Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
SEBUAH TAS BERWARNA HITAM
PRAPTI mengumpulkan pakaian suaminya untuk dicuci. Sebuah celana jeans biru kutung dan sudah belel serta seminggu baru dilepaskan dari badannya. Lalu kaos singlet hitam bergambar Yesus di dadanya yang sudah luntur sablonannya. Hanya satu stel itu pakaian suaminya yang dicuci, yang satu stel lagi masih dikenakannya. Memang suaminya hanya punya dua stel pakaian, bila yang satu dicuci satunya dipakai "dinas", begitu selama ini kebiasaannya yang sudah menjadi biasa.
Sambil memasukkan pakaian kotor ke ember plastik hitam yang juga sama bututnya, Prapti memeriksa saku-saku celana jeansnya, barangkali saja ada uang receh yang ketinggalan. Karena Prapto, nama suaminya, selalu jujur karena setiap hari menyerahkan semua penghasilannya kepada sang istri. Kalau suaminya kepingin merokok atau butuh sesuatu, ia selalu terus terang minta uang padanya.
Sebagai pasangan muda yang belum lama menikah dan merantau di kota untuk mencoba peruntungan, karena desanya terkenal tandus maka banyak warganya yang merantau untuk mencari pekerjaan. Demikian juga Prapti dan Prapto, berbekal ijazah SD ternyata tidak mudah mendapat pekerjaan, apalagi tidak ada relasi yang merekomendasinya. Akhirnya Prapto bekerja sebagai penarik becak, sementara Prapti menjadi buruh cuci di sekitar rumah gubuk kontrakannya. Di daerah situ banyak perumahan yang penghuninya sering membutuhkan tenaganya.
Kehidupan rumah tangga mereka cukup sulit, hasil sehari hanya cukup untuk makan sehari itu saja. Tetapi sebagai orang yang cukup rajin beribadah di gereja, ada beberapa jemaat yang menaruh belas kasih dan bersedia menjadi pelanggan becaknya untuk antar jemput anak sekolah. Tentu saja ini merupakan penghasilan yang bisa diharapkan hasilnya, belum kalau pelanggannya memberi "bonus", entah lauk-pauk atau nasi serta makanan lain yang kebetulan mereka punya.
Hari ini Prapto pulang lebih awal dari biasanya. Prapti yang baru pulang mencuci dari tetangga langganannya agak terkejut ketika sang suami tergopoh-gopoh menghampirinya.
"Ti, Ti......!" serunya.
"Ada apa mas?" tanya Prapti mengerutkan dahi.
"Ada yang ingin kuceritakan," sambil duduk mengatur nafas, Prapto mulai ceritanya. "Tadi aku menemukan sebuah tas berwarna hitam yang tertinggal di jok becak. Aku tidak tahu itu tasnya siapa, seingatku penumpang yang terakhir seorang laki-laki muda tapi sepertinya tidak membawa tas kecil itu.
"Sekarang mana tasnya?" tanya Prapti dengan wajah yang nampak berseri-seri. Dibenaknya langsung terpikir, siapa tahu tas yang ditemukan suaminya itu berisi penuh uang atau barang berharga.
"Sudah aku serahkan ke kantor Polisi." jawab Prapto pendek.
Senyum Prapti seketika terhenti.
"Kenapa diserahkan ke kantor Polisi? Bukankah itu sudah jadi milikmu?"
"Bukan. Itu bukan tas milikku."
"Lalu milik siapa?"
"Entahlah."
"Kalau tidak tahu pemiliknya, kenapa kau serahkan Polisi? Itu kan rejekimu to mas. Siapa tau tas itu isinya uang atau perhiasan. Kan lumayan buat tambahan penghasilanmu hari ini. Sekarang jadi miliknya pak Polisi." gumam Prapti penuh sesal.
"Tidak mungkin. Menurut pak Polisi tas yang kutemukan itu akan diumumkan lewat radio dan koran, agar yang merasa kehilangan bisa mengambilnya ke kantor polisi."
"Ah itu pasti alasan Polisi saja agar bisa memilikinya."
"Tidak mungkin." bantah Prapto yakin.
"Zaman sekarang ini tidak ada yang tidak mungkin mas. Kalau masalah uang semuanya serba mungkin, segala cara dihalalkan demi memperoleh uang. Apalagi polisi yang punya seragam resmi, bukankah banyak cerita buruk tentang kelakuan polisi kita yang melakukan tindakan di luar prosedur demi memiliki sesuatu di TKP demi dirinya sendiri."
"Ah ya tidak semua Polisi begitu, masih banyak yang jujur kok. Tapi tas itu belum tentu berisi uang, Ti."
"Apa mas sudah membukanya?"
"Belum."
"Belum? Lalu darimana kau tahu kalau tas itu tidak berisi uang?"
"Barangkali,"
"Barangkali saja? Ah itulah ketololanmu. Kenapa tas itu tidak kau buka dulu," sesal Prapti semakin menjadi.
"Aku tidak berani, soalnya itu kan bukan milik kita."
Keduanya terdiam.
"Sekarang begini saja mas, antarkan aku ke kantor Polisi hari ini juga."
"Untuk apa?" ia heran mendengar ucapan istrinya.
"Untuk mengambil tas itu, sebelum pak polisi mengumumkannya."
"Ti, ingat itu bukan milik kita."
"Katakan saja pada pak Polisi kalau tadi aku naik becakmu dan tasnya tertinggal." Prapti nampaknya sudah benar-benar bernafsu untuk memiliki tas hitam itu.
"Ti, sadarkah kau dengan apa yang kau ucapkan tadi?"
"Mas, aku tidak ingin melewatkan kesempatan baik ini. Tas itu sudah menjadi rejeki kita. Kalau mas Prapto benar-benar mencintaiku, antarkan sekarang juga ke kantor polisi, mumpung hari masih siang." ujar Prapti sambil berbenah diri untuk berangkat ke kantor Polisi.
Karena cintanya pada sang istri, akhirnya berangkat juga Prapto mengantar sang istri. Di kayuh becaknya pelan-pelan, entah pikiran apa yang ada dalam benaknya?
Di kantor Polisi.
Prapto menjelaskan maksud kedatangannya yang kedua kali ini.
"Ooo tas ibukah yang ketinggalan di becak bapak tadi?" tanya Polisi yang berkumis lebat itu dengan tatapan aneh.
"Benar pak!" jawab Prapti mantap, karena ia begitu yakin akan menemui nasib mujur.
"Kemari sebentar bu!" Polisi itu memanggil Prapti, kemudian salah seorang Polisi meletakkan tas berwarna hitam itu dihadapan Prapti.
"Benarkah tas ini milik ibu?"
"Benar, pak!"
"Benarkah tadi becak bapak ditumpangi ibu ini?" tanya Polisi beralih kepada Prapto. Prapto pun mengiyakannya dengan anggukan perlahan.
"Apa saja barang-barang ibu yang berada di dalam tas ini?" tanya Polisi itu lagi pada Prapti sambil menuding tas hitam yang tergeletak di atas meja.
"Saya rasa ada beberapa lembar uang dan sapu tangan di dalam situ," jawab Prapti pelan.
"Mengapa kau katakan saya rasa?" tanya Polisi itu lagi menyelidik.
"Begini,pak. Sewaktu saya akan berangkat ke pasar, karena tergesa-gesa hampir saja saya lupa membawa tas itu, lalu saya suruh suami saya mengambilkan."
"Benarkah ada sapu tangan di dalam sini?"
"benar pak."
"Warnanya apa?"
Prapti mulai tak tenang duduknya. "Me...merah pak." jawab Prapti agak ragu-ragu. Polisi itu terdiam, lalu berdiri dan membuka tas dan mulai mengambil barang-barang di dalamnya satu demi satu.
"Ini benar milikmu?" tanya Polisi sambil menunjukkan sebuah lipstik warna merah.
"Ya."
"Dan ini?" Polisi itu menunjukkan selembar uang sepuluh ribuan. Lagi-lagi Prapti menjawab ya dan matanya berbinar begitu melihat uang.
"Ada berapa rupiah uangmu di dalam sini?" tatap Polisi itu dengan rasa curiga. Prapti berusaha menjawab setenang mungkin.
"Kurang tahu, pak. Biasanya suami saya yang menaruh uang di tas itu untuk belanja."
Polisi itu kembali mengeluarkan selembar uang sepuluh ribu lagi. Mata Prapti lebar berbinar. Barangkali disitu masih banyak lembaran-lembaran uang puluhan ribu, pikirnya bergairah. Tapi kenapa Polisi itu mengambilnya saru persatu?
"Dan apakah ini juga milikmu?" tanya Polisi itu menunjuk pada sesuatu di dalam tas itu.
Prapti melongok ke dalam tas, Prapto pun ikut melihatnya.
Tapi yang mereka lihat benar-benar mengagetkan. Satu buah telinga dengan darah yang sudah mengental terbungkus sapu tangan putih yang sudah berlumur darah. Prapti mual dan pusing sebelum akhirnya jatuh pingsan. Prapto dengan sigap menopangnya.
*****
Semoga Bermanfaat Walau Tak Sependapat
Semoga Bermanfaat Walau Tidak Sependapat
- Tante Paku's blog
- Login to post comments
- 3884 reads