Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Gedung Baru Parlemen
"Hanya pelacur yang mengangkangi jalan seperti itu," katanya. "Dan kalian tinggal di gedung yang mengangkangi jalan seperti pelacur."
Teriakan protes setengah mengumpat memenuhi ruangan, tetapi laki-laki bertelanjang dada itu tidak mau mendengar. Ia melanjutkan, "Gedung yang mengangkangi jalan itu buruk. Lihat saja, binatang tidak mau melewati binatang yang sedang mengangkang, takut dikencingi atau diberaki. Hanya hewan kawin yang saling mengangkang."
Ia tidak mempedulikan teriakan yang menyuruhnya menggunakan kata-kata yang lebih halus dan sopan. Sebagai ketua P2DN--Perhimpunan Paranormal dan Dukun Nasional--ia di atas angin. Panggilan menjadi saksi ahli sidang parlemen hanya mau ia penuhi dengan sebuah syarat, boleh datang tanpa baju dan sepatu. Pantangan. Kesaktiannya baru muncul kalau telanjang. Untunglah, setelah minta wangsit tiga hari tiga malam, Jin Bodo mengijinkannya memakai sarung di sidang parlemen.
"Kalian mau mendirikan dua bangunan yang menjadi satu karena bersambung di bagian atas," lanjutnya. "Paha dan selangkangan."
Ia diam, memberi kesempatan mereka berteriak marah sampai ketua menenangkan ruang sidang.
"Bagi orang lain itu mengangkangi rezeki," katanya. "Bagi saya, itu mengencingi orang,"
Seseorang kesurupan; membanting gelas. Berteriak, "Mohon maaf Ketua, orang utan ini sudah keterlaluan. Terlalu banyak menonton video porno. U terbalik adalah simbol. Gerbang terbuka. Melambangkan pintu yang selalu terbuka untuk menerima aspirasi rakyat. Bukan hanya itu, U terbalik memberi ruang kosong di bawahnya, itu akan menjadi zona unjuk rasa, ideal karena tidak akan mengganggu lalu lintas lagi."
"Setuju Ketua," seorang pria di belakang berteriak. "Sekali lagi saksi ahli mengeluarkan kata-kata kotor, gelas saya juga melayang. Bukan ke lantai, tetapi ke depan situ."
Sorak-sorai bergemuruh. Lalu ada teriakan tentang sepatu, tetapi teriakan Ketua mengalahkannya.
"Mohon tenang... Mohon tenang...." katanya sambil mengetok meja sekeras-kerasnya.
Ruangan kembali tenang.
"Bisa kita lanjutkan?"
"Bisa, Ketua," teriak pria yang membanting gelas, "tetapi tanpa kata-kata kotor dari saksi ahli.
"Terima kasih. Saksi ahli saya mohon memperhalus nada bahasanya. Silahkan dilanjutkan!"
"Terima kasih, Ketua. Maafkan kata-kata saya tentang pelacur dan selangkangan."
Sidang menerima permintaan maafnya.
"Gedung yang berbentuk U terbalik itu jelek," lanjutnya, "melambangkan pemisahan."
Ia diam, membiarkan kata-katanya mengendap. Seorang mengangkat tangan. Berkata, sebelum masuk politik dirinya adalah dosen matematika. Ia mempertanyakan hubungan gedung parlemen yang baru dengan diagram Venn.
"Dunia orang mati adalah dunia yang terbalik," jawab lelaki bertelanjang dada.
Ia melihat sekeliling, mengira muka-muka itu tercengang karena sebuah pengetahuan baru. Ia tidak tahu, muka-muka itu melongo kebingungan karena tidak mengerti pertanyaan maupun jawabannya.
"Dunia orang mati adalah dunia yang terbalik," tegasnya. "Karena itu, dirikanlah gedung kalian di atas dunia orang mati sehingga terbalik. Yang baik menjadi jelek dan yang jelek menjadi baik. Dirikanlah di atas kuburan, sehingga tidak menjadi U terbalik, tetapi benar-benar U. Simbol kebersamaan dan kesatuan."
Ruangan tetap hening.
"Saudara," kata mantan dosen matematika, "Tadi Anda bicara tentang irisan bilangan, sekarang Anda bicara tentang gabungan atau Union."
"Saya berbicara mengenai rencana gedung parlemen baru yang denahnya saya lihat di depan tadi. Terus terang saja, saya tidak mengerti maksud Bapak. Saya tidak berguru di bangku kuliah, saya berguru di atas gunung. Bersemedi 70 hari 70 malam."
