Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Psikologi : Dualisme Manusia

jesusfreaks's picture

dualism

Psikologi...

Sebuah kata yang mungkin hanya familiar dikalangan akademisi saja, atau lebih mengerucut lagi hanya dikalangan mahasiswa fakultas psikologi saja.

Secara Etimologi, Psikologi diambil dari bahasa Yunani, dari kata psyche yang berarti jiwa dan logos yang berarti ilmu. Sehingga terminologi sederhananya, psikologi berarti ilmu tentang jiwa. Jiwa yang dimaksud dalam artikel ini adalah jiwa manusia.

Seberapa penting psikologi ini bagi kita, ya tergantung kita saja. Bisa untuk sekedar pengetahuan saja (teoritis), bisa juga untuk menyelesaikan masalah (praktis). Banyak profesi yang membutuhkan latar belakang terapan psikologi, seperti Psikolog / Psikiater, Personalia, Konselor, Trainer/Motivator, Pekerja Sosial, dan lain sebagainya. Psikologi juga sebenarnya tanpa disadari digunakan dalam kehidupan sehari hari, khususnya saat kita berinteraksi dengan orang lain, dan berusaha membaca maksud dan tujuan orang tersebut. Misal ketika berkenalan, atau ada orang asing bertamu, atau ketika menjalin suatu hubungan, atau ketika menawarkan suatu produk, atau ketika mendidik anak dan banyak hal lainnya.

Jiwa manusia itu unik sehingga manusia satu BERBEDA dengan manusia lain. Di Dunia ini ada sekitar 7 milyar manusia, maka ada 7 milyar juga perbedaan jiwa manusia. Jiwa manusia itu juga kompleks, sehingga tidaklah mudah memahami tindak tanduk seseorang. Bahkan hingga saat ini apa yang dimaksud dengan jiwa masih abstrak.

Apakah dan bagaimanakah jiwa itu sebenarnya ?

Apakah setiap perilaku manusia ada hubungannya dengan jiwa ?

Apakah jiwa itu sama dengan insting ? sama dengan naluri ? sama dengan akal pikiran ? sama dengan emosi ? sama dengan sifat ? sama dengan kepribadian ?

Dan masih banyak pertanyaan pertanyaan lainnya tentang apa itu jiwa, yang berusaha diungkap oleh para ahli atau akademisi dibidang psikologi.

Ada banyak tokoh yang memberikan kontribusi terhadap perkembangan psikologi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dari zaman klasik hingga zaman modern. Dari Socrates hingga Wilhelm Wundt.

Menurut Socrates, jiwa manusia bukan sekedar nyawa, jiwa adalah intisari manusia. Sama seperti tubuh yang bisa dipuaskan, demikian juga jiwa seharusnya dipuaskan bahkan melebihi tubuh.

Descartes yang ungkapan terkenalnya, “corgito ergo sum”, membuat ide Cartesian Dualism, yang menyatakan 2 elemen manusia, yaitu tubuh dan jiwa. Dimana tubuh memiliki mekanisme sendiri seperti yang terjadi pada hewan, namun pada manusia tubuh bisa tunduk kepada perintah jiwa.

Wilhelm Wundt, menjadi bapak psikologi modern, yang mendirikan laboratorium formal pertama untuk riset psikologi, dengan karya tulisnyanya Principles of Physiological Psychology yang terminologinya, prinsip fisiologis psikologi. Wundt memberikan gambaran bahwa sama seperti tubuh (fisiologis), jiwapun berupa rangkaian elemen yang terstruktur. Sebagaimana tubuh dengan anggota anggota tubuhnya, demikian juga jiwa. Sebagaimana mekanisme yang terjadi dalam tubuh, demikian juga ada mekanisme yang terjadi dalam jiwa. Sedikit berbeda dengan Cartesian Dualism Descartes, Wundt menggunakan ‘prinsip pararelisme psikofisikal’, yaitu satu bentuk dualism dimana tubuh dan jiwa merupakan dua elemen yang terpisah satu sama lain tanpa ada interaksi diantara keduanya; tetapi pararel satu sama lain sedemikian rupa, sehingga untuk setiap kejadian didalam jiwa selalu akan terdapat peristiwa yang cocok dan sesuai di dalam tubuh. Wundt mengeksplorasi jiwa dalam level sadar (Conscious)

