Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Stupid cupid ... the divorce
Seorang pemuda berpenampilan menarik dari kota besar berjumpa dengan seorang gadis pemalu yang cantik dari sebuah kota kecil. Layaknya sebuah drama, semua berharap mereka hidup berbahagia selamanya. Sayang sekali ini bukanlah sinema ... inilah akhir dari kisah cinta mereka.
Tik tok tik tok. Nyaring detak jarum jam. Suasana hambar berubah mencekam. Wajah-wajah tegang berlalu-lalang.
Nada suara rendah penuh rahasia membersitkan tanya. Tetapi gadis kecil itu tetap tak bersuara. Raut muka ibunya bagai teka-teki. Tak bernyali ia untuk mengusik. Biarpun berlangganan omelan dan pedasnya telapak tangan ... kali ini berbeda. Apa pun yang diperbuat si gadis kecil, ia tak tampak di mata ibunya.
Dua buah tikar terhampar di lantai. Di atasnya tergolek pasrah baju-baju dan celana panjang milik ayahnya. Peluh membasahi kening dan leher ibunya. Matanya yang membara mengalirkan sepasang anak sungai di pipinya. Hentakan gunting yang beradu dengan jeritan kain yang terkoyak memenuhi udara. Di luar itu, semua beku.
Adegan ganjil itu berakhir dengan digulungnya tikar-tikar itu menyerupai sebuah bolu gulung raksasa. Dengan bantuan pengasuh si gadis kecil, sang ibu mengusung 'paket' itu ke rumah seorang kerabat yang terletak beberapa gang dari rumah mereka. 'Jangan pernah kembali', begitu bunyi pesan yang ditulisnya untuk sang suami.
Malam semakin mencekam. Gelisah si gadis kecil membolak-balik tubuhnya di pembaringan. Dalam mimpinya, pontang-panting ia melarikan diri dari seseorang yang berniat menebas batang lehernya. Mimpi yang mencekam, yang secara berkala menghampiri sampai ia beranjak besar.
Enam tahun umur gadis kecil itu. Tak banyak rewel untuk anak seusianya. Jepitan kuat jari-jari ibunya di sekujur paha adalah jawaban untuk setiap ulah yang dibikinnya. Tak pula ia banyak bertanya. Raut muka masam dan desis 'hush' bukanlah jawaban yang menyenangkan. Namun kali ini rasa ingin tahunya begitu menggelegak. Dan 'jurus pasang kuping' selalu ampuh di saat-saat begini.
"Kurang apa lagi aku, siang malam banting tulang buat anaknya! Dia bisa apa?? Kerjanya cuma nyanyi di bar dan kelayapan! Sehari di rumah, seminggu hilang entah ke mana ...."
...
"Dan perempuan-perempuan tak tahu malu itu ... lelaki beristri masih saja dikejar-kejar dimintai foto dan tanda tangan. Bergelayutan di lengan ... ingin kutampar muka mereka satu-satu!"
...
"Kurang sabar bagaimana? Sampai capek kututup kuping setiap ada gosip. Selama tak melihat sendiri, aku masih percaya padanya. Tapi sekarang ...."
...
"... bukan lagi omongan orang. Aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri ... perempuan itu dibawanya menemui Papa ...."
...
Otak si gadis kecil bekerja cepat menghubung-hubungkan penggalan informasi dan peristiwa. Bagaimana ibunya uring-uringan tiap kali ayahnya berdandan rapi menjelang malam. Bagaimana ibunya tak suka manakala bibir mungilnya fasih mendendangkan lagu anak-anak yang dihafalnya dari televisi. Bagaimana ibunya murka dan melarangnya menghadiri uji coba suara di sebuah perusahaan rekaman. Bagaimana ayah dan ibunya bertengkar mengenai masa depannya. Bagaimana lembar-lembar uang berhamburan di udara karena ibunya tak sudi menerima. Bagaimana ayahnya lebih suka mencari kesenangan di luar daripada menyelesaikan persoalan dengan ibunya. Bagaimana ... bagaimana ....
Sampai pada puncaknya, ibunya memergoki ayahnya tengah menggandeng perempuan itu di lorong rumah sakit tempat kakek si gadis kecil dirawat karena kanker paru-paru. Detik itu juga ibunya menghampiri mereka dan melontarkan kata-kata, "Mulai detik ini, kita tak punya hubungan apa-apa lagi!"
