Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Terobosan Pelayanan Literatur
Tulisan ini dipicu oleh pertanyaan rekan saya, "Mengapa pelayanan literatur tidak banyak diminati, bahkan terkesan kurang dihargai oleh gereja?" Sebelum menjawab pertanyaan itu, saya justru ingin mempertanyakan pertanyaan tersebut: Benarkah pelayanan literatur kurang dihargai gereja? Ukuran apa yang dipakai sebagai pembanding sehingga didapatkan kesimpulan "kurang dihargai"?
Jika yang dipakai sebagai ukuran pembanding adalah jumlah penerbit Kristen, asumsi tersebut ada benarnya. Menurut data IKAPI, sampai dengan tahun 2000 terdapat 433 penerbit yang tercatat sebagai anggota ikatan penerbit ini. Sementara itu jumlah penerbit Kristen yang saya hitung, berdasarkan buku-buku koleksi perpustakaan saya, ada 25 penerbit.[i]
Sekarang, mari kita bandingkan jumlah penerbit dengan jumlah penduduk Indonesia. Menurut Departeman Kesehatan jumlah penduduk Indonesia sampai tahun 2007 diperkirakan sebesar 211.000.598 orang.[ii] Sedangkan menurut Biro Pusat Statistik (BPS), komposisi penduduk berdasarkan agama adalah sebagai berikut: sebanyak 88,22 persen jumlah penduduk mengaku sebagai Muslim, 5,9 persen Kristen Protestan, 3,1 persen Kristen Katholik, 1,8 persen Hindu, 0,8 persen Budha, dan 0,2 persen "lain-lain", termasuk agama-agama tradisional, kelompok Kristen lainnya, dan Yahudi. Berdasarkan persentase tersebut, maka jumlah penduduk Kristen (Protestan dan Katolik) sekitar 18.990.000 orang.
Apabila dihitung berdasarkan rasio, maka secara nasional setiap satu penerbit buku harus melayani 487.298 penduduk. Sedangkan secara khusus, setiap penerbit Kristen harus melayani lebih banyak orang, yaitu 759.600 orang Kristen. Rasio jumlah penerbit Kristen masih memprihatinkan bilsa dibandingkan rasio secara nasional.
Jika kita hanya mempertimbangkan aspek kwantitas jumlah penerbit Kristen, maka asumsi pelayanan "pelayanan literatur kurang dihargai gereja" adalah pernyataan yang benar. Akan tetapi jika dilihat dari jumlah judul buku dan jumlah eksemplar yang dihasilkan penerbit Kristen, mungkin kesimpulannya akan berbeda. Sayangnya, sampai kini belum ada data pasti tentang jumlah buku yang terbit di Indonesia.
Tetap Bertahan
Di luar angka-angka itu, kita perlu mempertimbangkan aspek kwalitatifnya. Sejak tahun 1980-an, saya sudah mengenal penerbit kristen seperti Badan Penerbit Kristen (BPK) Gunung Mulia, Kanisius, Kalam Hidup, Lembaga Literatur Baptis, Gandum Mas dan Yakkin. Hampir tiga dekade kemudian, saya masih mendapati bahwa penerbit-penerbit tersebut masih bertahan, bahkan ada yang berkembang semakin maju. Belakangan, juga muncul penerbit-penerbit Kristen baru seperti Andi, Metanoia, Betlehem, Immanuel, Gloria, Khairos dll.
Jika kita memakai logika hukum pasar, maka penerbit-penerbit tersebut tidak akan bertahan jika tidak diminati oleh gereja. Hukum pasar berbunyi, jika ada permintaan, tentu akan ada persediaan. Fakta bahwa penerbit-penerbit Kristen masih bisa beroperasi hingga kini, bahkan muncul penerbit yang baru, ini membuktikan bahwa ada permintaan umat Kristen terhadap bacaan rohani. Secara tidak langsung ini menunjukkan bahwa umat Kristen telah memberikan dukungan terhadap pelayanan litaretur.