Sigmund Freud, yang dikenal sebagai bapak psikoanalisa, salah satu sumbangsihnya adalah tentang Struktur dinamika kepribadian manusia berdasarkan tingkat kesadaran : Sadar (Conscious), Pra-sadar (Preconscious), dan Tidak Sadar (Unconscious). Selain itu Freud juga kembali membagi struktur dinamika kepribadian manusia kedalam 3 aspek, yaitu ID (aspek tubuh/biologis), EGO (aspek akal/rasional), dan SUPER EGO (aspek jiwa/sosiologis). Freud mensinergikan kedua struktur tersebut untuk semakin memberikan pemahaman terhadap dinamika kepribadian manusia. konsep ID (aspek tubuh/biologis) hanya berada pada level Tidak Sadar (unconscious), sedangkan konsep EGO (aspek akal/rasional) bisa berada pada level Sadar dan Pra-sadar, dan konsep SUPER EGO (aspek jiwa/sosiologis) bisa berada pada semua level kesadaran.

Beragamnya karya psikologi kembali menegaskan bahwa jiwa manusia itu unik dan akan selalu unik, satu dengan lainnya berbeda. Jiwa manusia itu abstrak dan akan selalu abstrak, selalu berubah rubah bentuk, sulit melihatnya kedalam satu bentuk yang konsisten.

Pembagian sederhana manusia terdiri dari 2 unsur yaitu tubuh dan jiwa. Yang biologis dan yang abstrak. Walaupun unsur biologis manusia mungkin bisa dibuat pembagian tersendiri, dan unsur abstrak manusia juga bisa dibuat pembagian tersendiri. Jika tubuh itu adalah seluruh unsur biologis yang kelihatan pada manusia, seperti mata, mulut, telinga, tangan, kaki, darah, tulang, dan sebagainya. Sedangkan jiwa itu adalah seluruh unsur abstrak yang tidak kelihatan pada manusia. seperti insting, naluri, emosi, akal pikiran, kepribadian dan lain sebagainya.

Karya karya psikologi berusaha mengungkap hubungan tubuh (unsur biologis) dengan jiwa (unsur abstrak). Tubuh dan jiwa manusia itu monoisme sekaligus juga dualisme, serangkaian sekaligus juga pararel, bisa berjalan sendiri sendiri, bisa juga saling bersinergi. Tubuh dan jiwa bisa memuaskan dirinya masing masing, bisa juga saling memanfaatkan satu sama lain untuk memuaskan dirinya masing masing.

Apakah lapar atau haus itu milik tubuh atau milik jiwa ? Apakah lapar atau ‘rasa’ lapar itu sama ? Apakah lapar atau haus itu mekanisme tubuh, sedangkan ‘rasa’ lapar dan ‘rasa’ haus adalah mekanisme jiwa ? Mungkinkah pemahaman ini bisa memberikan pencerahan terhadap kehidupan manusia. Dimana ketika manusia itu terluka, dia bisa saja tidak merasakan sakit. Seperti orang yang dibedah lalu dibius agar tidak merasakan sakit. Artinya bisa saja manusia dibedah tapi tidak di bius dan tidak merasakan sakit, ketika dia mampu memisahkan mekanisme tubuh dengan mekanisme jiwa.

Bagaimana dengan Cinta atau Benci ? apakah itu hanya sebuah rasa ?, dimana rasa itu hanyalah milik jiwa saja. Lalu bagaimana kita bisa tahu itu cinta atau benci tanpa diekpsresikan oleh tubuh. Bisakah kita tahu atau merasakan cinta tanpa mulut berkata kata gombal, tanpa telinga mendengar rayuan, tanpa berpegangan tangan, tanpa tubuh saling berpelukan, murni hanya jiwa dengan jiwa saja ?

Mungkin rumit mempelajari dan menerapkan psikologi dalam interaksi dengan orang lain, tapi bisa dicoba dengan melakukan eksperimen terhadap diri sendiri. Bagaimana kita memegang kendali penuh terhadap tubuh dan jiwa.

Ketika lapar, haus ataupun sedang birahi semurni mungkin biarkan saja mekanisme tubuh yang bekerja. Abaikan perasaan, jangan makan atau minum atau birahi selama masih ada rasa. Kalaupun makan, minum atau birahi cobalah penuhi dengan ala kadarnya, jangan ditambahkan dengan suatu pemikiran atau keinginan. Misal saat lapar yang ada hanya nasi ya makan nasi saja, misal haus yang ada air putih saja, ya minum air putih saja. Misal saat birahi kalau ada pasangan ya pasangan saja, kalau tidak ada ya biarkan saja sampai mimpi basah, karena demikianlah mekanisme tubuh bekerja.

