Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Teks dan Tradisi
Sitor Situmorang punya puisi pendek MALAM LEBARAN yg sangat terkenal dan cuma sebaris: "bulan di atas kuburan"
Dari karya-karya Sitorlah saya menyukai puisi. Sebegitu enggan dengan puisi, saya baru mengambil mata kuliah Pengkajian Puisi pada tahun ketiga. Saya beruntung karena pengajarnya adalah profesor yang juga penyair, dan tugas-tugas kuliah yang beliau berikan menggugah minta saya untuk menyukai puisi. Berhubung agak telat dalam hal perpuisian, saya baru menyukai sebagian bentuk puisi tertentu dan masih alergi dengan sebagian yang lain.
Lalu datanglah hari itu, hari yang sangat tidak mengenakkan dalam percintaan saya dengan setumpuk puisi Sitor. Saya sedang membacanya di bawah pohon rindang di pelataran kampus, dan seorang senior menghampiri.
"Hee lg baca Sitor ya? Loe tau ga?"
"Tau apa?"
Ia meraih buku kumpulan puisi di tangan saya, membolak-balik dan membuka halaman puisi Malam Lebaran ini.
"Nah, yg ini. Tau ga ceritanya?"
"Cerita apa sih?"
"Malam itu malam Lebaran dan Sitor sedang jalan menuju rumah Pramoedya. Trus ada tembok putih panjaang. Sitor penasaran, ada apa di balik tembok. Dan ternyata itu kuburan."
"Trus?"
"Ya udah gitu aja ceritanya."
Dan.... cerita itu tidak sekedar gitu aja. Imaji mistik dalam kepala saya tiap menekuni larik "Malam lebaran/bulan di atas kuburan/" pun berganti dengan gambaran "Sitor Situmorang--memanjat tembok melongok kuburan--dalam perjalanan ke rumah Pram."
Kepolosan saya dalam menikmati puisi telak direnggut oleh tradisi, suatu cerita dari mulut ke mulut bahwa pada malam lebaran yang itu, Sitor melihat kuburan dalam perjalanan ke rumah Pram.
"Jangan larut dalam teks, Mia. Kamu harus tetap terjaga dan kritis terhadap teks. Dengan begitu kamu bisa jadi kritikus yang baik. Bila kamu larut, kamu akan berpihak."
Ngga mau. Untuk yang lain saya akan tetap terjaga dan kritis. Tapi untuk Sitor, Iwan Simatupang, Camus atau Sartre, saya mau larut, saya mau nyemplung dan berenang berkubang; mau menyelam dengan mata terpejam. Lagian, kan saya bukan mau jadi kritikus. Saya mo jadi guru TK, hehehe.
".... ...."
- Miyabi's blog
- Login to post comments
- 6609 reads
waooowww
baru tau mia mau jadi guru TK... ah bikin gw kepengen jadi anak TK aja nih :wub :wub
pasti asyik punya guru TK yang bisa bahasa planet
imprisoned by words...
apes
Apes banget.... potingnya barengan ma TP wkwkwkwkwk.... dalam sekejab kesusul, gue 20 reads, TP langsung 40 reads
Ntar bahasa planetnya ditransfer ke Minie
empartasi
emanasi kebuli
wes ewes ewes
".... ...."
@Mia
gpp mia, emang yang hobie puisi di SS ga seberapa, tapi lumayan banyak juga kek Tante Paku, Smile dll
Tapi terus terang aku gak nangkep maksud dari tulisan kamu hehehehehe
@Minie
Terlalu samar-samar ya? Ntar kapan2 nulis khusus buat minie deh hehehe.
".... ...."
Worth to click
@Han: puisi
Puisi yang lemah tercipta akan cepat membuat kesal kita. Biasanya memang tidak bertahan lama, sehari dua "diuntel-untel" masuk keranjang sampah dengan hati kesal.
Tapi puisi yang kuat akan bertahan lama. Bertahun-tahun sesudahnya kita masih menikmati kekuatannya. Ide-ide baru muncul dan berkembang dari situ.
Agar puisi kita kuat, kita perlu menyimak banyak apresiasi, membaca banyak puisi dan perlu berdiskusi saling mengkritik. Ketika lahir puisi kita yang terasa kuat, mungkin seperti seorang ibu yang berhasil melahirkan anaknya. Mencintai.
Ferrywar, Bukan Pujangga :-)
Mungkin tergantung talenta dan mood juga kali yahh, padahal saya sering baca puisi, termasuk di Sabda Space ini banyak bertebaran Puisi - Puisi dengan nuansa yang indah dan makna yang dalam. Berkali - kali saya coba bikin Puisi, tapi ketika dibaca lagi berulang - ulang rasanya kok ndak pas gitu, akhirnya ya sudahlah, puisi - puisi tersebut berakhir di Recycle Bin :D
Seperti Base Jam bilang, mungkin aku bukan pujangga yang pandai merangkai kata...