Dalam ilmu komunikasi, ada dua paradigma penerbitan: penerbitan misionaris dan paradigma pasar. Penerbit yang berparadigma misionaris menerbitkan buku sesuai dengan ideologi mereka. Mereka tidak peduli entah buku itu laku terjual dan dibaca, atau tidak. Yang penting adalah menyebarkan ideologi [baca: pengajaran] mereka seluas-luasnya. Sementara penerbit yang menganut aliran pasar selalu menerbitkan buku-buku yang diminati dan dibeli oleh pasar atau konsumen. Mereka kadang mengabaikan aspek nilai-nilai luhur. Apa pun keinginan pembaca, akan selalu mereka ikuti. Yang penting buku terbitan mereka laris-manis.
Lalu dimana posisi penerbit Kristen? Ada yang memakai paradigma misionaris murni. Penebit ini mendapat kucuran dana untuk biaya produksi. Meski buku itu tidak laku, tapi mereka tidak peduli. Meski demikian, jumlah penebit jenis ini hanya sedikit. Demikian juga penerbitan Kristen yang menganut paradigma pasar.
Kebanyakan penerbit kristiani berada di antara dua kutub ini. Meski mengandalkan pemasukkan dari hasil penjualan buku, tapi mereka tidak akan serta-merta melayani selera pasar begitu saja. Masih ada nilai-nilai idealis yang menjadi kekang kendalinya. Inilah uniknya penerbitan kristen. Di satu sisi mereka mengemban panggilan sorgawi, dengan nilai-nilai luhurnya; tapi di sisi lain mereka juga harus menghidupi dirinya sendiri.
Kenyataan ini menghantarkan pada kesadaran bahwa sesungguhnya gereja telah menghargai pelayanan literatur. Bentuknya adalah dengan membeli buku-buku rohani terbitan mereka. Jika gereja tidak menghargai hasil karya penerbit Kristen, maka maka penerbit-penerbit Kristen sudah rontok satu demi satu dan tidak ada orang yang mau mendirikan penerbitan Kristen baru.
Dihargai? Ya; Diminati? Belum
Mungkin kegelisahan itu lebih tepat dirumuskan begini: Mengapa hanya sedikit orang yang berminat dalam pelayanan literatur? Lebih spesifik lagi, Mengapa hanya sedikit orang yang mau menjadi penulis? Tak dapat dipungkiri, jumlah penulis kalah jumlah bila dibandingkan dengan pelayanan lain, seperti pelayanan berkhotbah, mengajar sekolah minggu atau pemimpin pujian.
Mengapa hal ini terjadi? Ada penyebab makro dan penyebab mikro. Penyebab makro adalah orientasi pembangunan yang materialistis. Saat menerima Habibie Award bidang budaya, Taufik Ismail mengatakan, budaya membaca dan menulis masyarakat Indonesia sekarang jauh menurun jika dibandingkan dengan masa penjajahan Belanda. Keadaan ini antara lain disebabkan oleh orientasi pembangunan pemerintah yang terlalu materialistis. Pemerintah cenderung memprioritaskan pembangunan fisik. Akibatnya, bacaan sastra dianggap tidak penting.[iii]
Dalam strategi pembangunan nasional, pemerintah lebih memprioritaskan laju pertumbuhan yang tinggi. Untuk menunjang hal ini, maka penyediaan sarana dan prasarana fisik digiatkan. Imbasnya, maka masyarakat pun ikut-ikutan berorientasi pada materi. Kebanyakan orangtua mendambakan anak-anak mereka kelak menjadi insinyur, dokter, akuntan, pengacara atau pengusaha. Hanya sedikit sekali orangtua menggadhang-gadhang anak mereka menjadi penulis, sastrawan, pelukis, atau jurnalis. Kesuksesan seseorang diukur berdasarkan materi (baca:kekayaan) yang diraupnya.
