Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Pencarian Bakat

smile's picture
Pencarian bakat adalah ajang yang sangat digemari sekarang di Indonesia. Orang bisa cepet terkenal jika mengikuti ajang atau kontes seperti itu.Beda negara beda budaya, beda negara, beda cara berpikir.
 
 
Mungkin Indonesia lebih cenderung memilih  karena“RASA kemanusiaan”  dalam menentukan siapa bakat yang perlu muncul sebagai bintang. Urusan bakat menjadi tersampingkan.Yang ada , lagi lagi rasa empati dan simpati.
 
Semua orang berhak mengejar mimpi, dengan 1001 caranya, dengan 1001 triknya.Semuanya kembali kepada pribadi masing masing.

Seorang bintang memang bisa tercipta dari ajang yang diadakan tersebut. Namun tak sedikit, jiwa bintang itu sudah ada dalam diri seseorang jika seseorang memang tercipta untuk menjadi bintang.

Talenta (baca :bakat anugerah) memang diberikan oleh Sang Pencipta untuk setiap orang berbeda. Bagi calon bintang perlunya dilakukan latihan dan pengetahuan yang dalam akan bakat yang digelutinya bukanlah suatu hal yang bisa disepelekan.

Tak ada seorang bintang yang hanya mengandalkan jiwa menjadi bintang saja. Semuanya butuh proses dan juga perjuangan serta bakat yang bisa dipersembahkan buat orang lain( baca ;fans atau penggemar atau pemilih)

Kadang pencarian bakat dalam ajang tertentu telah dikaburkan dengan rasa empati dan simpati, yang menyebabkan pada akhirnya pemilihan berujung tidak pada konteksnya, melainkan lebih mengutamakan empati yang melahirkan simpati tersebut.Dalam hal ini sekali lagi bakat sebenarnya akhirnya dikesampingkan.

Apakah seorang bintang hanya dipilih karena kekurangannya? Apakah seorang bakat hanya dipilih berdasar rasa empati dan simpati dari para pemilihnya? Atau dari para juri?

Jika iya demikian, maka Indonesia tidak akan menghasilkan bintang yang bisa go internasional. Bagaimana mungkin bisa bersaing dan go internasional bila bukan bakat yang diutamakan tapi perihal lain diluar itu.(salah satunya belas kasih)

Sebenarnya menurut pengamatan saya, alangkah baiknya jika dimunculkan juara favorit, yaitu juara yang disukai oleh pemilihnya, bukan berarti itu mutlak karena bakat yang ditunjukkannya. Membawa empati dan simpati kedalamnya adalah hal lumrah dan masih bisa diterima, tanpa melihat bakat sesungguhnya, itulah yang bisa disebut sebagai juara atau pemenang atau bintang favorit.

Walaupun runner up bukan pemenang, tapi bisa jadi dia adalah pemenang yang sebenarnya.Bintang dilahirkan karena bakat dan keahliannya, yang daripadanya akan muncul penggemar dan pendukung. Setiap penampil bakat mempunyai bakat masing masing. Tapi jika Bakat yang dipilih sama, masih dalam satu bidang, lebih unggul dalam kualitas juga keprofesioanalan, lalu kemudian kalah dari pesaingnya yang jika dinilai dari semua yang disebutkan diatas, lebih rendah, maka ajang bakat itu sudah bergeser makna dan tujuan awalnya, menjadi  mencari sosok bakat “KEMANUSIAAN” dan bukan lagi memilih bakat yang benar benar dipilih karena keunggulan dari bakat itu sendiri.

Cerita sedih biasa dilakukan dalam mencari simpati dari para pemilih, yang lagi lagi akan mengaburkan tujuan awal yaitu mencari bakat yang berbakat.

Seorang juri juga harus bisa memilih bukan karena rasa empati yang kemudian menimbulkan simpati semata, tapi memilih dan menetapkan seseorang layak atau tidak menjadi bakat pilihan, menjadi bintang karena memang dalam diri orang itu ada semua aspek yang mendukung nya untuk menjadi seorang bintang.

Atau jangan sampai seorang juri memilih karena si juri sendiri takut kepada “KEMANUSIAAN” tadi, dan takut jika orang lain atau para penggemarnya sendiri menjadi kesal karena si juri tidak memiliki rasa kemanusiaan.

Sungguh menyedihkan. Yang lain menyebutnya mengenaskan.

