Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

TUMBANG ANOI

anakpatirsa's picture

Ada musimnya anak-anak hidup dalam ketakutan.

Orang tua punya musim sendiri—musim hujan, musim kemarau, musim buah, dan musim ikan mudik. Kami punya musim sendiri—musim enggrang, musim gasing, musim tembak tutus, dan musim kayau. Di musim enggrang, kami ke sekolah naik tiang kayu. Di musim gasing, kami menarik tali yang membuat kepala serasa ikut berputar. Di musim tembak tutus, kami membawa senapan bambu berpeluru kertas basah di tas sekolah. Di musim kayau, kami hidup dalam mimpi buruk dan ketakutan.

Musim kayau bisa datang kapan saja. Bisa datang kalau pemerintah membangun jembatan, bisa juga datang kalau ada orang yang menyelenggarakan Tiwah, upacara pengantaran orang mati ke surga. Upacara ini—dari penggalian kubur sampai pembuatan sandung—bisa berlangsung satu bulan. Kata orang dewasa, penyelenggara Tiwah harus mencari kepala manusia, terutama anak-anak, untuk menyangga tiang sandung dan menjadi budak si mati di surga.

Sandung 'rumah-rumahan tempat tulang belulang', dan jembatan membuat kami menjadi anak manis. Tidak ada yang berani ke sungai sendirian, tidak ada yang berani ke hutan belakang kampung. Artinya tidak ada kayu sungkai untuk enggrang maupun bambu untuk perang-perangan. Musim kayau berarti musim hanya bermain di sekitar rumah.

Suatu hari, di musim kayau, aku menemani kakek membongkar lemari tua di kamarnya. Ia mengeluarkan parang besar yang gagangnya berhiaskan rambut. Aku tahu itu mandau dan tahu rambut itu rambut manusia.

"Kalau kamu sudah besar," katanya, "mandau untuk kamu."

"Aku sudah punya parang," jawabku.

Aku sama sekali tidak tertarik, aku sudah punya parang sendiri. Anak yang boleh memegang parang berarti sudah besar. anak yang sudah memiliki parang sendiri berarti boleh berjalan dengan dada membusung.

"Mah, parang kecil tumpul jelek itu? Bahkan anjing pun malu mengaing kalau kamu pukul dengan itu," kata kakek. "Yang ini, beruang pun lari terkaing-kaing kalau melihatnya."

"Mandau ini yang kakek buyutmu bawa ke Tumbang Anoi," lanjutnya, sama sekali tidak merasa kalau kata-katanya tadi sedikit menyakitkan.

Tumbang Anoi pasti sebuah nama tempat, "tumbang" artinya muara, hampir semua desa pasti ada kata "tumbang"-nya.

"Untuk apa kakek buyut membawa parang ke sana," tanyaku. Aku sudah melupakan sakit hati itu.

Kakek bercerita.

***

Ia bercerita, nenek moyang kami hidup dari hasil hutan, hidup bergantung pada alam yang masih bersahabat. Perlu sayur? Tinggal masuk hutan; perlu ikan? Tinggal ke sungai. Hanya satu kekurangannya, tidak ada rasa aman. Setiap hari harus berjaga-jaga, menjaga kepala tetap utuh di tempat. Itulah sebabnya mereka tinggal di betang, rumah panjang berpenghuni satu kampung.

"Belanda datang," kata kakek, "mereka itu takut sama kayau."

Senang mendengar bukan cuma anak-anak yang takut kayau, orang Belanda juga ternyata takut. Selama ini aku mengira semua orang dewasa tidak takut, mereka berani ke sungai sendirian di musim kayau.

"Orang Belanda mengundang semua kepala suku berkumpul di Kuala Kapuas," lanjutnya, "jangan kamu tanya Kuala Kapuas itu dimana, nanti kamu tahu sendiri."

Kakek masih melanjutkan ceritanya. Mengingatnya sekarang, mengingat apa yang sebenarnya pernah terjadi di Tumbang Anoi, aku rasa ia hanya mendongengkan cerita yang tidak lengkap. Beberapa bagian cerita hilang karena ia ingin cucunya tetap menjadi anak manis.