Secara mikro, ada beberapa faktor penyebab kelangkaan penulis kristiani:
Pertama, dibutuhkan ketrampilan khusus untuk melayani bidang literatur. Ada orang mengatakan, "menulis itu mudah", "semua orang bisa menulis." Pernyataan itu memang benar. Kalau sekadar menulis itu tidak susah, namun menulis yang berkwalitas baik dan dapat dipertanggungjawabkan itu bukan perkara yang gampang. Ada kaidah-kaidah yang harus diikuti. Hal ini tidak dapat diraih dalam sekejap. Ketajaman pena harus selalu diasah dalam ketekunan dan keuletan. Saya tidak bermaksud meremehkan bidang pelayanan lain, tapi langkah awal untuk menulis lebih sulit dilakukan daripada memulai bidang pelayanan lain.
Kedua, penghasilan dari menulis belum menjanjikan. Akibatnya hanya sedikit orang yang "berani" mendedikasikan hidupnya menjadi penulis secara total. Supaya lebih jelas, mari kita berhitung pendapatan yang diterima penulis yang telah menghasilkan 2 judul buku dengan royalti 10 persen. Perhitungannya sebagai berikut:
Buku A
Harga jual: Rp 35.000,-
Terjual: 600 eksemplar.
Maka penghasilan buku A: (( Rp 35.000,- X 600 eksemplar ) x royalti 10%) - pajak 15 %= Rp 1.785.000,-
Buku B
Harga jual: Rp 45.000,-
Terjual: 1.000 eksemplar
Maka penghasilan buku B: (( Rp 45.000 X 1.000 kopi ) x royalti 10%) - pajak 15 % = Rp 3.825.000,-
Penerbit biasanya membayarkan royalti setiap 6 bulan. Jadi penghasilan si penulis selama 6 bulan adalah Rp 5.610.000,- atau rata-rata Rp 935.000,- per bulan. Angka ini jelas kurang menjanjikan. (Bandingkan dengan honor yang diberikan oleh sebuah gereja untuk sekali khotbah Rp. 1.000.000,-!!). Maka tidak heran jika tidak banyak orang yang terpanggil untuk menekuni pelayanan literatur. Sudah honornya sedikit, tidak ada gemerlapnya lagi!
Realitas ini jelas mempengaruhi ketersediaan naskah buku yang ditulis oleh penulis Kristen Indonesia. Hanya ada sedikit naskah buku yang memang dipersiapkan dan ditulis secara khusus. Kebanyakan jenis buku kristiani yang ada merupakan hasil sampingan dari kegiatan pelayanan lain. Bahkan ada yang menjadikannya sekadar hobi.
Terobosan Baru
Mengapa harus ada pelayanan literatur? Apakah pelayanan literatur merupakan metode pelayanan yang terbaik? Untuk pertanyaan yang terakhir, jawabannya adalah tidak! Tidak ada bidang pelayanan yang terbaik dan cocok di segala setiap situasi. Setiap bidang pelayanan memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Berikut ini kelebihan pelayanan literatur:
a. Karena tercetak, maka pesan yang disampaikan dapat disimpan dan dibaca ulang. Bandingkan dengan mendengarkan secara lisan. Contohnya saat mendengarkan khotbah. Begitu khotbah selesai, maka jemaat tidak dapat mendengarkan khotbah itu lagi (kecuali jika direkam). Sedangkan jika ditulis, maka pesan itu dapat dibaca ulang kapan saja. Jika ada bagian yang belum kita mengerti, kita dapat membaca bagian itu berkali-kali, merenungkannya berulang-ulang sehingga mengerti. Hal ini tidak mungkin dilakukan saat mendengarkan khotbah.
Saat mendengarkan khotbah, kita harus terus-menerus menyimaknya. Sementara dengan membaca, kita punya kesempatan untuk berhenti sejenak, merenungkan pesan yang baru saja kita terima untuk memahami maksudnya, kemudian kita melanjutkan membaca pesan berikutnya.