:-)
@han, Bila Anda ...
han, anda bisa main bulutangkis? semua orang bisa. Bila berbakat maka anda akan menjadi master.
Bagaimana dengan mereka yang berbakat namun tidak pernah berlatih? Mereka tidak mustahil menjadi master. Bagaimana dengan mereka yang berbakat dan banyak berlatih? Masalahnya adalah apakah mereka berlatih dengan cara yang benar?
Orang yang tidak bisa menulis puisi umumnya adalah orang yang PUNYA ide namun nggak mampu menuangkannya dengan baik. Hal itu karena pengetahuan bahasanya kurang baik.
Berpuisi adalah ILMU dan SENI berbahasa. Ilmu dan SENI mengungkapkan dalam bentuk kata-kata.
Banyak orang yang tidak belajar bahasa dengan baik lalu mengambil jalan pintas dengan banyak membaca puisi-puisi orang lain dan membaca kritik puisi. Apa yang terjadi dengan orang-orang demikian? COPY CAT! Mereka hanya meminjam kata-kata orang lain untuk puisinya.
Selain bahasa, untuk bisa menulis puisi dengan baik, pengetahuan umum juga penting. Tanpa pengetahuan, mustahil mampu menghasilkan puisi yang baik.
Melukis itu ibarat mengkompres sebuah film dalam satu kanvas. Berpuisi itu ibarat mengkompres sebuah kisah dalam satu bait.
Ketika seorang Arsitek mendapat ilham tentang sebuah rumah, yang muncul di dalam pikirannya BUKAN gambar LENGKAP sebuah rumah, namun sebuah IDE. Ide itu lalu dia olah menjadi sebuah rumah. Kemudian dia tuangkan dalam blue print. Selama proses itu, dia akan MENGHITUNG segalanya sehingga harmonis.
Hal yang sama juga dilakukan oleh seniman-seniman lainnya termasuk penyair. Ketika seorang penyair mendapat ilham, itu belum berbentuk puisi. Dia mengolahnya menjadi sebuah puisi. Apabila anda ingin puisi itu juga dinikmati orang lain, maka anda harus mengolahnya agar bisa dipahami orang lain. Dia akan memilih kata dan susunan kata untuk mengungkapkannya.
Kesalahan umum orang awam yang coba menulis puisi adalah mereka berpikir, ilham itu adalah SEBARIS kata-kata dan dia hanya perlu menyalinnya. Atau dia akan meminjam kata-kata orang lain yang pernah dibacanya dalam puisi-puisi yang pernah dibacanya.
SUNDAL mekar di senyap malam
harum menyebar di hening gulita
dalam terlena kupuja khalik
Apa pendapat anda tentang puisi tersebut di atas? Tanpa memahami kata SUNDAL anda mustahil mengerti puisi tersebut dengan baik. SUNDAL adalah nama lain dari bunga SEDAP MALAM.
Bila belum pernah mencium harum sundal di alam terbuka pada malam hari, mustahil anda memahami puisi tersebut di atas.
teman miyabi: "Malam itu malam Lebaran dan Sitor sedang jalan menuju rumah Pramoedya. Trus ada tembok putih panjaang. Sitor penasaran, ada apa di balik tembok. Dan ternyata itu kuburan."
Miyabi: Dan.... cerita itu tidak sekedar gitu aja. Imaji mistik dalam kepala saya tiap menekuni larik "Malam lebaran/bulan di atas kuburan/" pun berganti dengan gambaran "Sitor Situmorang--memanjat tembok melongok kuburan--dalam perjalanan ke rumah Pram."
Itulah ucapan Miyabi tentang puisi Sitor Situmorang:
Malam Lebaran
Bulan di atas kuburan
Pernahkah anda melihat komplek KUBURAN di Indonesia yang berpagar tembok tinggi sehingga harus dipanjat untuk melihat apa yang ada di baliknya? Saya belum pernah melihatnya. Bahkan makam para pahlawan pun walaupun gerbangnya besar dan megah namun tidak bertembok tinggi.
Berpuisi adalah ILMU dan SENI. Anda harus menguasai ILMU-nya dulu baru mampu mengembangkan SENI-nya.
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
Bro Hai, Sundal
Saya setuju dengan pentingnya Kesadaran untuk terus belajar dan berlatih dengan benar jika ingin bisa dan menjadi expert. Saya akan terus melatih membuat Puisi, mungkin menurut saya masih kurang bagus, tapi siapa tahu menurut orang lain bagus :-)
Saya pernah buat Puisi for Smile, Puisi itu menurut saya terlalu pendek dan rasanya masih kurang pas, tapi menurut Bro Smile it's a good Poem.