Sang kakek meninggal. Ibu si gadis kecil sangat terpukul. Selama ini ayah mertuanya itu menyayanginya bagai anak sendiri. Dengan kepergian sang ayah mertua, tak ada yang bisa membendung tekadnya untuk mengakhiri delapan tahun usia pernikahannya. Perempuan-perempuan tanpa wajah datang dan pergi silih berganti mengguncang biduk rumah tangganya. Kini, janin berumur tiga bulan yang hadir di rahim perempuan lain itu telah menutup semua pintu.
Seorang pemuda berpenampilan menarik dari kota besar berjumpa dengan seorang gadis pemalu yang cantik dari sebuah kota kecil. Layaknya sebuah drama, semua berharap mereka hidup berbahagia selamanya. Apa mau dikata, inilah akhir dari kisah cinta mereka. Memang pahit terasa. Terlebih bagi seorang gadis kecil yang lahir dari perjudian cinta mereka.
--------------------
Kisah sebelumnya:
Stupid cupid
eha
- Evylia Hardy's blog
- Login to post comments
- 4952 reads
2 hal yang menyebabkan tahta Allah goncang.
mbak eha, sepupu saya juga merupakan hasil divorce, sekarang dia ga bisa kuliah coz bapak tirinya ga ngreken keberadaannya, cuman ngreken ibu sepupu saya tok.
dulu pernah baca, Muhammad pernah bilang: dua hal yang menyebabkan tahta Allah bergoncang:
1. Anak yang menyakiti hati ibu bapaknya
2. suami isteri yang cerai.
Hubungan manusia dalam keluarga sangat penting bagi manusia (i*institusi pertama yang dibangun Allah??), robeknya hubungan itu bukan hanya akan berdampak pada para pelakunya, tapi orang2 yang berada disekeliling para pelaku itu.
jadi bagi siapapun yang mau cerai, hidup anda bukan cuman punya anda, anak-anak anda lebih berhak akan hidup anda, pikirkanlah mereka!
but the one who endure to the end, he shall be saved.....
but the one who endure to the end, he shall be saved.....
@Aes bagaimana jika...
Anak yang menyakiti hati ibu dan bapanya yang bercerai... tahta Allah bagaimana dong??
Karena kita sungguh berharga bagi-Nya dan Dia mengasihi kita.
@ pasir
mungkin udah ambrol kali bro hehehhee
but the one who endure to the end, he shall be saved.....
but the one who endure to the end, he shall be saved.....
Siapa yang mau cerai
AES berkata, “jadi bagi siapapun yang mau cerai, hidup anda bukan cuman punya anda, anak-anak anda lebih berhak akan hidup anda, pikirkanlah mereka!”
Ketika membaca Stupid Cupid-1, saya merasa tidak senang. Saya selalu ingin menghindari mendengar, membaca apalagi melihat gagalnya sebuah perkawinan. Saya tahu kepahitan sebuah perceraian bukan karena orangtua saya bercerai, tetapi karena tidak sedikit kenalan saya mengalaminya dan baik langsung ataupun tak langsung mengisahkan betapa pahitnya sebuah perceraian.
Suatu ketika di sebuah resto Denpasar bersama seorang teman kami duduk semeja dengan sepasang suami istri rekanan dagang perusahaan di mana kami bekerja. Kami berempat sambil makan membicarakan bisnis dengan santai sambil menonton tarian daerah. Tidak ada seorang dari kami yang tidak berbicara. Setelah makan malam bisnis ini bubar teman saya bertanya, “Pur, dalam pembicaraan tadi kamu lihat tidak ada yang aneh?” Saya tidak tahu. Lalu teman saya menjelaskan, “Jika kamu memperhatikan siapa lawan bicara setiap orang, kamu akan melihat suami istri itu tidak pernah berinteraksi. Yang perempuan hanya mengalamatkan bicaranya kepada kita, demikian juga yang pria.”
Perceraian tidak harus berarti cerai tempat tinggal. Kelak kemudian hari setelah saya akrab dengan putera suami istri ini yang sebaya dengan saya, barulah saya tahu kedua orangtuanya tidak pernah bertegur sapa lebih dari 15 tahun. Bahagiakah anaknya? “Bicaralah apa saja, yang suci atau yang kotor, aku mau ikut membicarakannya,” kata anaknya. “tetapi jangan membicarakan hubungan kedua orangtuaku dan bagaimana akibatnya kepada diriku.” Tanpa ia mengatakannya saya telah melihat akibatnya dalam hidupnya. Ia membenci perkawinan, bahkan tidak menghargai perempuan. Ia tidak mempunyai tujuan hidup yang jelas karena tidak tahu nasihat ayah atau ibunya yang harus diturutinya. Dari kasus ini saya melihat lebih baik ayah-ibunya sekalian berpisah tempat tinggalnya demi anak-anaknya.
