mobilnya cukup. Ha! Kesempatan melarikan diri! Terlambat lagi! Seseorang memutuskan, pasti cukup karena mobilnya lebih dari satu. Aku berharap Mas Wawan bisa menjadi dewa penolongku. Aku bertanya, “Mas Wawan tidak ikutkah?” (Mas Wawan, tolong temani aku....hahahah....tetapi Mas Wawan tidak mendengar permintaan yang hanya kusuarakan di dalam hatiku). Mas Wawan malah dengan santun menolak, “Saya di sini saja. Untuk panitia sudah disediakan.” Aduh, Mas wawan, bagaimana dengan narasumber? Apakah disediakan juga? (Kata Ita beberapa jam sebelumnya, ada makanan untukku. Tetapi aku tidak tahu di mana letaknya). Tentu saja Mas Wawan tidak dapat menjawab pertanyaan dari dalam sunyi. Malangnya, Angeline pamit, dia mau pulang; tidak ikut makan. Aku benar-benar si Itik Buruk Rupa.
Aku menguntit Joli. Berharap bisa semobil dengannya. Tetapi mobilnya rada penuh. Sehingga aku harus ikut mobil lain yang dikemudikan oleh “orang itu”. Ah, sebenarnya apa sih salahnya si Hai-hai ini (ternyata “orang itu” dipanggil Hai-hai) kepadaku? Ya, dia memang tidak bersalah apa-apa terhadap aku. Aku saja yang merasa tidak enak sendiri karena judgment awalku terhadap dia yang sebenarnya belum tentu benar. Hai-Hai yang malang, dia menjadi korban purbasangkaku.
Dan ternyata memang benar. SI Hai-hai tidak seburuk sangkaku semula. Malahan menurutku dia orang yang cukup pandai mencairkan keheningan. Dia banyak bercerita dan nge-joke ini-itu. Sewaktu makan pun dia mengobrol banyak hal, termasuk tentang asal muasal nickname “Hai-hai” itu. Sampai tiba-tiba—out of the blue—dia bertanya, “Martha ke gereja mana?” Suatu pertanyaan yang evaluatif karena itu akan lebih banyak menjelaskan tentang siapa aku dibandingkan pertanyaan-pertanyaan seperti: Berapa anaknya, tinggal di mana, suaminya kerja di mana dan sebagainya...Dan memang benar, sedikit komentar mengenai tempat di mana aku biasa berhimpun—tempatku sebagai “Birds of a feather flock together”—membuat sebuah pencerahan tersendiri bagiku, dan membuatku berkata pada diriku sendiri, “Baiklah. Aku akan kutemui kau lagi setelah ini.”
Waktu bergulir. Makanan pun bergulir lagi walau tadinya sudah tandas. Percakapanpun terus mengalir. Pelan-pelan aku tidak lagi merasa seperti “itik buruk rupa”. Malahan aku merasa beruntung, kini aku mengenal “burung-burung yang lain” yang menerimaku dengan baik sebagai anggota baru. Kapan-kapan barangkali aku juga bisa menjadi “Birds of a feather flock together” dengan mereka.
Namun demikian, sementara aku menikmati himpunanku yang baru ini, hatiku juga gelisah. Walau Ita beberapa kali meneleponku dan mengatakan aku boleh makan dengan tenang, toh aku tidak ingin membuatnya menungguku terlalu lama. Memang benar, tak lama kemudian, Hai-hai menerima panggilan telepon; mungkin dari Mas Wawan yang mengatakan bahwa aku sedang ditunggu.
Sepulangnya aku dari Jakarta, aku mulai lagi membaca lagi tulisan-tulisan Hai-hai di SabdaSpace yang pada masa-masa lalu hanya kubaca sekilas-sekilas saja. Tidak semua pendapat Hai-hai bisa kuterima, apalagi kusetujui. Namun tak dapat disangkal pula bahwa banyak pula pemahaman dan pemikirannya yang menurutku menjadi bahan pergumulanku juga—jauh di tempat di mana orang tak menduganya. Aku dan Hai-hai bisa saja berseberangan, atau malahan sangat paralel atau sejajar sehingga seperti rel kereta api, kami tak akan pernah bertemu. Namun betapa tidak adilnya jika dia kuhakimi hanya karena dia tak sepaham denganku atau karena penampilan luarnya yang kata orang Surabaya “antik”—sebuah kesalahan yang kulakukan ketika kumelihat dia pertama kali di depan panggung utama di Museum Mandiri.