Setelah kakek meninggal, aku baru tahu apa yang sebenarnya pernah terjadi di sana. Orang Belanda mengundang kepala suku dan tokoh adat di seluruh Kalimantan berkumpul di Kuala Kapuas untuk membicarakan cara mendamaikan suka-suku yang saling bermusuhan. Pertemuan tanggal 14 Juni 1893 itu hanyalah rapat persiapan, salah satunya menentukan siapa yang akan menjadi ketua rapat yang lebih besar nantinya.

Waktu itu, Residen Banjar yang memimpin rapat menanyakan siapa yang bersedia menjadi ketua rapat yang lebih besar. Ketua ini nantinya sekaligus akan menjadi tuan rumah.

Kalau ada di sana, aku tidak akan mengangkat tangan. Menjadi ketua aku masih mau, tetapi menjadi ketua yang sekaligus menampung orang yang suka memotong kepala membuatku berpikir seribu kali.

Tetapi seseorang mengangkat tangan.

Ia menjadi calon ketua yang tepat, desanya terletak tepat di tengah Pulau Kalimantan. Ia juga bisa membuktikan pengenalannya akan adat istiadat suku lain. Namanya Damang Batu, kepala suku di Tumbang Anoi. Semua yang hadir setuju ia menjadi ketua rapat berikutnya. Damang Batu mendapat waktu enam bulan untuk membuat persiapan. Rapat itu nantinya akan berlangsung selama tiga bulan, mulai 1 Januari 1894.

Damang Batu kembali ke kampungnya. Di sana ia mengundang penduduk sekitar hulu sungai berkumpul di Tumbang Anoi. Bersama-sama mereka membangun pondok-pondok di hulu, hilir dan di seberang kampung. Setelah itu menanam ubi di sekelilingnya. Setelah selesai, mereka masih punya tugas lain, mengumpulkan beras untuk disimpan di Tumbang Anoi.

Akhir Desember 1893, semuanya sudah siap.

Hujan deras yang mengguyur bumi Kalimantan di awal tahun membuat sungai-sungai meluap. Tetapi ratusan perahu besar dan kecil tetap bergerak menuju satu titik yang sama, sebuah desa kecil tepat di tengah pulau yang masih bernama Borneo. Ada banyak cerita perjalanan, arus yang deras membuat perahu hanya bisa bergerak karena penumpangnya berjalan kaki menarik perahunya dari pinggir sungai. Hutan rimba tiba-tiba tidak bersahabat, ada rombongan yang di tengah perjalanan mengalami keadaan tidak bisa maju ataupun mundur. Perjalanan yang benar-benar sangat berat, dengan satu-satunya jalan hanya melewati sungai yang sedang meluap.

Akhirnya semua bisa berkumpul, pertemuan itu terlambat lima bulan dari rencana semula. Sekitar delapan ratus sampai seribu kepala suku dan pemuka adat berkumpul di Tumbang Anoi. Mereka tinggal di pondok-pondok yang tersedia. Kalau bosan makan nasi, mereka membakar ubi yang tumbuh di sekeliling pondoknya. Selama dua bulan (22 Mei 1894 s/d 24 Juli 1894) mereka membereskan banyak perselisihan dan dendam dengan cara damai. Di akhir pertemuan, mereka bersumpah mengakhiri perang antar suku di bumi Kalimantan.

Sejak itu, pedagang dan pendatang berdatangan. Misionaris juga mulai lebih banyak yang masuk bumi Kalimantan. Seorang reporter Belanda, dalam laporannya tentang rapat itu mengatakan, "Pertemuan ini juga menumbuhkan bibit yang melahirkan munculnya sebuah peradaban."

Pertemuan itu sendiri sampai sekarang terkenal sebagai Rapat Damai Tumbang Anoi.

***

Nenek moyang kami mengubur mandau seratus tahun lalu. Kayau tinggal cerita untuk menakut-nakuti anak-anak. Orang tua senang, selama ada tiang jembatan yang perlu didirikan, mereka tidak perlu kuatir anaknya tenggelam di sungai atau digigit ular ketika bermain di pinggir hutan. Guru senang, musim kayau berarti tidak ada buku tulis yang sobek. Mereka tidak terlalu suka musim tembak tutus, karena perang-perangan itu bisa terjadi kapan saja. Tiba-tiba saja seorang anak diserang dari balik pohon durian ketika pulang sekolah. Kalau kepepet kehabisan peluru, si anak yang diserang langsung merobek dan membasahi buku tulisnya dengan ludah supaya bisa balas menembak.

