Submitted by mikael1067 on

Naik kereta api, terutama yang menempuh perjalanan panjang, adalah sebuah perenungan tersendiri. Entah naik ekonomi, bisnis, eksekutif, sampai ngambing di sepur grenjeng

Menikmati perjalanan dengan kereta api, paling enak mengambil tempat duduk di dekat jendela. jadi kalau ingin duduk dekat jendela, pilih tiket bernomor tempat duduk A atau D.

Naik kereta api nggak perlu khawatir soal delay karena badai. Mau hujan badai, hujan petir, asal rel nggak terganggu, tetap aman.

Ketika kereta berjalan, maka dimulailah perjalanan penuh pengamatan. Pemandangan stasiun dan emplasemennya mulai berganti perlahan dan semakin cepat dengan pintu perlintasan kereta api atau pos jaga lintasan (PJL). di sinilah pengamatan dimulai. Kita bisa melihat ada orang yang naik sepeda, sepeda motor, mobil, becak, andong. Semuanya ngalah pada kereta api (kalau nggak mau ngalah, silahkan diadu). terkadang ada ambulan, mobil polisi, pemadam kebakaran,bahkan panser (ini saya temui di Jogja).

Ada yang menunggu dengan sabar. Ada yang menunggu dengan gelisah. Ada yang menunggu sambil melirik kiri kanannya. Ada yang bermesraan dengan pacar atau istrinya. Ada yang smsan. Ada yang marah2 nggak sabar (mungkin dah kebelet mau setor).

Yang khas dari pintu perlintasan adalah lambaian setia petugas PJL. Sebenarnya ini bukan lambaian biasa. Mereka menggantikan fungsi SEMBOYAN 1 (artinya: kereta api aman untuk melintas) dengan lambaian tangan kepada masinis. Sebenranya SEMBOYAN 1 harus dilakukan dengan mengacungkan sebilah tongkat berbentuk seperti lolipop dengan ujung lingkaran pipih berwarna putih. Tak apalah. Mungkin para petugas itu cukup lelah mengangkat tongkat SEMBOYAN 1 yang cukup berat.

Lalu pemandangan berganti dengan bagian belakang bangunan gedung-gedung atau rumah-rumah. Tidak seperti angkutan jalan raya yang hanya bisa melihat bagian depan bangunan, kereta api bisa melihat sisi lain sebuah bangunan yang megah: bagian belakangnya. Sebuah gedung yang megah atau rumah yang indah, tidak terlihat indah lagi tatkala bagian belakangnya hanyalah tembok kosong yang bahkan masih kasar karena tidak dicat.

Kereta api menampilkan sisi lain keindahan bangunan. Tak semuanya indah dari belakang. Hanya bangunan-bangunan tertentu yang memiliki dua sisi sama indahnya.

Pemandangan berubah lagi menjadi pemandangan sawah yang menghampar. Apabila kita melintas paska musim tanam, maka kita akan mendapati hamparan hijau. terkadang hamparan itu akan bergelombang layaknya air terkena angin. Terkadang kita mendapati hamparan sawah yang menguning yang siap dituai. terkadang pula kita mendapati hamparan tanah persawahan kosong, yang hanya menghitam dan mengkilap karena diairi.

Ketika kereta melintasi jembatan, kita bisa mendengarkan gema rel yang terpantul pada tiang-tiang jembatan. Pemandangan sungai pun terhampar dengan segala dinamikanya. Air sungai (ada yang tenang karena dalam, dan ad yang beriak karena dangkal) mengalir melewati batu-batu sungai yang menghitam.

(bersambung...)