SUNDAL mekar di senyap malam
harum menyebar di hening gulita
dalam terlena kupuja khalik
Konteks Bait Puisi yang Bro Hai tulis diatas adalah Puisi yang memiliki makna yang dalam, karena arti Sundal diatas memiliki arti yang luas. Selain bunga Sedap Malam, menurut interpretasi saya, kata Sundal diatas bisa juga berarti Kekasih, Cinta, istri tersayang yang harum semerbak, bisa juga Sundal beneran, Bro ( yang pake Parfum Gatsby berlebihan ) dan sering mangkal di Taman - Taman Kota :D
@han, atas dasar apa?
SUNDAL mekar di senyap malam
harum menyebar di hening gulita
dalam terlena kupuja khalik
han: Konteks Bait Puisi yang Bro Hai tulis diatas adalah Puisi yang memiliki makna yang dalam, karena arti Sundal diatas memiliki arti yang luas. Selain bunga Sedap Malam, menurut interpretasi saya, kata Sundal diatas bisa juga berarti Kekasih, Cinta, istri tersayang yang harum semerbak, bisa juga Sundal beneran, Bro ( yang pake Parfum Gatsby berlebihan ) dan sering mangkal di Taman - Taman Kota :D
bila boleh tahu, atas dasar apa anda menafsirkannya demikian?
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
Tafsiran
Hanya tafsiran belaka, belum tentu benar ;).
Saya tafsirkan sebagai kekasih ataupun istri tersayang, dalam artian dalam keheningan malam cintanya merebak mengharumi nuansa kalbu, dan ketika terlena oleh cintanya, memuji syukur kepada Tuhan atas keindahan ciptaan-Nya.
Kalau Sundal beneran, tafsiran lurus aja Bro, kupu - kupu malam dengan Parfum yang wangi, mekar berseri di malam hari menanti tamu, dan ketika terlena dengan kondisi tersebut, tetap memuji syukur kepada Tuhan atas upaya manusia mempertahankan hidup.
@han, harum bukan CANTIIK
SUNDAL mekar di senyap malam
harum menyebar di hening gulita
dalam terlena kupuja khalik
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
@han, Lagu Seberang Pulau
Saya menemukan sebuah puisi di Internet baiklah saya akan mengutipnya:
Lagu Seberang Pulau
Aku akan memandangmu dari jauh
Mengamatimu menari lambada
Dengan senyum sembunyi
kau mencuri pandang dari pundak pasanganmu.
Aku akan memandangmu dari jauh
Dan mengalihkah pandanganku ke ujung pantai
Dimana pernah kulihat sepasang mata basah
di sebuah cuaca yang berbeda.
Kau akan memandangku dari jauh
Mengamatiku tergambar pada tiang layar
Yang berkibar meningkah ombak
Di ujung cuaca yang satunya.
Ferry Wardiman
Menurut saya, puisi tersebut di atas adalah gambaran (imaji) seorang lelaki yang TIDAK berani menerima FAKTA bahwa cintanya ditolak MENTAH-MENTAH.
Puisi tersebut di atas ditulis oleh orang yang pengetahuan bahasa Indonesianya payah dan tidak mengerti puisi sama sekali. Dia hanya pinjam kata-kata dari sana sini dari puisi-puisi yang pernah dibacanya. Selain GAYANYA ngaco belo, PARAH, juga nggak ORIGINAL sama sekali.
Bila saja penulis puisi tersebut di atas cukup rendah hati untuk menceritakan IDENYA, maka saya tidak akan keberatan MENGAJARINYA untuk menuangkan idenya itu menjadi PUISI. Itulah salah satu cara mengurangi sampah-sampah yang DILABELI puisi di dunia ini.
Han, anda bisa belajar menulis puisi dengan CARA demikian. Anda menulis sebuah puisi lalu menceritakan IDE puisi itu kepada seseorang dan biarkan dia menunjukkan kesalahan dan mengajari anda.
Ibarat seorang gitaris:
Untuk menjadi penyair:
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
Malam Lebaran
Malam Lebaran adalah puisi Sitor yang terkuat menurut pendapatku.
Lariknya yang cuma sebaris mengajak kita untuk membuka peluang menikmati puisi kongkrit, meskipun Malam Lebaran tidak termasuk jenis puisi kongkrit.
Puisi seperti spiritualitas, tidak mempan dianalisa secara rasional. Kritik sastra serasional apapun tidak mengakibatkan sebuah puisi bergiming bagaimanapun buruknya puisi itu. Di masa lalu ada Sajak Sikat Gigi yang dikritik habis padahal menjadi pemenang.
