Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Jemaat: Jangan "Gagap Teologi"

abraham sitinjak's picture

JEMAAT: JANGAN “GAGAP TEOLOGI

Judul di atas bukan sebuah peringatan sensasional yang terlalu dibuat-buat. Faktanya berada tak jauh dari sekeliling kita. Bahkan dahulu Rasul Paulus sempat kecewa menghadapinya. Fakta-fakta tersebut teraplikasi dalam kehidupan jemaat dewasa ini, di mana mereka nampak sangat rentan dan kurang bergairah memenuhi tuntutan imannya. Terhadap fenomena itu maka tulisan ini mengajak kita mengamatinya dari dekat.

“Teologi” dan “Gagap Teologi”

Kita sering mendengar istilah ’teologi’ yang biasanya diungkapkan oleh mereka yang berkecimpung dalam lingkup akademi atau pelayanan gerejawi. Definisi kata ’teologi’ memang beragam, mulai dari yang sederhana sampai kepada definisi yang abstrak, teoritis dan filosofis. Namun dari setiap perbedaan itu memiliki prinsip dasar yang sama antara satu dengan lainnya. Secara harafiah kata ’teologi/theologia’ berasal dari dua kata Yunani, yaitu ‘theos‘ yang berarti Allah dan ‘logos’ yang berarti ’pengetahuan’, ’hikmat’ atau ’akal’, atau ‘lego’ (kata kerja) dapat diterjemahkan sebagai ’ucapan’, ’susunan’, ’berbicara’ (to lay, to arrange, to say). Jadi secara harafiah ‘teologi’ berarti: berbicara tentang Allah atau apa yang dipikirkan atau dikatakan tentang Allah. Bila seorang berkata: “Allah itu maha kuasa”, ”Allah itu ajaib” dan lain sebagainya, maka ia sedang berteologi. Dengan definisi seperti ini maka semua orang bisa berteologi dan berhak untuk itu.

Dalam iman Kristen ketika seseorang berteologi, maka yang menjadi sumber (wahyu) pengetahuan tentang Allah itu sendiri adalah Alkitab. Bila teologi dihubungkan dengan Alkitab maka teologi identik dengan pembelajaran Alkitab. Pembelajaran di sini mencakup bagaimana meyelidiki ayat-ayat Alkitab sehingga dapat ditemukan maksud ayat tersebut. Dalam penyelidikan itu diperlukan juga kemampuan menafsir ayat-ayat Alkitab atau yang dalam studi teologi disebut dengan “eksegese”. Namun dalam perkembangannya, pengertian yang benar dan utuh tentang kata ‘teologi’ mengalami pergeseran (distorsi) arti di tengah-tengah jemaat masa kini.

Bagi para pendeta kata “teologi” bukanlah suatu yang asing, tetapi bagi mereka yang merasa dirinya sebagai jemaat awam terasa kurang familiar di telinganya. Bagi mereka, ’teologi’ sering diidentikan dengan sesuatu yang sulit dan berat untuk dipahami, itu hanya mungkin untuk mereka yang berkiprah dalam lingkup akademis dan kaum intelektual saja. Ada pula yang memandang teologi dengan sinis dan menganggapnya sebagai ilmu yang menyimpang dari kebenaran Alkitab atau sekedar ajang permainan otak belaka, yang melahirkan filsafat kosong, dan berbagai statement lainnya. Tetapi apakah benar demikian? Asumsi ini mengawali kesalahan konsep tentang arti kata ’teologi’ yang sebenarnya. Bahkan telah memposisikan teologi (berteologi) sebagai kegiatan ekslusif yang tak mungkin dijangkau jemaat awam. Jemaat merasa tak perlu lagi menjadikan teologi sebagai bagian dari pembelajaran/pemuridan orang percaya. Lambat laun persepsi seperti ini hanyut dalam gelombang sejarah umat Tuhan di berbagai tempat di muka bumi.

