Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Pernikahan untuk Kemuliaan Tuhan
“This mystery is great;
but I am speaking with reference to Christ and the church.”
Ephesians 5:32
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2015-2017[1], setiap tahun angka perceraian di hampir semua propinsi[2] di Indonesia meningkat. Sebagai contoh kota Jakarta[3], persentase angka perceraian di tahun 2015 sebesar 18%, tahun 2016 sebesar 20%, dan tahun 2017 sebesar 22%. Meskipun faktor pertambahan penduduk mempengaruhi jumlah angka kemungkinan perceraian, akan tetapi peningkatan persentase menunjukkan bahwa adanya peningkatan kecenderungan pasangan menikah untuk bercerai.
Keluarga adalah unit terkecil dari tatanan masyarakat. Tidak kokohnya suatu keluarga akan berakibat pada tidak kokohnya masyarakat. Hal ini terbukti dengan efek-efek negatif yang disebabkan oleh perceraian. Dibandingkan dengan anak-anak dari keluarga utuh, anak-anak yang memiliki orangtua bercerai akan mengalami emotional disorder, bermasalah dalam perilaku sosial. Sebagian besar akan menjadi mengalami kesulitan dalam belajar, keluar dari sekolah, dan menjadi berandalan. Memasuki usia remaja, mereka akan memiliki kecenderungan memiliki anak di luar nikah, tidak berprestasi dalam sekolah, yang berujung pada kesulitan mencari kerja sehingga tidak mampu berdikari. Sehingga kumpulan efek yang ditimbulkan dalam masyarakat adalah semakin rendahnya SDM dan semakin tingginya tingkat pengangguran.[4]
Melihat data-data perceraian di atas, sepertinya manusia lebih memilih resiko bercerai daripada sulitnya menghadapi pernikahan. Hal ini membawa pada pertanyaan, masyarakat seperti inikah yang Tuhan inginkan terjadi? Apakah masih ada harapan bagi dunia yang sudah tercemar polusi dosa? Sebagai seorang Kristen, bagaimanakah kita menyikapi perceraian yang menyebabkan penurunan kualitas masyarakat?
Tuhan benci perceraian. Pengajaran gereja selalu menekankan bahwa perceraian adalah dosa. Tetapi pernahkah kita bertanya mengapa itu berdosa? Jika kita tarik lebih jauh lagi, mengapa Tuhan menciptakan konsep pernikahan in the first place? Tujuan apa yang mau Tuhan capai melalui pernikahan?
Kitab Kejadian tidak pernah secara eksplisit menuliskan pernikahan Adam dan Hawa, akan tetapi melalui Kej 2:24-25 kita dapat menyimpulkan adanya pernikahan yang pertama, sebelum manusia jatuh dalam dosa. Sesaat setelah Adam & Hawa diciptakan dan disatukan,[5] Tuhan memberikan mandat budaya kepada Manusia di dalam Kejadian 1:28, “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukanlah itu, berkuasalah …”, bukankah Tuhan membayangkan suatu masyarakat yang dipenuhi oleh keadilan, kemakmuran, dan keteraturan? Meskipun Tuhan memberikan perintah ini sebelum kejatuhan manusia ke dalam dosa, tetapi Tuhan tidak pernah mencabutnya. Bahkan Ia menegaskan kembali perintah-Nya meskipun manusia akan bersusah payah melaksanakannya akibat kutukan dosa (Kej. 3:16-19).[6]
Kita percaya bahwa Tuhan Allah di dalam kemahatahuan-Nya melihat kejatuhan manusia dan akibat-akibat dari dosa, namun demikian Ia tetap menjalankan penciptaan. Dengan logika yang sama, bukankah tidak mungkin Tuhan pun sudah merancangkan karya keselamatan manusia melalui Kristus jauh sebelum Ia menciptakan apapun? Pemahaman inilah yang dianut oleh Bapak-bapak Gereja seperti Irenaeus, Augustine, dan Anselm, yaitu akan satu-kesatuan tujuan Tuhan melalui karya penciptaan dan penebusan. Ditegaskan oleh J.F Johnson, “It is a view that neither opposes creation to redemption nor subsumes creation under redemption, but holds them in tandem under the lordship of Christ.”[7]
Karya penciptaan Tuhan di dalam Kejadian 1 dan 2 adalah baik untuk manusia bahkan untuk sampai saat ini. Proses penebusan tidak menghancurkan dunia yang ada melainkan merestorasinya melalui Kristus. Seperti yang disampaikan oleh Thomas C. Oden, "The new heaven and the new earth are not alien to the old heaven and the old earth but a fulfillment of it, a continuation and fulfillment of God's original purpose in creation." [8]
Pernikahan juga merupakan bagian dari penciptaan awal sebelum masuknya dosa. Pernikahan termasuk yang memiliki satu-kesatuan tujuan baik penciptaan dan penebusan. Setelah kejatuhan manusia, segala sesuatunya terpolusi dosa termasuk pernikahan. Akan tetapi, If the whole creation is affected by the fall, then the whole creation is also reclaimed in Christ. … the scope of redemption is as great as that of the fall; it embraces creation as a whole.[9] Sehingga dengan pengharapan inilah, kita percaya bahwa Kristus melalui pernikahan akan memenangkan kemanusiaan yang sudah rusak oleh dosa. Kristus akan merestorasi bukan hanya pernikahan secara personal tetapi juga efek yang dihasilkan secara komunal, Ia merubahnya dari yang semula negatif menjadi positif.
