Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Orang Gila di Singapura
Bandara Changi, Singapura (semua foto milik Purnawan Kristanto)
Seorang pria bertelanjang dada berteriak-teriak di airport Changi, 2 Juni 2012, sekitar pukul 19 waktu setempat. Ada sekarik kain putih membalut tangan kanannya. Saat itu saya sedang transit dari Filipina untuk menunggu penerbangan berikutnya ke Jakarta. Saat sedang mengecek email, tiba-tiba saya mendengar orang yang berteriak-teriak. Semula saya mengira itu adalah suara orang yang sedang melakukan aksi teatrikal. Maklumlah, di bandara Changi ini ada banyak titik-titik hiburan untuk menghibur para penumpang.
Ternyata dugaan saya salah. Ternyata suara itu berasal dari seorang pria yang berteriak-teriak dengan tatapan mata yang nanar. Dia berjalan mondar-mandir di sela-sela lorong gerai-gerai dengan gelisah.
Saya segera mematikan dan memasukkan laptop ke dalam tas. Setelah itu bergegas mengambil kamera video untuk merekam kejadian itu. Saya mengambil posisi siaga, sewaktu-waktu siap menyambar ransel dan kabur jika pria itu menghampiri saya.
Anehnya, selama beberapa menit tidak ada petugas keamanan bandara yang merespons situasi ini. Petugas berseragam yang melintas di dekat pria ini tampaknya juga tidak ambil peduli. Sementara itu cafe yang berada di dekat pria tetap saja melantunkan live music, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Ada juga penumpang yang berjalan di dekat pria ini dengan ekpresi datar.
Setengah jam kemudian barulah ada tiga satpam yang mendekati pria ini, namun tidak menengkapnya. Mereka hanya membuntuti pria bule ini kemana pun dia bergerak.
Bagi saya pemandangan ini agak ganjil mengingat Singapura cukup ketat dalam melakukan pengamanan. Sebagai contoh, saat akan boarding, penumpang yang membawa laptop harus mengeluarkan dan menunjukkannya pada petugas. Saat melewati pemindai logam, calon penumpang juga harus melepas ikat pinggangnya.
Video orang gila dapat dilihat di sini
Prosedur pengamanan lebih ketat diterapkan di bandara Davao, Mindanao, Filipina Selatan. Maklum saja, tempat ini pernah menjadi wilayah konflik antara tentara pemerintah dengan pasukan pemberontak MILF. Karena itu pemerintah lokal sangat serius dalam menjaga keamanan. Kalau Anda masuk ke perkantoran atau pusat perbelanjaan, maka Anda harus melewati detektor metal. Setelah itu, petugas keamanan akan menggeledah tubuh Anda. Tidak hanya dengan mengayun-ayunkan detektor metal portabel seperti di Indonesia, tapi benar-benar 'menggerayangi' tubuh kita.
Ruang Tunggu bandara Davao
Di bandara Davao, pemeriksaan bagasi dan tubuh penumpang juga sangat ketat. Sama seperti di Indonesia, penumpang juga melewati dua pemeriksaan. Pertama, pemeriksaan saat masuk ke dalam bandara, sebelumcheck ini. Pemeriksaan di sini lebih longgar. Kadang-kadang petugas akan membuka bawaan penumpang juga. Saya melihat ada tas penumpang yang dikeluarkan isinya satu-persatu oleh petugas.
Pemeriksaan kedua jauh lebih ketat. Semua benda logam yang melekat di badan harus dilepas dan diletakkan dalam sebuah nampan yang disediakan oleh petugas. Saya memasukkan dompet, hape, uang receh dan ikat pinggang ke dalam nampan. Setelah itu berjalan melewati pintu detektor logam. Tidak terdengar suara peringatan.
"Aman!" kata saya dalam hati dengan lega.
Ternyata tidak. Petugas menyuruh saya keluar lagi. Saya harus melepas sepatu dan memasukannya ke dalam nampan juga.
Busyet, baru kali ini saya harus bertelanjang kaki pada pemeriksaan. Apa boleh buat!