Anggapan teologi sebagai “sesuatu yang sulit dijangkau”, ”bersifat akademis” dan lain sebagainya, telah mendarah daging di benak jemaat, yang pada akhirnya cenderung akan menjadikan jemaat yang alergi dengan teologi. Padahal sesungguhnya teologi tidak melulu terkait dengan predikat seperti itu. Kecenderungan-kecenderungan itu kelak akan membawa jemaat kepada suatu keadaan yang saya sebut “gagap teologi” (disingkat:gapteg). Istilah ini hanya sebuah plesetan dan belum terdaftar dalam khasanah bahasa Indonesia yang baku, namun dalam arti konotatifnya jelas, yaitu menunjuk kepada kondisi seseorang yang tidak banyak memahami pengetahuan tentang kebenaran firman Tuhan yang tertuang dalam ayat-ayat Alkitab. Termasuk juga di dalamnya ketidakmampuan untuk menyelidiki/menelaah Alkitab sendiri dengan baik.

Melihat Realitas, Menemukan Fakta

Fakta adanya jemaat yang ’gagap teologi’ bukan berita baru. Dalam realitas di lapangan kita masih melihat banyak sekali jemaat yang belum memiliki kemampuan untuk menelaah firman Tuhan secara baik dan benar. Ketergantungan mereka terhadap bantuan hamba-hamba Tuhan nampaknya masih sangat kuat. Session tanya jawab yang digelar di berbagai kesempatan nampaknya masih merupakan jembatan satu-satunya untuk mencari jawaban atas pertanyaan jemaat. Sungguh sangat memprihatinkan jika kita menjumpai ada banyak jemaat yang sebenarnya boleh dikatakan sudah cukup lama menjadi Kristen, lantas menanyakan apa yang semestinya tak perlu ditanyakan. Sebenarnya jika saja mereka mau belajar dengan rajin dan memiliki sedikit bekal untuk mengerti cara menyelidiki/menelaah ayat-ayat Alkitab, maka tak perlu lagi bertanya kepada hamba Tuhan. Dalam hal ini saya tidak mengingkari adanya ayat-ayat yang sulit dipahami oleh jemaat.

Hal yang mirip dialami juga oleh rasul Paulus ketika berhadapan dengan jemaat Ibrani. Suatu kali rasul Paulus mengeluh dan kecewa melihat keadaan jemaat Ibrani yang mengalami stagnasi dalam memahami firman Tuhan. Keluhan sekaligus teguran itu tercatat dalam kitab Ibrani pasal 5 ayat 12-13 yang bunyinya: “Sebab sekalipun kamu, ditinjau dari sudut waktu, sudah seharusnya menjadi pengajar, kamu masih perlu lagi diajarkan asas-asas pokok dari penyataan Allah, dan kamu masih memerlukan susu, bukan makanan keras. Sebab barangsiapa masih memerlukan susu ia tidak memahami ajaran tentang kebenaran, sebab ia adalah anak kecil”. Dalam mengantisipasi masalah ini maka Rasul Paulus mencoba menawarkan sebuah program belajar lanjutan (advanced) kepada mereka. Untuk itu dia berkata, “Sebab itu marilah kita tinggalkan asas-asas pertama dari ajaran tentang Kristus dan beralih kepada perkembangannya yang penuh. Janganlah kita meletakkan lagi dasar pertobatan dari perbuatan-perbuatan yang sia-sia, dan dasar kepercayaan kepada Allah, yaitu ajaran tentang pelbagai pembaptisan, penumpangan tangan, kebangkitan orang-orang mati dan hukuman kekal. Dan itulah yang akan kita perbuat, jika Allah mengizinkannya” (Ibr 6:1-2). Undangan atau himbauan ini tentu bukan berlaku bagi jemaat saat itu saja, melainkan bagi kita juga. Dengan kata lain Paulus mengajak semua jemaat dari berbagai generasi di seluruh dunia agar menjadi jemaat yang terus bertumbuh dalam pengenalan akan Tuhan dan memiliki kemampuan untuk menyelidiki Alkitab secara pribadi.

