Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

UMENG DAN TAS PINGGANGNYA

anakpatirsa's picture

Tidak ada yang merasa kehilangan saat pria setengah baya kecil itu tidak lagi menampakkan batang hidungnya. Tidak ada yang benar-benar peduli mencarinya. Tidaklah aneh memang. kalau orang baik hilang, berarti gosip baru; tetapi saat manusia paling egois hilang, semua orang bersyukur. Kalau tetangga ramah hilang, serasa ada yang berkurang; kalau si pelit hilang, semua orang tersenyum manis. Begitulah, saat orang yang paling tidak peduli sesama itu hilang, sebuah koreng tiba-tiba mengering

Dalam cerita Agatha Christie, istri menjadi tertuduh saat suami menghilang. Dalam kasus ini, orang mengambil kesimpulan, suami pergi demi menikahi wanita lain. Lalu entah darimana asal-usulnya, tiba-tiba semua orang tahu, tas yang selalu terikat di pinggangnya itu berisi emas mentah. Tidak pernah sekalipun ia melepaskan tas kumalnya, takut si istri mencuil sedikit dan memberikannya pada anak-cucu yang kembang kempis. Menghilang bersama tasnya berarti pergi selamanya. Tas itu hidupnya, jaminan mendapat makanan kemanapun pergi.

Namanya Umeng. Bukan tipe pekerja keras, hanya jenis manusia yang tahu cara mendapat untung tanpa merugikan orang lain. Sebelum menikahi janda yang lima tahun ini menjadi istrinya, ia duda pendatang tanpa anak. Zaman "demam emas", sebelum kroni Soeharto merebut dan menghabiskan bukit penuh emas di belakang kampung, ia sudah mengumpulkan banyak emas mentah dengan berjualan bahan kebutuhan penambang. Saat semua terusir, ia ikut kembali ke kampung. Bersama istrinya mendirikan rumah di atas lanting, setengah kilometer dari tempat kami. Bakat dagangnya ternyata tidak hilang, kembali berjualan kebutuhan penambang yang menemukan sungai kampung mengandung emas juga.

Dagangannya kembali laku karena penambang tidak mau repot-repot naik ke darat membeli beras. Cukup naik perahu lalu mendayung, menukar sekarung dua karung atau sebotol dua botol bir dengan satu dua gram emas mentah. Ia jarang keluar rumah lantingnya, tidak perlu mengambil barang dari pasar serta tidak peduli dengan apa yang terjadi di darat. Setiap minggu, sebuah kapal barang singgah, menurunkan pesanannya. Tidak mau ia ke darat hanya untuk melihat anak atau cucu tiri yang hidup kesusahan. Selalu memastikan istrinya tidak membawa sebungkus mie pun saat naik ke darat.

Tidak akan ada yang tahu Umeng hilang jika penambang tidak penasaran. Mereka bertanya, "Dimana Umeng, tidak pernah kelihatan lagi?" Bertanya bukan karena peduli, tetapi sekedar akibat hubungan khusus yang terjalin antara pedagang dan pelanggan.

"Pergi, lari," jawab sang istri setiap kali ditanya, "mau hidup enak sendiri."

Pelanggannya yang tidak pernah membaca Sherlock Holmes atau Hercule Poirot menerima begitu saja apa yang dikatakan. Sedikit simpati kepada istri yang harus hidup sendirian di atas lanting sunyi. Mungkin mereka inilah yang menyebar gosip itu ke seluruh kampung, menambahkan, "Umeng pergi karena ada wanita lain." Akhirnya semua orang tahu, sang suami melarikan diri, meninggalkan istrinya, hanya membawa tas pinggang berisi emas batangan dan emas mentah. Meninggalkan istrinya demi sepucuk daun muda.

***

Suatu sore, beberapa bulan setelah kepergian Umeng, melalui sela-sela papan lantai, seseorang yang menumpang jamban di bagian belakang lanting Umeng melihat ada pakaian melekat pada sebatang kayu. Menjulurkan tangannya tanpa curiga, bermaksud melepaskan kayu itu dari sesuatu yang membuatnya tertahan di bawah lanting. Berharap setelah itu bisa melanjutkan acara duduk-duduk di jamban tanpa closet duduk itu. Betapa ia kaget, itu bukan kayu, melainkan seonggok tulang-belulang manusia yang entah bagaimana tidak berlepasan. Ia pasti belum cebok saat keluar dari jamban sambil berteriak, "Ada mayat... ada mayat, ..." membuat semua orang datang berenang dari lantingnya masing-masing.

Bukan hanya sekali sosok mayat terapung di depan atau di belakang sebuah lanting. Membuat orang yang lantingnya terletak di sebelah hilir muntah-muntah begitu melihatnya, tidak mau mandi atau minum air sungai selama beberapa hari -- tetapi menyerah setelah satu atau dua minggu. Apapun yang terjadi, akhirnya semua orang kembali ke sungai. Kali ini ada yang lain, ini bukan sekedar mayat biasa yang terapung setiap tahun. Ini bagiannya polisi, tali yang melilit pinggang dan kaki membuktikan mayat tidak tenggelam dengan sendirinya, apalagi seseorang mengenal pakaian yang hampir hancur.