Tetap hidup serumah ketika dua hati telah terpisah akan membingungkan anak-anak mereka yang melihat kejanggalan-kejanggalan ini setiap hari. Saya hampir mencoret nama seorang siswa SMA dari daftar calon penerima beasiswa karena melihat rumahnya tidak pantas dimiliki orang miskin. Di gereja saya menemuinya.
“Alamat ini rumah siapa?”
“Rumah nenek saya,” jawabnya.
“Kalau rumah nenekmu sebesar itu, mengapa ibumu jadi pembantu rumah tangga dan buruh cuci pakaian?”
“Karena Ibu sudah menceraikan Ayah. Dulu Ibu dan anak-anaknya tinggal di rumah kontrakan. Waktu Ibu tidak punya uang terpaksa ia menumpang di rumah nenek. Nenek itu ibunya Ayah.”
Nah, pusing ‘kan dengar kisah aneh ini. Ayahnya kerja serabutan, tetapi tidak membagikan uangnya kepada para penumpang ini. Ibu dan anak-anaknya menempati sebuah kamar. Dampaknya kepada anaknya ini? Ia minder banget. Tidak pernah saya lihat ia berbicara dengan teman-temannya di gereja. Selesai kebaktian remaja, ia langsung pulang. Enam bulan menjelang SMA-nya selesai ia memberitahu ingin meneruskan sekolahnya di teologi dan bertanya apakah masih bisa dibantu biayanya. Saya menyuruhnya mengajar Sekolah Minggu untuk melihat apakah ia pantas ke teologi. Saya tidak mau ia ke teologi demi gratisnya saja. Ia mendadak stres berat. Saya menyarankan selesai SMA ia bekerja saja.
Dalam mempersiapkan “sekolah gratis” saya mendatangi rumah beberapa siswa sekolah itu. Mereka dari golongan kurang mampu. Saya ingin melihat family profile mereka. Saya menemukan 2 keluarga yang orangtuanya sudah bercerai. Yang satu suaminya minggat entah ke mana sewaktu si isteri mengandung anak kedua. Anak-anaknya, SD dan SMP, hepi-hepi saja dan saya lihat bisa bergaul dengan tetangga.
Yang satu lagi dulu tinggal di Jakarta. Ketika anak ke-3 lahir mereka bercerai. Tiga anak perempuan ini dikirim ke ibunya si Ayah di Semarang. Sekarang yang pertama sudah di SMK, yang ke-2 di SMP dan yang ke-3 di SD. Kedua orangtua mereka masing-masing sudah menikah lagi. Nenek ini bercerita anak ke-3 yang mau saya santuni ini dijemput ibu kandungnya dan dibawa ke Jakarta selama liburan. Ia akan tinggal di rumah ayah tirinya. Seminggu kemudian ia akan dipindahkan ke rumah ayah kandungnya yang tinggal bersama ibu tirinya. Nanti menjelang akhir liburan, ibu kandungnya akan menjemputnya kembali dan mengantarnya pulang ke Semarang. Saya tidak akan percaya adanya kerukunan ini bila telinga saya tidak mendengar sendiri dari neneknya. Bahagiakah anak-anaknya? Saya tidak berani memastikannya.
Tetapi saya sempat bertemu dengan puteri sulungnya yang menunggu jemputan temannya. Pakaian gadis ini modis, tidak ketinggalan jaman. Ia bercerita uang sekolahnya 100 ribu dan mendapat bantuan dari gerejanya 50 ribu setiap bulan. Ia membantu pekerjaan administrasi gerejanya. Dari caranya berkisah saya melihat ia tidak minder.
Tentunya “kemulusan” hidup anak-anak ini tidak boleh membuat kita langsung berkesimpulan bahwa sebuah perceraian tidak berdampak negatip bagi mereka. Jangan-jangan, nah ini yang lebih mengerikan, perceraian bagi mereka sudah menjadi sesuatu yang lumrah, yang umum dan tidak perlu dirisaukan karena banyak kasus perceraian yang mereka lihat di sekitar mereka, juga di televisi.