Ada gelak tawa, tetapi sedikit. Beberapa masih melongo, mencoba mencernanya. Ketua memanfaatkannya. Berkata, "Rekan-rekan parlemen, saksi ahli kedua lebih teknis. Seorang doktor yang menulis disertasi berjudul Pengaruh Kuburan terhadap Kuat Tekan Beton."
Muka-muka melongo masih tetap melongo.
"Silahkan Bapak Dr. Ir. Sendong, MT."
Pria setengah abad berdiri, tetapi muka-muka itu masih saja tetap melongo.
"Terima kasih," katanya. "Zaman SDSB, ayah sering mengajak tidur di atas kuburan. Menunggu mimpi. Sering kami harus tidur di atas semen makam, semen yang bukan hanya saya rasakan dinginnya, tetapi juga kekuatannya. Ya, saya lihat dan rasakan, beton kuburan lebih kuat dan tidak mudah retak. Kemudian, ketika menyelesaikan program doktor, saya meneliti fenomena itu--fenomena beton kuburan lebih kuat dari beton biasa."
Separuh anggota parlemen memperbaiki cara duduknya.
"Saudara bisa melihat gambar-gambar ini," lanjut Ir. Sendong.
Laptopnya sudah tersambung ke sistem multimedia ruang sidang. Parlemen bisa melihat slide-nya dari puluhan monitor dan LCD Projector yang bertebaran.
"Perhatikan ketiga silinder ini," lanjut Ir. Sendong. "Ini adalah beton sampel. Masing-masing berdiameter 15 cm dan tingginya 30 cm. Sampel berumur 28 hari, dibuat dengan campuran semen portland dan agregat untuk mampu menahan beban hingga 80 MPa, dimana 1 MPa sama dengan 10 kg/cm2. Silinder pertama kami uji menggunakan alat kuat tekan di laboratorium. Silinder hancur ketika mendapat tekanan 60 MPa."
Ia menekan tombol spasi, gambar silinder hancur berkeping-keping muncul di seluruh monitor dan proyektor.
"Silinder kedua, bersama alat uji tekannya kami bawa ke kuburan yang ada di dekat Kampus. Silinder baru pecah saat mendapat tekanan 110 MPa. Dan sekarang, perhatikan baik-baik, silinder ketiga, silinder terakhir, kami uji di atas sebuah makam keramat yang pasti Saudara kenal."
Ia mengutak-atik laptopnya. Sesaat kemudian ia muncul di layar. Alat uji tekan terletak di atas makam. Ir. Sendong meletakkan silinder beton di bawah kepala godam sebesar buah kelapa. Pada tekanan 80 MPa silinder tetap berdiri. Pada tekanan 100 MPa silinder tidak bergeming. Pada tekanan 120 MPa terdengar bunyi benda patah, tetapi tidak terjadi apa-apa. Ir. Sendong menambah tekanan. Satu menit, tidak terjadi apa-apa. Dua menit, tiga menit, empat menit, tidak terjadi apa-apa. Lima menit, alat uji tekan sebesar kulkas itu hancur berkeping-keping.
Satu detik, hening. Dua detik, tepuk tangan bergemuruh memenuhi ruang sidang.
Ketua angkat bicara, "Saksi ahli ketiga adalah ahli sejarah. Beliau pernah menulis esai berjudul Cerita Rakyat adalah Sejarah. Silahkan Bapak Prof. Dr. Wardiman, Ph.D."
Tepuk tangan kembali bergemuruh.
"Saya mulai dengan sebuah legenda," kata Profesor Wardiman, "legenda Dewi Padi dari Kalimantan. Pada zaman dahulu kala, saat pulau itu masih bernama rimba belantara, terjadi kemarau yang sangat panjang. Kemarau yang aneh, sungai kering dan pohon-pohon meranggas. Kepala suku menyuruh dukun menanyakannya pada roh para leluhur. Jawabannya: Korbankan seorang anak manusia. Tidak seorang pun bersedia menyerahkan kepalanya, kecuali seorang gadis cantik, putri kepala suku."
"Saudara-saudara mengerti inti cerita saya ini?" tanya Profesor Wardiman.
Ruang sidang sunyi, tidak seorang pun mengangkat tangan menjawab.