"Itu Umeng," katanya, "ia tidak kawin lagi, tetapi dibunuh."

Seseorang menghidupkan perahu motor tempel, pergi ke pasar. Seorang polisi sering nongkrong dekat dermaga. Beberapa naik ke darat, memberitahukan istri Umeng yang sudah lama tidak tinggal di lanting. Pindah karena takut sendirian, setiap malam merinding, merasa ada sepasang mata selalu mengawasinya dari balik kegelapan. Selalu merasakan adanya kehadiran orang lain, padahal semua orang tahu ia hanya sendirian.

Polisi mencurigai wanita setengah abad ini, tetapi tidak mempunyai bukti untuk membawanya ke balik terali besi. Juga mencurigai anak cucunya, tetapi tidak bisa membuktikannya. Akhirnya, mereka berkata, “Perampokan.”

Seorang penjudi lalu memberi informasi tentang Toto, pemuda yang saat mabuk membual melihat Umeng menyimpan emas di tas yang tidak pernah lepas dari pinggangnya. “Ayo kita rampok si Umeng.”  katanya. Karena bukan hanya satu orang yang dulu mendengar bualan ini, akhirnya dua polisi yang didatangkan dari tempat lain pergi ke hulu sungai. Menjempot Toto yang menambang emas di tempat yang jauhnya tiga hari perjalanan. Polisi merendamnya semalam suntuk di tong air supaya mengaku, tetapi sama sekali Toto tidak mengakui apapun. Polisi tidak mendapat apapun selain meninggalkan kenangan berupa sedikit memar di tubuh pemuda yang memang terkenal suka mabuk-mabukan ini.

Dalam cerita detektif, kasus ini menjadi sebuah Cold Case, kasus yang belum terpecahkan. Tetapi ini bukan cerita detektif, ada mayat berpemberat yang hampir menjadi tulang-belulang karena  dimakan ikan; ada harta yang hilang, sebuah tas pinggang yang tidak seorangpun tahu nilai isinya. Walapun demikian, tidak ada bukti untuk memasukkan seseorang ke penjara sehingga akhirnya kisah Umeng mulai terlupakan. “Dead End,” kata polisi. Orang kampung yang senang mendengar ada istilah baru juga ikut berkata, “Dead End”.

Dua tahun, semua orang melupakannya. Seorang pendatang membeli lanting itu, merombaknya sedikit, dan membuka warung terapung. Terpaksa menjualnya karena tidak ada yang mau makan di situ. Orang boleh melupakan sebuah pembunuhan, tetapi saat makan, sulit membuang bayangan orang yang tanpa sengaja menyentuh mayat yang sudah hancur. Seseorang yang lebih berakal sehat membeli lanting itu dan menjadikannya sebuah bengkel. Kisah Umeng pun benar-benar terlupakan.

***

Tiga tahun, suatu hari, setelah musim panen, Ponong, pemuda kampung sebelah melamar gadis di ujung kampung. Lebih dari seratus tahun lalu, bila pemuda mempersunting gadis, kakak lelaki atau ayah si gadis menghadang di depan pintu dengan parang tergantung di pinggang, bertanya, "Berapa kepala yang telah kamu penggal sampai berani mempersunting anak gadis kami?" Makin banyak kepala, makin jagolah ia. Seperti zaman sekarang, makin banyak mobil, makin hormatlah si calon mertua.

Masa itu, zaman adu banyak-banyakkan kepala, seorang pemuda membuktikan kehebatannya melalui jumlah kepala yang telah ia potong. Jumlah inilah yang harus ia sebutkan saat mempersunting seorang gadis. Bukan hanya itu, kalau mau mendirikan bangunan besar, seseorang harus mencari kepala untuk mengganjal tiang utama. Namun pada tahun 1894, sebuah pertemuan menghasilkan keputusan untuk meniadakan adat potong kepala ini. Setelah adanya larangan itu, orang yang masih berpegang pada tradisi terpaksa menggantinya dengan buah kelapa jika mau mendirikan bangunan besar.

"Kepala dengan kelapa memang hampir mirip, cuma terbalik empat huruf terakhir," kata orang setengah mengejek.

Dalam acara pernikahan, tradisi pamer kepala ini harus diganti juga. Orang yang masih memegang tradisi merubah pertanyaannya dari "Kamu sudah membunuh berapa orang?" menjadi, "Berapa binatang besar yang sudah kamu bunuh."

Ponong terlalu sombong, atau terlalu bodoh, tidak ada yang tahu, yang pasti ia tidak membual tentang ayam hutan yang disembelihnya.