Karena dapat disimpan, maka pesan yang tercetak tersebut dapat bertahan lama, sekalipun penulisnya sudah meninggal dunia. Sampai sekarang kita masih bisa mengenal pemikiran Agustinus, C.S. Lewis, Eka Dharma Putera karena mereka menuliskan ide-ide dan pengalaman rohaninya.
b. Dapat menjadi alternatif penginjilan. Dalam situasi sosial-politik seperti saat ini metode penginjilan secara langsung dapat menimbulkan gejolak yang negatif. Namun melalui bacaan, kita masih dapat mengabarkan Kabar Gembira ini pada orang lain. Ketika ada hambatan untuk berkomunikasi antar pribadi, maka bacaan dapat menerobos pintu penghalang tersebut.
c. Lebih efisien. Biaya yang dikeluarkan untuk ongkos cetak atau pulsa (untuk internet) cukup terjangkau, tapi pesan yang dibawanya dapat menjangkau secara massal. Pelayanan literatur jelas lebih murah dibandingkan kita memproduksi program televisi, film atau radio.
Saya yakin Anda pun sepakat bahwa pelayanan literatur itu penting. Namun hambatan utamanya adalah sedikitnya orang yang berkomitmen sebagai penulis secara total. Untuk itulah, harus ada terobosan yang mengatasi persoalan ini. Sebagai orang penulis, dengan jujur saya mengakui, bahwa hampir tidak mungkin kalau hanya mengandalkan pendapatan dari menulis buku saja. Saya masih harus ngobyek dengan menerima pekerjaan lain seperti menerjemahkan tulisan, menyunting naskah orang lain, mengerjakan proyek penulisan biografi, membuat desain grafis, dll. Saya cukup beruntung karena isteri saya juga mendapatkan penghasilan sehingga beban ekonomi keluarga dapat ditanggung bersama.
Bagi penulis yang baru saja memulai menekuni dunia literatur, persoalan ekonomi keluarga ini akan menjadi pergumulan hidupnya. Namun jika dia sudah bisa menghasilkan 7-10 judul buku, penghasilannya sudah mulai stabil. Namun persoalannya, untuk menghasilkan karya sebanyak itu diperlukan waktu 3-5 tahun (dengan asumsi dia menghasilkan 2 buku per tahun). Lalu darimana dia mendapatkan penghasilan selama 3-5 tahun tersebut?
Di sinilah pentingnya terobosan baru. Saya melihat perlu adanya suppoting ministry atau lembaga yang menyokong kehidupan penulis. Ide ini mengadopsi dari dunia LSM. Ada sebuah lembaga donatur, bernama Ashoka, yang menghususkan diri memberi dukungan finansial terhadap biaya hidup pegiat LSM dan keluarganya. Tujuan pemberian ini supaya pegiat LSM tidak tidak perlu lagi mengkhawatirkan biaya hidup keluarganya, sehingga ia dapat mengkonsentrasikan diri pada pekerjaannya.
Di dunia pelayanan Kristen, kita mengenal beberapa lembaga yang memberi dukungan dana kepada hamba-hamba Tuhan yang dikirim sebagai misionaris ke tempat terpencil. Karena jumlah anggota jemaatnya yang masih sedikit, maka jemaat setempat tidak dapat mencukup kebutuhan hidup hamba Tuhan ini. Akibatnya, hamba Tuhan ini harus mencari penghasilan tambahan. Jika hal ini dilakukan, maka konsentrasi pelayanan mereka terpecah, dan buntutnya pelayanan mereka tidak berkembang. Untuk mengatasi kendala ini, hadirlah lembaga pelayanan yang ikut menyokong kehidupan para hamba Tuhan pionir ini,secara finansial.
