Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Cinta Benada
Hening siang itu, terpecah oleh suara nada dering pesan singkat, yang masuk ke handphone Benada. Dengan segera ia membuka dan membacanya, bibirnya terkatup, dadanya bergemuruh.
Pesan singkat itu membuatnya kaget setengah mati.
“Adik yang namanya Benada ya?, saya Nunik, istrinya mas Damar” demikianlah isi pesan singkat yang baru saja masuk ke handphonenya.
Merasa tak percaya, tangan Benada dengan segera memencet nomor pengirim dan menghubungi handphone di seberang sana.
Tak lama kemudian, suara lembut seorang wanita dewasa pun terdengar, “Halo…”, Benada pun langsung menjawab “Halo, Maksud mbak apa?” pertanyaan itu dengan spontan keluar, tanpa ada basa-basi.
Suara di seberang pun menjawab dengan nada tenang, “Kenalkan, saya Nunik, istrinya mas Damar. Saya hanya ingin memastikan sesuatu, mudah-mudahan belum terlambat”, suara yang keluar dengan penuh santun dan hikmat itu, membuat Benada tidak jadi marah.
“Darimana mbak tau nomor hape saya?, terus Mas Damar?, saya harap semuanya hanya salah paham” kata Benada mencoba mengatakan sesuatu dengan pikiran positif, yang muncul tiba-tiba.
Masih dengan nada tenang, suara di seberang kembali menyahut “Saya juga berharap demikian, namun saya tidak yakin, bagaimana kalau kita bicarakan langsung, nanti malam saya tunggu di taman Belembes”. Benada langsung mengiyakan ajakan mbak Nunik, tanpa pikir panjang.
Setelah menerima telepon tersebut, Benada tidak lagi dapat mengerjakan pekerjaannya dengan konsentrasi. Ia hanya memikirkan, bagaimana jika isi pesan singkat yang dari tadi ia baca berulang-ulang itu benar. Mas Damar, pria yang selama ini telah merebut hatinya, ternyata sudah memiliki istri.
Namun sekali lagi, ia mencoba untuk berpikir positif tentang mas Damar. Ia masih yakin mas Damar adalah laki-laki yang setia.
***
Damar, laki-laki yang memiliki paras yang tidak terlalu enak untuk dipandang itu, membuat Benada sudah pernah beberapa kali menolak cintanya. Namun, Damar adalah laki-laki gigih, yang pantang menyerah. Di samping itu dia juga sosok laki-laki dewasa, yang kehidupannya mapan dan sangat perhatian. Kelebihan-kelebihan itulah yang membuat Benada gadis cuek tapi manis itu, meruntuhkan tembok pertahanan yang berdiri kokoh selama ini.
***
Menunggu waktu malam, rasanya sangat lambat. Benada tidak keonsentrasi dengan pekerjaannya, di kepalanya yang terlintas hanya Damar. Sudah puluhan kali ia mengirim pesan ke handphone Damar, namun pesannya tidak dibalas-balas juga. Ia akhirnya memutuskan menelpon Damar, meski mengetahui Damar tak akan menerima panggilannya pada waktu seperti ini, sesuai kesepakatan yang pernah diajukuan Damar.
Telepon tersambung, namun di seberang tidak juga ada jawaban. Beberapa kali kembali menghubungi, tak juga diangkat, Benada akhirnya menyerah dan memutuskan untuk menunggu saja, meski dalam kegelisahan yang tak pasti, karena ia juga tidak tau harus mencari Damar ke mana. Selama ini yang ia tau, Damar tinggal di daerah Sukadama, yang membutuhkan waktu 2 jam, dari rumahnya untuk tiba di sana.
Sore hari, akhirnya Damar menelpon Benada. Tanpa menunggu lama Benada langsung mengangkat telpon genggamnya. Pertanyaan yang dari tadi tersimpan di otaknya menyembur keluar, “mas Damar, aku butuh penjelasan, siapa itu Nunik??”, nada suara yang tinggi, karena marah.
Lama tak terdengar jawaban, “maksudmu, Nunik yang mana?”,
Pertanyaan di seberang terdengar seperti mengelak, mungkin sedang memikirkan jawaban yang cocok.
“ Mas, ngaku aja, mba Nunik itu, istri mas kan?”, suara Benada kian meninggi.
“siapa yang bilang?!!” suara dari seberang akhirnya ikut meninggi. Nada marah itu seperti tanda ketakutan.