"Intinya memang belum sampai," kata Profesor Wardiman. "Hujan langsung turun begitu kepala sang putri yang terpotong menyentuh tanah. Setelah tiga hari, di makamnya tumbuh tanaman yang sekarang kita kenal sebagai padi. Sekarang Saudara-saudara mengerti?"
Ruang sidang tetap hening.
"Intinya," kata Profesor Wardiman, "Kuburan mampu menghasilkan sesuatu yang sangat berguna."
Beberapa orang bertepuk tangan, tetapi langsung berhenti begitu melihat rekan-rekannya tidak ikut.
"Saksi ahli terakhir adalah Bapak Menteri Urusan Penduduk," Ketua memanfaatkan suasana hening itu. "Beliau kita undang bukan untuk memberi kesaksian, tetapi memenuhi panggilan hak jawab parlemen."
Menteri Urusan Penduduk hanya mengangguk kecil.
"Pertanyaan pertama kita kepada Beliau," kata Ketua, "bisakah Bapak Menteri memberi gambaran komposisi orang dikuburkan dengan dikremasi? Manakah yang lebih banyak?"
"Saya tidak bisa tahu angka pastinya," jawab Menteri Urusan Penduduk, "jangankan cara pengurusan jenazah, apakah penduduk mati atau masih hidup saja kita tidak selalu mendapat laporannya. Kecuali PNS tentunya. Itupun bukan urusan departemen kita."
"Kira-kira saja, banyak dikubur atau dikremasi?"
"Banyak dikubur."
"Baik, apakah itu tidak menimbulkan masalah baru, seperti masalah tanah?"
"Ya, pasti. Itu dampak ledakan penduduk. Beberapa kota sudah mengalami kesulitan menguburkan warganya."
"Katakan saja ini krisis pemakaman, apakah sudah ada solusinya?"
"Saat ini belum, tetapi suatu saat kita harus membuang isi kuburan sehingga bisa dipakai lagi."
"Anda sudah tahu resikonya?"
"Ya, awalnya akan banyak protes. Tetapi masyarakat kita harus menerima realita. Menerima bahwa itu hanya tulang-belulang."
"Kami tidak menyetujui pernyataan Saudara," kata Ketua sebelum anggota lain berteriak, "tetapi saat ini kita tidak membahas itu. Hanya kami garis bawahi itu."
Menteri Urusan Penduduk mengangguk.
"Terima kasih atas waktu Saudara," kata Ketua.
Menteri Penduduk kembali mengangguk, tidak ada tepuk tangan untuknya.
Ketua kembali angkat bicara, "Sidang parlemen yang terhormat, kita sudah mendengar dan melihat apa yang telah ditunjukkan oleh para saksi ahli. Tiba saatnya kita membahas sesuatu yang sangat penting. Masalah gedung parlemen. Kita semua tahu, gedung baru membutuhkan 1,8 trilyun dan sudah menuai protes. Sangatlah keterlaluan bila kita tetap memaksa, mengingat ekonomi saat ini. Tetapi kapasitas gedung saat ini hanya 800 orang, dan itu sekarang menampung 2500 orang yang terdiri anggota parlemen, tenaga ahli dan asisten pribadi masing-masing. Apakah gedung ini cukup bila nanti, sesuai rencana kedepan, setiap anggota akan memiliki lima atau lebih tenaga ahli? Tidak perlu harus menjadi anggota parlemen untuk bisa menjawabnya, itu matematika sederhana."
Ketua berhenti, menunggu tanggapan anggotanya, tetapi ruangan tetap hening.
"Tetapi sekarang sudah ada solusi. Ada cara membangun gedung dengan desain yang sudah kita ajukan, tetapi biayanya jauh lebih murah. Gedung tanpa tiang pancang atau cakar ayam. Apa yang kita dengar tadi membuka wawasan. Lebih jauh, ahli kita sudah membuat miniatur gedung parlemen tanpa pondasi di atas kuburan. Saudara mau tahu hasilnya?"
Tidak ada yang menjawab, tetapi tubuh-tubuh itu duduk tegak.
"Miniatur Gedung Parlemen berhasil melewati berbagai standar pengujian."
Beberapa orang bertepuk tangan, tetapi lebih banyak yang diam. Perlu waktu untuk menyerapnya.
"Ini bukan sekedar gedung tanpa pondasi. Ada masalah tata letak dan bentuk jelek yang dinetralkan oleh aura kuburan. Lebih dari itu, ada solusi untuk bangsa. Seperti kata Bapak Menteri Urusan Penduduk, kita menghadapi masalah krisis pemakaman. Suatu saat kita harus melakukan graving-reusability supaya kuburan yang sudah penuh bisa kita pakai lagi. Bayangkan, tulang belulang tidak menjadi sampah, tetapi dibawa ke tempat pendirian pencakar langit. Hemat biaya, menyelesaikan krisis pemakaman, dan ramah lingkungan."
Tepuk tangan mulai bergemuruh lagi, tetapi tidak semuanya. Seorang mengangkat tangan.
"Ketua, apakah tidak kita pikirkan perasaan rakyat? Gedung ini nanti, walaupun sudah jauh lebih murah karena aura orang mati, tetapi tetap saja pemborosan. Ini mengingat gedung lama bisa dimaksimalkan, mengingat tidak miring seperti yang dikatakan oleh salah satu pimpinan."
Seorang berteriak, "Kalau Saudara Amirudin tidak setuju, ia tidak boleh ikut berkantor di gedung yang baru."
Tawa bergemuruh.
"Saya ingatkan, sidang ini tidak membahas perlu atau tidaknya gedung baru," kata Ketua. "Itu sudah final, kita semua tahu kita membutuhkan gedung baru. Ada solusi. Solusi ini yang kita bahas dalam sidang. Selain itu, salah satu produk sidang ini adalah Rancangan Undang-undang tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Kuburan."
Ketua melihat semuanya mengerti.
"Bisa kita lanjutkan?"
"Bisa..."
"Terima kasih, sidang kita lanjutkan. Usulan yang kita bahas adalah pembangunan gedung parlemen tetap dilanjutkan dengan solusi yang sudah kita dengar. Desain gedung tetap berbentuk U terbalik. Harus memenuhi tiga zona kebutuhan, eksekutif, rekreatif dan unjuk rasa. Untuk pondasi, sebuah kuburan yang sudah penuh di Jakarta harus segera dipindahkan. Nama-nama orang yang kuburannya dipindahkan tersebut harus ditulis di salah satu dinding lobi parlemen. Terakhir, mengingat rencana awal pembangunan gedung, peletakkan kuburan pertama dilakukan saat perayaan hari kemerdekaan."
Tepuk tangan bergemuruh. Sebuah aklamasi.
- anakpatirsa's blog
- Login to post comments
- 4326 reads
Cerita yang bagus
Ijinkan saya bertanya, berapa lama anda menyelesaikan cerpen ini? Terima kasih.
Cukup Lama
Tiga minggu, termasuk risetnya.
Tetapi cukup puas, uneg-uneg akhirnya tertuang dengan cara yang menurutku sendiri cukup "elegan."
AP, saya kagum
Saya kagum bagaimana anda bisa bersabar menulis sebuah cerpen. Lalu bagaimana anda menulis hal-hal yang sepertinya sepele tapi menjadi apik ("separuh anggota parlemen memperbaiki cara duduknya") dan juga cara anda membuat pembaca tertawa ("Saudara-saudara mengerti inti cerita saya ini?" tanya Profesor Wardiman ... "Intinya memang belum sampai," kata Profesor Wardiman.") adalah hal-hal yang saya lihat merupakan ciri khas tulisan anda -mungkin saya selama ini mengikuti cara anda tersebut-.
Blog-blog anda sudah saya baca hampir semuanya. Kalau bisa semuanya saya kasih jempol, sayang saya malah keasikan membaca mereka.
@ AP, dedikasi yang luar biasa
Tiga minggu, termasuk risetnya.
Selain Hai hai, anda adalah blogger yang dedikasinya sangat luar biasa. Sangat mementingkan kualitas bukan kuantitas. Salut brow, harusnya para blogger meneladani anda !
Debu tanah kembali menjadi debu tanah...
Deta
Deta,...para bloggernya itu termasuk anda ga???
Ada yang menulis diuji benar benar, ada yang menulis, diujinya oleh blogger lain setelah diposting.
Menurut saya dua duanya banyak terjadi, "secara" tidak semua orang itu menulis dengan pemikiran yang sama, dengan bekal ilmu yang sama.
Jika penulis pemula menulis dengan mementingkan kualitas, mungkin dia ga akan berani nulis nulis....
Dari sedikit lama lama menjadi bukit, bukankah Purnawan yang sudah bisa dibilang penulis sebenarnya, juga menganjurkan kita untuk.."AYO MENULIS"
Salam bro,....
"I love You Christ, even though sometimes I do not like Christians who do not like You include me, but because you love me, so I also love them"
@ Smile, terutama blogger lama
Anjuran saya di atas terutama untuk blogger lama, antara lain ya saya dan anda.
Saya jengkel aza melihat blogger yang nulis banyak2 tapi gak mutu. Salah satu blogger yang sudah saya kritik dengan sangat pedas adalah Hiskia22 yang sekarang sudah berhenti pada 300 blog (gak mutu) dan sekarang berubah menjadi Sp4rta..
(Mungkin blogger selanjutnya yang saya kritik dengan pedas ya anda itu... nulisnya puisi meluluuuu......, apa gak bosan apa?? kayak cewek aza.. hehehe... rasanya udah di telpon yaa?? Hahaha...)
Debu tanah kembali menjadi debu tanah...
Deta : Thank u menginspirasi saya
deta,...smile cuma bisa nulis puisi...
haruskah smile jadi yang bukan smile?
jadi mau nulis puisi lagi tentang be your self,..thank u,..anda menginspirasiku,..hihihihi.........
smile
"I love You Christ, even though sometimes I do not like Christians who do not like You include me, but because you love me, so I also love them"
@Debu tanah
Bukankah mutu tidak selalu empiris, tetapi dapat juga fuzzy.
Tergantung apa yang di takar, siapa yang menakar, dan takaran apa yang digunakan, dan mungkin masih banyak hal lain.
Banyak ibu-ibu rumah tangga yang menilai sinetron-sinetron yang mereka tonton itu sangat bermutu. Sementara bagi saya menonton sinetron adalah pemborosan waktu.
Boleh jadi Anda mengganggap beberapa tulisan para blogger tidak bermutu, tetapi bagi saya setiap tulisan yang disajikan dari hati yang tulus dan tidak menipu adalah tulisan yang sangat bermutu.
Dunia ini luas dan penuh warna, belajarlah untuk tidak melihat hanya dari kacamata Anda saja.
@ Coldwind, kualitas
Dapatkah tulisan yang baik dihasilkan hanya dalam waktu singkat dan persiapan seadanya alias asal-asalan ?
Bandingkan dengan AP yang menulis blog ini dalam waktu 3 minggu didukung pake riset-risetan pula?
Debu tanah kembali menjadi debu tanah...
Hm....
persiapan seadanya alias asal-asalan <strong>mungkin</strong> tidak akan menghasilkan tulisan yang baik. Tetapi untuk menulis tulisan yang baik sering kali tidak memerlukan waktu yang lama.
Hanya saja jika konteks Anda adalah tulisan ilmiah tentu akan memerlukan dua poin yang Anda sebutkan diatas. :)
@Anak Patirsa
Sentuhan yang bagus, Bro. :)
Attention to Detail
Setuju sama si mbah PB di atas, kalau AP menulis cerpen, 'attention to detail'nya untuk memperkaya cerita benar-benar mengena. Compression strength test memang benar-benar dipakai di industri. Salah satu prosedur dari pekerjaan saya, setelah ngecor beton untuk pipa bawah laut juga sama, yaitu compression strength test in 48 hours, then 7-day, then 28-days. Semennya juga sama, yaitu Portland cement.
Instan
Menurut saya yang namanya menulis, melukis, main musik, bakat itu hanya faktor kecil. Faktor yang paling besar adalah ketekunan.
Waktu belajar main piano atau gitar, saya butuh setahun hanya untuk lancar memetik gitar atau menekan tuts piano dengan jari yang benar. Sekarang saya males kalo denger ponakan atau sepupu minta ke saya ajarin maen musik tapi pengen dalam seminggu udah bisa maen satu lagu sederhana.
Gitu juga melukis. Saya belajar bikin garis lurus tanpa penggaris makan waktu berbulan2. Apalagi belajar bikin segitiga, bulatan, dll. Makanya dulu saya pernah iseng2 temenin kawan saya ikut ujian Fak Arsitektur di UnPar, yang katanya Fak paling susah masuknya di sana, dan gagal. Wong ujiannya disuruh menggambar pemandangan dari sudut pandang kodok. Saya gak pernah berpikiran ada gambar seperti itu seumur hidup saya, apalagi membuat gambar seperti yang diminta. Temen saya bilang dia gak ada bakat walaupun minat sekali masuk situ. Saya bilang, kamu jangan bilang kaya gitu karena gambar2 kamu selama ini lebih bagus dari saya, coba saja giat berlatih pasti tembus. Benar deh, tahun depannya dia masuk fak tsb.