Apalagi seindah Malam Lebaran. Bila dikatakan ia mempunyai imajinasi mistik, saya malah berani katakan ia punya imajinasi "magis". :). Saya tak setuju dengan pendapat temanmu itu, Miyabi. Samasekali. Dalam puisi Sitor yang ini kita justru perlu mengembarakan roh kita ke kuburan sepi berbulan bundar dan membiarkan imajinasi kita berfantasi dari cekikik orang pacaran, kikik kuntilanak sampai preman mencekik kurbannya dikegelapan.
Tentang bentuk puisi yang "lain", coba cari puisinya Cummings (mestinya ditulis "cummings" karena ia tak suka huruf besar). Dan kalau orang suka pusinya Tarji, pasti suka Cummings juga.
Saya sendiri suka Goenawan Mohamad.
@ferrywar
Cuma tahu satu puisi cumming ada di buku pengantar puisi, kebetulan soal kuburan juga "Life was not gentle to me that I made warfare on life/in which I was slain".
Temen saya itu lagi getol sama Bertold Brecht, dan dalam teater epiknya Brecht, penonton justru tidak diarahkan untuk larut, namun harus tetap terjaga, menjaga jarak dan kritis. Secara umum kesusastraan modern bersifat Aristotelian, yang mengajak pembaca untuk larut dalam karya sastra. Brecht menentang ini, dan ia menggunakan corak teater rakyat (dia menyebutnya Epik) yang sifatnya sambil lalu, penuh sela/interupsi, kontras dan memaksa penonton tetap terjaga dan kritis. Tujuan Teater Epik memang untuk memunculkan kesadaran kritis, mengambil jarak dan perlawanan terhadap teks.
Goenawan Muhamad puisi intelek hehe.
".... ...."
@Miya
Tentang akhir perjalanan juga pernah dibuat oleh Cummings dalam puisinya yang terkenal 1(a...leaf falls on loneliness). Disitu dia menekankan "oneness" sangat dekat dengan "loneliness" yang muncul dari rontoknya selembar daun. Ada keheningan disitu.
Semua itu tak bisa dianalisa dengan rasio semata. Rasa lebih mampu melihat.
Bukankah ada kemiripan ekspresi dengan puisi Sitor itu?.
Tentang teater saya kurang memperhatikan.
@Ferrywar: cummings dan sitor
Cummings hidup di era mesin tik. Dia juga memanfaatkan tata letak dalam berpuisi. Juga dia memanfaatkan kesamaan huruf l (i besar) dengan huruh l (L kecil).
Saya melihat "Aku" dan "daun yang jatuh dari pohon" adalah perlambangan antara manusia dan hidup yang absurd. Dalam karya-karya sufi, ketika aku menjelang ajal, aku akan hilang dan menjadi hanya Engkau. Sama seperti Boneka Garam-nya Anthony de Mello yang nyemplung dan larut ke laut.
Hanya saja, jika daun jatuh tapi masih bilang "aku", berarti dia memang memberontak. Seharusnya ketika ajal, aku akan bilang engkau, karena aku sudah tidak ada lagi dan yang ada cuma Engkau. Cummings memberontak bahkan hingga ajal tiba.
Jika Cummings curhat soal pemberontakannya terhadap hidup yang absurd, maka puisi "Malam Lebaran" mengajak pembaca untuk melihat ironi antara bulan dan kuburan, antara sebulan berpuasa dan semalaman memburu diskon malam takbiran. Dan ironisnya lagi, pada malam 1 Syawal, mustahil ada bulan. Jadi orang semakin bertanya apa maunya puisi ini: menghadirkan bulan di atas kuburan pada malam lebaran.
Saya curiga bahwa dalam puisi Malam Lebaran memang keisengan yang jenius dari Sitor dalam bermain kata-kata. Seperti halnya jatuh cinta, saya bisa bilang "Ah ini cuma sensasi biokimia", namun saya senang jika menikmati jatuh cinta. Walaupun saya bilang, Sitor cuma bermain kata-kata, namun saya suka sekali permainannya.
".... ...."
@Miyabi: cummings
Betul. Memang saat lebaran dan bulan menjadi kejanggalan yang banyak dibicarakan, apakah kesengajaan ataukah bukan. Tapi fantasi tak bisa dibatasi. Dan suasana magis tercipta secara intens dari setiap kata yang sedikit itu.
Soal Cummings juga bebas untuk interpretasi. Oneness hilang menjadi loneliness yang berarti nothingness bisa saja dirasakan begitu. Cummings tidak harus memahami realitas ini sebagai Aku dan Engkau seperti paradigma Kristen pada umumnya. Bisa saja Aku adalah bagian dari "oneness", yang setelah "ego" tiada, tiada lagi tersisa. Mirip ajaran Krishnamurti kalau begitu. Dia bebas membuat sketsa dan kita bebas menikmati coretannya.