 “Aku ini sudah pernah membunuh orang," jawab si Ponong bangga saat calon ayah mertuanya bertanya dengan telapak tangan menggenggam erat gagang parang.

Rodi, ayah seorang anak yang terbunuh dua tahun lalu, tanpa pernah ada kabar berita pembunuhnya, menjadi curiga. Siapa tahu si Ponong ada sangkut pautnya dengan pembunuhan anaknya. Entah mengapa, ia merasa pemuda ini  serius dengan apa yang diucapkannya barusan.

Sore itu, ia mendatangi rumah polisi yang menikah dengan putri tetangganya. Kebetulan polisinya lagi menyiangi rumput di belakang rumah. Jarang terjadi kejahatan sehingga polisipun akhirnya memegang cangkul.

Polisi ini telah belajar, "Jangan merendam pemabuk di air, membuatnya tambah melek," Orang seperti Ponong sangat mudah dibuat mabuk, “Sodorlah satu botol bir, dan katakan betapa hebatnya orang yang bisa meminumnya sampai habis.” Semua orang sudah itu.

Benar, sangat mudah membuat pemuda kampung seperti Ponong mabuk, hanya tinggal berkata, "Betapa hebatnya kamu ini, bisa minum arak tanpa mabuk." Ia membuktikannya dengan minum sampai benar-benar mabuk. Itulah gunanya belajar budaya. Ada orang yang merasa dirinya hebat bisa membunuh dan kuat minum. Beberapa orang suka bernyanyi saat mabuk. Ponong termasuk salah satu di antaranya. Begitu merdu nyanyiannya, sehingga hanya beberapa hari kemudian kami bukannya menyaksikan sebuah pernikahan, tetapi menyaksikan rekonstruksi sebuah pembunuhan

***

Rombongan polisi berhenti di depan rumah kami, karena tiga tahun lalu, Ponong turun melewati jalan setapak yang menghubungkan rumah dengan sungai. Semuanya berjalan kaki, rombongan ini pasti selalu bertambah setiap kali melewati sebuah rumah. Semua orang ingin melihat bagaimana Ponong melakukan pembunuhan, bukan karena bersimpati pada Umeng, tetapi karena semua orang membutuhkan tontonan.  Semua mengikuti pria yang tampak begitu polos menyusuri jalan setapak. Polisi menjaganya dengan ketat. Sebenarnya tidak perlu. Tidak bakalan ada yang mengeroyok Ponong karena kesadisannya.

Ia membawa kami berjalan melewati kebun durian. Bergaya memotong sebatang anak langsat agak jauh dari pohon durian. Petugas lalu memberinya sepotong alat pemukul dari sejenis gabus. Melanjutkan perjalanan sambil membawa alat pemukul melewati deretan pohon langsat tetangga di pinggir sungai, lalu mengendap-endap melewati titian bekas lanting Umeng.

Sayang, kami hanya boleh menyaksikannya dari atas tebing.

Ia bersembunyi di jamban lanting. Semua orang boleh masuk jamban lanting manapun. Duduk di sana, menunggu. Malam kejadian itu, kebetulan istri Umeng pergi. Cerita yang beredar, jam tujuh malam Umeng keluar, berjalan ke kakus. Kami bisa melihat Ponong pura-pura menghantam kepala orang yang menggantikan Umeng. Menurut cerita juga, ia menghantam kepala Umeng dengan sebatang anak langsat sebesar pergelangan tangan. Langsat yang yang seharusnya kami tebang saat musim durian tiba, karena tumbuh sendiri.

Umeng yang sekarang sudah menjadi almarhum sepertinya memang sedikit gila, seperti yang diperagakan, saat ke jambanpun membawa tas pinggangnya. Ponong lalu mengambil tali sebesar jempol yang ada di atas lanting, mengikat tangan dan pinggang korbannya ke rongsokan mesin penyedot pasir yang tergeletak begitu saja di pojok. Memeragakan bagaimana caranya membuang mayat melalui lubang di lantai antara rumah dan jamban, lubang untuk menurunkan alat penangkap ikan. Ia lalu menyirami lantai dengan air yang berlimpah.

Saat pulang, kami membicarakannya, seorang berkata, “Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti jatuh juga.” Seorang lain menimpali, “Sepandai-pandainya menyembunyikan bangkai, pasti bau busuknya tercium.”

“Tidak,” kata seseorang, “ia tertangkap karena terlalu bangga bisa membunuh orang.”

***

 

ely's picture

@anakpatirsa,

Senang membaca cerita anda lagi, Kasian sekali nasib si Umeng yang pelit itu, Sampai-sampai si Ponong tega membunuhnya ... ? Pertama kali saya pikir istrinyalah yang akan membunuh Umeng, Karena tidak menafkahinya, Tapi ternyata dugaan saya meleset, Cerita yang seru !!! Ditunggu cerita selanjutnya ....
__________________

Lakukan segala sesuatu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia ...