Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Suatu saat
Suatu ketika di bulan Ramadhan, dalam acara buka bersama sejumlah orang sedang membicarakan dimna letak keberhasilan Si Tukul Arwana yang populer dengan “kembali ke Laptop”nya. Ada yang mengatakan karena aspek keberuntungan. Ada pula yang mengatakan aspek kesabarannya. Dan juga ada yang mengatakan aspek wajahnya yang “unik”.
Memang kalau dipikir-pikir, ia beruntung karena wajahnya yang selalu diperolok oleh teman panggungnya dapat diterimanya dengan sabar. Buah kesabaran dari wajahnya yang unik yang selalu diperolok-olok itulah yang kemudian mampu mempopulerkannya. Ini setidaknya kesimpulan awal dari pembicaraan di buka bersama tersebut. Tetapi pertanyaan tidak berhenti disini saja. Masih ada sebuah pertanyaan yang mengikutinya. Berdosakah orang yang menjelek-jelekkan atau memperolok-olok Tukul?
Jawaban atas pertanyaan tersebut pada akhirnya menyimpulkan bahwa semuanya tergantung pada niat seseorang. Jika ia memang memperolok-olok dengan hati ingin mengolok-olok, maka ia sudah berdosa. Tetapi jika itu tuntutan peran, maka apa boleh buat.
Pembicaraan di acara buka bersama telah berakhir. Kemudian bergeser dalam kehidupan sehari-hari. Ternyata banyak ditemukan adanya kejahatan yang disebabkan oleh desakan ekonomi. Misalnya dalam www.mediaindo.co.id/berita.asp?id=141335 terdesak dengan kebutuhan hidup, maka menjual ganja. Contoh yang lain http://www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/2006/10/26/brk,20061026-86614,id.html
http://www.sumbawanews.com/?view=lihatartikel&id=7596&topik=1 Masih banyak lagi yang sering kita dengar dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan hidup, untuk memenuhi kebutuhan keluarga, dan sebagainya. Bagaimanakah dengan mereka? Berdosa tentunya menjadi jawaban yang akan diberikan oleh banyak pihak. Karena mereka memiliki niat untuk melakukan kejahatan. Tetapi disisi lain, mereka berniat untuk memenuhi tanggung jawab sebagai orang yang menghidupi orang lain. Mereka berbuat jahat karena adanya tuntutan tanggung jawab. Mengapa dua peristiwa ini sangat kontradiksi?
Inilah kehidupan yang membuat kita kadang berada di atas panggung, kadang jadi penonton di depan panggung, dan kadang pula di balik panggung. Di atas panggung kita akan menjadi seperti Tukul atau yang lain, yang akan dilihat banyak orang. Bisa jahat, bisa baik, bisa tergantung niat. Di depan panggung, seperti kita saat menonton Tukul dan kita tertawa ketika ia lucu. Dan juga bisa di balik panggung yaitu dengan cukup mereka-reka, seperti saat ini. Yang pasti panggung itu tetap ada.
- Ulah's blog
- 3897 reads