Masih soal tubuh, bagaimana dengan rasa sakit, sakit kepala, sakit maag ataupun sakit lainnya, biarkan mekanisme tubuh yang bekerja, mulut tidak perlu berteriak ataupun mengerang, pikiran juga tidak perlu ikut merasakan “rasa” sakit itu. Biarkan tubuh menghadapi masalahnya sendiri.

Soal jiwa ini yang agak sedikit sulit eksperimennya, jikalau tidak melibatkan tubuh, artinya ketika gembira, sedih, senang, marah semuanya itu hanya ada dalam pikiran, perasaan dan angan angan saja. Tidak perlu di ekspresikan dalam kata kata ataupun tindakan. Mengeksplorasi jiwa hanya dalam pikiran, perasaan, dan angan angan saja. Lalu apa gunanya jikalau tidak diekspresikan, well sejauh ini itulah yang dilakukan para filsuf, juga yang dilakukan oleh orang orang yang mencari cari keberadaan Tuhan. Yang pada akhirnya mereka menuangkan atau mengekspresikan hasil eksplorasi jiwanya ke dalam kata kata dan ataupun tulisan tulisan.

Perlunya eksperimen membedakan kebutuhan tubuh dan kebutuhan jiwa, maka dalam pemuasannyapun semurni mungkin tidak tumpang tindih. Tubuh bisa terluka tapi jiwa atau pikiran tidak perlu sakit. Pikiran dan jiwa bisa bebas dan liar tapi tidak keharusan diekpresikan lewat tubuh.

Pemisahan mekanisme tubuh dan jiwa ini mungkin bisa memecahkan masalah.

Seperti kecanduan rokok ataupun kecanduan narkoba ataupun kecanduan lainnya yang merupakan kecanduan tubuh. Kecanduan bisa dihilangkan atau bisa disembuhkan secara total dan saat itu juga. Karena kecanduan bisa saja diciptakan oleh jiwa sedangkan tubuh itu sebenarnya menolak. Misal kecanduan rokok, mekanisme tubuh secara alami menolak zat asing yang masuk melalui rokok, tapi kenapa orang bisa menikmatinya bahkan ketergantungan, itu bisa terjadi karena jiwa menerimanya. Makan atau minum berlebihan saja, pasti mekanisme tubuh tidak akan mengizinkannya, malah memaksanya untuk dikeluarkan lagi.

Begitu pula dengan stress dan marah yang membuat orang stroke atau darah tinggi atau membuat pencernaan tubuhnya terganggu, mungkin hal ini tidak perlu terjadi jikalau seseorang itu memahami psikologi, artinya kembali lagi jangan biarkan tubuh dan jiwa saling mendominasi. Harusnya ketika seseorang stress dan marah, jangan biarkan tubuh ikut merasakannya, biarlah stress dan marah itu menjadi pergumulan jiwa saja. Jangan gara gara stress dan marah kita tidak membiarkan tubuh untuk tidur, jangan gara gara stress dan marah kita tidak membiarkan tubuh makan dan minum, kita teriak-teriak memukul meja dan dinding.

Eksperimen dualisme manusia ini bisa saja menjadi pembaharuan dan memperkaya pengetahuan tentang psikologi, tidak menutup kemungkinan juga bisa memecahkan permasalahan yang dihadapi manusia saat ini maupun yang akan datang.

Biarkan mekanisme tubuh menyelesaikan masalah tubuh sendiri , dan mekanisme jiwa menyelesaikan masalah jiwa sendiri. itulah inti PSIKOLOGI.

__________________

Jesus Freaks,

"Live X4J, Die As A Martyr"

-SEMBAHLAH BAPA DALAM ROH KUDUS & DALAM YESUS KRISTUS- 

sincere's picture

murni hanya jiwa dengan jiwa saja ?

Bisakah kita tahu atau merasakan cinta tanpa mulut berkata kata gombal, tanpa telinga mendengar rayuan, tanpa berpegangan tangan, tanpa tubuh saling berpelukan, murni hanya jiwa dengan jiwa saja ?

Bisa bro. Anda lupa indera mata. "Mata adalah jendela jiwa", "Cinta pada pandangan pertama", "Dari mata turun ke hati". Jiwa itu punya/memerlukan jendela, melalui jendela itulah wanita dan pria bisa jatuh cinta (romantis), murni hanya jiwa dengan jiwa saja.

jesusfreaks's picture

@sincere : murni dengan jiwa saja

Harus murni, tanpa mata sekalipun. Tidak semua orang memiliki mata. Hehehe

__________________

Jesus Freaks,

"Live X4J, Die As A Martyr"

-SEMBAHLAH BAPA DALAM ROH KUDUS & DALAM YESUS KRISTUS-