Miyabi, saya menikmati diskusi ini. Thanks :)
insightful
terus terang saya tidak tahu sastra, dari dulu pingin ngerti, tapi gak ngerti-ngerti juga... tapi tulisan ini insightful sekali... jangan takut kalah sama TP :)
@daniel
Shakespeare bilang kalau mau baca sastra, mulailah dari yang plotnya menarik. Kalau sudah bosen dengan plot, cari yang perwatakannya menarik. Kalau sudah bosen dengan watak, mulailah masuk ke tema menarik. Nah tema ini ga akan ada habisnya, makin kompleks dan makin kompleks.
Saya baru bisa menyukai puisi setelah nonton beberapa pembacaan puisi. Coba baca puisi Remy Silado, kan lucu-lucu, enak dibaca dan enak dibacakan.
".... ...."
Remi
Saya pernah bertengkar dengan seorang teman soal urgensi puisi harus dibacakan atau tidak. Dia selalu menilainya dari setelah dibacakan (menjadi bunyi). Dan saya tidak.
Al hasil dia lebih menyukai teater daripada puisi.
Untuk disarankan kepada Daniel, lebih baik Rendra daripada Remi. Kalau ia baca Puisi mbeling dan tidak suka, dia akan menganggap puisi seperti itu. Kalau Rendra, nampaknya jarang yang tidak bisa mencerna dan menyukainya. Dan tidak usah dibacakan :)
mau dibacakan
mungkin saya malah termasuk jenis orang yang lebih suka puisi dibacakan ya...
saya bisa menikmati film, teater, novel, cerpen dan puisi yang "jelas" (terus terang definisi "jelas" ini subyektif sekali -- disclaimer sebelum ada yang protes, hehe), tapi kalau sudah mulai abstrak, apalagi absurd, wah... ini yang sering saya bilang "sastra tinggi", hehe, saya menyerah...
tapi belakangan, ketika mendengar beberapa pembacaan puisi dan monolog, rasanya ada sesuatu yang berbeda... isinya tetap saja gak mudeng, tapi saya mulai bisa menikmati suasananya...
@Daniel: puisi yang dibacakan
Ada yang tidak tertangkap dan ada yang tertambah-tambah ketika menikmati puisi yang dibacakan. Apalagi, yang membacakan belum tentu penyairnya sendiri, bisa saja orang lain yang lebih hebat atau kurang hebat cara membacanya.
Sedangkan menikmati puisi langsung dari tulisan, yang melakukan adalah kita sendiri. Ada suara yang muncul dalam hati ketika kita membacanya. Suara itu menyatu dalam diri kita dan tak terpisahkan sehingga saya rasa lebih murni mengangkapnya.
Puisi yang absurd, abstrak sampai kita tidak merasakan apa-apa, tidak usah dipaksakan dinikmati juga. Kita bebas saja menikmati apa yang tersaji. Suatu kali kelak kita akan merasakan, kita suka yang ini atau tidak suka yang itu. Dan bukan sedikit penulis yang membuat puisinya asal absurd dan asal abstrak, justru supaya orang tidak mengerti untuk menyembunyikan mutunya yang "kurang".
@daniel: peristiwa teater
Mungkin Anda sedang menuju yang disebut Peristiwa Teater.
Kekristenan mestinya juga penuh dengan PERISTIWA dan bukan jalinan teks belaka.
".... ...."
tidak bisa lebih setuju lagi!
@miyabi: the one and the only..
Kalau saya, satu-satunya puisi yang paling saya ingat dan berkesan adalah puisi PETER RABBIT..
Ketemu tanpa sengaja di sebuah buku ensiklopedia bertahun-tahun yang lalu, waktu masih anak-anak. Maaf sudah lupa apa isinya persis (bukunya juga sudah hilang.., hikss..), pokoknya fun-fun gitulah, khas anak-anak. Puisi-puisi diselipkan di dalam cerita. Menarik sekali. Puisi itulah yang dulu menjadi salah satu pemicu untuk belajar bahasa Inggris..
(...shema'an qoli, adonai...)
@Miyabi, bulan di atas kuburan
Miyabi: "Malam itu malam Lebaran dan Sitor sedang jalan menuju rumah Pramoedya. Trus ada tembok putih panjaang. Sitor penasaran, ada apa di balik tembok. Dan ternyata itu kuburan.