 

 

Submitted by Andy Ryanto on Sat, 2011-05-28 13:11
Permalink

Tulisan yang sederhana tetapi cukup untuk membangkitan kenangan masa lalu.  Rasanya sudah lebih dari 10 rahun tidak pernah naik kereta api di Indonesia.  Terakhir naik kereta api sekitar 5 tahun yang lalu jurusan Guangzhou-Shenzhen-Guangzhou, walaupun bukan di Indonesia tetapi pengalamannya tidak jauh dari tulisan refleksi di atas.Ntah naik bus antar kota ataupun kereta api, jika melintasi rumah penduduk dan orang-orang desa, sering terlintas dalam pikiran apa yang mereka lakukan, bagaimana mereka hidup, bagaimana seandainya kita hidup seperti mereka.  Kadang ingin mencoba hidup seperti mereka, sepertinya simpel dan sederhana. Sekarang karena tuntutan tugas maka sering melakukan perjalanan dengan pesawat.  Dan tempat duduk favorit adalah dekat jendela yang jauh dari sayap.  Kalau udara cerah, terlihat jelas perkampungan di bawah sambil berimajinasi bagaimana kehidupan di sana, yang sepertinya jauh dari kehidupan modern, tanpa bb, internet, fb, twitter, gym, dsb.  Apalagi kalau melintasi daerah utara Nigeria yang merupakan padang pasir sub-sahara.Dan ketika sampai tujuan semua lamunan itu buyar...kembali ke kenyataan yang harus dihadapin sampai dengan perjalanan berikutnya lagi...  

Submitted by nobietea on Sat, 2011-05-28 13:15
Permalink

mesti yaa pake(Bukan Pijet Refleksi di atas Kereta Api) hahaha... kocak ! but.. ambil posisi disamping jendela merupakan kenikmatan yang tiadatara. apalagi viewnya bisa gantiganti dalam sekejab. dari sawah, rumah penduduk ampe pasar.

Submitted by mikael1067 on Sat, 2011-05-28 13:46
Permalink

@Andy Ryanto: wah, ente dimane, bro?Kalo kereta api bisa melihat bagian belakang bangunan, maka pesawat bisa melihat dari atas. Setiap perjalanan jauh pasti akan menghasilkan perenungan dan refleksi ketika kita mau diam dan mengamati sekitar kita yang terus bergerak. Refleksi pun berakhir ketika kita sampai dan kembali kepada realitas...@nobietea: *garuk2 meski ndak gatal...* =.=a

Submitted by Andy Ryanto on Mon, 2011-05-30 15:38

In reply to by mikael1067

Permalink

Ane ada di benua item, di Nigeria, di sini cuma sekali (mungkin 2-3 kali) lihat kereta api melintas di kota.  Setahuku hanya ada kereta api untuk jalur pendek, dan waktu melintas, ya ampun...itu kereta dan penumpangnya.....jauh..jauh lebih parah dari kereta ekonomi Indonesia yang paling jelek sekalipun.   Bersyukurlah untuk kereta api di tanah air.

Submitted by iik j on Sun, 2011-05-29 20:18
Permalink

wah... jadi ingat... kira2 entah berapa tahun lalu ya...bareng teman2  gereja kira2 15 orang naik kereta ekonomi semarang jakarta ongkosnya kalo ga salah per orang 15 rebuan. sebelumnya satu teman kasih nasehat kalo naik kereta ekonomi tuh kayak kita ga tidur semalaman di luar rumah, dan ternyata itu benar banget.mulai dari ayam, orang jualan 'spring bed' alias kertas koran <teriaknya 'spring bed.. spring bed... dipikir apaan ternyata koran.. wealaaahhh>, lemparan batu kena kaca, dsb,.. dll... hi hi hi... trus terpaksa 'ngempet pipis' karena ga ada tempat buat cwek pipis... karena kamar mandipun dipake duduk. kalo cwo sih enak.. kata mereka tinggal berdiri di ke pojokan... dan langsung beres. hi hi hi hi... <saru tenan>ehhhhh... sampe tujuan ternyata kepagian. masih jam 2 pagi <ga tahu kenapa kok cepet banget, biasanya telat>, karena ga tahu arah, dan penjemput belum datang, jadinya kami tidur di stasiun. terkapar gitu aja... untuk keamanan dibuatlah gaya tidur selang seling bebentuk lingkaran, cewek-cwok, cewek cwok... pengalaman yang aneh, dan mungkin tak akan terulang lagi selamanya... <serunya> 

Submitted by mikael1067 on Mon, 2011-05-30 07:42
Permalink

Wah, cerita yang saru eh, seru....heheheheKA Ekonomi itu sepurnya rakyat...=.=aYang biasa hidup melaratNaik KA sampai nyaris sekaratKarena pemerintah yang Ke..... 

Submitted by Purnawan Kristanto on Mon, 2011-05-30 11:48
Permalink

Pendeta di gereja saya jika pergi ke luar kota memilih naik KA Ekonomi daripada eksekutif. Alasannya karena bisa jajan yang ditawarkan pengasong di kereta.Kalau saya sih, mending keluar ongkos lebih mahal daripada badan sakit semua seperti habis digebukin satu detasemen hansip

Submitted by mikael1067 on Mon, 2011-05-30 12:00
Permalink

Hahahahaha. Keunggulan KA ekonomi adalah "pasar" berjalan, lengkap dengan pencopet dan preman.Naik KA ekonomi jarak jauh bagaikan orang masuk Gheeto NAZI. Kalo naik KA Eksekutif yang juru ACnya males nyetel AC bagaikan naik Kulkas berjalanNaik KA Ekonomi: belanja di pasar tradisionalNaik KA Bisnis: belanja di minimarket dekat rumahNaik KA eksekutif: masuk kulkas sendiri... :D 

Submitted by mikael1067 on Mon, 2011-05-30 15:51
Permalink

wah, kalo dibandingkan dengan sebagian besar KA di Afrika, kita masih harus bersyukur, KA Indonesia sedikit lebih baik. Buat catatan, infrastruktur KA Indonesia masih yang paling baik di ASEAN.NB: jadi misionaris, bro?

Submitted by Purnawan Kristanto on Mon, 2011-05-30 18:03
Permalink

Pernah dengar kaum PJKA (Pulang Jumat Kembali Ahad)?Beberapa orang asal Jawa Tengah yang bekerja di Jakarta punya tradisi pulang kampung setiap akhir pekan. Demi menyiasati biaya hidup, mereka ngekos di Jakarta dan meninggalkan keluarga di kampung.Mereka biasanya menggunakan kereta bisnis. Karena jumlahnya lumayan banyak dan sering bertemu dalam perjalanan, maka kaum PJKA ini kemudian membentuk komunitas. Tiap komunitas memiliki koordinator. Tugas koordinator adalah berhubungan dengan kondektur KA. Dengan berkelompok seperti ini mereka cukup membayar separuh harga. Sedangkan sang koordinator mendapat keuntungan dengan bisa naik kereta secara gratis.

Submitted by mikael1067 on Mon, 2011-05-30 20:37
Permalink

@om PK: setau saya, yang uademnya kaya kulkas tuh Taksaka. Kalo yang Argo rata2 ACnya stabilKomunitas yang Om PK maksudkan itu emang bernama PJKA. Saya sudah konfirmasi dengan Kahumas DAOPS VI YK. Tapi komunitas ini sudah lama tak terdengar kabarnya. mereka penglajo mingguan dengan menggunakan KA Senja UtamaYang sedang moncer sekarang sih KPJ (Komunitas Penglajo Joglosemar) dan Pramekers menggunakan Prameks

Submitted by Purnawan Kristanto on Mon, 2011-05-30 21:06

In reply to by mikael1067

Permalink

Komunitas "PJKA" masih ada kok. Ada beberapa sub kelompok. Ada yang PJKA Jogja, PJKA Klaten, PJKA Solo. Sebenarnya komunitas ini "illegal" karena tujuan mereka adalah naik kereta tanpa harus membeli karcis. Dalam bahasa lugasnya, mereka menyuap kondektur. Jadi kalau humas KAI mengakui eksistensi mereka, sebenarnya agak aneh juga. Itu artinya PT KAI sebenarnya mengetahui adanya praktik suap ini, tapi pura-pura tidak tahu.

Submitted by mikael1067 on Mon, 2011-05-30 21:18
Permalink

@om PK: wah, ternyata yang ilegal ya? atau itu komunitas lain? karena menurut penuturan Kahumas DAOPS VI, komunitas yang beliau ketahui itu malah memiliki badan hukum untuk mempermudah urusan dengan PT. KAI

Submitted by mikael1067 on Tue, 2011-05-31 07:41
Permalink

@Om PK: iya, Om, sepertinya kita membicarakan komunitas yang berbeda. Karena,para pecinta KA dan penglajo KA yang "bener" itu punya standar etika untuk membeli tiket, KPJ contohnya.