“mas tidak perlu tau, mas hanya perlu menjawab, iya atau tidak, itu saja”, suara Benada kembali meminta kepastian.
Mas Damar yang sepertinya telah termakan emosi menjawab kembali dengan suara yang keras “tidak!!, siapa yang kasih tau kamu?, itu hanya omong kosong!”, suara itu benar-benar membuat Benada kaget.
Mas Damar yang ia kenal kalem, sabar dan dewasa, tak pernah disangka mampu mengeluarkan suara sedemikian rupa. Jawaban itu sepertinya memberikan sebuah titik terang mengenai kepribadian Damar yang belum pernah ia ketahui.
Kembali Benada menjawab “mas, tidak perlu tau, siapa yang memberi tahuku, itu tidak penting. Yang terpenting adalah kebenarannya, dan aku masih meragukan jawaban mas Damar”. Tiet…. sambungan ia putuskan dan langsung mematikan handphone.
Lama Benada terdiam dalam tangisnya, hatinya sakit, meski semuanya belum jelas kebenarannya.
Mungkin, ia akan segera mendapat jawaban dalam beberapa waktu ke depan, namun keraguan itu sudah terlanjur merasuki pikirannya, membuat kepalanya serasa ingin pecah saja.
****
Benada benar-benar tak habis pikir, mas Damar yang sudah mampu merebut hatinya itu, kini membuat hatinya hancur berkeping-keping.
Malam yang ia tunggupun tiba. Ia segera bersiap-siap berangkat ke tempat yang telah mba Nunik janjikan.
Tiba di taman Belembes, Benada langsung menghubungi nomor handphone mba Nunik untuk mengetahui keberadaan mba Nunik. Tanpa menunggu lama, tampak seorang wanita dewasa cantik melambainya dari kejauhan. Mba Nunik menyambutnya dengan senyuman persahabatan, namun Benada hanya mampu membalas dengan senyum hambar yang ia paksakan.
Kini Benada dan mbak Nunik telah duduk berhadapan, di bangku paling pojok, di taman itu. Suasana malam yang dingin membuat hati Benada bertambah miris menanti penjelasan dari mbak Nunik.
Lama Ia terdiam mencoba memperhatikan mbak Nunik, entah dari mana pikiran itu datang. Benada tiba-tiba saja memikirkan perasaan mbak Nunik, padahal dari tadi siang, yang ada di benaknya hanya kemarahan dan kesedihan terhadap Damar.
***
Kalau saja aku yang menjadi mbak Nunik, aku pasti akan mencabik-cabik wanita yang berani mengganggu suamiku. Demikian pikiran Benada saat itu, ketika membayangnya di posisi mbak Nunik. Namun berbeda dengan kenyataan sekarang, mbak Nunik adalah wanita tabah, sabar dan penuh wibawa. Benarkah ia tak sedih, bila perselingkuhan mas Damar adalah fakta.
Tak berapa lama, mbak Nunik pun membuka pembicaraan “Maaf dik, sudah berapa lama adik berhubungan dengan mas Damar?”, pertanyaan yang diucapkan dengan sangat hati-hati.
Ia kembali salut dengan nada suara mbak Nunik yang masih saja tenang itu. “mbak, aku baru tiga bulan menjalin hubungan dengan mas Damar”, “meski sudah beberapa kali aku tolak, mas Damar tetap kekeh jumekeh memperjuangkan keinginannya”, “itulah yang membuat aku akhirnya menerima dia”, “ia terlihat gigih, sabar dan dewasa, itu yang membuat aku terpikat padanya” , jelas Benada kepada mbak Nunik. Perasaan sedihnya membucah saat mengingat mas Damar kembali, namun ia tak ingin menangis di depan mbak Nunik.
Mendengar penjelasan itu, mbak Nunik masih terlihat tenang. “Hal yang sama” katanya, membuat Benada penasaran. “tapi saya harap semuanya belum terlambat”, katanya lagi, membuat Benada semakin penasaran.
Benada masih terdiam menunggu kalimat-kalimat mbak Nunik, tak ingin memotong pembicaraannya.
Perlahan Mbak mengambil handphone dari dalam tasnya, kemudian memperlihatkan foto mas Damar dan seorang anak kecil lucu, anak mereka.
Melihat itu, hati perasaab Benada kembali sedih bercampur marah, kebenciannya kini menjadi nyata kepada mas Damar.
