Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Retmen

victorc's picture
Teks: Matius 18:10
"Ingatlah, jangan menganggap rendah seorang dari anak-anak kecil ini. Karena Aku berkata kepadamu: Ada malaikat mereka di sorga yang selalu memandang wajah Bapa-Ku yang di sorga."

Shalom, selamat pagi saudaraku. Jumat yang lalu (29/7) kami dan rombongan dari tim kespel serta beberapa pemuda pergi berkunjung ke dua rumah rehabilitasi untuk anak-anak yang mengalami keterbelakangan mental. Yang satu terletak di kecamatan Donomulyo, Malang selatan, tapi nama tempatnya saya lupa (kalau tidak salah Bhakti Mulya). Yang satu lagi bernama Rumah Rehabilitasi Santa Theresia di Kecamatan Mojorejo, Kabupaten Blitar.
Perjalanan kami tempuh dari kota sekitar 2,5 jam, namun jalanan lumayan terawat sehingga tidak terlalu melelahkan. 
Ketika saya berangkat, saya pikir itu rumah panti asuhan biasa, namun ternyata tempat yang kami kunjungi adalah tempat rehab anak-anak yang terhambat mentalnya. Ada beberapa anak yang masuk kategori retmen (retarded mental) dan ada juga seorang anak yang menderita Down Syndrome. 
Saya merasa terharu dan tidak sanggup berkata apa-apa melihat kondisi anak-anak tersebut, apalagi ada seorang anak berusia sekitar 7 tahun yang mendekati beberapa orang termasuk saya dan minta digendong. Pengurus panti mengatakan bahwa dia tidak punya orangtua, sehingga agak manja minta digendong jika ada orang dewasa yang datang berkunjung.

Tuan rumah
Di rumah rehabilitasi yang kedua, anak-anak asuhan tidak terlalu banyak. Kami disambut oleh Suster Betty yang telah melayani di situ selama 9 tahun. Yang membuat kami lebih terharu adalah Suster Betty mengatakan antara lain bahwa mereka hanyalah pengurus di situ dan sewaktu-waktu bisa dimutasi, sementara "tuan rumah" di situ adalah anak-anak retmen tersebut. Sungguh sikap hati seorang pelayan yang sangat rendah hati!
Dalam doa, Suster Betty juga mengatakan sebagai berikut: "Terimakasih atas lawatan-Mu hari ini, Tuhan Yesus." Kami sungguh tidak menyangka bahwa Suster Betty menganggap kami sebagai Tuhan Yesus sendiri yang sedang melawat mereka.
Dalam perjalanan pulang, saya dan seorang rekan pelayan mendiskusikan pernyataan   Suster Betty tersebut: apakah kami benar-benar layak mewakili Tuhan Yesus? Sepertinya kami sama sekali tidak layak, namun toh perkataan Suster Betty itu menggugah kami bahwa ketika berkunjung ke rumah rehabilitasi itu kami sedang menjadi perpanjangan tangan dari Tuhan sendiri.
Kami juga mendiskusikan perkataan Suster Betty tentang tuan rumah. Jadi bagi Suster Betty, ia hanyalah pelayan yang bisa digantikan, namun anak-anak itulah tuan yang memiliki rumah rehabilitasi tersebut. Anak-anak itulah yang layak diprioritaskan.

Refleksi
Dalam konteks ini, saya jadi teringat akan sebiah artikel di jurnal Indonesian Theology yang membahas teologi disabilitas.(1) Memang topik ini masih jarang dibahas di Indonesia, meskipun menurut laporan jumlah penyandang disabilitas intelektual adalah sekitar 2,45% dari total penduduk Indonesia. Bahkan istilah keterbelakangan mental masih sering digunakan (retmen), dan hal ini menjadi stigma seumur hidup bagi para penderita tersebut. 
Mungkin istilah yang tidak berkonotasi stigma adalah disabilitas intelektual atau difabilitas intelektual. ("Diffable" dianggap lebih sopan dibandingkan "disable." Diffable": different ability).
Meskipun literatur tentang disabilitas intelektual cukup banyak (2), namun hanya ada sangat sedikit buku yang membahas hubungan antara disabilitas (intelektual) dan studi biblika (3)(4). Apalagi dalam bahasa Indonesia, buku-buku tentang topik ini boleh dibilang belum ada. Hal ini kiranya menunjukkan bahwa topik disabilitas (intelektual) belum memperoleh perhatian yang cukup dari para teolog dan rohaniawan di negeri ini. Misalnya, bagaimana memahami perkembangan psikologis maupun spiritual dari para penderita disabilitas intelektual tersebut? Bolehkah mereka dibaptis sidi? Dst.

Penutup
Sungguh kami belajar sesuatu dari kunjungan kami ke dua rumah rehabilitasi tersebut, bahwa kami mesti lebih banyak berkarya menjadi perwujudan kasih Allah kepada siapapun yang menderita, khususnya anak-anak yang sering terlupakan.

Bagaimana dengan Anda?

Versi 1.0: 1 Agustus 2016, pk. 12.01, versi 1.1: 2 Agustus 2016, pk. 1:08
VC

Referensi:
(1) Isabela Novsima Sinulingga. Keindahan dalam disabilitas. Indonesian Journal of Theology 3/1 (July 2015). Url: https://journalteologi.files.wordpress.com/2015/09/02-ijt-3-1-keindahandalamdisabilitas2.pdf
(2) David Race. Intellectual Disability: Social Approaches. Berkshire: Open University Press, 2007.
(3) Hector Avalos et al. This abled body: Rethinking disabilities in biblical studies. Atlanta: Society of Biblical Literature, 2007.
(4) Saul M. Olyan. Disability in Hebrew Bible: Interpreting Mental and Physical Differences. Cambridge: Cambridge University Press, 2008.
__________________

Dari seorang hamba Yesus Kristus (Lih. Lukas 17:10)

"we were born of the Light"

Prepare for the Second Coming of Jesus Christ:

http://bit.ly/ApocalypseTV

visit also:

http://sttsati.academia.edu/VChristianto


http://bit.ly/infobatique