Usai melewati pintu detektor, petugas melakukan pemeriksaan fisik. Mereka benar-benar teliti. Sebatangflash USB yang masih terselip di kantong celana ternyata bisa ditemukan! Saya harus mengeluarkan dan menunjukkannya pada petugas.
Lolos dari pemeriksaan, pak Erik, teman perjalanan saya ingin merokok. Sayangnya, lounge yang menyediakan ruang untuk perokok sedang tutup. Di Davao ini, perokok tidak boleh merokok di tempat umum. Jika melanggar, maka perokok dapat didenda sekitar 2 juta rupiah. Ruang untuk perokok lainnya terdapat di terminal domestik. Itu artinya dia harus melewati imigrasi dan pemeriksaan keamanan lagi. Pak Erik harus ngampet hasrat merokoknya.
Senja di Singapura
Kami menumpang Silkair yang akan membawa kami ke Singapura. Akan tetapi kami harus mampir di Cebu dan transit selama 45 menit. Di kota ini, terdapat pangkalan militer Amerika Serikat, yaitu Clark. Di Cebu ini pak Erik bisa memuaskan hasrat merokoknya. Namun untuk itu dia harus keluar ongkos sekitar 50 ribu rupiah untuk sekaleng Coca-cola. Agar boleh masuk ke ruang merokok pengunjung harus membeli sesuatu. Dan tentu saja dengan harga yang di-mark-up.
Senja hari, kami sudah mendarat di Singapura. Kami menunggu 2 jam untuk keberangkatan berikutnya dengan menumpang Singapore Airlines. Maskapai ini memang top-markotop. Sesaat setelah duduk, pramugari membagikan handuk hangat kepada penumpang. Meskipun saya berada di kelas ekonomi, namun kursinya cukup lebar dan nyaman. Ruang untuk kaki juga cukup lebar, Menu makanan dan minuman cukup beragam. Kita boleh memilih yang disukai. Kalau mau bacaan, kita bisa meminta koran Straits Times yang tebal halamannya 3 kali Kompas.
Pukul sebelas malam kami sudah mendarat dan langsung disambut situasi khas Indonesia: Antrian imigrasi yang mengular! Rombongan TKI, rombongan tour wiraniaga asuransi dan orang yang baru saja berakhir pekan di Singapura berbaur menunggu giliran mendapat cap di paspor masing-masing.
Antrean imigrasi. Maaf agak blur karena sudah capek
Kami sudah dijemput oleh petugas hotel. Hotelnya tidak begitu jauh dengan bandara. Saat check in, kami sempat kebingungan karena harus menyerahkan uang jaminan. Alasannya, karena kami membayar menggunakan voucher. Uang jaminan ini akan dikembalikan kalau kami check out. Pihak hotel minta jaminan sebesar Rp. 1 juta. Masalahnya, kami tidak pegang uang rupiah.
"Bagaimana kalau dollar US?" tanya saya.
"Boleh pak. Berarti jumlahnya 100 dollar US," jawab petugas.
Saya periksa dompet saya. Ternyata hanya ada 80 dollar. Untunglah, pak Erik punya 20 dollar.
Kami merebahkan badan dan segera terlelap. Esoknya, pak Erik terbang ke Lampung dan saya terbang ke Yogyakarta. Home sweet home!
Landasan pacu bandara Soekarno-Hatta
Baca juga:
- Catatan Perjalanan: Kesasar di Singapura
- Peace Building Training Note
- Catatan Pelatihan “Peace Building” (1)
- Peace Zone di Filipina | Catatan Pelatihan “Peace Building” (2)
- Melongo di Davao
- Menyerap Metode Partisipatif dalam Pelatihan Peace Education
- Menyemai Perdamaian Batin [Oleh-oleh dari Filipina]
- Belajar Tentang Prinsip Belajar Orang Dewasa
- Komunikasi Nir-Kekerasan
- Masuk Zona Ketidak-Nyamanan
- Pemulihan Trauma Berbasis Masyarakat
- Storytelling untuk Menyembuhkan Trauma
- Orang Gila di Changi Singapura
------------
Communicating good news in good ways
- Purnawan Kristanto's blog
- Login to post comments
- 6360 reads