Lama mereka saling berdiam diri, larut dengan pikiran dan perasaan masing-masing. Mungkin saja pikiran dan perasaan yang sama.
Mbak Nunik kembali membuka pembicaraan, “dahulu, hal yang sama juga dilakukan mas Damar kepadaku”, kata-kata itu kembali mengundang rasa penasaran Benada. “mas Damar, memang menyukai perempuan yang terlihat dingin pada laki-laki, karena dengan demikian ia pun merasa tertantang menaklukkan hati perempuan itu”, kalimat itu tetap saja tidak menjawab rasa penasaran Benada.
Kembali mbak Nunik bercerita “mas Damar, rela melakukan apa saja demi memenuhi keinginannya. Segala sesuatu ia anggap seperti pekerjaannya. Mencari tantangan, membuat target, kemudian mengusahakannya”. “mbak sama seperti kamu, awalnya mbak juga tidak pernah menyukai mas Damar, tapi karena kegigihannya ia akhirnya mampu meluluhkan hati mbak, yang sudah seperti tembok karena trauma terhadap mantan pacar mbak”
"Hubungan mbak dengan mas Damar pun akhirnya berlanjut pada pernikahan. Seiring berjalannya waktu, satu persatu rahasia mas Damar terbongkar."
"Seperti mbak mengetahui hubungan kamu melalui pesan singkat yang ada di handphone mas Damar, demikian pula mbak mengetahui hubungan mas Damar dengan wanita lain selain mbak."
“Awalnya mbak tidak percaya. Namun ketika mbak bertemu langsung dengan wanita lainnya mas Damar, mbak akhirnya sadar bila sudah tertipu. Dari wanita itu, mbak mengetahui sesuatu, sesuatu yang selama ini tidak pernah mbak sadari. Mas Damar yang terlihat begitu setia ternyata telah menjadikan mbak sebagai istri ketiganya.”
Benada terperanjat tanpa dapat berkata-kata, ia terlihat menarik nafas dalam-dalam, seperti tak membayangkan cerita yang baru saja ia dengar.
Airmata yang sejak dari tadi ia tahan, kini tak terbendung lagi, kebenciannya kepada laki-laki bernama Damar semakin bertambah.
“Mbak sudah terlajur seperti ini, terperangkap dan tak mampu berpikir untuk keluar”
“Sekarang, terserah dengan dik Benada” lanjut mbak Nunik lagi.
***
Dalam keheningan malam, kembali aku duduk di sudut kamar, seperti kebiasaanku bila harus merenung. Setelah sekian lama aku tak melakukannya lagi.
Kembali aku teringat semua hal yang pernah aku dan mas Damar lewati, semua itu membuat hatiku hancur. Semakin aku memikirkannya, semakin aku merasa tersiksa.
Untuk menumpahkan semuanya, aku mengambil selembar kertas dan menuliskan semua kekecewaanku di sana. Dalam waktu tak beberapa lama lembaran kertas itu telah penuh dengan coretan dan airmataku.
Dengan perasaan sedikit berat, aku berusaha melepaskan semuanya, sambil membakar kertas coretan itu.
Namun setelah akhirnya tangisku terhenti dengan padamnya api yang membakar kertas, ada perasaan tenang yang melingkupiku. Aku telah melepaskan semuanya dan mengganggap diriku sangat beruntung, karena tidak sempat terjebak oleh lelaki buaya itu.
Mataku yang dari tadi tak dapat terpejam, kini terasa berat. Sudah waktunya untukku beristirahat dan menikmati mimpi kebebasanku.
Namun belum lama aku memejamkan mata, handphoneku berdering. Melihat nickname "pls reject" yang tertera di sana, aku hanya diam, tak ingin menerimanya.
Nickname yang sengaja aku ganti, tanpa ingin menghapusnya.
Biar aku selalu ingat aku bukan Benada yang pernah Damar kenal. Biar aku selalu ingat untuk berhati-hati melangkah agar tak bertemu dengan Damar-damar lainnya.
Lakukan segala sesuatu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia ...
- ely's blog
- Login to post comments
- 4312 reads
sudut pandang
Ely, pada awal tulisan, kamu memakai sudut pandang orang ketiga untuk menceritakan kisah Benada, di mana kamu menjadi penulis yang tahu segalanya tentang Benada. Tetapi di tengah-tengah kamu mengubahnya menjadi sudut pandang orang pertama, di mana tokoh "aku"-lah yang bertindak sebagai Benada.