Sepatutnya konsep semacam ini juga diberlakukan dalam pelayanan literatur. Langkah pertama adalah membentuk persepsi di kalangan umat Kristen bahwa penulis sesungguhnya misonaris juga. Tugas misionaris adalah mengabarkan Kabar Baik kepada orang lain di seluruh dunia. Bukankah hal yang sama juga dilakukan oleh penulis? Ketika kita mengirim misionaris mengabarkan Injil ke Kalimantan, bukankah penulis juga mengabarkan Kabar Baik ini ke Kalimantan? Demikian juga di tempat-tempat lain. Kabar Baik yang ditulis ini bahkan dapat menjangkau tempat-tempat yang tidak bisa didatangi oleh para misionaris.
Setelah menempatkan penulis sebagai misionaris, maka langkah berikutnya adalah merintis lembaga misi yang menawarkan dukungan keuangan kepada penulis. Mekanismenya sebagai berikut: penulis mengajukan proposal penulisan kepada lembaga ini. Jika naskah tersebut dinilai baik dan bermanfaat bagi kehidupan orang Kristen, maka lembaga ini memberikan living cost kepada penulis dalam jangka waktu tertentu. Dengan begitu, penulis dapat berkonsentrasi dalam menulis. Jika jumlah buku yang dihasilkannya sudah banyak dan kehidupannya sudah mandiri, maka sokongan ini dihentikan untuk dialihkan kepada penulis pemula lainnya. Dengan cara seperti ini, maka akan banyak lahir penulis-penulis Kristen yang berdedikasi.
Langkah yang terakhir dilakukan pada tataran gereja. Gereja merupakan penyokong utama dalam pelayanan literatur. Teologi yang dikembangkan oleh gereja itu sangat mempengaruhi kondisi pelayanan literatur. Gereja yang berkiblat ke luar negeri biasanya kurang mengembangkan teologi lokal dan cenderung mengimpor pernak-pernik ibadah dan pengajaran dari gereja "induknya" di luar negeri. Pada gilirannya, gereja tersebut lebih suka menerjemahkan buku-buku penulis dari luar negeri daripada menulis dan menerbitkannya sendiri. Sebagai penulis saya sudah pernah merasakan dampaknya. Buku saya terhambat terbit selama dua tahun karena penerbit mengutamakan buku-buku karya pembicara luar negeri, yang saat itu diundang ke Indonesia. Kalau gereja di Indonesi lebih tekun mengembangkan teologi kontekstual, maka mereka akan menghasilkan banyak buku pengajaran. Tentu ini akan menggairahkan pelayanan literatur.
Jika kita dapat mewujudkan tiga terobosan tersebut, saya punya keyakinan pelayanan literatur kita akan semakin semarak****
[i] Belum termasuk penebit renungan, traktat atau intragereja.
[ii] http://bankdata.depkes.go.id
[iii] Kompas, 4 Desember 2007
------------
Communicating good news in good ways
- Purnawan Kristanto's blog
- 5794 reads
melayani di bidang literatur
Pelayanan literatur, merupakan tempat di mana Tuhan memakai saya selama 5 tahun terakhir.
Namun, meskipun melayani di bidang literatur dan bergelut dengan buku dan tulisan setiap hari, waktu untuk menulis pun rasanya sangat kurang. Padahal, di benak ini banyak hal yang rasanya membuat ingin terus menuliskan tentang "Dia" dari berbagai aspek kehidupan, paling tidak dalam kehidupan saya sendiri.
Namun ya itu, kendala juga dari dalam diri sendiri. Saat akan menulis kerap ada rasa kurang layak karena kemampuan menulis yang terbatas. Jadi, saat ini sedang terus belajar untuk berani menulis. Salah satunya, nulis-nulis di SABDA Space :)
Oh iya, Pak Pur ... sudah pernah mampir ke PELITAKU, belum? Menurut Pak Pur gimana, nih?
Love
Love: Tidak ada yang layak
~ Goethe
------------
Communicating good news in good ways