Miyabi: Sitor Situmorang punya puisi pendek MALAM LEBARAN yg sangat terkenal dan cuma sebaris:
"bulan di atas kuburan"
ferrywar: Puisi seperti spiritualitas, tidak mempan dianalisa secara rasional. Kritik sastra serasional apapun tidak mengakibatkan sebuah puisi bergiming bagaimanapun buruknya puisi itu. Di masa lalu ada Sajak Sikat Gigi yang dikritik habis padahal menjadi pemenang.
ferrywar: Apalagi seindah Malam Lebaran. Bila dikatakan ia mempunyai imajinasi mistik, saya malah berani katakan ia punya imajinasi "magis". :). Saya tak setuju dengan pendapat temanmu itu, Miyabi. Samasekali. Dalam puisi Sitor yang ini kita justru perlu mengembarakan roh kita ke kuburan sepi berbulan bundar dan membiarkan imajinasi kita berfantasi dari cekikik orang pacaran, kikik kuntilanak sampai preman mencekik kurbannya dikegelapan.
Komentar ferrywar nampak seolah-olah HEBAT namun NGACO BELO setengah mati. HA ha ha ha ha ... Itulah akibatnya bila orang NGGAK RASIONAL menyangka dirinya TAHU tentang puisi. Ha ha ha ha ha ...
miyabi, bila boleh tahu, apakah ketika membaca Malam Lebaran, anda pun lalu mengkhayal, tentang bulan PURNAMA dan kuburan?
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
@Hai-Hai: lebaran ga ada bulan
Pada malam lebaran mustahil ada bulan, karena itu tanggal 1 Syawal.
".... ...."
@Hai Hai
Sitor sangat cermat dalam memilih simbol. Dalam karya lain, Sitor bicara tentang pemburu tua dan harimau tua, namun orang akan berpikir bahwa Sitor sedang membicarakan Agama Batak dan Agama Kristen. Apa yang ditulis sitor setengah abad lalu masih jadi pergumulan hingga sekarang.
Dalam puisi Malam Lebaran, Sitor tentu bukan sekedar bicara soal sepinya kuburan apalagi asiknya pacaran di bawah bulan purnama. Ia pasti sedang membicarakan hal lain yang lebih dalam.
".... ...."
@Miyabi, Dia Tidak Tahu Bahwa ...
ferrywar: Puisi seperti spiritualitas, tidak mempan dianalisa secara rasional. Kritik sastra serasional apapun tidak mengakibatkan sebuah puisi bergiming bagaimanapun buruknya puisi itu. Di masa lalu ada Sajak Sikat Gigi yang dikritik habis padahal menjadi pemenang.
ferrywar: Apalagi seindah Malam Lebaran. Bila dikatakan ia mempunyai imajinasi mistik, saya malah berani katakan ia punya imajinasi "magis". :). Saya tak setuju dengan pendapat temanmu itu, Miyabi. Samasekali. Dalam puisi Sitor yang ini kita justru perlu mengembarakan roh kita ke kuburan sepi berbulan bundar dan membiarkan imajinasi kita berfantasi dari cekikik orang pacaran, kikik kuntilanak sampai preman mencekik kurbannya dikegelapan.
Tanggal 1 Syawal tidak ada BULAN. Ha ha ha ha ha ha ..... adanya yaitu BULAN alam ROH. Makanya Rohnya musti MENGEMBARA ke kuburan BERBULAN bundar (bukan bulan purnama lho). Ha ha ha ha ha ...
Bila tahu katakan tahu, bila tidak tahu, katakan tidak tahu, itulah TAHU!
Banyak anak-anak yang memiliki BAKAT berpuisi namun perkembangan bakat mereka TERHENTI pada suatu ketika bahkan semakin hari semakin PAYAH karyanya.
Kenapa demikian?
Karena mereka TIDAK belajar BAHASA dengan baik dan tidak BERPIKIR dengan BAIK! Itu sebabnya WALAUPUN memiliki banyak IDE namun KEMAMPUAN mereka MENUANGKANNYA benar-benar PAYAH.
Merekalah orang-orang SOK TAHU yang menganggap PUISI adalah SPIRITUALITAS dan MENULIS puisi ketika MABUK atau DAPAT ilham.
Hal yang sama juga berlaku pada seni lainnya, misal memahat dan melukis. Tidak memahami anatomi, mustahil melukis manusia dengan baik. Yang tidak pernah mempelajari daun-daun pohon, mustahil melukis daun dengan baik. Demikian juga bunga. Itu sebabnya jangan heran bila seniman lukis dan pahat diskusi ilmu kimia.
Suatu malam, saya mengajak iis dan anak mengunjungi sanggar seorang teman di pasar seni. Di sana berkumpul beberapa orang pelukis dan photo yang sedang ngerumpi sambil memperhatikan bunga Wijaya Kusuma. Sudah tiga malam mereka NGERUMPU dan menunggu bunga itu MEKAR.
Mereka sama sekali tidak sedang mencari ilham namun sedang BELAJAR tentang bunga wijaya kusuma waktu mekar.
MALAM LEBARAN
bulan di atas kuburan
Kenapa dia tidak menggunakan istilah LAZIM, Malam TAKBIRAN, namun MALAM LEBARAN?
MALAM LEBARAN
bulan di atas MAKAM
Kenapa dia tidak menggunakan kata MAKAM sehingga muncul IRAMA?
PUISI sangat logis!
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
Kayanya kalo puisi
Keindahannya tergantung pembacanya. Indah kalo pembacanya mang suka dan pande berimajinasi ya... Gw gak mengerti keindahan puisi. Seperti bulan di atas kuburan itu.
Terbayang dalam kepala gw ya bulan di atas kuburan doank. wakakakakka
O >> bulan
+ >> kuburan
imprisoned by words...
@lapan, Menikmati Puisi
menikmati puisi itu ibarat menikmati LAGU.
Lagunya bagus. Kenapa bagus? Nggak tahu, gua suka aja.
BERES!
Hal yang sama juga berlaku bagi pusi.
Yang lucu adalah orang yang demikian lalu NGEROH yak-yak-o, apalagi ngeroh bahwa puisi itu SPIRITUALITAS. Ha ha ha ha ha ha ... Padahal, dia nggak tahu klo malam lebaran itu MUSHATIL ada bulan namun SOK ngajarin orang ... berbulan bundar di atas kuburan. Ha ha ha ha ha ...
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
@hai hai, selera
oh ya, seperti ada orang suka musik rock, ada yang suka akustik.
kayanya puisi juga begitu.
bulan di atas kuburan
sebelumnya gw jg gak tau kalo malam lebaran gak ada bulan, tapi tetap aja kok sudah dibaca berkali-kali tetap kebayang:
O >> bulan
+ >> kuburan
payah memang hahahahaha
imprisoned by words...
@lapan, Malam Lebaran
Malam Lebaran
Bulan di atas kuburan
Ada yang bilang, puisi ompung Sitor tersebut di atas sama sekali bukan puisi tentang sebuah KISAH, namun sebuah pintu yang memikat para pembacanya untuk memasuki alam kelana.
Konon katanya, setiap kali ditanya, maknanya, mbah Sitor hanya ngakak.
Sesungguhnya mudah sekali untuk memahami apa yang ditulis oleh ompung Sitor itu. Lewatilah Kuburan pada saat bulan gelap di mana tidak ada penerangan lampu-lampu.
Saat itu anda akan melihat BULAN di atas kuburan.
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
@hai hai, senter??
Maksudnya pake senter? kan kalo gak ada penerangan jadinya gelap gulita gak bisa liat, berarti harus pake senter ya kalo mau tau ada kuburan di sana.
Orang yang malem2 bawa senter ke kuburan, apakah Sitor bertemu perampok makam?
imprisoned by words...
@lapan, Sitor Memang Melihat Bulan
lapan, saya tidak akan ceritakan di sini. yang mau tahu berkunjunglah ke kuburan pada malam tanpa bulan dan tanpa penerangan. Anda akan melihat bulan di atas kuburan.
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
Kalo siang-siang
Kalo siang-siang gak bisa ya? (ya iyalah ya)
nunggu mia aja deh ngelapor...
imprisoned by words...
@lapan, @han
Bukan imajinasi, tapi imaji. Imaji itu ibarat image file di hardisk kalo mau nge-burn CD. . Ketika kita melihat atau mendengar sesuatu, imaji muncul begitu saja. Imaji ini tidak terkatakan. Imaji belum tentu seperti ketika bervisualisasi. Anggap aja sesuatu yang nonverbal, tidak terkatakan, yang bikin greget.
Sebagai pembaca, nikmati saja imajinya yg spontan. Namun sebagai pembaca kritis, boleh juga menggali maknanya. Yang digali tentu bahasanya, bukan imaji-imajinya. Minum kopi yang enak memberi kita sensasi-sensasi rasa. Sebagai penikmat, kita nikmati kopi dan sensasinya. Tapi sebagai barista (tukang sedu kopi), kita musti kaji material dan proses produksinya. Kenikmatan puisi itu dampak dari bahasa, yang diproses oleh kerja terampil si penyair.
Sekedar contoh kajian: Dalam berbahasa, jika ada pelanggaran kaidah, maka ada kemungkinan terjadi makna baru. Tugas penyair adalah mencipta makna baru, atau mencipta bentuk bahasa baru. Dalam puisi sitor, terjadi pelanggaran kaidah, yaitu malam tanggal 1 bulan betulan tidak mungin terlihat. Jadi mungkin ini bulan yang lain. Apa makna baru itu? Buat saya masih samar-samar. Kadang saya menolak untuk tahu maknanya, supaya imaji-imaji saya yang lugu tidak terganggu.
Ada seorang calon pendeta yang melayani di pedalaman selama sebulan. Ia selalu ditemani anjing si Tuan Rumah. Di akhir pelayanan, sang Tuan Rumah menjamu si calon pendeta dengan memotong dan memasak anjing itu. Si calon pendeta bilang daging itu alot sekali dan dia menelan sambil terbayang saat-saat ia ditemani si anjing itu tiap hari.
Contoh lain misalnya ayat di kitab tetangga sebelah: "Jangan membuat kerusakan di dalam bumi" Karena ini ayat kitab suci, maka kita perlu tahu maknanya dan tidak sekedar menikmati imajinya.
Mengapa ayat itu tidak bilang di atas bumi? Pada jaman ayat ini diturunkan, eksplorasi ke perut bumi masih terbatas. Apa ayat ini sedang meramalkan kerusakan lingkungan di masa mendatang? Jadi ini ayat ngomongin apa? Bumi yang mana?
Kalo diselidiki dari makna bumi di ayat lain. Eee, ternyata itu ayat tentang "larangan merusak tubuh karena di dalam tubuh ada roh yang dari Allah". Tapi ada saja pengkotbah meluruskan(!) terjemahannya jadi "Jangan membuat kerusakan di permukaan bumi." Pesannya malah jadi beda.
".... ...."
imaji dan imajinasi
@ Miya:
Memang beda. Seperti bulan yang dipersoalkan dalam sajak Sitor, ada imajinasi bulan diatas kuburan bagi pembaca selarik sajaknya itu. Dan ada imaji magis dari caranya memilih kata-kata dan kehematan lariknya.
Imaji magis itu bisa mengarah pada mantra seperti pada sajak Tarji, kalau dilakukak perulangan-perulangan berpretensi bunyi. Tapi bila tidak, tinggallah disitu kekuatannya. Maka saya katakan, itulah kekuatan sajak tsb, pada kehematannya dan suasana yang tercipta.
Dan untuk Hai hai, bila anda mengira imajinasi "bulan diatas kuburan pada bulan Lebaran" adalah kesalahan logis, maka anda sedang berbicara tentang ilmu pengetahuan alam, bukan puisi. Cobalah agak mengendap sedikit agar tidak terlalu bising ruang ini.
@ferrywar, sudahlah
ferrywar, sudahlah, anda boleh yakin sampai kuda gigit jari namun ketahuilah bahwa pengetahuan anda tentang puisi, ho ho ho ho ho ho .....
Mohon, maaf, seperti biasanya, saya tidak terbiasa diskusi dengan orang yang TIDAK tahu bahwa dia TIDAK tahu.
Jadi, silahkan saja kalau mau bermimpi ada bulan di atas kuburan pada malam lebaran. Ha ha ha ha ha ...
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
mulai mendingan
Nah, mulai mendingan.
Begini Hai, puisi yang saya bahas itu BUKAN pengetahuan. Dan saya tidak berbicara tentang pengetahuan saya. Saya berbicara tentang puisi. Puisi itu SENI, dinikmati dengan hati.
Yang membuat puisi dan berimajinasi bulan diatas kuburan di malam lebaran BUKAN saya, melainkan Sitor, pengarangnya. Saya hanya menikmati puisi itu dan berusaha berimajinasi dari kata-kata yang ia rangkai. Kejanggalan ada bulan di malam lebaran itu wacana klasik puisi itu, bukan baru kita yang membicarakannya disini. Guru-guru sastra SMA banyak yang memakai persoalan logika itu sebagai wacana buat anak-anak didiknya yang sedang belajar sastra. Tapi anda ramai sendiri membahasnya seolah-olah itu bisa mendiskreditkan saya.
Cobalah - sekali lagi - agak mengendap sedikit. Jangan cepar-cepat berpendapat lantas salah arah. Merugikan kredibilitas sendiri.
Guru TK ? Bole dung unjuk diri atau magang.
Kebetulan kami lagi mengusung proyek kid center "Rabu Ceria", youth center berbasis panti asuhan di rawakalong bekasi. Setiap hari senin-jumat, ada perpustakaan, kursus komputer gratis, ketrampilan kayu scroll saw. Seminggu sekali tiap hari Rabu, anak keluarga tidak mampu dikumpulkana dilakukan pembinaan dan pemberian asupan.
Monggo kalau mau unjuk diri didepan ratusan anak-anak. Apalagi kalau bisa secara reguler buka kursus puisi, bagi anak kurang beruntung ini.
No man is a man who does not make the world better