Tidakkah mengherankan ketika kita menemukan bahwa penulis-penulis Alkitab menggunakan hubungan pernikahan satu suami satu istri sebagai alegori akan hubungan Tuhan Allah dengan umat-Nya? Perjanjian Lama menggambarkan kecemburuan Tuhan Allah dengan bangsa Israel yang menyembah ilah lain bagaikan suami yang cemburu akan ketidaksetiaan istrinya. Perjanjian Baru menggambarkan Kristus sebagai mempelai laki-laki, dan gereja sebagai mempelai perempuan. Dan di dalam suratnya untuk jemaat di Efesus, Paulus mengutip ayat Kejadian 2:24 dan menuliskan bahwa alegori ini a profound mystery (NIV). Dapatkah kita simpulkan bahwa Tuhan ingin kita memahami proses karya keselamatannya melalui hubungan pernikahan ini? Sehingga tepat seperti yang dituliskan oleh George W. Knight III :
Paul saw that when God designed the original marriage, He already had Christ and the church in mind. This is one of God’s great purposes in marriage: to picture the relationship between Christ and His redeemed people forever!… Christlike, loving headship and church-like, willing submission are rooted in creation and in God’s eternal purposes, not just in the passing trends of culture.[10]
Perubahan masyarakat melalui pernikahan menjadi penting ketika kita menyadari konsep teologi Kerajaan Allah di dalam PL maupun PB. Seperti di dalam Yesaya di menggambarkan Kerajaan Allah sebagai dunia di bumi yang dibaharui (Yes 11:6-9, 65:17-25).[11] “Tidak ada yang akan berbuat jahat atau yang berlaku busuk,” dan “ … seluruh bumi penuh dengan pengenalan akan TUHAN,” (ay.9). Terlebih jelas lagi di dalam doa Yesus, “Datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu, di bumi seperti di sorga.” (Matius 6:10). Dengan demikian kita dapat memahami bahwa Kerajaan Allah dimaksudkan sudah terjadi tetapi masih di dalam proses penggenapan, the already but not yet.[12]
Sehingga seseorang yang sudah percaya di dalam Kristus, meskipun masih memiliki polusi dosa, harus hidup di dalam iman bahwa Kerajaan Allah itu sudah datang.Umat pilihan Allah yang hidup di dunia sudah mencicipi sebagian dari penggenapan dunia baru. Dengan hidup dan menyebarkan prinsip-prinsip Tuhan, termasuk di dalam pernikahan, umat sudah ikut bagian dalam membawa Kerajaan Allah masuk ke dalam dunia. C.K. Barrett mengatakan, “Christian existence means that by faith one lives in the midst of the old creation in terms of the new creation that God has brought about through Jesus."[13]
Tulisan ini dimulai dengan data-data statistik perceraian di Indonesia yang mengkhawatirkan, tetapi akan ditutup dengan sebuah kabar baik dari kesaksian hidup anak-anak Allah. Sebuah kutipan dari pengamatan penulis Muslim yang diterbitkan di Jurnal Ilmu Syariah :
Dalam konteks keIndonesiaan perceraian dalam Agama Non Muslim dibolehkan. Hal ini bisa dilihat pada kasus perceraian di Pengadilan Negeri Kotamadya Bogor yang mencapai 74 perkara. Alasan tersebut (angka yang cukup rendah) dikuatkan dengan perspektif Kristen yang mengatakan bahwa diadakan dan disahkannya perkawinan tidak hasil cipta manusia melainkan dipersatukan Tuhan Yesus. Oleh karena itu, yang menyatukan dan yang bisa memisahkan pasangan yang sudah melakukan perkawinan hanya Tuhan Yesus. Dalam konteks keagamaan, sakralitas agama dalam ajaran Agama Kristen mampu mengendalikan terjadinya sebuah perceraian. … Bagi pasangan yang cerai karena zina diperbolehkan kembali kepada pasangannya setelah bertaubat. Hal tersebut merupakan perintah Tuhan Yesus yang sangat baik diterapkan dalam perkawinan.[14]
Dengan pemahaman tujuan karya penciptaan dan penebusan, memperbaiki masyarakat melalui pernikahan Kristen bukankah merupakan bentuk praktikal dalam perluasan Kerajaan Allah di bumi?