Satu abad lebih telah berlalu, Tumbang Anoi tetap menjadi desa kecil, dan nama Damang Batu hanya menjadi nama jalan kecil di ibu kota provinsi kami. Mandau yang kata kakek bisa membuat beruang terkaing-kaing itu masih ada. Aku berharap museum kami tidak lagi tertutup ilalang, sehingga aku bisa menyerahkan sesuatu.

Biarlah lambang itu ada di sana supaya kejadian seperti malam itu tidak terulang. Aku tidak mau orang-orang tak dikenal itu kembali mengetuk pintu di tengah malam. Entah darimana mereka mengetahui lambang itu tersimpan di lemari tua kamar paling belakang. Aku tidak punya keberanian seperti ibu yang berkata, "Tidak! Mandau itu dulu menjadi lambang tidak ada lagi kayau-menganyau. Dan sekarang kalian mau menggunakannya untuk membatalkan perjanjian?" Mereka pulang dengan tangan hampa, tanpa Mandau Tumbang Anoi. Tetapi tanpa lambang itupun, perjanjian seabad itu hancur. Karena besoknya, ratusan tubuh tanpa kepala mengapung di sungai yang berhulu di Tumbang Anoi, melewati kampungku, dan bermuara di Laut Jawa.

***

Purnawan Kristanto's picture

Mantapz

"Mah, parang kecil tumpul jelek itu? Bahkan anjing pun malu mengaing kalau kamu pukul dengan itu"

Bahkan anjing pun punya harga diri.

Mantapz, AP

 


__________________

------------

Communicating good news in good ways

anakpatirsa's picture

Dialog

Pak Wawan,

Teori tentang dialog yang saya ketahui: "Dialog yang baik tidak memperlukan penjelasan tambahan tentang isinya. Kalau penulis merasa dialognya lucu, jangan beri keterangan tambahan bahwa dialog tersebut lucu. Biarlah karakter yang mengatakannya, percayailah pembaca, mereka akan tahu mana yang lucu dan mana yang tidak tanpa harus ada catatan tambahan dari penulis."

Awalnya, dialog di atas seperti berikut:

"Mah, parang kecil tumpul jelek itu? Bahkan anjing pun malu mengaing kalau kamu pukul dengan itu," kata kakek. "Yang ini, beruang pun lari terkaing-kaing kalau melihatnya."

Mengingatnya sekarang, mengingat cara kakek mengejek, aku jadi tahu darimana kuwarisi bakat mengejek seperti itu.

Bagian "deskripsi" itu saya buang. Alasannya, saya (sebagai penulisnya) telah masuk ke bagian cerita dan mendikte pembaca hanya untuk mengatakan ada yang unik dari dialog tersebut.

Terima kasih, karena Pak Wawan menggarisbawahi bagian yang pernah ingin saya tekankan.

 

 

Purnomo's picture

Tumbang Anoi

Tumbang Anoi pasti sebuah nama tempat, "tumbang" artinya muara, hampir semua desa pasti ada kata "tumbang"-nya.

Selama ini  yang saya ketahui di daerah pedalaman Palangkaraya "tumbang" berarti "pertemuan 2 sungai" atau kalau di darat seperti "jalan bersimpang tiga." Titik pertemuan sungai ini sangat strategis sebagai tempat pertemuan penduduk antardesa.

Kata "muara" dalam cerita AP apakah punya arti yang sama dengan yang saya ketahui di atas?

Salam.

anakpatirsa's picture

Simpang Tiga

Benar Pak Pur,

Kami tinggal di Pulau Seribu Sungai. Ada beberapa sungai yang sangat panjang, ratusan kilometer. Ini seperti jalan utama di Pulau Jawa, atau jalan utama sebuah kota.

Ratusan sungai kecil mengalir dari tengah hutan dan bermuara di sungai-sungai besar ini. Biasanya sebuah desa terletak di "Simpang Tiga" ini. Makanya kebanyakan desa di tempak kami selalu bernama "Tumbang ..."

Senang Pak Pur tahu tentang simpang tiga-nya kami.