Di sinilah hamba-hamba Tuhan selaku pembimbing jemaat perlu menyoroti seberapa besar kesadaran jemaat akan pentingnya pembelajaran Alkitab secara pribadi yang menurut pandangan saya sampai hari ini masih belum maksimal dan jauh dari ideal. Saya masih melihat adanya sindrom yang telah berakar begitu kuat di kalangan jemaat. Nampaknya masih ada anggapan bahwa hamba Tuhan sajalah yang perlu mendalami Alkitab sedalam-dalamnya, sementara jemaat secara pasif menunggu apa yang mau disampaikan oleh hamba Tuhan itu. Ini menjadi sangat naif jika masih terus dibiarkan dalam kehidupan jemaat. Dampak yang akan dirasakan oleh gereja tentu bukan sepele. Kita perlu belajar dari sejarah kelam masa lalu di kalangan gereja Roma Katolik. Roma Katolik pernah menggoreskan kenangan kelabu bagi pertumbuhan iman jemaatnya. Pada tahun 1229 Council of Valencia, membuat keputusan yang menyatakan bahwa orang awam dilarang memiliki Alkitab. Yang boleh dimiliki hanyalah kitab Mazmur dan buku doa Roma Katolik, dan itupun harus dalam terjemahan bahasa Latin, yang jelas-jelas tidak dimiliki oleh jemaat awam karena memang belum dibuat terjemahannya. Keputusan ini telah melukai hati sebagian orang yang sungguh-sungguh ingin mencari kebenaran firman Tuhan dalam Alkitab. Alasan pelarangan itu disebabkan Roma tidak menyenangi pemahaman Alkitab baik untuk imam/pastor maupun untuk jemaat, karena mereka mendapatkan terlalu banyak hal di sana (dalam Alkitab) yang tidak cocok/sesuai dengan ajaran gereja mereka. Itulah sebabnya jika sekarang ada gereja Katolik atau seorang pastor yang menganjurkan jemaat biasa membaca Alkitab, sebetulnya itu adalah suatu penyimpangan dari ajaran Roma Katolik yang sesungguhnya (lihat dalam: ’Roman Catholicism', Loraine Boettner, Presbyterian and Reformed Publishing,New Jersey 1982 pada halaman 67-68).

Memang pristiwa ini sudah lama terjadi, tetapi kekuatan sindrom atau pengaruh yang dibiaskan kepada generasi sesudah itu adalah ”Adanya kecenderungan kuat bahwa penyelidikan/penelaahan ayat-ayat Alkitab hanya pantas dilakukan oleh kaum klerus (rohaniawan) saja”. Dalam perjalanan sejarah yang panjang, mungkin saja terjadi kristalisasi atas anggapan bahwa penyelidikan/penelaahan Alkitab itu tidak menjadi suatu yang mutlak bagi jemaat. Dalam reaksi yang lebih konkret dan relevan di masa sekarang, maka akan terdengar seruan ”Ah, itu kan’ tugas hamba-hamba Tuhan”, ”Saya hanya jemaat biasa lho!”, dan sebagainya. Dengan demikian mereka telah melepas tanggung jawabnya sebagai orang percaya yang seharusnya juga bertanggung jawab untuk menggumuli setiap kebenaran yang dipelajarinya setiap hari dari Alkitab. Jika ini dibiarkan maka sebagai akibatnya jemaat menjadi malas mempelajari Alkitab yang berbuntut pada rentannya iman jemaat terhadap resiko penyesatan.

Bernostalgia ke Jemaat Perdana

Benarkah penyelidikan/penelahan Alkitab hanya untuk kalangan hamba Tuhan saja? Jika kita kembali melihat sejarah jemaat yang perdana (mula-mula), maka kita akan menemukan adanya profil jemaat yang kritis dan mapan dalam penyelidikan Alkitab. Itu dapat kita lihat dalam Kisah Rasul 17:10-15, terlebih khusus pada ayat 11; “Orang-orang Yahudi di kota itu lebih baik hatinya dari pada orang-orang Yahudi di Tesalonika, karena mereka menerima firman itu dengan segala kerelaan hati dan setiap hari mereka menyelidiki Kitab Suci untuk mengetahui, apakah semuanya itu benar demikian.”

Dalam kisah ini kita dapat menemukan adanya jemaat yang kritis terhadap ajaran-ajaran yang pernah didengarnya. Mereka giat untuk menyelidiki Kitab Suci untuk mengetahuinya apakah itu benar demikian. Johan Albrecht Bengel pernah mengatakan bahwa ‘karakteristik agama yang sejati dan benar adalah agama yang terbuka untuk diteliti dan dianalisa, dan kemudian menuntut suatu hasil keputusan’. Pernyataan ini dibuat oleh Bengel pada tahun 1742. Namun kira-kira 17 abad sebelumnya, prinsip ini sudah diyakini oleh orang-orang Kristen yang berada di Berea. Firman Tuhan yang mereka terima dari pemberitaan Paulus tidak asal diterima begitu saja namun mereka menyelidiki firman Tuhan sendiri. Terlihat jelas bahwa mereka adalah jemaat yang terbuka kepada doktrin/ajaran namun tidak kepada indoktrinasi (sistem pengajaran yang bersifat sewenang-wenang dan menuntut penerimaan ajaran itu tanpa sikap kritis).

Dokter Lukas penulis kitab ini mencatat dengan jelas sekali bahwa jemaat di Berea ini setiap harinya menyelidiki Kitab Suci. Kitab suci yang dimaksud di sini adalah kitab Perjanjian Lama yang ditulis dalam bahasa Yunani (septuaginta) yang biasa disimpan di rumah-rumah sembahyang orang Yahudi (sinagoge). Tindakan jemaat di Berea merupakan teladan bagi semua jemaat yang mendengarkan pengkhotbah dan guru yang menguraikan ajaran Alkitab. Tidak ada satu penafsiran atau ajaran apapun yang harus diterima secara pasif. Sebaliknya, harus diperiksa secara cermat dengan menyelidiki Alkitab sendiri. Kata "menyelidiki" diterjemahkan dalam teks Yunani: ‘anakrino’ yang artinya ‘mengayak’, ‘memeriksa’, ‘menilai’, ‘menguji’, ‘menghakimi’, ‘menyelidiki dengan sangat teliti dan cermat’. Kata ‘menyelidiki’ yang dipakai di sini setara dengan sistem penyelidikan yang dipakai bidang hukum untuk menemukan kebenaran secara akurat. Mereka bersikap kritis untuk menemukan kebenaran yang utuh dan murni. Dan yang lebih menarik lagi mereka menyelidiki Kitab Sucinya setiap hari.Dalam konteks kehidupan bergereja sekarang ini, biasanya jemaat dianjurkan untuk membaca Alkitab dan renungan harian sebagai konsumsi setiap hari. Itu memang baik. Tetapi jika kita bandingkan dengan apa yang dilakukan oleh jemaat di Berea adalah hal yang berbeda. Kata ‘menyelidiki’ (anakrino) memiliki nilai yang lebih tinggi dari pada sekedar membaca Alkitab dan merenungkannya (kontemplasi).

Menyelidiki Kitab Suci (Alkitab) diperlukan ketelitian, kecermatan, bahkan kehausan akan kebenaran yang murni. Memang bukanlah hal yang mudah, selain perlu bimbingan Roh Kudus, juga memerlukan kemampuan menafsir ayat-ayat Alkitab dengan menggunakan kaidah-kaidah penafsiran yang benar. Jika kita kembali melihat konteks pada saat itu, maka faktor yang melatarbelakangi semangat jemaat untuk bertindak kritis terhadap setiap ajaran ialah karena banyaknya pengaruh pengajaran yang menyesatkan. Gnostik adalah salah satu agama yang banyak dianut orang Yunani dan merupakan tandingan bagi kekristenan pada masa itu. Jiwa kritis dan semangat “memburu kebenaran sejati” yang melekat pada jemaat di Berea merupakan suatu keunggulan tersendiri sehingga layak untuk menerima kualifikasi sebagai jemaat terbaik. Lukas penulis kitab ini memberikan perbandingan antara jemaat di Berea yang adalah lebih baik dibanding jemaat di Tesalonika yang telah menolak pemberitaan Paulus (13:51-52; Kis 17:1-9). Kata “lebih baik hatinya” (KJV: These were more noble) menggunakan teks Yunani: ’eugenesteroi’. Secara harfiah berarti ‘lebih baik’ atau ‘lebih mulia’. Tetapi di sini kata itu digunakan untuk menunjuk kepada suatu mutu pikiran dan hati, yaitu ketulusan (tidak dibuat-buat) untuk berkeinginan menguji kebenaran suatu doktrin yang telah didengar.

Masih dalam ayat yang sama juga dikatakan “karena mereka menerima firman itu dengan segala kerelaan hati”. Kalimat ini bisa merupakan sebuah alasan sehingga mereka disebutkan sebagai jemaat yang ‘lebih baik hatinya’, dan sekaligus merupakan penyebab sehingga mereka bersemangat untuk menyelidiki Kitab Suci guna mendapatkan kebenaran atau kepastian dari apa yang disampaikan oleh Paulus dan Silas saat itu. Sudah barang tentu bagi kita yang hidup sekarang dapat mempercayai pemberitaan Paulus dan Silas tanpa ragu. Tetapi jemaat pada saat itu benar-benar butuh peneguhan atau klarifikasi sehingga dapat memastikan bahwa suatu ajaran itu benar-benar tidak menyimpang dari Kitab Suci mereka. Mereka mulai mencocokan nubuat-nubuat dalam kitab Perjanjian Lama mengenai ke-Mesias-an Yesus Kristus seperti yang disampaikan oleh rasul Paulus dan Silas.

Ada dua hal yang membuat jemaat di Berea berbeda dari jemaat Tesalonika. Pertama, mereka menerima firman itu dengan segala kerelaan hati. Kedua, mereka menyelidiki Kitab Sucinya setiap hari. Inilah potret jemaat perdana yang pantas menerima acungan jempol dan patut diteladani. Korelasi fenomena jemaat di Berea dan jemaat modern saat ini berpangkal pada persamaannya dalam hal menghadapi pengaruh-pengaruh ajaran tidak sehat. Dalam ayat 13 ditulis; Tetapi ketika orang-orang Yahudi dari Tesalonika tahu, bahwa juga di Berea telah diberitakan firman Allah oleh Paulus, datang jugalah mereka ke sana menghasut dan menggelisahkan hati orang banyak. Keadaan yang digambarkan Lukas di sini benar-benar mengingatkan situasi gereja yang sedang kita hadapi sekarang. Kesimpangsiuran ajaran dan berbagai doktrin/ajaran tidak sehat semakin ’menggurita’ di dalam gereja. Berbagai modus penyesatan terselubung datang menghasut jemaat yang pada akhirnya menggeser kemurnian imannya. Tragisnya jemaat akan dibuat menjadi opurtunis dan egois, bukan menuruti kehendak Tuhan melainkan mengikuti hawa nafsunya saja. Bukan theosentris (berpusat pada Allah) tetapi antroposentris (berpusat pada manusia/diri sendiri). Tuhan dieksploitasi sedemikian rupa untuk memperoleh keuntungan pribadi. Begitu juga ayat-ayat Alkitab dimanipulasi demi maksud-maksud tertentu. Ini hanyalah sebagian kecil ciri-ciri dari penyesatan terselubung dalam gereja Tuhan (Sebaiknya baca buku : ”Penyesatan Terselubung Dalam Gereja” oleh Erastus Sabdono, penerbit: Sola Garcia Publisher).

Menemukan yang Ideal

Pesan penting dari eksegese teks Kis 17:11 di atas semakin meneguhkan kita untuk berpikir: “Perlu adanya kemapanan/kemandirian jemaat untuk memahami Alkitab secara pribadi agar jemaat kritis terhadap segala ajaran yang didengarnya”. Itulah sebabnya kualifikasi jemaat di Berea dapat dijadikan sebuah acuan sebagai jemaat ideal, yaitu jemaat yang siap mengahadapi situasi masa depan gereja di mana terdapat banyak sekali intrik-intrik penyesatan yang datang luar maupun dari dalam. Aplikasi gagasan ini bisa menjadi tindakan preventif-antisipatif terhadap resiko penyesatan. Bisa diprediksi bahwa resiko tertinggi berada di pihak jemaat. Beberapa tahun silam kita dikagetkan dengan berita bahwa ‘Saksi Yahova’ yang telah beberapa tahun lalu dilarang oleh pemerintah, kini diijinkan kembali keberadaanya di Indonesia. Pada 1976, Jaksa Agung pernah melarang aktivitas kelompok ini di Indonesia, namun pada tahun 2000 pelarangan itu dicabut kembali oleh presiden Abdurrahman Wahid. Saksi Yahova hanyalah salah satu dari sekian banyak bentuk penyesatan yang datang dari luar gereja.