Kembali kepada pertanyaan, “Mengapa Tuhan menciptakan pernikahan?” John Piper menjawab dengan lugas, “Marriage exists to magnify the truth and worth and beauty and greatness of God; …as a revelation of God’s glory. [15]
[1] Statistik Indonesia: Statistical Yearbook of Indonesia 2018, Badan Pusat Statistik, 202.
[2] Kecuali propinsi Jawa Tengah, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tenggara. Penurunan tingkat perceraian diimbangi dengan turunnya tingkat pernikahan.
[3] Perbandingan angka perceraian dengan angka pernikahan di Jakarta tahun 2015 sebanyak 10.302/ 55.969, tahun 2016 sebanyak 11.321/ 54.696, dan tahun 2017 sebanyak 12.653/ 56.355.
[4] Furstenberg dan Kiernan (2001), Le Blanc (1995), Sun and Li (2002), Martins (2002) Frederick dan Boyd (1998), dikutip dalam Mbwirire John, “31 Effects of Marital Conflicts In Christian Marriages in Domboshava Area, Mashonaland East Province,” International Journal of Humanities, Art and Social Studies (IJHAS), Vol. 2, No.4
[5] Dipercaya bahwa kitab Kejadian 1 menceritakan penciptaan manusia secara umum, dan Kejadian 2 menceritakan penciptaan manusia secara detail. Sehingga urutan pemberian mandat yang dinyatakan di Kejadian 1, dan “pernikahan” di Kejadian 2 tidak dimengerti secara kronologis.
[6] Perintah “Beranak cuculah dan bertambah banyak” tetap ada namun Hawa akan “Susah payahmu waktu mengandung akan Kubuat sangat banyak; dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu;…” dan perintah “…penuhilah bumi dan taklukanlah itu, berkuasalah…” tetap ada namun Adam akan “…bersusah payah engkau akan mencari rezekimu dari tanah seumur hidupmu…dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu…”
[7] J. F. Johnson, 'Neither Male nor Female'" 10, dikutip dalam H. Wayne House,”Creation and Redemption : A Study of Kingdom Interplay,” JETS 35/1 (March 1992), 12
[8] Thomas C. Oden, The Living God, 243, dikutip dalam H. Wayne House, Creation and Redemption, 9
[9] Wolters, 1985, 59-69, dikutip dalam Chung Gwan Joo, “Marriage and Sexuality in Terms of Christian Theological Education, Procedia – Social and Behavioral Sciences 174 (2015) 3940 – 3947.
[10] John Piper dan Wayne Grudem, Recovering Biblical Manhood & Womanhood : A Response to Evangelical Feminism, bab 8 Husbands and Wives as Analogues of Christ and the Church, ed. George W. Knight III, (Illinois : Crossway Books, 1991), 176.
[11] G. E. Ladd, A Theology of the New Testament (Grand Rapids: Eerdmans, 1974) 567, dikutip dalam H. Wayne House, Creation and Redemption, 9
[12] Darrell L. Bock, The Kingdom of God in New Testament Theology : The Battle, The Christ, The Spirit-Bearer, and Returning Son of Man, https://bible.org/article/kingdom-god-new-testament-theology-battle-christ-spirit-bearer-and-returning-son-man
[13] C. K. Barrett, A Commentary on the Second Epistle to the Corinthians (London: Adam and Charles Black, 1973) 175. dikutip dalam H. Wayne House, Creation and Redemption, 11
[14] Ermi Suryani, “Tingkat Perceraian Muslim dan Non muslim Di Indonesia*(DIVORCE LEVEL OF MUSLIM AND NON-MUSLIMIN INDONESIA),” Jurnal Ilmu Syariah,FAI Universitas Ibn Khaldun (UIKA) BOGOR Vol. 3 No. 2(2015), pp.153-200
[15] Wayne Grudem, Biblical Foundations for Manhood and Womanhood, bab 3 The Surpassing Goal: Marriage Lived for the Glory of God, ed. John Piper, (Illinois: Crossway Books, 2002), 97.
- Diananov's blog
- Login to post comments
- 1514 reads