@Rya, Salah ya??
Lakukan segala sesuatu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia ...
cuma merasa aneh
Aku tak bilang salah, hanya merasa "kaget" waktu membacanya, ternyata Benada = aku.
Aku pernah membaca tulisan yang di awal memakai "ia", tetapi di akhir memakai "aku". Tapi pada cerita itu, "ia" dan "aku" bukan orang yang sama.
Wah, banyak pakar menulis di sini, lebih baik tanya mereka saja
Ely, Rya lari berkelit
Ely menulis,
Dan lagi sebenarnya, saya ingin mencoba belajar mengganti kata ganti orang ketiga menjadi orang pertama. Saya pernah membaca cerita yang demikian, hanya saja lupa bagaimana pengalihannya.
Rya menulis,
Aku pernah membaca tulisan yang di awal memakai "ia", tetapi di akhir memakai "aku". Tapi pada cerita itu, "ia" dan "aku" bukan orang yang sama.
Merubah kata “ia” menjadi “aku” boleh-boleh saja Ely lakukan kapan saja karena itu cerita Ely. Tetapi supaya pembaca tidak bingung, berilah tanda sebelumnya kalau Ely mau ganti trayek. Misalnya, berilah spasi yang agak lebar sehingga bagian “ia” terpisah jauh dari cerita “aku”. Bisa juga spasi ini diganti dengan tanda pemisahan, misalnya “ – o – “ (ini cara yang sering saya pergunakan).
Menurut saya, lebih baik dalam “Cinta Benada” seluruhnya mempergunakan kata “ia” kemudian setelah memberi tanda pemisah atau spasi agak lebar, buatlah alinea baru dengan kata “aku”. Misalnya saja,
Menjelang jam kerja berakhir, hapeku bergetar. Di layar monitor tertulis “Pls reject”. Masih juga rasa nyeri merayapi dadaku membaca nickname penelepon itu. Masih juga rasa marah meletik-letik dalam kepalaku walaupun nickname itu aku tulis 4 bulan yang lalu sebagai pengganti nama Damar.
Aku menekan tombol reject. Setelah peristiwa itu aku mengganti nama Damar dengan “Pls reject”. Aku tidak menghapusnya dari phonebook-ku. Biar aku selalu ingat aku bukan Benada yang pernah Damar kenal. Biar aku selalu ingat untuk berhati-hati melangkah agar tak bertemu dengan Damar-damar lainnya.
Mungkin contoh di atas menjelaskan keterangan Rya bahwa “ia” dan “aku” bukan orang yang sama, karena “ia” mewakili diri masa lalu dan “aku” mewakili diri masa kini (dalam Cinta Benada “ia” dan “aku” berada dalam dimensi waktu yang sama), seperti halnya yang dilakukan oleh seorang blogger di blognya yang pernah kita baca sama-sama, yang muncul melenggang tenang di tengah hiruk-pikuknya pibu para blogger dalam sebuah kejuaraan. Saya kutipkan bagian penutupnya untuk menyimak cara pengalihan yang ia pergunakan. Jika mau baca selengkapnya klik di sini.
Jojo tertawa terbahak-bahak. Jari telunjuknya mengetuk-ngetuk dahi si bungsu. “Bapak tidak mau kamu memberikan pakaian yang kamu pakai karena Bapak tidak mau kamu pulang sekolah naik metromini tidak pakai baju.”
Secepat kilat si bungsu meraih telunjuk bapaknya dan memasukkan ke dalam mulutnya. Bapaknya menjerit. Ganti si bungsu tertawa terpingkal-pingkal dengan pipi yang masih basah dengan air mata.
Suara langkah kaki terdengar di belakangku. Ada tangan yang diletakkan di bahuku.
“Kangen sama Bapak?”
Aku meletakkan kembali foto itu di meja. Foto kami sekeluarga di depan rumah baru ini dibuat oleh seorang tukang foto keliling. Biarpun hanya foto hitam putih, aku tidak ingin foto ini jauh dari diriku. Aku harus berkelahi dengan kedua kakakku yang ingin membawa foto ini ketika mereka berkeluarga. Mereka harus puas dengan duplikatnya yang aku buat dengan mesin scanner.
Aku mengangguk.
Tangan Ibu lembut meremas bahuku.