Lebih berbahaya lagi jika penyesatan justru muncul dari mimbar gereja secara terselubung. Tentu kesiapan jemaat untuk membentengi diri sangat ditentukan oleh kemampuanya dalam menganalisa setiap doktrin/ajaran yang didengarnya. Untuk membedakan apakah seseorang membawa ajaran yang sehat atau tidak, harus menggunakan ukuran Firman Tuhan yang ditulis oleh Alkitab. Cara menilai penyesat tidaklah semata-mata hanya dengan melihat tabiat orang itu. Memang pada akhirnya kita dapat membedakan nabi palsu atau tidak tergantung dari “buahnya” (Mat 7:15-23). Namun dalam kondisi tertentu sangat perlu klarifikasi secepatnya sebelum terjebak lebih jauh ke dalam penyesatannya. Oleh sebab itu jemaat sebagai ‘sasaran tembak’ penyesatan tersebut, harus memiliki kemampuan untuk menganalisa ajaran tersebut serta menyelidiki di dalam Alkitab apakah ajaran yang didengarnya itu benar demikian. Di sinilah jemaat perlu memiliki kemapanan untuk memahami Alkitab secara pribadi. Hamba Tuhan (pendeta, gembala sidang) memang sebagai nara sumber pembelajaran teologis, tetapi tidak setiap waktu hamba Tuhan dapat mendampingi jemaat. Kecermatan dan kemampuan jemaat untuk menganalisa suatu ajaran, sangat menolong banyak bukan saja untuk menghadapi bahaya penyesatan tetapi juga bagi kedewasaan rohaninya.

Menantang Hari Esok

Dengan merenungkan uraian panjang lebar di atas, maka jemaat harus sadar dengan situasi yang sedang menimpa gereja-gereja hari-hari ini. Untuk itu jemaat tak boleh “gagap teologi”. Jika ingin mempunyai iman yang berintegritas seseorang haruslah sungguh-sungguh memahami apa yang ia yakini dengan keterbukaan dan dengan seluruh kemampuan berpikir kritis untuk ‘menguji’ seluruh kebenaran ajaran itu. Oleh sebab itu semangat untuk menyelidiki Alkitab secara pribadi perlu terus menerus dikembangkan dalam kehidupan setiap hari. Kritis terhadap setiap ajaran yang kita dengar akan membuat kita lebih giat menyelidiki Alkitab dan segala kebenarannya. Untuk itu diperlukan kemapanan/kemandirian untuk memahami Alkitab secara pribadi. Hamba Tuhan (pendeta, gembala sidang) memang sebagai nara sumber pembelajaran teologis, namun jemaat juga bertanggung jawab untuk memiliki kemapanan dalam penyelidikan/penelaahan Alkitab secara pribadi.

Demikian pula bagi hamba-hamba Tuhan agar selalu mengingatkan semuanya itu tanpa merasa jenuh. Khotbah yang Alkitabiah harus menjadikan setiap pendengarnya orang yang gemar belajar Firman Allah. Jika gereja di analogikan sebagai ”sekolah Alkitab” seperti yang pernah dikatakan oleh Peter Wagner, maka antara guru dan murid telah memiliki tugas dan tanggung jawabnya masing-masing. Hamba Tuhan (pendeta, Gembala Sidang, dll) yang adalah guru jemaat, harus dengan kesabaran terus membimbing jemaat dengan pengetahuan dan dan ajaran yang sehat. Demikian pula sebaliknya, jemaat dalam statusnya sebagai murid juga harus menjadi murid yang baik dengan rajin belajar dan mematuhi segala yang diperintahkan gurunya. Jika hubungan keduanya dilakukan dengan tulus maka akan lahir sebuah generasi yang tangguh siap menghadapi masa depan yang penuh tantangan. Soli Deo.

 

__________________

abraham sitinjak

jesusfreaks's picture

Salam kenal

Dear brother abraham, Salam kenal dalam kasih BAPA. Tulisan lo cukup menarik, dan harus didengungkan kepada khalayak ramai supaya gak GAPTEG (Baca gaptek) atau gagap teologi. Kenapa mereka GAPTEG, mungkin mereka perlu baca artikel gw ALKITAB TERLALU TIPIS - HIDUP TERLALU SINGKAT. Lo baca juga ya.

Jesus Freaks,

"Live X4J, die as a martyr"

__________________

Jesus Freaks,

"Live X4J, Die As A Martyr"

-SEMBAHLAH BAPA DALAM ROH KUDUS & DALAM YESUS KRISTUS-