Jika semua juri di Indonesia lebih mengutamakan empati yang melahirkan simpati daripada melihat bakat yang luarbiasa dan kemampuan dari penampil bakat, maka Indonesia sekali lagi tidak akan melahirkan  bintang berbakat yang sesungguhnya.
 
Sebagai bahan pertimbangan, apakah juri juri itupun menjadi bintang karena belas kasihan? Atau karena rasa empati dan simpati dari penggemarnya? Ibarat kartu prabayar dan pasca bayar, yang satu bayar dulu baru pakai, yang lain pakai dulu baru bayar, juri itu bintang yang bekerja keras sehingga menjadi bintang, berusaha dulu baru terkenal, bukan terkenal dulu baru belajar dan berkerja keras.Jika kalian pun mendapatkan semuanya dengan susah payah, untuk apa kalian sebagai juri tidak menunjukkan keprosfesioanalan kalian dengan memilih secara tidak profesioanal dan hanya mengandalkan empati dan simpati semata?
Kompetisi dalam ajang pencarian bakat kadang berhasil sangat kontroversial. Banyak kriteria yang membuat seseorang bisa tidak memilih walaupun suka dengan sang idola. Kenapa?

Karena rasa kemanusiaan tadi, karena perbedaan kebudayaan (mungkin saja) atau karena hal lain.

Semua bisa menjadi maklum, karena yang memilihnya belum tentu mengerti akan seni yang ditampilkan oleh para penampil bakat tersebut, atau bisa jadi mereka hebat(sang calon bintang) namun tidak populer.

Mungkin ada baiknya pencarian bakat dalam sebuah kompetisi dikategorikan dalam beberapa bagian sesuai bidang masing masing. Sebagai suatu pemikiran, untuk semua orang yang berbakat dalam hal musik dikategorikan dalam Musik. Dan untuk musiknya pun dibagi lagi dalam beberapa kategori. Kategori penyanyi atau kategori sebagai pemain musik. Untuk bidang lain, seperti bidang tarian, dan sisanya baru dikategorikan dalam pencarian bakat campuran.(baca serba bisa)

Jika diklasifikasikan seperti itu, mungkin pemilihan akan bisa lebih bersifat netral dan sesuai dengan apa yang bisa ditampilkan oleh penampil bakat yang berbakat untuk membuat orang memilihnya, bukankarena empati, simpati, belas kasih atau kemanusiaan.

Jika ingin menampilkan pencari bakat kemanusiaan, ya buat saja ajangnya sendiri. Semua peserta boleh mengungkapkan, dan mengekspresikan semua kesedihan sehingga yang namanya belas kasih, rasa kasihan, empati dan simpati bisa muncul disana.

Itulah yang kadang menjadi trend. Trend kemanusiaan. Sayangnya kemanusiaan tidak dilakukan jika orang tidak mengetahui. Semua ingin tampil menjadi bintang. Semua ingin dianggap sebagai pahlawan.Dengan kata lain, kebanyakan pamrih dalam melakukan sesuatu.

Pernahkah anda bayangkan, orang yang anda kasihani, yang kepadanya iba anda terluapkan, ternyata setelah sukses hidupnya berulah, dengan meninggalkan keluarganya, atau tersandung kasus narkoba, atau hal hal lainnya yang membuat penyesalan tak ada artinya.

Bintang yang terlahir dari belas kasihan, dan rasa kasihan, dari empati dan simpati pemilihnya tak bisa akan bertahan lama dalam dunia entertainment yang tiap hari menghasilkan bintang bintang baru yang bermunculan dengan talenta yang lain dan beragam.

Jika demikian, sama saja dengan penjerumusan bakat seseorang. Yang bukan bintang dipaksa jadi bintang, yang bintang sesungguhnya malah menjadi bukan bintang.Menjadi bintang memang tidak berhenti disaat seseorang kalah dalam kompetisi.Perihal itu akan dibahas lain kali karena konteksnya berbeda dengan topik bahasan untuk blog ini.

Bintang terlahir karena memang kemampuannya. Bintang terlahir bukan hanya karena dia patut dikasihani untuk jadi bintang. Semoga saja ke depan Indonesia akan lebih jeli dan lebih profesional dalam memilih siapa yang pantas untuk menjadi seorang BINTANG, bukan seorang PECUNDANG.

smile
November 22nd - 2010
__________________

"I love You Christ, even though sometimes I do not like Christians who do not like You include me, but because you love me, so I also love them"