Dalam menelusuri perkampungan miskin ini saya bertemu dengan seorang gadis cantik yang keponakannya murid “sekolah gratis” itu. Ketika saya bertanya dia sekolah di SMA mana, dia tertawa. Dia sudah menikah dan punya anak satu. Dari tetangganya baru saya tahu ia menikah ketika masih duduk di kelas 1 SMP. Pekerjaan suaminya servis kulkas dan ase dengan penghasilan tidak tetap. Dalam rumahnya yang sempit sehingga di ruang tamu tidak ada meja kursi karena bila malam dipergunakan untuk tidur, tinggal 4 keluarga. Semoga saja ia tidak berganti suami sampai kelak punya cucu.
Saya setuju kita harus membenci perceraian. Tetapi dalam kasus-kasus khusus, seperti yang pernah saya tulis dalam Bunga Buat Beta, perceraian lebih baik daripada anak-anak mereka hidup dalam kepahitan yang lebih berat.
Eha telah mengisahkan kepahitan ini dalam Stupid Cupid – Divorce. Saya yakin dia menulisnya bukan untuk mendapatkan simpati dan empati, tetapi lebih untuk mengingatkan mereka yang sedang kasmaran untuk tidak berjudi dengan asmara. Kiranya kisah sedihnya boleh menjadi suluh dan berkat bagi banyak pembaca.
Salam.
bisa ga yang tua ngalah???
saya sering dengar alasan yang orangtua-sentris seperti cerita2 di atas pak pur. pokonya ini yang ada masalah orang tua, yang nyelesaikan ya orang tua, anak-anak minggri dulu.
tapi bisa ga tho para orang tua itu sekali-kali ga mikirin egonya thok?? saya belum menikah dan belum mikir nikah (*duitnya ga punya hehehehe), tapi saya melihat menikah bukanlah hal gampang segampang temen-temen saya yang menikah karena cuman sudah bosen pacaran. Nikah dampaknya gede karena langsung berhubungan ama nasib orang lain (a.k.a anak-anak).
Jadi kalo yang sudah ngambil keputusan menikah dan punya anak, jangan hanya mengagungkan "akunya", coba dunk merendahkan diri untuk berdamai dan memulihkan keluarga supaya anak-anak ga jadi rendah diri dan bla..bla.. bla..
dan bagi yang belum punya kekuatan merendahkan diri kalo ada apa-apa, tunda dulu deh rencana nikahnya...
but the one who endure to the end, he shall be saved.....
but the one who endure to the end, he shall be saved.....
Evylia menjawab
AES yang dewasa pemikirannya, Sandman yang suka 'nakal' dengan pertanyaan-pertanyaan yang menuntut jawaban cerdas, Pak Pur yang pandai berhitung untung-rugi (juga dalam hal berkata-kata) ... terima kasih, aku belajar banyak dari tanggapan-tanggapan kalian.
Aku berada di sini karena sebuah tujuan. Kalau tidak, lebih baik kupakai waktuku untuk bekerja bakti di gereja. Atau belajar sesuatu yang baru sendiri ataupun bersama keluarga.
Sejak awal aku menulis bukan untuk bernostalgia. Aku menulis untuk memberi suluh (meminjam ucapan Pak Pur). Aku tak suka secara eksplisit mengajari orang untuk begini-begitu, karena itu kebanyakan artikelku berformat seperti cerita, agar pembaca belajar mencerna.
Aku menghindari memasang foto wajahku, bukan minder karena tak menarik, bukan sombong karena cantik. Aku melindungi orang-orang yang secara terbuka kutelanjangi dalam tulisan-tulisanku. Dengan mengenaliku orang akan mengetahui siapa orang tuaku, siapa suamiku, dan ini dan itu. Aku ingin memberi suluh tanpa harus mengorbankan siapa-siapa selain diriku sendiri.
Tidak masalah siapa menganggap aku apa. Aku sudah terbiasa hidup di bawah teropong mikroskop. Tujuanku adalah menjadi suluh. Pengalaman hidup yang manis dibagi untuk membawa sukacita. Pengalaman hidup yang pahit dibagi untuk dipetik pelajarannya.
Terimakasih untuk kisah panjang yang kudapat dari Pak Pur. Aku selalu belajar dari apa yang Pak Pur sampaikan.
eha
eha
bagus tulisannya.
bagus tulisannya. tulisan-tulisan bu eha memang nikmat jadi bahan refleksi, seperti tulisan ini. tak menggurui, namun maknawi. aku perlu belajar banyak dari tulisan ini -- dan tulisan-tulisan yang lain.
aku sendiri salah satu pria yang suka dengan gadis desa malu-malu. jadi merinding, membayangkan ketidaksetiaan yang mungkin saja jadi sikapku.