Dan sebuah pendapatku yang lebih pribadi: Hai-hai sebenarnya juga manusia biasa. Jika Anda pernah merasakan ditinggal pergi selamanya oleh orang yang Anda sayangi, Anda akan memahami tulisannya tentang “Aku Tidak Percaya Mujizat”. (Afterall, adik mana sih yang tak ingin dicintai habis-habisan oleh abangnya seperti itu?).
Moral dari tulisan ini: Aku tidak sedang berbicara tentang Hai-hai seorang. Aku sedang berbicara tentang orang-orang lain yang tidak sepaham denganku dan sebenarnya sedang kuzalimi. Aku memohon maaf karena aku belum bisa menerima mereka.
"I do not try to dance better than anyone else. I only try to dance better than myself." - Mikhail Baryshnikov, ballet dancer
- martha pratana's blog
- Login to post comments
- 3652 reads
marta si buruk rupa
keluar tempurung
hi...salam kenal juga ya....
supaya tidak berada di dalam tempurung, ya....harus keluar dari tempurung :-)
"I do not try to dance better than anyone else. I only try to dance better than myself." - Mikhail Baryshnikov, ballet dancer
tempat yang paling berbahaya
Martha, kira-in sudah berteman lama dengan "orang itu" :p
Karena waktu sebelum menyodorkan tangan ku tuk berkenalan, ku lihat Marta dan Angel sudah ngobrol nge-cikruk dengan orang itu..
Martha, berbahagialah bila semobil bersama para macan-nya SS, dan sudah buktikan dengan santai boleh melakukan pelanggaran kan?? cerita komplitnya bisa di baca disini
Menurut pengalaman Joli, bahwa tempat yang paling aman adalah di sekitar orang-orang yang berbahaya. Dari kecil, Joli aman berada dalam GENG yang paling sangar di sekolah. Dulu rumah tinggal Joli di daerah Nusukan tempat para Gali justru aman dari segala macam kompas dan ancaman keamanan. Berteman dengan para preman hingga sekarang, membuat hidup lebih nyaman, karena mereka lebih "apa ada"-nya.
Justru tempat yang paling berbahaya buat Joli adalah ketika berada di sekitar para polisi pelindung rakyat.
Aneh tapi nyata kan??
Oh ya tulisan para pengikut kopdar Museum ada di sini (12 murid SS)
Buat Joli
Joli, aku baru kenal dengan 'orang itu' saat itu juga. Kalau kelihatan sudah nge-crikuk karena aku "terpaksa" secara aku sudah ekna tembak masalah Yesus pedicure. Selain aku juga terpaksa SKSD (sok kenal sok dekat).
Yang paling aman dekat dengan PREMAN ya...hahahah..
btw, Hai-hai....apa menerima pelatihan preman? Aku daftar, dong...
"I do not try to dance better than anyone else. I only try to dance better than myself." - Mikhail Baryshnikov, ballet dancer
@Martha
Tetap bersahabat walau tak sependapat ! Hihihi....
Dunia di mata Wapannuri.com
@wapannuri
hehehe....tak sependapat sama Hai-hai?....hehehe masak sih...? :-)
yang bener, kadang sependapat, kadang tidak sependapat...
kalau sependapat terus itu membeo dan membebek...
kalau tidak sependapat terus itu namanya ngelawan....:-)
"I do not try to dance better than anyone else. I only try to dance better than myself." - Mikhail Baryshnikov, ballet dancer
@martha - otak encer
Sip...sip...sip....
Dunia di mata Wapannuri.com
Eh..keliru
kelru kolong komentar, maaf
Dunia di mata Wapannuri.com