Ely, saya senang membaca cerpen-cerpen kamu. Dalam Luat Ely sabar merajut emosi sepanjang kisah. Ely pintar membuat pembaca penasaran dengan memotongnya setelah menarik emosi penonton ke puncak. Seperti gaya sinetron bersambung saja. Sebentar lagi Ely bisa berpasangan dengan AP sebagai sepasang pendekar cerpen dari Borneo.
Ely bereksperimen waktu menulis tentang kepiting di sungaimu yang menghilang karena datangnya binatang-binatang raksasa sementara AP lebih parah karena kehilangan danaunya.
Eksperimen kembali berulang pada Cinta Benada. Ketika Ely berpikir “Rya, aku salah ya?” saya berpikir “Ely, kamu penulis yang berani mencoba hal baru”. Tetapi dalam bereksperimen jangan meninggalkan ketrampilan yang telah Ely miliki. Jangan mengejar setoran, kata supir angkot.
Cinta Benada, yang temanya memang populer, bila dikerjakan dengan cara yang sama seperti waktu Ely mengerjakan Luat, di mana narasi tentang perasaan dan suasana lebih dirinci, pasti jadi cerita yang jauh lebih memikat.
Sebelum saya mohon diri, mari kita diskusikan ucapan Rya, “Wah, banyak pakar menulis di sini, lebih baik tanya mereka saja.” Hati-hati Ely, dia lari berkelit. Simaklah “Suwung”nya maka Ely tahu dialah orang yang seharusnya menjawab pertanyaanmu. Cuma saja ia lari karena kuatir Ely sensi.
Saya menyenangi, sangat menyenangi “Suwung” sehingga menyimpannya dalam folder khusus. Rya tidak menceritakan siapa si “aku” itu sehingga kita bisa memproyeksikan diri ke dalamnya. “Aku” bisa seorang pengasuh, ibu, isteri atau kekasih yang dicuekin. Nah, jelas bukan kalau Rya ini memang pakarnya “aku” ?
Jadi, bagaimana kalau Ely mengontrak Rya untuk membuat ulasan setiap blog Ely muncul? Biar aman, ulasannya dikirim lewat PM.
Teruslah bereksperimen Ely.
GBU.
@Purnomo, memang bagus.
Lakukan segala sesuatu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia ...
@ely, pancingannya kena
Berkelit? Tau aja! Tapi pancingannya kena, El. Purnomo langsung menanggapi dengan serius. Setahuku, beliau ini orangnya teliti, jadi bersyukurlah mendapatkan komentar sekaligus saran2nya. Aku tak bisa berkomentar sedetail itu. Mungkin nanti kalau ada komentar lain, lewat PM aja kali, hehe...
Puisi perdana di SS? Bukan yang itu, non. Itu yang kedua kalau nggak salah.
@Purnomo, terima kasih sudah menyenangi puisiku. Itu sangat sederhana, tetapi Anda justru menyenanginya.
@3m1...ceritanya keren...
Syalom 3m1, wah ceritamu lumayan keren lho.....dari kalimat awal aku jadi penasaran pengen baca selanjutnya. Setelah masuk selanjutnya, e...pengen selanjutnya lagi.. Bagiku ceritamu sukses tu... di sesi2 terakhir aku juga terperanjat seperti Benada koq..... Btw ada cowo yang begitu gak ya didunia ini? hehehehe.....
-GBU-
@3m1, itulah hidup
Salah satu dari bermilyar kisah hidup manusia ya... aku juga mo cerita di sini ah...
Suatu hari, tahun 1999 seorang teman main ke rumah kakekku. Sambil memperhatikan foto-foto yang tergantung di rumah itu dia dengan entengnya bertanya, "Ini siapa?"
Aku menjawab, "Itu ayahku, tapi lama sekali kami tidak pernah bertemu. Memangnya kamu kenal dia?"
Dia menjawab, "Lho dia kan suami dari bibiku yang ada di ndeso seberang sana"
YAKKKKK!!! Aku terkaget-kaget luar biasa.. astaganaga!!!!
Tapi dengan kalem akhirnya kujawab dengan cengiran, "He he he.. selamat dong.. berarti kita bersaudara"
Setelah itu baru aku tahu, kalau itu benar. Dan bibi temanku itu ternyata istri ke-empat ayahku. Walllaaaaaaaaaaaaaaahhhhh....
For to me to live is Christ, and to die is gain.
@lonely girl, @mba ik
Lakukan segala sesuatu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia ...